Kesalahan?

1129 Kata
“Ssssttttt!” Rezvan menarik tangannya yang sedikit perih itu. “Sudah belum bercandanya?” kata Rezvan dengan nada yang tegas. Menurut Andin, ketika Rezvan berbicara dengan tegas, itu malah seperti srigala yang sedang berkeliaran di malam hari. Artinya apa? Rezvan bak srigala yang mengaung marah ketika nada bicaranya berubah menjadi berat. “Sudah, Kak!” wajah Andin tidak menyisakan kesan gurau sedikitpun. Andin mengikuti suasana yang diciptakan oleh Rezvan, serius dan tenang. “Oke, bisakah aku mulai untuk membicarakan hal penting dan maksudku untuk mengajakmu ke sini?” ujar Rezvan. Andin mengangguk saja dan malas untuk mengeluarkan suara. Daripada nanti Rezvan protes, lebih baik diam saja seperti bulu. Hehehe. Rezvan masih melipatkan kedua tangannya di atas meja dan mengangkat bahunya. Ia menengok ke kiri dan kanan seperti memeriksa keadaan sekitar. “Sepertinya ini sudah aman, tidak ada sosok Pak Taufan atau komplotan licik milik Pak Taufan,” ujar Rezvan dalam hati dan merasa semuanya siap untuk diperbincangkan. “Din, aku sangat sangat minta tolong bantuanmu,” Rezvan membuka topik dengan nada yang pelan. “Apa? Kak Rezvan memintaku untuk melolong seperti anjing?” entahlah apa yang dipikiran Andin, ia malah tidak fokus. Rezvan menepuk jidatnya, “aduh, gagal fokus kan!” “Heheh abisnya Kak Rezvan pelan sekali suaranya, telingaku tak sanggup mendengarnya,” ujar Andin. Rezvan berdecak dan mendekatkan wajahnya ke depan Andin. “Dekatkan telingamu!” pinta Rezvan, lalu Andin mengiyakan. “Begini, aku ingin meminta bantuanmu untuk membongkar kasus Pak Taufan, apa kamu bersedia? Aku mohon…” tutur Rezvan. “Pak Taufan siapa? Aku gak kenal! Coba jelaskan saja serincinya, biar aku gak ngambang gini,” Andin sedikit protes. Rezvan menghela napasnya, ia harus sabar menghadapi perempuan yang bawel di depannya. Demi mendapatkan bantuan, Rezvan akan menjelaskan secara detail. “Aku akan bercerita tapi kamu jangan kayak ember bocor ya, nyebarin kemana-mana!” Rezvan sudah memperingatkan diawal. “Iya lah, ngapain juga aku nyebarin ke orang banyak? Untung enggak, yang ada nambah masalah!” “Bagus. Jadi gini, beberapa tahun lalu, ada kasus tidak senonoh yang dilakukan Pak Taufan. Ia yang sebagai dosen saat itu, melakukan hal tidak sopan pada mahasiswinya. Dan, aku rasa Pak Taufan mempunyai indikasi akan melakukan hal serupa pada mahasiswi yang lain. Aku gak mau hal itu terjadi karena trauma bagi korban cukup berat.” “Terus, apa yang harus aku lakukan?” Tanya Andin yang belum mememukan tujuan Rezvan untuk meminta bantuannya. “Kita berdua akan mencari bukti-bukti pelecehan seksual yang dilakukan oleh Pak Taufan, terutama mahasiswi yang menjadi korbannya. Setelah mendapatkan bukti dan pengakuan kuat dari korban, kita berikan pada dekan atau langsung ke rektor. Dan pada akhirnya tujuan kita adalah Pak Taufan diberikan sanksi berat atau dipecat.” Andin menelan ludahnya yang terasa berat. Kapalanya seperti berputar-putar setelah mendengar permintaan Rezvan. Badan Andin melemah… “Bagaimana, Din?” Tanya Rezvan. “Maaf ya Kak, aku tidak sepenuhnya paham dengan kasus itu, apalagi aku mahasiswa baru di sini. Aku sangat takut mendapatkan represi dari pihak kampus dan ujung-ujungnya malah mengancamku,” Andin menampilkan sinyal negatif. “Kamu tidak boleh berkata seperti itu, Din. Maka dari itu kita cari, telaah dan eksekusi bersama-sama. Bukankah jika seperti itu akan terasa ringan? Tolong Din, korban-korban itu butuh kita untuk mendapatkan trauma healing. Kamu kan perempuan, pastinya kamu tau bagaimana jika menghadapi hal semacam itu.” “Hmm… bukannya aku mau menolak, tapi ini bukan kapasitasku. Aku tidak