Hari terus berganti hingga berhenti pada hari Senin. Tak terasa akhir pekan telah berakhir. Mengharuskan orang-orang untuk terbangun pada pagi hari dan bersiap untuk kembali menjalani rutinitas sehari-hari.
Pada hari yang cerah ini Nara bangun tidur dengan senyum lebar yang menghiasi bibir cerinya. Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang cukup menyenangkan bagi gadis itu sebab Sehun dan Sora akan berangkat ke Jeju untuk berbulan madu setelah sempat menundanya selama seminggu karena kesibukan Sora di kantor. Itu artinya tak ada lagi sikap jahil dan berbagai macam godaan yang akan Nara dapatkan dari Sehun.
Selama seminggu ini—terhitung sejak Sehun resmi menikahi Sora— Nara harus selalu bersabar menghadapi segala tingkah laku ajaib suami ibunya. Sehun selalu saja menganggunya, baik secara lisan maupun berupa tindakan. Bahkan di depan Sora sekalipun, Sehun masih mampu melancarkan segala macam aksi jahilnya. Alasannya agar mereka dekat—sebagai ayah dan anak, tentunya— begitu ungkapnya pada Sora.
Cih! Dekat? Nara benar-benar tidak sudi dekat dengan pemuda setan itu. Yeah, Nara tahu sebenarnya bukan itu tujuan Sehun. Nara juga tidak terlalu mengerti alasan di balik kejahilan pemuda itu pada dirinya, tapi yang pasti bukan untuk mendekatkan mereka. Sungguh menjengkelkan!
“Akhirnya aku bebas juga dari Sehun,” gumam Nara ceria sambil merapikan seragam sekolahnya di depan cermin. Gadis itu menguncir rambut panjangnya dengan gaya ponytail kemudian segera beranjak dari kamar menuju ruang makan.
Saat Nara sampai di ruang makan, rupanya Sehun dan Sora sudah lebih dulu berada di sana. Mereka sedang asyik bercanda tawa dengan begitu mesra. Jika dilihat dari pakaian mereka, sepertinya Sehun dan Sora belum bersiap-siap untuk pergi ke bandara. Tidak, mereka bukannya masih memakai piyama. Sehun dan Sora sudah memakai pakaian kasual sekarang. Namun, bukan pakaian kasual untuk bepergian. Hanya pakaian kasual rumahan.
“Selamat pagi!” sapa Nara pelan seraya duduk di kursi kebesarannya. Sebisa mungkin gadis itu menghindari pandangannya dari Sora dan Sehun, enggan melihat kemesraan yang sedang ditampilkan di seberang meja.
“Selamat pagi, Sayang!” balas Sora lembut.
“Selamat pagi!” Giliran Sehun yang membalas sapaan Nara. Sejatinya ia yakin bahwa sapaan itu bukan untuknya, melainkan untuk Sora semata. Akan tetapi ia berusaha tak acuh dengan sikap tak bersahabat yang Nara tunjukkan pada dirinya. Alih-alih tersinggung, kilat mata jahil kini justru terpancar dari netranya saat menatap gadis itu.
Setelah Nara datang, kemesraan Sehun dan Sora menjadi tak seintens sebelumnya. Mereka sarapan dengan lebih tenang, berusaha menghormati Nara yang kini sudah mulai menyantap roti berselai cokelat kesukaannya. Nara menyadari perubahan perilaku mereka dan ia hanya bisa menahan diri untuk tidak mendengus saat ini. Namun dalam hati Nara tak henti-hentinya mendumal. Kenapa berhenti? Bermesraanlah sesuka kalian di hadapanku!
“Kenapa kalian belum berangkat?” tanya Nara sambil berusaha menjaga intonasi suaranya agar tidak terdengar jika ia sedang kesal saat ini. Gadis itu sibuk mengunyah rotinya.
Sora terkesiap. “Kami mengambil penerbangan siang, Sayang.” Sora tersenyum lebar. Binar bahagia terpancar jelas dari wajah cantiknya, membuat Nara senang sekaligus sesak.
Nara menggumamkan ‘oh’ pelan kemudian kembali sibuk dengan rotinya. Tatapan gadis itu masih enggan terpaku lama-lama pada pasangan suami istri di seberang ia duduk walaupun ia baru saja bicara dengan salah satu dari mereka. Sungguh, ia merasa risih dan kesal jika melihat Sehun dan Sora bersama. Alasannya lagi-lagi karena ia masih merasa tak rela dengan status baru yang sekarang disandang oleh Sehun.
Padahal sudah seminggu berjalan, tapi Nara masih saja belum bisa menerima semua yang telah terjadi. Gadis itu masih belum rela sepenuhnya jika Sora dan Sehun bersama. Argh!
“Mingyu akan menjemputmu seperti biasa?” Gantian Sora bertanya pada buah hatinya. Wanita itu berusaha mencairkan suasana asing yang menyelimuti meja makan.
Kali ini Nara mengangguk dan tersenyum lebar. “Tentu saja.”
Sora mengangguk sebagai respon kemudian mulai meminum jusnya. Setelah itu, Sora tersenyum cukup lebar seraya berujar, “Mingyu benar-benar sosok kekasih yang perhatian, ya? Kau beruntung memiliki kekasih sepertinya, Nara.”
Nara mengulum senyumnya agak lama sambil menatap Sora. Beberapa detik kemudian, pandangannya kembali beralih ke piring di atas meja.
Suasana kembali hening. Tak ada yang ingin memulai obrolan hangat di meja makan. Sampai pada akhirnya ....
"Aah!"
Nara melotot terkejut mendengar suara aneh keluar dari mulut Sora. Mulutnya refleks berhenti mengunyah. Kepalanya mendongak dan mendapati Sora yang sedang menutup mulutnya dengan sebelah tangan sambil membelalakkan mata. Sementara itu, di samping ibunya Sehun sibuk menahan diri untuk tidak tertawa.
Ya Tuhan ... bolehkah Nara membunuh Sehun sekarang juga? Ya, Nara tahu pasti itu ulah jahil Sehun. Sehun sengaja melakukan sesuatu pada tubuh Sora sehingga membuat ibunya mengeluarkan suara yang mirip ... desahan? Oh Sehun benar-benar sialan! Untuk apa Sehun melakukan hal semacam itu pada saat Nara sedang berada di tengah-tengah ia dan ibunya? Gila!
Wajah Nara langsung memerah saat pikiran mengenai asal muasal suara aneh yang Sora keluarkan mulai merongrongrinya. Nara bersumpah kalau saat ini ia benar-benar ingin memukul kepala Sehun hingga pecah. Sepertinya gegar otak yang dialami Sehun beberapa minggu lalu membuat otaknya sudah tidak waras lagi.
Sora mencubit pinggang Sehun dan langsung menghadiahi suaminya itu pelototan sebal. "Sehun, kau ...?!" Sora mendesis lalu melirik pada Nara yang masih kebingungan. Senyum canggung ia berikan pada Nara sebelum berujar, "Eh, ma-maaf, Sayang. Itu tadi ... Ibu ... bersendawa. Jadi ...."
"Oh, tidak apa-apa. Ibu tidak perlu meminta maaf padaku. Ibu kan hanya sen-da-wa." Nara berpura-pura tersenyum saat menekankan kalimat terakhirnya, seolah menyindir. Diam-diam ia melirik pada Sehun dan menghadiahi pemuda itu tatapan sengit. Sehun membalasnya dengan senyum miring sedangkan Sora masih saja menatap Nara dengan tatapan meminta maaf.
Nara terkesiap saat deringan ponsel menyapa rungunya. Ia segera merogoh tas punggungnya yang tergeletak di kursi samping ia duduk guna menemukan benda persegi panjang yang masih sibuk berdering itu. Matanya berbinar senang kala membaca nama Mingyu tertera di layar ponsel. Sejenak gadis itu lupa akan kekesalannya pada Sehun.
"Ya, Mingyu? Kau sudah sampai?"
"Nara, maaf. Hari ini kita tidak bisa pergi ke sekolah bersama. Aku sedang sakit, jadi—"
"Kau sakit? Sakit apa?" Nara tampak begitu panik dan khawatir. Ia terkejut sebab kemarin terakhir mereka bertemu Mingyu masih baik-baik saja.
Mingyu terkekeh pelan di ujung sambungan. "Tenanglah, Nara. Sakitku tidak parah kok. Hanya demam biasa. Mungkin juga karena aku kelelahan. Kau tahu sendiri kalau akhir-akhir ini aku sibuk berlatih untuk pertandingan, bukan?"
Nara menghela napas prihatin kemudian mengangguk. "Ya sudah, tidak apa-apa. Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku bisa naik bus seperti biasanya nanti. Yang penting kau harus banyak-banyak istirahat agar cepat sembuh. Mengerti?"
"Iya, aku mengerti." Mingyu terkekeh di ujung kalimat.
"Bagus. Nanti sepulang sekolah aku akan menjengukmu."
"Baiklah."
"Istirahat dan makan dengan baik, ya. Semoga kau cepat sembuh."
"Terima kasih, ya. Kau memang yang terbaik."
Nara hanya tersenyum. Setelah Mingyu mengakhiri panggilan, barulah Nara menjauhkan ponselnya dari telinga. Gadis itu menghembuskan napas lesunya.
"Kenapa, Sayang? Mingyu tidak bisa menjemputmu?" Sora bertanya lembut.
Nara mengangguk lesu. "Dia demam dan hari ini dia tidak masuk sekolah. Jadi sepertinya aku naik bus saja hari ini—"
"Tidak perlu, biar aku yang mengantarmu ke sekolah." Sehun mulai bangkit dari duduknya. Ia mengangkat salah satu sudut bibirnya saat melanjutkan, "Kebetulan aku akan pergi ke suatu tempat yang searah dengan sekolahmu. Jadi lebih baik kita pergi bersama saja."
Nara terkejut mendengar perkataan Sehun. Ia menggeleng keras. "Tidak usah. Aku bisa pergi sendiri kok. Lagi pula aku sudah biasa pergi ke sekolah sendiri jadi—"
"Ibu rasa Sehun ada benarnya, Sayang. Lihat, sudah jam berapa ini? Kalau menunggu bus, kau nanti bisa terlambat ke sekolah. Sudah, lebih baik kau berangkat dengan Sehun saja, ya?"
"Tapi—"
"Sudah, tidak apa-apa. Berangkat denganku saja. Kau tidak mau terlambat, bukan?" Sehun bersikeras.
Nara hendak kembali melayangkan protes. Namun, seketika ia urungkan begitu melihat jam dinding sudah hampir menunjuk angka kritis di mana seharusnya ia tengah dalam perjalanan ke sekolah saat ini. Nara menghela napas pasrah lalu kembali menghunuskan tatapan jengkelnya pada Sehun yang sedang menatapnya penuh kemenangan.
Tersenyum saja sepuasmu, Oh Sehun! Tapi ingat, aku mengalah bukan berarti aku kalah!
Nara mengerang pelan lalu beranjak dari kursinya. "Kalau begitu aku berangkat," ujarnya pada Sora. Sora menganggukkan kepala cantiknya. "Ayo!" ujarnya pada Sehun seraya berbalik meninggalkan ruang makan.
Senyum puas tercetak di bibir Sehun. Sejenak ia menyamarkan senyumnya saat akan berpamitan dengan Sora.
"Aku pergi sebentar, ya." Sehun mengecup kening Sora lama. Sora lagi-lagi hanya mengangguk.
"Hati-hati!"
Sehun menggumam pelan sebagai respon kemudian beranjak pergi menyusul anak tirinya yang sudah lebih dulu pergi ke garasi.
*****
Wajah Nara masih saja tertekuk sempurna saat berada di dalam mobil sang ibu yang kini sedang dikemudikan oleh Sehun. Nara masih kesal karena harus berangkat sekolah diantar oleh suami ibunya itu. Namun sebisa mungkin ia tidak menganggap hal ini sebagai sebuah kesialan baginya. Tidak apa, toh setelah ini mereka tidak akan bertemu lagi untuk beberapa hari ke depan.
"Jangan cemberut terus! Kau tampak semakin jelek jika memasang wajah seperti itu," Sehun berujar. Sejak tadi pemuda itu memang tak sepenuhnya fokus menyetir. Sesekali melirik Nara yang terus diam sambil menatap keluar jendela.
Nara mendengus. "Terserah! Ini wajahku, jadi terserah padaku aku ingin memasang ekspresi seperti apa. Itu sama sekali bukan urusanmu." Nara menoleh pada Sehun dan menatap pemuda itu dingin. "Lebih baik kau fokus menyetir saja dan abaikan aku."
Sehun tertawa. Hal itu membuat Nara kembali mendengus keras lalu mengalihkan atensinya. Dasar gila! umpatnya.
Tawa Sehun mereda. Namun kini giliran raut penasaran yang ia tunjukkan. "Kenapa sih kau begitu membenciku?" tanya Sehun tak mengerti. "Sungguh, aku benar-benar tidak mengerti dengan dirimu. Kau membenciku seolah-olah aku pernah melakukan sebuah dosa besar padamu. Padahal seingatku kita tidak pernah bertemu lagi sejak insiden kecelakaan yang hampir merenggut nyawamu lima tahun yang lalu, bukan? Coba sekarang kau jelaskan padaku, apa salahku padamu?"
Nara hanya diam, enggan menjawab rentetan pertanyaan yang Sehun lemparkan padanya. Gadis itu sibuk memutar otak, mencari alasan yang tepat untuk disampaikan pada lelaki yang duduk di sampingnya. Selama ini yang Nara tahu hanyalah ia membenci Sehun karena pemuda itu b******k. Perkosaan yang Sehun lakukan pada teman satu sekolahnya dulu membuat Nara berantipati padanya. Kebencian Nara semakin besar ketika pemuda itu menjalin hubungan dengan Sora dan menikah. That's all. Namun entah kenapa Nara sulit sekali mengatakannya pada Sehun secara gamblang.
"Kalau orang itu bukan aku—maksudku yang menjadi ayah tirimu— apa kau juga akan membencinya hingga sedalam ini?" bariton Sehun mulai terdengar lagi. Sepertinya pemuda itu tahu kalau Nara tidak akan mau menjawab pertanyaannya. Maka dari itu ia melancarkan pertanyaan lain.
Nara kembali mendengus. Kali ini gadis itu mau menatap si Pria Oh yang masih sibuk membagi atensi pada dirinya dan juga jalanan di depan. "Masalahnya aku membencimu bukan hanya karena kau menjalin hubungan dengan ibuku. Aku sudah membencimu jauh sebelum itu."
"Kenapa? Apa alasannya?"
"Aku sudah pernah bilang kalau aku tidak punya alasan khusus, bukan? Kebencianku padamu terjadi begitu saja—"
"Tidak mungkin, Kim Nara. Pasti ada suatu hal yang membuatmu membenciku."
"Aku membencimu karena kau b******k! Apa itu kurang jelas bagimu?"
"Ya, itu kurang jelas bagiku. Apa indikasinya?" Tiba-tiba Sehun teringat sesuatu. "Ah, di lapangan basket waktu itu kau pernah berkata soal 'kebusukanku'. Apa itu maksudnya?"
Nara menggertakan giginya. Oh, ia sangat geram pada Sehun sekarang. Ia tidak mungkin bilang pada Sehun soal perkosaan itu. Nara geli sendiri jika mengingatnya.
"Apa itu begitu penting bagimu? Kenapa kau bersikeras ingin tahu?" Nara mendesis sengit. Fokusnya bergulir pada pemuda di sampingnya.
Sehun menghentikan laju mobilnya karena mereka sedang dihadang oleh lampu merah. Perlahan, fokus pemuda itu bergulir dan terpaku sepenuhnya pada Nara. Tatapannya terlihat sangat serius saat berujar, "Karena tidak pernah ada seseorang yang mampu membenci diriku. Baru kau yang melakukannya dan itu sangat menggangguku. Apakah pertolonganku waktu itu masih belum bisa membalikkan opinimu tentang diriku?"
Nara tergelak sebentar sambil memalingkan muka dari Sehun. Sedetik kemudian netranya kembali tertuju pada Sehun yang masih setia menatapnya. Rautnya kembali dingin. "Ternyata benar, ya kau itu hobi sekali mengingat-ingat kebaikan dirimu sendiri." Nara mendecih. "Maafkan aku, Sehun. Tapi aku sudah terlanjur membencimu terlalu dalam. Jadi apa pun yang kau lakukan sepertinya akan tetap sulit untuk mengubah pandanganku terhadap dirimu."
Sehun menatap Nara dalam diam selama gadis itu bicara. Namun pada detik kelima, pemuda itu mengerjap sambil tergelak pelan. "Kau memang gadis keras kepala," desahnya penuh sesal. Sehun menggeleng tak percaya lalu menghembuskan napas panjangnya. Well, sepertinya Nara memang senang sekali menguji kesabarannya. Namun entah kenapa Sehun justru semakin ingin mengorek lebih dalam soal kebencian yang gadis itu tanamkan padanya. Sungguh, Sehun penasaran dengan 'kebusukan' yang dimaksud Nara waktu itu. Ia juga ingin tahu dari mana Gadis Kim itu bisa mengetahuinya.
Selama ini Sehun suka sekali menjahili Nara bukan tanpa alasan. Sehun sudah pernah berkata bahwa dia senang sekali menganggu gadis itu dan akan menjadikannya sebagai hobi barunya, bukan? Sehun benar-benar melakukannya sekarang setelah ia resmi menjadi ayah tiri Nara. Dan ia menyukai hobi barunya yang terasa menyenangkan itu.
Akan tetapi, sebenarnya ada alasan lain di balik kejahilannya itu. Ia ingin membuat Nara tidak lagi membencinya. Entah kenapa ia tidak nyaman dengan kebencian Nara. Padahal sebelumnya ia tidak masalah dengan itu. Siapa tahu dengan begitu ia bisa mengetahui alasan dibalik kebencian Nara padanya.
Nyatanya, tidak sama sekali. Sampai sekarang ia belum juga mengetahui kejadian apa yang sampai membuat Nara sebegitu benci padanya. Pasti kejadian itu sangat fatal hingga membuat Nara bersikap begitu dingin padanya.
Lampu merah sekarang telah berganti menjadi hijau. Sehun mengembalikkan fokusnya ke jalanan di depannya dan mulai melajukan kembali kuda besinya.
Tak sampai lima menit, kuda besi yang Sehun dan Nara tumpangi berhenti di depan pintu gerbang SMA Hannam. Nara buru-buru melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil. "Terima kasih atas tumpangannya," katanya sebelum berlalu.
Sehun menggumam pelan sebagai respon. Netranya enggan lepas dari punggung Nara yang kian menjauh dan ....
Tiba-tiba Nara menggulung seluruh rambutnya yang tadi dikuncir ala ponytail menjadi model cepol. Membuat leher—khususnya tengkuk— nmenjadi terekspos sepenuhnya. Tanpa sadar Sehun meneguk salivanya dengan kepayahan. Entah kenapa sesuatu dalam dirinya berdesir saat melihat tengkuk Nara. Ia merasa ....
"Sial!" Buru-buru Sehun keluar dari mobil dan berjalan cepat menghampiri Nara yang saat ini sedang berhenti dan mencari sesuatu di tasnya. Secepat kilat Sehun mengulurkan tangannya ke cepolan rambut Nara dan menarik lepas ikat rambutnya. Membuat rambut Nara terurai indah di punggungnya.
Nara terkejut. Ia menatap Sehun kaget sambil berseru, "Hei! Apa-apaan kau ini, hah?!"
Sehun menggeram tak suka. Pemuda itu menggenggam erat ikat rambut Nara, menahan sesuatu yang bergejolak dalam dirinya. "Jangan pernah mencepol rambutmu lagi di hadapanku!" Lelaki itu berujar dengan penuh penekanan. Dahi Nara berkerut tajam. Gadis itu melongo tak percaya kemudian mendengus kemudian.
"Memangnya kenapa kalau aku mencepol rambutku? Apa masalahnya bagimu? Dasar aneh!"
"Aku tidak suka saja kalau kau mencepol rambutmu, Kim Nara! Pokoknya jangan pernah mencepolnya!"
Nara semakin menatap Sehun tak mengerti. Lelah dengan rasa penasarannya, Nara pun akhirnya berusaha mengambil kembali ikat rambutnya. Namun seperti biasa, Sehun berhasil mengelak dan segera memasukkan ikat rambut Nara ke dalam saku celana jeans nya. Mengundang pelototan tak terima dari sang empunya.
"Oh Sehun, sebenarnya ada apa denganmu?!"
"Nara!"
Seseorang memanggil saat Nara masih sibuk dengan rasa kesalnya terhadap Sehun. Nara dan Sehun menoleh pada asal suara nyaring yang menginterupsi pertengkaran tak penting mereka.
Yeri sedang berlari kecil ke arah mereka dengan senyum mengembang di wajahnya.
"Nara, kenapa kau masih di sini? Bel masuk akan berbunyi lima menit lagi dan—eh?" Tiba-tiba Yeri menghentikan rentetan kalimat yang hendak ia muntahkan saat fokusnya tertuju pada Sehun yang rautnya masih keras akibat kejadian beberapa saat yang lalu. Tatapan Yeri terpaku lama pada wajah rupawan Sehun dan itu menegaskan kalau sebenarnya gadis itu sedang terpesona pada objek tinggi di hadapannya.
Mau tak mau Nara mendengus sambil menyikut lengan Yeri cukup keras. Membuat sang empunya memekik kesakitan dan melayangkan tatapan protes pada sang terdakwa yang rautnya tampak memperingatkan.
"Ayo ke kelas!" Nara menarik lengan Yeri paksa. Membuat Yeri melayangkan protesnya secara verbal sambil mengikuti langkah lebar sahabatnya dengan sedikit kepayahan. Tak lupa Nara memberikan tatapan penuh permusuhan pada Sehun yang masih diam tak ubahnya patung sebelum benar-benar enyah dari sana menuju kelasnya.
Sepeninggal Nara, Sehun masih saja diam membisu di tempatnya berdiri sambil memperhatikan punggung mungil itu lekat. Tak lama setelah punggung Nara kian menjauh, barulah Sehun melepas netranya dari sosok itu kemudian mengacak rambutnya frustrasi.
“Kenapa aku ini?” erangnya tak mengerti pada diri sendiri. Sehun kembali memusatkan atensi pada arah perginya sang anak tiri kemudian berdecak kesal.
Sepertinya rasa penasarannya terhadap Nara juga menumbuhkan rasa baru dalam dirinya yang tidak ia ketahui apa. Tapi yang pasti, melihat tengkuk gadis itu bukanlah sesuatu yang baik untuk hasratnya.