Part 1
Di antara keramaian pesta, hatinya terasa begitu kosong. Pesta di belakangnya berlangsung begitu meriah. Pemilik pesta memastikan yang terbaik dari yang terbaik. Gerombolan pria bersetelan jas dijahit sesuai ukuran tubuh bergerombol membicarakan bisnis, dan para wanita dengan gaun rancangan desainer terkenal saling bergosip. Senyum mereka terlihat begitu cerah. Membuatnya bertanya-tanya kapan terakhir kali dirinya melakukan hal tersebut. Kecuali senyum sejuta dollarnya di setiap sesi pemotretan, yang baru dilakukannya beberapa menit yang lalu. Sebelum menyelinap dan menyendiri di tempat sunyi ini.
Dengan bersandar di pagar balkon, Megan Ailee menatap pemandangan malam yang terhampar di hadapannya. Segelas sampanye berada di genggaman tangan kanan, yang langsung ia tandaskan. Berniat mendapatkan minuman lebih, tetapi lebih enggan jika seseorang kembali menahan dirinya.
Megan tak tertarik bergabung bersama mereka. Demi menjalin lingkaran bisnis yang lebih luas dan memberinya lebih banyak ketenaran? Tidak ada lagi yang ingin ia capai. Semakin tinggi ia mendaki, ia merasa semakin sendirian. Kesendirian yang terasa lebih berat dari yang ia pikirkan.
Semua mimpi yang menjadi kenyataan. Semua orang jatuh cinta kepadanya, tetapi hanya pada fisiknya. Hanya pada kulit yang melapisi tubuhnya. Semua ini akan hilang, hingga waktunya nanti. Lalu, apakah cinta mereka pun akan meredup sejalan dengan kecantikannya yang perlahan akan menghilang.
Tidak ada yang abadi, dan bukan semua ini yang ia butuhkan. Untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Ia ingin bahagia. Tetapi bagaimana ia bisa bahagia jika ia sendiri tidak tahu bagaimana cara tersenyum?
Semua orang melihat prestasinya sebagai pencapaiannya yang indah. Wajahnya terpampang di berbagai macam majalah model, menjadi model brand ternama, berjalanan di berbagai macam fashion show luar maupun dalam negeri. Akan tetapi, mereka tidak tahu apa yang telah ia lepaskan untuk menggenggam semua hal tersebut. Perjalanan karirnya berjalan begitu mudah, semudah membalikkan telapak tangannya. Tetapi tidak dengan perjalanan hidupnya. Pun dengan kisah asmaranya.
Pria datang silih berganti di hidupnya, dan tak ada satu pun yang berhasil menggerakkan hatinya yang tertutup rapat.
“Ternyata kau di sini.” Suara penuh kelegaan muncul di belakang Megan. Memutar pundak wanita itu.
“Bisakah kau membawakanku satu gelas lagi?” Megan menyodorkan gelas kosongnya pada Jelita. Manager yang merapal sebagai asisten pribadinya.
Jelita mengambil gelas itu dan meletakkannya di samping pot tanaman. “Aku skan memberimu satu botol. Tapi setelah kau ikut denganku.
“Ke mana?”
Senyum Jelita terlihat begitu mencurigakan.
“Aku tahu apa yang kaupikirkan. Tapi kali ini tidak, Je. Aku sedang tak berminat menemui siapa pun. Aku ingin waktu untuk diriku sendiri.”
Jelita mengembuskan napasnya yang panjang dengan bosan. “Kau selalu membutuhkannya kapan pun kau ingin.”
“Dan aku menginginkannya se …”
“Ayo.” Jelita menarik lengan Megan sebelum wanita itu menyelesaikan kalimatnya. Kembali memasuki keramaian pesta.
“Ke mana?”
“Aku akan memperkenalkanmu pada CEO mall M-King. Kau tak akan menolaknya.”
Megan memutar matanya dengan jengah. Seseorang yang hendak Jelita kenalkan padanya pasti seorang pria, dengan penampilan fisik yang tak mengecewakan. Dan CEO, kekayaannya pasti tak bisa dihitung.
“Kau sudah menandatangi kontrak dengan mallnya.”
“Aku menandatangani banyak berkas,” gumam Megan. Berhenti sejenak untuk mengambil segelas minuman dari pelayan yang melintas. Akan tetapi Jelita segera merebutnya kembali sebelum gelas itu menyentuh bibirnya.
“Je,” rengek Megan.
Jelita tak mendengar, menarik Megan menuju tengah pesta sambil sesekali berhenti untuk menyapa orang-orang dan membalas senyum mereka. Sampai keduanya melintasi lorong yang ada di sudut pusat pesta, menaiki beberapa anak tangga hingga sampai di pinggiran kolam yang jauh dari keramaian. Mengabaikan gerutuan Megan sepanjang perjalanan.
“Tuan Matteo?”
Megan terhuyung ke belakang ketika Jelita tiba-tiba berhenti melihat seseorang yang berdiri memunggungi mereka.
Merasakan tepukan pelan di punggung dan panggilan tersebut, pria itu menoleh dan memutar tubuhnya dengan perlahan. Menampilkan senyumnya yang ramah. “Nona Jelita?”
Seluruh tubuh Megan membeku, kepucatan segera muncul ke permukaan wajahnya menatap sosok pria yang berdiri di hadapannya. Menatap wajah tampan yang masih begitu jelas dalam ingatannya. Setelah sekian lama, hanya satu perubahan yang terlihat begitu jelas. Pria itu semakin tampan dan terlihat lebih banyak tersenyum. Tak ada lagi tatapan kepedihan dan kecewa yang pernah dihujamkan padanya.
“Tuan, ini Megan Ailee. Dan Megan ini tuan Matteo. Mikail Matteo, CEO M-King.” Jelita memperkenalkan keduanya.
Senyum Mikail sempat terhenti menemukan sosok tak asing yang berdiri di hadapannya. Selama beberapa detik keduanya hanya saling pandang dalam kebekuan, hingga Jelita berdehem dan memecah keterpakuan keduanya.
Jelita menyenggol pundak Megan. Matanya melemparkan isyarat yang tajam dan membuat Megan tak punya pilihan selain mengulurkan tangan dengan kaku.
“Megan.” Megan berdehem ketika suaranya terasa begitu kering.
Sejenak Mikail menatap uluran tangan Megan, lalu tersenyum tipis dan membalas uluran tangan tersebut. “Mikail.”
“Papa!” teriak seorang anak dari arah samping mereka. Berlari menghampiri Mikail.
Mikail membungkuk, merentangkan kedua lengan dan menangkap anak kecil itu. Yang langsung melingkarkan kedua lengan mungil di leher Mikail.
Jelita terpaku, menatap bergantian interaksi Mikail dan anak kecil itu penuh ketidak percayaan. Begitupun dengan Megan, yang berdiri membeku dengan ekspresi seperti tersambar petir.
“Kiano sudah bosan. Kapan kita pulang?” tanya anak itu setengah merengek sambil menyandarkan kepala di pundak Mikail.
“Sebentar lagi,” jawab Mikail dengan seulas senyum.
“Anda memiliki putra yang begitu tampan,” puji Jelita dengan senyum memaksa. Menahan ringisannnya ketika melirik ke arah Megan dengan waspada.
Mikail mengangguk. Mencium pipi gembul anak kecil itu dengan penuh kelembutan. Dengan pandangan yang tak lepas dari kedua mata Megan. Tak sampai di situ, bahkan Mikail mencoba mengenalkan Kiano dengan Jelita dan Megan.
Megan mengerjap, menahan kaca di kedua matanya agar tak meleleh ketika menatap uluran tangan mungil anak kecil itu. Tak bisa menahan desakan air matanya yang hendak meluap, Megan memutar tubuh dan berlari pergi. Mengabaikan panggilan Jelita.