ingin menjadi mahasiswa pembuat gaduh diawal-awal kuliahku,” Andin menyenderkan tubuhnya ke kursi. Wajahnya berpaling dari Rezvan dan menunduk. “Aku benar-benar tidak—“ “Din, aku butuh kamu sebagai partner dalam pemecahan rahasia ini.” Rezvan memegang tangan kanan Andin dengan kedua tangannya. Matanya berkaca-kaca dan bibirnya memucat, “hanya kamu yang aku andalkan, ini menyangkut hajat hidup orang banyak, kemanusiaan juga keadilan untuk warga kampus ini. Bantuanmu sangat berarti, Din, ayolah…” “Ehem!” tiba-tiba saja Ellen berdiri di belakang Rezvan dan memainkan rambutnya dengan jari. “Ada yang lagi mesra-mesraan nih,” ucap Ellen sewot. Andin spontan melepaskan genggaman tangan Rezvan, “eh Mbak, eng….enggak kok,” sudah dua kali Ellen melabrak dirinya, dan lagi-lagi ketika bersama Rezvan. “Ellen? Kamu ngapain di sini?” Rezvan pun juga kaget dengan kedatangan Ellen. “Ya mau ngapain aja boleh, jadi ini pacar kamu ya, Rez? Hmm,” “Len! Jangan langsung berkata kayak gitu,” Rezvan menjeda. “Masa sih? Kok mau-maunya kamu sentuh tangan perempuan ini?” Ellen menunjuk-nunjuk Andin tepat di wajahnya. Andin tak dapat berkutik, dia seperti anak bawang yang tidak tau apa-apa. Seraya bola mata Ellen melotot ke arah Andin. “Jangan ngomong sembarangan sama Andin!” Rezvan tak terima perlakuan sinis Ellen. “Aku sama Andin hanya teman, gak usah bikin narasi yang enggak-enggak ya!” tanpa disadari, Rezvan meninggikan nada bicaranya dan membuat Ellen kaget. Ellen yang merupakan tipe perempuan melankonis, merasa tertekan dibentak seperti itu. “My heart?! Kok kamu tega bicara keras ke aku?! Kamu itu sama aja kayak Pak Taufan! Bisanya kasar sama perempuan!” air mata runtuh mengalir ke pipi Ellen. Kedua tangannya berusaha menopang air mata itu, namun tidak bisa. Tanpa meninggalkan kata apapun, Ellen berjalan mundur perlahan. “Aku kira kamu adalah orang yang bisa dipercaya untuk mengatasi traumaku. Nyatanya, kamu malah membuatku tidak berdaya seperti ini. Padahal kamu tau sendiri kalau aku tak mampu mendengar orang yang berkata keras!” Otak Rezvan merespon hal lainnya, ia merasa bersalah sudah bertindak demikian. Rezvan baru saja membuat Ellen patah hati. Rezvan memegang erat kepalanya, dan meringkuk sedikit. Hidungnya sampai mengenai meja di depannya. Wajahnya sayu, diliputi rasa bersalah. Andin yang sudah menyimpulkan kalau Rezvan sedang menyesal, langsung menyuruh Rezvan mengejar Ellen. “Kejar, Kak! Minta maaf!” kata Andin. Rezvan malah makin meringkuk dan tidak melepaskan genggaman di kepalanya itu. “Loh kok malah diam aja? Kejar Kak cepetan! Sebelum terlambat!” Andin memerintahkan sekali lagi. Rezvan menatap jejak kepergian Ellen, dan melirik sampai mana Ellen berada. Rupanya, Ellen masih berada di parkiran mobil dan berusaha menenangkan tangisnya sendiri. Lantas Rezvan berdiri dari tempat duduknya dan mengejar kepergian Ellen yang masih tertangkap matanya. Ruang kafe itu tampak sunyi, dan diramaikan oleh perdebatan kecil antara Ellen dan Rezvan tadi. Andin duduk saja sambil menyaksikan, tidak ingin ikut campur. Menurut Andin, hanya menambah masalah saja jika ikut beriuh kata-kata dengan Ellen. “Aneh deh, kenapa Mbak Ellen selalu ada tiap aku dan Kak Rezvan bareng? Apa dia adalah mata-matanya Kak Rezvan?! Tapi, buat apa juga ia menjadi mata-mata? Digaji juga enggak, capek iya!” batin Andin bertanya-tanya. Namun, Andin berusaha berpikir jernih dan melepaskan segala kecurigaannya terhadap Ellen. Mau gimana pun juga, Ellen itu tidak akan pernah mau menjalin hubungan atau menyimpan perasaan cinta kepada Rezvan. “Bukan tipeku kaliiii!!!!!” batin Andin sewot.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN