"Hanya berikan obat penenang!"
Suaminya agak berteriak ketika mengatakan itu. Istrinya mengusap wajahnya. Tampak frustasi dan ia begitu lelah dengan segala hal yang terjadi. Bagaimana mungkin hanya seperti ini? Bukan kah suaminya dokter? Ya setidaknya pernah mempelajari kedokteran sampai akhirnya malah berbelok seperti ini. Ya oke, Menteri Kesehatan yang bahkan tidak bisa menyehatkan anaknya sendiri.
Awalnya ia masih mengikuti. Tapi lama-lama, hal ini hanya akan membuatnya marah. Ia menarik nafas dalam. Kemudian mencoba berjalan ke kamar anaknya. Lalu mengetuk pintunya tapi apa yang ia dapatkan? Hanya suara teriakan. Hal yang membuatnya setiap hari hanya bisa terduduk di depan pintu sambil menangis. Menangisi penyesalan. Ia yang salah membesarkan kah? Ia tak paham. Tapi anaknya tak pernah begini sebelumnya.
Ia mencoba mencari bantuan. Tapi tak satu pun dokter yang bersedia mengangkat teleponnya. Ia dan suaminya bukan sekali atau dua kali mengganti dokter. Pertama, karena tak sesuai dengan keinginan suaminya. Kedua, sama seperti dokter yang kemarin. Mereka mungkin lelah karena apa? Saran mereka tak pernah didengar. Iya kan?
Lalu ia tiba-tiba terpikir akan hal itu. Kalau ia bawa anaknya keluar dari sini, tak apa kan? Ia akan mengobatinya dengan berbagai cara tanpa harus bergantung lagi pada suaminya. Bukan kah ia lelah dengan mengikuti cara hidupnya hingga ia bahkan tak punya cara untuk memilih sendiri bagaimana ia ingin hidup?
Ia menarik nafas dalam. Kemudian memberanikan diri untuk menerobos masuk ke dalam ruang kerja suaminya. Ia tak pernah bekerja semenjak menikah. Suaminya melarang. Apa alasannya?
Entah lah. Ia hanya berpikir positif barangkali ingin ia fokus mengurus anak dan rumah. Tapi lihat lah anaknya sekarang? Apakah bisa dikatakan berhasil untuk mengurusnya?
Ia mengambil apa saja yang disimpan. Semua surat penting hingga uang. Kemudian berlari menuju kamarnya. Ia menyimpan semua barang berharga. Dari semalam, ia mencoba membicarakan ini pada suaminya. Agar lebih terbuka dengan berbagai pilihan untuk menyembuhkan anak mereka tapi apa katanya?
"Nisa hanya berulah. Kamu tahu sendiri bagaimana anakmu selalu berulah sejak dulu kalau keinginannya tidak kita turuti bukan?"
Ya. Ia tahu karakter anaknya. Tapi menjadi gila seperti ini bukan lah hal yang ia inginkan. Dan ia tahu kenapa suaminya enggan membawa keluar Nisa dari sini. Terus menyembunyikannya dan hanya mengatakan kepada orang-orang kalau Nisa berada di Singapura. Tahu kenapa?
Suaminya malu. Malu mempunyai anak seperti Nisa hanya karena tidak bisa sempurna sepertinya. Ya, ia tahu kalau suaminya terlalu obsesif. Pernah miskin dan ia diinjak-injak. Kemudian menjadi kaya dengan kerja kerasnya sendiri. Ya ia akui itu. Tapi tidak mengakui kemiskinan dan mendurhakai orangtua bukan lah jalan. Ia tahu persis bagaimana latar belakang suaminya dan suaminya tak pernah mau menunjukkannya. Semuanya ditutupi karena sangat malu kalau sampai ia dan keluarganya tahu.
Ya, ia tahu mungkin karenanya dan keluarganya suaminya menjadi seperti ini. Pasti ada andil mereka juga. Tapi ia merasa kalau suaminya semakin tidak ia kenali. Semakin tinggi jabatan yang diraih, semakin lupa kalau di atas langit itu masih ada langit.
"Bi! Biii! Jovaaan! Bawa Nisa!"
Ia berteriak. Ia sudah mengemasi barang-barangnya dan juga Nisa. Jika satu-satunya jalan adalah mengobati gadis ini, maka apapun akan ia lakukan. Ia tak mau anaknya terus seperti ini dan lama-lama malah menjadi gila.
"Ibuu, mau ke mana, buu?"
Pembantunya jelas panik. Koper-koper dan juga Nisa telah dibawa.
"Jangan bilang pada siapapun," tukasnya. Ia lelah menangis selama berminggu-minggu untuk hal ini. Ia hanya ingin menyelamatkan anaknya meskipun tak tahu caranya dan ia tak bisa lagi percaya pada suaminya. Suaminya terlalu berego tinggi. Bagaimana ia bisa bergantung pada lelaki seperti itu?
Dengan gemetar ia mengendarai mobilnya. Ia sudah sangat lama tak menyetir mobil tapi ia gunakan keahlian yang terkubur ini untuk melarikan diri. Meski hingga saat ini perjalanan masih lancar. Sesekali ia melirik Nisa yang sudah pulas. Ya tadi dipaksa untuk menelan obat penenang. Ia sudah tak kuat melihat anaknya terus diberi obat begini. Yang ada bukannya sembuh malah mati. Ya kan?
Ia berpikir dalam kekalutan. Sungguh ia tak tahu harus ke mana. Tapi satu-satunya jalan adalah menjauh dari tempat ini. Entah ke mana alam membawa pikirannya. Ia juga tak tahu. Jika ini menjadi satu-satunya cara untuk menyelamatkan anaknya, ia rela melakukan apapun.
@@@
"Wow. Shabrina is here, guuuyys!"
Ia terkaget. Ia bahkan baru saja tiba di apartemennya tapi tahu-tahu apartemennya sudah ramai. Kini bahkan Yessi yang menyapanya seolah-olah ia lah pemilik apartemen ini. Padahal jelas, ini adalah miliknya. Bagaimana mereka bisa masuk begitu saja? Lalu apa?
Beberapa teman lama bermunculan. Ia jelas kebingungan.
"Kalian ngapain di apartemen gue?"
Kepalanya langsung berasap karena kehadiran mereka di sini. Jelas membuatnya marah. Bagaimana ia tidak marah?
"Woooow! Lo marah? Bisa marah juga?" sahut Bella.
Ia mengerjab-erjab. Jelas bingung. Bukan kah tadi ia diberitahu kalau Bella tak ada di sini? Entah pergi ke mana, tak ada yang tahu. Lalu oh waw?
"Farrel mana, Bri?"
Ia jelas kebingungan dengan pertanyannya Deva. Bahkan lelaki itu tampak merangkul perempuan yang ia sungguh kenali. Oh siapa?
Faradina.
Ini aneh. Baginya ini aneh. Lalu tiba-tiba perempuan itu malah menghampirinya dan melemparinya dengan minuman yang sedari tadi ia pegang. Ia ditertawakan oleh teman-temannya. Namun ia masih tak mengerti. Apa yang terjadi sebetulnya?
Dan kini ia terbangun dengan kaget. Lalu refleks menoleh ke arah samping. Ada laki-laki di sebelahnya dan ini membuatnya trauma. Apa yang terjadi? Itu Farrel?
Ia sampai menarik kepala itu agar menatap ke arahnya tapi ia bahkan tak ingat apapun. Lalu tiba-tiba ia merasa seperti sesuatu baru saja menghantamnya. Kepalanya sakit dan sedikit ingatan tentang apa yang terjadi semalam terlintas begitu saja. Ada seorang lelaki yang tiba-tiba duduk di sebelahnya lalu mereka berbicara banyak hal dan ia tak tahu kenapa bisa ada di sini. Kenapa uh-ah astagaaa!
Ia terburu-buru beranjak dengan menarik selimut itu lalu mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai. Ia mengenakan itu dengan cepat lalu keluar sesegera mungkin sebelum lelaki itu sadar. Ia bahkan tak ingat namanya dan ia tak tahu kenapa bisa menjadi seperti ini.
Ia jelas ketakutan. Trauma masa silam gara-gara ulah Rano belum bisa ia lupakan. Ia mampor ke apotik untuk mmebeli obat tertentu sebelum akhirnya kembali ke apartemen dan segera meneguk obat itu. Ia tak mau mengulangi kesalahan lalu. Saking takutnya ia akan hari itu, ia bahkan tak bisa berpikir hal lain. Apakah ia takut hari-hari itu? Ya. Tapi jujur saja, bukan kah dihari itu ia bisa saja melakukan hal ini? Membeli obat dan meneguknya? Tapi tak ia lakukan bukan?
Iya. Tentu saja tak ingin ia lakukan. Karena kala itu, ia tak bisa menampik jika hati kecilnya masih sangat menginginkan Farrel. Bahkan sekarang?
Matanya teralihkan. Ia menatap bangunan yang begitu dikenalnya dari kejauhan. Ia tak tahu apakah apartemen Farrel masih di sana atau tidak. Ia tak tahu. Yang jelas, apartemen itu menjadi sejarah bagi mereka. Ya kalau Farrel masih menganggap hal itu. Iya kan?
Ia masuk ke dalam kamar mandi lalu membasahi diri dalam tangis tapi anehnya air matanya sudah tak bisa keluar. Ada banyak dosa yang ia sembunyikan. Tak mau disalahkan tapi inginnya menyalahkan segala hal yang terjadi padanya dikarenakan orang lain. Apakah itu adil?
Tentu saja tidak.
Keluar dari kamar mandi, kemarahannya semakin meninggi. Ia tak tahu kenapa. Entah apakah karena kejadian tadi yang membuatnya hampir gila? Atau kenangan itu hanya akan membangkitkan harapan yang berusaha ia kubur dalam-dalam tentang Farrel?
Ia menarik nafas dalam kemudian berhenti di depan cermin. Menatap seluruh tubuhnya yang hanya ditutupi handuk. Bukan kah ia pernah melakukan ini? Di hadapan Farrel? Bahkan menunjukkan semuanya? Lalu apa respon lelaki itu?
Rahasia.
Kini ia bergegas menggunakan sesuatu untuk kemudian pergi. Bukan kah ia sudah bersumpah ketika berada di dalam penerbangan kemarin?
Jika mereka bahagia, maka ia seharusnya juga bahagia.
Dan rasanya tak adil jika kini malah hanya ia yang menderita bukan?
Ia menarik nafas dalam. Bukan kah menjadi tidak tahu malu adalah dirinya? Jika memutar waktu sudah tak bisa. Maka ia bisa gunakan cara lain bukan?
"Revano, ini gue Shabrina."
"Woow!"
Seseorang di seberang sana jelas begitu kaget. Setelah sekian bulan, ia diabaikan lalu kini malah Shabrina yang meneleponnya sendiri. Berubah pikiran kah?
"Berubah pikiran?"
"Punya mobil yang kosong? Gue mau pinjam."
"Wohoo. Gue bukan rental mobil, Brina. Kalo lo mau--"
"Ya gue mau. Tapi gue akan pakai cara gue."
Revano mengangguk-angguk. "Oke. Gak masalah selama tujuan kita sama," ia tersenyum kecil. "Jadi bener soal keberadaan lo di Jakarta?"
"Itu gak penting. Cepet kirim mobil lo ke sini. Gue akan kirim lokasinya."
Ia terkekeh-lekeh. Tampak terburu-buru sekali ya? Tapi ia hanya tak mau membuang waktu.
"Weiits. Buru-buru amat, non. Kita kan bisa ngobrol--"
"Kirim sekarang. Gue tunggu. Atau kesepakatan kita batal."
Revano hanya bisa terkekeh. Lalu telepon itu dimatikan oleh Shabrina dan ia hanya bisa memaki.
"Yeah, cewek sialan itu bener-bener gak bisa dipaksa," ucapnya. Lalu ia menelepon asistennya. "Kirim si Kyoshi ke alamat yang baru gue kirim."
Asistennya mengiyakan. Sementara ia tampak berpikir. Penasaran dengan cara apa Shabrina akan menghancurkan Farrel kali ini? Ia perlu tahu. Tapi mungkin ia bisa mengetahuinya bukan? Ia buru-buru beranjak dan berlari menuju mobilnya.
Sementaranitu, mobil yang disepakati okeh Revano baru saja tiba. Seseorang menelepon Shabrina dan ia segera turun. Begitu keluar dari lift, ia berpapasan tidak hanya dengan Yessi. Tapi juga Rachel dan Iona. Ia sungguh mengenal mereka dulu. Namun sekarang seperti tak saling mengenal. Mereka bahkan tak menoleh sedikit pun. Hanya masuk ke dalam lift lalu memainkan mata. Tentu saja membicarakan kehadiran Shabrina di sini.
"Masih berani juga tuh orang datang ke sini."
"Iya lah. Seorang Shabrina bukan cewek penakut yang hanya akan berhenti begitu hancur. Tahu kan gimana perjuangan dia jadi--"
"Sssstt!"
Yessi menahan mulut Iona. Terlalu berbahaya karena banyak orang.
"Okey," sahutnya. Mereka melanjutkan percakapan itu begitu masuk ke dalam apartemen Yessi. "But she's a b***h!"
Yessi dan Rachel kompak terbahak. Iona benar-benar tak bisa menahan mulutnya.
"Dan gue gak nyangka banget."
Yessi terkekeh. Ia juga belum lama tahu dari salah satu orang penting di dalam acara itu.
"Lo tahu Raline gimana. She has everything. Dia jauh lebih pantas untuk mendapatkan gelar itu dibandingkan Shabrina. Ya gue tahu, Shabrina juga unggul. Tapi dari Raline lebih layak. Gak fake. Benar-benar berkontribusi nyata. Kita tahu gimana dia bahkan masih sibuk dengan NGO-nya dibandingkan kumpul dengan kita-kita."
Yessi menggebu-gebu.
"Dan sampai sekarang apakah masih?"
"Raline or Shabrina?"
"Brina lah. Raline terlalu baik untuk digunjing."
Teman-temannya tertawa.
"Gue gak tahu. Yang jelas, skandal itu bener-bener ditutup. Dan gue bener-bener bersyukur Farrel cerain dia."
"Dan lo tahu siapa cowok itu?"
Yessi dan Iona sama-sama menoleh.
"Dia bokapnya Yuki tauuuuk!"
"SUMPAAAAAH?"
Ia mengangguk. Kedua temannya langsung merapatkan barisan. "Gue kemarin gak sengaja ketemu dan Yuki jalan sama bokapnya. Gue gak tahu kalau itu bokap kandungnya. Gilaaak!"
Mereka ternganga. Sementara itu, Shabrina baru saja tiba di sebuah rumah. Pintu pagarnya terbuka. Ia masuk begitu saja dan memarkirkan mobil. Lalu begitu keluar dari sana, Fara justru baru menyebrangi jalan di depan rumahnya. Perempuan itu memborong beberapa sapu yang dibawa kakek tua tadi. Ia hanya keluar sebentar dan ia mengira kalau itu adalah mobil Ferril. Tapi ternyata.....
Langkahnya terhenti begitu saja melihat Shabrina benar-benar muncul di depan matanya. Bukan sekedar muncul dari pemberitaan. Setelah satu tahun berlalu, kenapa perempuan ini datang lagi?
"Mantan suamiku sudah pulang?"
Ia bertanya dengan senyuman dan tampak girang melihat perempuan di hadapannya ini bahkan kehilangan senyumannya. Lihat lah. Ini bahkan baru awal. Ia akan memulai nanti dengan caranya. Anggap saja ini peringatan. Dan tak perlu tanya alasannya. Karena kebencian telah menjadi alasan itu sendiri. Bukan kah begitu?
@@@
Masih perempuan yang sama yang ia lihat bertahun-tahun silam. Bahkan tampaknya benar-benar tak ada yang berubah. Masih hanya berdua di dalam rumah baru. Ya ia menyebutnya rumah baru karena sebelumnya yang ia tahu jika kedua orang itu masih tinggal di rumah mertua.
Ia menatap rumah itu dari seberang jalan. Ya hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Tak akan berani mendekat. Lalu berjalan menyusuri trotoar. Pisau tajam di dalam tasnya masih tampak licin karena belum ia gunakan. Apakah ia sudah gila?
Mungkin. Tapi kenyataannya ia tak berani. Ia kembali mengurungkan niatnya setelah berhari-hari bolak-balik ke sini. Wajah mamanya terlintas begitu saja. Sama halnya dengan wajah papanya. Ternyata ia lemah ya? Tidak sejahat yang orang pikir.
Ia menghembuskan nafas. Akhirnya malah kembali keluar dari gerbang komplek. Lalu mendadak berlari ke arah kanan karena dari sebelah kirinya, muncul tiga orang yang tak terduga. Ada Ardan, Adel, dan Adeeva yang masing-masing memegang es krim. Ia hanya menatap dari jauh. Menatap dengan sendu lalu menarik nafas dalam. Tiba-tiba ingin menangis. Tapi ia tahan mati-matian. Lalu terburu-buru menghentikan taksi dan ia masuk ke dalamnya.
Ia merasa kalau hidupnya sudah hancur karena orang ia cintai justru menikahi perempuan lain. Dan perempuan itu harusnya tahu kalau ia sudah lama menaruh hati pada lelaki itu. Bagaimana bisa orang yang ia anggap sebagai kakak sekaligus saudara itu malah mengambil segalanya darinya?
Ya, ia marah. Ia merasa dikhianati. Ia benci sekali tiap melihat perempuan itu. Ia sungguh membencinya sampai berharap kalau perempuan itu mati.
Ia menyandarkan tubuhnya. Ia hampir gila karena terus seperti ini. Ia bahkan tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Setiap hari hanya berpikir bagaimana caranya untuk mengakhiri semua ini.
Cara tercepat dengan bunuh diri? Sudah pernah ia lakukan. Bukan sekali atau dua kali. Sudah sering. Segala hak sudah pernah ia coba. Tapi selalu berakhir dengan selamat. Dan itu benar-benar membuatnya marah pada-Nya. Kenapa harus diselamatkan? Jika ia malah hidup di sini sendirian dan kedua orang itu malah masih bersama serta terus bahagia?
"Sudah sampai, mbak."
Ia segera turun dan membayarnya. Ini masih cukup jauh dari rumahnya. Tapi ia sengaja meminta untuk diturunkan di sini. Lalu masuk ke dalam minimarket untuk membeli mie dan menyeduhnya dengan air hangat. Ia duduk di atas kursi panjang menghadap ke arah jalan raya. Makan sendirian dengan hati yang menderita. Bagaimana ia bisa menjalani hidup seperti ini dengan tidak menjadi gila?
Selesai makan, ia segera beranjak. Kemudian berjalan kaki menuju rumah. Papanya belum akan pulang dijam-jam seperti ini. Ia hanya perlu masuk lalu membersihkan diri. Begitu berbaring di atas tempat tidur, pintu kamarnya diketuk. Itu artinya papanya sudah pulang. Ia melihat jam dinding. Aah bahkan sudah jam tujuh malam. Ia benar-benar tak sadar.
"Sudah makan, Keera?"
"Sudah."
Ia malas keluar dari kamar saat ini. Lalu terdengar helaan nafas milik papanya. Ada apakah? Aaah sepertinya ia tahu.
"Kalau begitu, bisa kita bicara? Bicara dengan papa?"
Ia tak menjawab dan malah menyalakan televisi dengan begitu kencang. Tio menahan emosinya. Ia dongkol sekali tapi kalau ia membludak dan istrinya tak ada di sini, Keera akan kabur dari rumah ini. Jadi akhirnya, ia menahan diri dan memilih untuk pergi ke kamar. Ia lelah karena mengurus banyak hal di kantor lalu ditambah lagi dengan urusan anaknya yang sudah beberapa hari ini tidak masuk koas. Ia jadi tak enak hati pada Aisha, Fadlan, dan Fahri. Ia berusaha melobi agar anaknya bisa koas di sana. Ia juga sudah meminta agar anaknya bisa diawasi. Walau itu mungkin akan menganggu pekerjaan mereka. Tapi anaknya?
Malah tak muncul. Hanya muncul dihari pertama ketika ia mengantarnya. Ia memijit kepalanya saking pusingnya. Kemudian memilih untuk menelepon istrinya. Tak ada pilihan lain bukan?
"Arga bisa dititip dulu?"
Istrinya jelas langsung terkejut. Tio menarik nafas dalam. Ia ternyata tak cukup sabar menghadapi Shakeera kalau hanya sendirian di sini.
"Aku butuh kamu di sini."
Ia hanya mengatakan itu dan istrinya langsung tahu.
"Aku akan ke sana."
"Aku akan kirim tiket segera."
"Ya."
@@@
"Kalau abang gak tahu nanti gimana kalau--"
"Gimana apa, Ras?"
Keduanya sama-sama menoleh dan sama-sama terkaget. Tahu-tahu Farrel sudah berdiri di pintu dan keduanya benar-benar tak tahu. Bahkan mendengar suara mobil masuk saja tidak.
"Ada apa?"
Ia jelas kaget karena istrinya tampak berbaring di atas sofa lalu menarik selimut. Sementara Farras membalik badan ke arah abangnya yang baru saja datang.
"Tadi--"
"Ras!"
Fara berusaha menahannya.
"Tadi ada Shabrina," ia mengucapkan itu tapi matanya meminta maaf pada Fara. Untung tadi ia datang kalau tidak? Kalau terjadi sesuatu yang lebih buruk bagaimana?
"Kapan?"
Farrel jelas kaget. Farras berdiri. Perempuan itu menarik nafas dalam. Ia memejamkan matanya sesaat lantas matanya berkaca-kaca.
"Dia nyekik kak Fara. Untung Ras tadi dateng!"
Kali ini suaranya meninggi. Fara menarik nafas dalam. Ia tak mau membuat hal ini memjadi rumit dan kini suaminya telah panik. Ia tak mau membuat hal-hal kecil menjadi besar. Tadi Shabrina memamg mencoba untuk menyekik tapi benar-benar belum tercekik. Farras melihat dari sudut pandang yang berbeda. Ia mencoba menjelaskan itu tapi kedua orang di depannya ini tak percaya. Bahkan suaminya sudah menggendongnya menuju ke dalam mobil. Ia hanya bisa pasrah.
"Mau abang anter, Ras?"
"Gak usah. Ras mau pulang kok."
Farrel mengangguk. Ia biarkan abangnya mengendarai mobil, terburu-buru ke rumah sakit untuk mengecek keadaan istrinya.
"Aku gak apa-apa, ayang."
"Tapi aku khawatir, love."
Ia bersikeras. Fara menyandarkan tubuhnya ke sandaran mobil. Ia sudah lama berdamai dengan hal-hal ini dan tak mau memikirkannya lagi. Apalagi sekarang sedang hamil. Tapi suaminya tentu saja tak bisa membiarkan ini begitu saja kan?
"Kamu harusnya telepon aku kalau ada sesuatu. Bahaya, love."
Dan lelaki yang biasanya diam ini tak berhenti bicara di sepanjang jalan. Setengah berisi omelan dan setengah berisi kekhawatiran. Ya Fara tahu itu berbahaya. Tapi ia tak apa. Benar-benar tak apa-apa. Kejadian yang menegangkan tadi sudah lewat. Ia juga tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Shabrina datang lalu marah-marah padanya karena merebut segalanya darinya. Lalu apa yang ia katakan hingga perempuan itu ingin sekali membunuhnya?
"Aku bahkan tak melakukan apapun yang kamu sebut sebagai merebut. Dan perlu kamu ingat kalau aku lah yang dipilih abang untuk dinikahi bukan kamu!"
Ia juga terbawa emosi. Jujur saja, ia memang teramat sensitif akhir-akhir ini. Jadi kehadiran perempuan itu jelas menambah beban emosionalnya.
"Ayang gak ada urusan lagi kan sama dia?"
Ia tiba-tiba bertanya seperti itu ketika hampir sampai. Ia hanya ingin memastikan. Karena rasanya terlalu aneh karena kedatangan perempuan itu yang tiba-tiba. Setelah satu tahun berlalu. Bahkan masa iddah yang telah lewat cukup lama. Ada apa sebenarnya?
"Gak ada, love."
Farrel menjawabnya sembari menyentuh tangannya. Ia baru saja menghentikan mobilnya di parkiran.
"Lalu kenapa dia datang lagi?"
Itu pertanyaan yang Farrel juga tak bisa jawab.
"Nanti kita cari tahu."
"Gak. Aku gak mau cari tahu," lugasnya. Nada itu terdengar agak marah. "Aku gak mau ada urusan lagi sama dia."
Farrel mengiyakan. Ia mencium punggung tangan istrinya. "Oke, sekarang kita periksa dulu. Aku gak mau terjadi apa-apa sama kamu dan anak-anak."
@@@