Dengan perasaan yang tak karuan, Megan menerobos kerumunan pesta. Mengabaikan panggilan-panggilan yang mencoba untuk menarik perhatiannya. Langkahnya terseok di antara derai air mata yang menghujani wajahnya. Sampai langkahnya terhenti ketika merasakan keramaian pesta jauh berada di belakangnya.
Jelita menyentuh pundak Megan, napasnya terengah dengan keras. Terkejut menemukan wajah Megan yang basah ketika mencoba membalik wanita itu menghadapnya. “K-kenapa kau menangis?”
Megan tak menjawab. Pundaknya naik turun karena isakan yang semakin menjadi.
“Maafkan aku, Megan. Kudengar dia masing single, aku tak kalau ternyata dia adalah seorang duda.” Jelita berusaha menenangkan Megan. Memegang kedua pundak wanita itu dan membiarkan Megan menangis di pundaknya. Sambil menepuk-nepuk pelan pundak Megan demia meredakan kekecewaan terhadap dirinya. Sungguh ia tidak tahu kalau ternyata si Mikail Matteo itu sudah memiliki seorang putra. Seharusnya ia mencari informasi yang lebih akurat sebelum mencoba menjodohkan pria itu dengan Megan. Untuk mengurangi resiko patah hati.
“Tapi setidaknya dia memang masih single, kan? Apa kau sekecewa itu?” sesal Jelita seraya mengurai pelukannya dan mengulurkan sapu tangan miliknya. “Apa dia berhasil menarik perhatianmu di pandangan pertama? Atau apakah dia mengingatkanmu pada seseorang?”
Tangisan Megan mereda. Menyeka air mata dengan sapu tangan Jelita.
“Aku minta maaf,” lirih Jelita, sekali lagi menepuk pundak Megan dengan lembut. Ia belum pernah melihat Megan seemosi ini, terutama ketika berhubungan dengan seorang pria. Biasanya Megan hanya mengatakan tidak cocok dengan deretan pria-pria yang coba ia sodorkan. Atau pria-pria yang mencoba mengajak wanita itu makan malam. Tak ada satu pun di antara mereka yang mampu menyentuh emosi seorang Megan Ailee, dengan tembok tinggi yang terbangun kuat di hati wanita itu.
“Aku ingin pulang,” ucap Megan. Mengembalikan sapu tangan Jelita dan melangkah lebih dulu. Melewati halaman yang luas menuju pintu gerbang sang pemilik pesta.
Jelita mengangguk, menelpon sopir untuk membawa mobil ke dekat gerbang tinggi. Sepanjang perjalanan, Megan hanya melamun sambil menatap ke jendela mobil sedangkan Jelita tak berani mencoba membuka percakapan. Tahu Megan sedang sangat butuh waktu untuk diri wanita itu sendiri. Hingga mobil berhenti di basement gedung apartemen, Megan masih bergeming tenggelam dalam lamunan.
“Megan?” Jelita memberanikan diri menyentuh pundak Megan.
Megan mengerjap lalu menoleh menatap Jelita. “Kenapa kau tidak memberitahuku kalau namanya Mikail?”
Kening Jelita berkerut penuh keheranan. Sampai kemudian wanita itu membekap kesiapnya ketika teringat sesuatu. “J-jangan bilang dia Mikail yang itu?”
Sikap diam Megan cukup sebagai jawaban untuk pertanyaan Jelita, yang membuat wanita itu semakin terperangah. “Kau tidak pernah memberitahuku nama panjangnya. Dan … dan aku benar-benar tak tahu kalau dia ternyata sudah memiliki anak dengan wanita lain. Aku benar-benar minta maaf Jelita. Aku tahu bagaimana hancurnya perasaanmu. Aku sungguh menyesal.”
Perasaan Megan tak membaik, tetapi semua memang bukan kesalahan Jelita. Jelita hanya tahu ia pernah mengalami patah hati dengan seorang pria bernama Mikail. Tetapi memang dunia ternyata tak seluas yang ia perkirakan. Bahkan baru beberapa hari yang lalu ia menginjakkan kaki di negara ini.
“Anak itu …” Suara Megan terhenti sesaat. “Dia anakku.”