Episode pertamanya sukses besar tapi ia hanya bisa merayakannya sendirian. Bukan kah menyedihkan?
Teman?
Tidak ada. Mereka semua hanya lah bagian dari kepalsuan. Tidak ada yang benar-benar menjadi teman baginya. Kenyataannya ketika ia terpuruk, mereka semua menghilang. Deva?
Mantan staf khusus itu sudah berada jauh dari Indonesia. Yeah seperti rumor yang beredar. Tampaknya ia menghindari kejaran wartawan karena pernikahan singkat dan perceraian. Waktu pacaran terasa begitu manis. Setelah menikah begitu membosankan. Lalu mantan istrinya? