“Sudah makan siang?”
Kiano menggeleng. “Kiano ingin es krim.”
“Es krim?” Salah satu alis Mikail terangkat, tampak mempertimbangkan keinginan sang putra. “Papa akan memberikannya sebagai pencuci mulut, bagaimana?”
Bibir Kiano mengerucut, tangannya terangkat ke sisi wajah. Dengan ekspresinya yang menggemaskan, anak itu mengerutkan kening. Sama seperti Mikail, mempertimbangkan tawaran sang papa. Akan tetapi, ketika sudut mata Kiano menangkap sosok yang tengah berdiri membeku di depan meja, perhatiannya segera teralih. Kerutan di kening dan kerucut di bibir anak itu lenyap seketika. Berubah menjadi kedua mata yang melebar penuh rasa penasaran. Tatapan kedua mata mungilnya tampak mengamati dengan saksama, ketika mengenali wajah di pemilik.
“Tante cantik?” Kiano baru menyadari keberadaan Megan.
Seluruh tubuh Megan membeku. Pertanyaan singkat yang diucapkan oleh Kiano mampu menciptakan gejolak di dadanya. Dengan perlahan, wajah Megan terangkat. Kedua matanya melebar, dan hatinya langsung trenyuh Kiano masih mengingat dirinya bahkan di pertemuan pertama mereka. Anaknya mengingatnya. Hanya satu kali pertemuan, Kiano mengenalinya.
Begitu pun dengan Mikail. Pria itu terkejut. Kepalanya yang kaku berputar dengan perlahan, dan langsung bersirobok dengan tatapan Megan. Keduanya saling pandang. Mikail menangkap pandangan emosional Megan dan Megan menangkap penolakan yang teramat jelas di mata mantan suaminya tersebut.
“Pa, bukankah dia tante cantik yang kemarin malam?” Kiano memutar kepala ke arah sang papa. Meminta persetujuan akan pertanyaannya.
Mikail memutus pandangannya dari Megan dan kembali menunduk ke arah sang putra. Raut wajahnya yang dingin seketika berubah lunak dan hangat ketika berpindah pada sang putra. “Ya, tante ini adalah rekan kerja papa.”
Kiano manggut-manggut. Kemudian beralih ke arah Megan kembali dan bertanya, “Bolehkah Kiano bertanya, kenapa tante cantik meninggalkan kami?”
Seketika tubuh Megan menegang, air mata menggenang di kedua kelopak matanya. Pertanyaan anak mungil itu tepat mengena di dadanya. Selayaknya tombak yang dihujamkan tepat di jantungnya.
Ada ribuan pertanyaan yang sama yang memenuhi benaknya dan menjadi beban di pundaknya selama bertahun-tahun yang ia lalui ketika meninggalkan Mikail dan buah hatinya. Penyesalan yang tiada habis dan tak pernah berhenti hingga detik ini. Dan Megan yakin tak akan berhenti sampai kapan pun.
Menggantung mengerikan di atas kepalanya. Menghantui di setiap malamnya yang tak pernah menjadi lelap.
Kenapa ia meninggalkan Mikail?
Kenapa ia meninggalkan buah hatinya tanpa memandang wajah mungil itu, pun hanya untuk sedetik saja?
Sekarang, dari jarak sejauh ini. Megan bisa melihat kemiripan yang begitu intens antara dirinya dan anak itu. Bentuk hidung, garis wajah, alis, bibir, dan warna rambutnya yang kemerahan dan bergelombang. Semua adalah miliknya. Satu-satunya hal yang diturunkan oleh Mikail pada Kiano adalah tatapan tajam dan bola mata berwarna biru itu.
Semua bukti ini menampar Megan dengan keras, bahwa anak yang kini yang berada di pangkuan mantan suaminya tersebut adalah darah dagingnya. Yang sudah ia campakkan di hari ia melahirkan bayi itu. Yang sudah berusaha mati-matian ia hapus jejaknya dari kehidupannya yang sempurna, yang ternyata hanyalah sebuah cangkang kosong. Karena, akhirnya Megn menyadari dengan sepenuh penyesalan yang mengerak di dadanya. Bahwa isi kehidupannya adalah Mikail dan anak mereka. Kiano Matteo.
“Kiano?” Suara memanggil yang lembut dan terselip peringatan dari bibir Mikail membangunkan Megan dari lamunannya. Pria itu memutar tubuh mungil Kiano menghadapnya, kemudian berkata, “Tante cantik pasti memiliki alasannya. Dan tidak sopan bertanya tentang urusan orang dewasa.”
Kiano memanyunkan bibirnya tak suka. Untuk pertama kalinya, tak setuju dengan petuah sang papa.
“Apa yang papa katakan tentang urusan orang dewasa?”
“Kiano anak yang baik dan sopan.”
Mikail mengangguk mantap, kemudian menyentuh hidung sang putra dengan sebuah senyuman sebagai hadiah. “Pintar.”
Kiano pun tersenyum lebih lebar.
Megan hanya membeku, menyaksikan interaksi ayah dan anak yang terpampang jelas di hadapannya. Seolah Mikail sengaja mendorongnya mundur, jauh-jauh dari kehidupan pria itu bahkan sebelum ia mendapatkan satu langkah pun untuk mendekat.
Tak bisa menahan air matanya yang akan meluap tak terkendali, tanpa sepatah kata pun Megan memutar tubuhnya dan berlari keluar ruangan. Sebelum Mikail menegaskan bagaimana menyedihkannya dirinya lebih banyak lagi.
Mikail benar, bahwa dirinya akan menyesali keputusannya yang telah meninggalkan pria itu dan putra mereka tujuh tahun lalu.
Dan sekarang, Megan rela menukar apa pun miliknya untuk kembali ke tujuh yang lalu demi mengubah keputusannya. Namun apa daya, penyesalannya tak memiliki ujung dan seberapa banyak dan besar penyesalan tersebut tak akan mengembalikan apa pun yang sudah raib dari genggaman tangannya.
Tangisannya tak berhenti, sepanjang perjalanannya kembali ke apartemen mewahnya. Dan kembali meringkuk dan berkubang dalam dosa terbesarnya yang tak akan terampuni.
***
Sejak pertemuan Megan dengan Mikail dan Kiano tiga hari yang lalu, Megan sama sekali tidak keluar dari kamarnya. Jelita benar-benar sudah kehilangan akal untuk membujuk sang supermodel tersebut untuk menurunkan kaki dari tempat tidur.
Megan-benar sudah kacau. Tak hanya penampilan, pikiran waras wanita itu sudah lenyap. Membatalkan beberapa pemotretan dan harus membayar biaya ganti rugi yang tak sedikit. Akan tetapi, berkat reputasi dan bujukan maut Jelita, -yang seharusnya mendapatkan hujan pujian dari Megan- ganti rugi tersebut berhasil ditangguhkan dan semua menginginkan perubaha jadwal hinga suasana hati dan kesehatan Megan Ailee kembali membaik.
Akan tetapi, Jelita tak bisa terus-menerus membentengi ketidak profesionalan Megan. Kali ini, ia harus berhasil membujuk Megan turun dari tempat tidur. Setidaknya.
Dan … satu-satunya cara adalah dengan menggunakan anak wanita itu. Pagi itu, dengan rencana dan penyelidikan yang lumayan akurat, Jelita duduk di pinggiran tempat tidur. Menyentuh pundak Megan yang tertutupi oleh selimut tebal. Menghela napas panjang dan perlahan sebelum memulai pembicaraan serius mereka.
“Sampai kapan kau akan meratapi nasib menyedihkanmu ini, Megan?”
Megan hanya bergeming, matanya tetap terpejam meski ia tidak pernah tidur selama beberapa malam. Dan ia yakin kantung hitam menggantung di bawah kelopan matanya dan butuh beberapa kali perawatan untuk kembali normal.
Lalu, sampai kapan ia akan meratapi nasibnya ini?
Megan hanya bisa menjawab kata ‘selamanya’ dengan kepedihan yang tak mampu melewati bibirnya.
“Apa kau juga ingin membatalkan kontrak dengan perusahaan Mikail?”
Megan ingin menjawab ya, tetapi … sesuatu menahan dadanya. Tak yakin apakah sekali lagi ia mampu melepaskan Mikail dan Kiano dari hidupnya sekali lagi?
“Au tak tahu apakah ide ini buruk atau tidak. Tapi, jika kau memutuskan untuk melanjutkan kerjasama ini, mungkin kita memiliki beberapa kesempatan untuk memperbaiki dan mengurangi penyesalanmu, Megan.”
Megan masih bergeming, tetapi kali ini dadanya diselimuti ketertarikan yang perlahan memanjat naik ke dadanya akan ide yang diberikan oleh Jelita.
“Anakmu. Dia selalu ikut dengan Mikail ke kantor. Bukankah jika kau melakukan pemotretan ini. Setidaknya kau bisa melihat putramu dari kejauhan?”
Megan tetap terdiam. Tampak mempertimbangkan informasi Jelita. Ya, kerjasama ini tak sepenuhnya buruk. Ia bisa melihat Kiano dari kejauhan. Sekali lagi Megan mencerna ide Jelita dengan saksama.
“Lagipula, jika Mikail mengijinkanmu bertemu dengan Kiano, tentu saja kau akan kesulitan untuk menjelaskan siapa dirimu yang sebenarnya pada anakmu, kan?” Kalimat Jelita berhasil membuat Megan menyingkap selimut dan bangun terduduk. Dengan kedua mata yang bersinar cemerlang meski kantung hitam di bawah kelopak mata wanita itu tampak begitu jelas.
Jelita tersentak pelan dengan Megan yang tiba-tiba beranjak terduduk dan mengagetkan wanita itu. Harapan yang teramat besar terlihat menyelimuti wajah pucat dan kucel Megan. “B-bagaimana?”
“Kau benar. Batalkan kerja samaku dengan semua pihak, kecuali dengan perusahaan Mikail. Aku harus menjadi dekat dengan putraku,” putus Megan kemudian, dengan penuh tekad yang kuat.