Kesal

1104 Kata
Rezvan menuju kelasnya dengan tergesa-gesa karena Pak Taufan sudah berada di dalam kelas. Dengan hati yang lapang, Rezvan mengirimkan niat untuk dirinya sendiri belajar menuntut ilmu dari Pak Taufan. Ya, walaupun Rezvan tahu kalau sebenarnya hatinya terasa dicabik-cabik tiap kali bertemu Pak Taufan yang sama sekali tidak menyadari kesalahannya. Ruang kelas sudah ramai, hanya ada kursi paling belakang yang kosong. Maklum, mahasiswa yang menduduki kelas Rezvan itu sebagian besar adalah manusia ambisius yang menginginkan nilai di atas rata-rata. Sebenarnya, bukannya Rezvan tidak ingin ambisius juga, tapi kapasitas otaknya gak memumpuni, hehehe. "Permisi, Pak, saya boleh masuk?" Tanya Rezvan yang telah berada di balik pintu. Pak Taufan memandangi Rezvan dari atas rambut sampai ujung kaki seraya terkekeh. "Bisa-bisanya kamu masuk di jam saya, ketika saya sudah menyampaikan materi dua belas menit yang lalu. Kamu tahu gak kalau saya tidak suka manusia yang telat?" Seru Pak Taufan dan spontan membuat seluruh mahasiswa lainnya mengarahkan pandangan ke Rezvan. Rezvan menghela napasnya, lagi lagi Pak Taufan mencari-cari kesalahannya, nih. "Ya maaf, Pak. Saya ada kegiatan lain yang harus dikerjakan dan itu sama-sama pentingnya. Namun, saya berusaha untuk tetap mengikuti pelajaran dari Pak Taufan," Tukas Rezvan. "Oh kamu ini yang ketua BEM mahasiswa itu, ya? Denger ya anak-anak yang lainnya, saya mengutuk keras jika kalian memprioritaskan organisasi daripada urusan sekolah. Saya benar-benar--"" "PAK, MAAF!!!" Dengan hati yang sudah dipenuhi emosi-emosi, nada bicara Rezvan yang awalnya tidak berminat untuk meninggi, spontan saja meninggi. "Saya belum selesai bicara, Rezvan! Biasakan kamu menghargai terlebih dahulu apa yang diucapkan dosen, orang yang lebih tua. Jangan kamu suka motong seperti itu. Kamu kan ketua BEM mahasiswa, masa iya gak paham sih etika berbicara kayak gini? Anak-anak yang lain, saya tegaskan sekali lagi ya, beginilah contoh mahasiswa yang mendewakan organisasi dibanding masuk ke jam kuliah saya. Buktinya saja telat," Kata Pak Taufan dengan wajahnya yang sinis ke Rezvan. "Saya tidak mengatakan kalau saya ini memprioritaskan organisasi dibandingkan kuliah. Saya sudah menegaskan diawal bahwa ada kegiatan yang harus dikerjakan dan sama pentingnya," Jelas Rezvan sekali lagi. Pak Taufan itu tipe dosen yang selalu mengungkit kesalahan mahasiswanya di depan mahasiswanya yang lain dengan maksud memberi peringatan. Akan tetapi, peringatan yang Pak Taufan berikan itu tidak sebanding dan nyata dengan keadaan yang terjadi. "Kalau Pak Taufan tidak memperbolehkan saya masuk ke kelas, saya akan keluar dan tidak akan masuk ke kelas Pak Taufan lagi. Tapi tolong Pak, berhenti menceritakan kejelekan mahasiswa yang TIDAK BENAR kepada mahasiswa lainnya. Tidak sepatutnya dosen berkata seperti itu dan menimbulkan kebencian," Bener Rezvan karena sesak di dadanya makin menjadi. "Rez, Rezvan, siapa yang mengeluarkan kata menjelekan? Memangnya ada yang menjelekan kamu?" Pak Taufan menepis seraya mengerutkan dahinya memandang Rezvan gusar. Untung saja kali ini Rezvan berani menepis ujaran yang dilontarkan Pak Taufan. Sudah banyak sekali unek-unek yang ingin diluapkan oleh Rezvan, namun beruntungnya Rezvan masih punya kesabaran dan ketulusan hati yang begitu besar. "Pak Taufan memang tidak pernah merasa melakukan hal yang menjelekan saya. Tapi saya yakin, teman-teman di sini dapat menyimpulkan kalau apa yang ditegaskan Pak Taufan kepada saya itu adalah ujaran kebencian," Ungkap Rezvan seraya menunjukan telunjuknya ke arah Pak Taufan. "Rezvan hahahaha," Pak Taufan tertawa girang. "Kamu bisa gak sih berpikir sebelum mengeluarkan pembicaraan? Dan menurut saya nih ya, kamu yang malah berpikiran negatif terus sama saya," Tukas Pak Taufan. Suasana semakin hening, semua mahasiswa tidak ada yang menggerakkan alat tulisnya, dan hanya menatap perdebatan antara mahasiswa dan dosen itu yang tidak lain Rezvan dan Pak Taufan. "Ya sudah, daripada urusannya makin panjang dan hanya saling menyalahkan padahal Pak Taufan duluan yang memulainya, saya mundur Pak. Hari ini saya tidak masuk ke kelas Pak Taufan, dengan senang hati. Saya akan mengambil mata kuliah yang sama, dengan dosen yang berbeda, yang lebih kompeten dan tidak menjadi boomerang bagi mahasiswanya. Terima kasih banyak," Tegas Rezvan lalu meninggalkan ruang kelas yang tadinya ingin ia datangi, dan menuntut ilmu di sana. Namun, seorang monster bernama Pak Taufan itu benar-benar menghancurkan mood-nya. Rezvan mengitari koridor kampus yang semua kelas nya di penuhi oleh mahasiswa lainnya, yang sedang mengadakan kegiatan belajar mengajar. Rezvan sudah hilang niatan untuk melakukannya, sambil mengeraskan gigi-giginya, Rezvan menuju ruang organisasinya, BEM kampus. Di sana sudah ada seorang perempuan cantik yang sedang membaca buku. Ia mengambil buku mental health, yang membuat Rezvan menyeritkan dahinya. Seorang perempuan cantik yang sangat dikenal oleh Rezvan. Rezvan segera menghampirinya. "Ellen? Lagi ngapain?" Tanya Rezvan lembut. Ellen mengarahkan wajahnya ke Rezvan, "Baca ini," Ellen memperlihatkan buku yang dibacanya, tertulis buku soal mental health di sana. "Oh itu ..." Rezvan membalas sambil melengkungkan senyumnya. "Sudah makan hari ini?" Tanya Rezvan sambil mengelus pundak Ellen. Ellen menganggukan kepalanya, "Sudah dong, tadi mau nunggu kamu untuk makan bareng, kayaknya kelamaan. Jadi aku sendirian deh ke kantin fakultas," Cerita Ellen yang tak lama memanyunkan bibirnya. "Uh kasihan banget pacar aku ..." Balas Rezvan sambil mengelus rambut Ellen yang halus, karena habis keramas menggunakan sampo anti rontok dari ekstrak lidah buaya dan kacang kedelai. Loh, kok malah promosi, hehehe. Ellen tersenyum ketika tangan Rezvan mendarat di rambutnya, untuk memberikan sentuhan yang manis. "Gak apa-apa, harus membiasakan punya pacar yang super sibuk, jadi harus melatih diri ssndiri. Oh ya, tadi di kantin aku makan bareng sama Bu Rere, jadi aku tidak sendirian," Ungkap Ellen. Rezvan terbelalak, seharian tadi Rezvan ingin bertemu dengan Bu Rere, namun tidak ada kesempatan untuk bertemunya. Rezvan mencari ke ruangan pembimbing pers mahasiswa, tidak ada jua. "Wah seharian tadi aku mencari Bu Rere tapi tidak ketemu. Malah kamu, hehe. Bicara apa saja tadi?" Tanya Rezvan penasaran. Biasanya kalau seseorang sudah bertemu dengan Bu Rere, pasti mereka akan mendapatkan informasi akurat yang cukup mencengangkan. "Ya biasa, soal misi Bu Rere untuk mengungkapkan kasus itu," Ujar Rere. "Pak Taufan?" Tanya Rezvan memastikan dan Ellen menganggukan kepalanya. "Haduh, malas deh bicarain soal Pak Taufan untuk hari ini," Wajah Rezvan berubah mengkerut. "Tumben, biasanya paling demen kalau mendapat informasi soal Pak Taufan," Ellen pun ikut mengeritkan dahinya. "Lagi gak mood ngomongin soal Pak Taufan. Hari ini libur dulu soal kasus-kasus nya, nanti bakal terangkat sendiri. Ya disisi lain, aku habis diusir sama Pak Taufan dari kelas. Pokoknya menjengkelkan sekali lah," Kata Rezvan. Rezvan menjatuhkan badannya ke atas kursi, yang berada di samping Ellen. "Kasihannya pacar aku hhehe," Tanggap Ellen dan langsung mengelus rambut Rezvan, seperti yang Rezvan lakukan padanya. "Ayo, temenin aku makan. Sepertinya perut aku mengguncang ingin diberi makan," Ajak Rezvan agar ketenangan berpihak padanya untuk sementara. "Dengan senang hati, pacar ..." Ellen pun menjulurkan tangan kanannya ke Rezvan, dan Rezvan meraihnya. Seketika saja wajah Rezvan yang gamang tadi, berubah menjadi bahagia yang tersirat dari kedua matanya dan bibirnya. Kedua matanya yang berbinar menatap Ellen, sementara bibir merahnya meliukan senyum yang manis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN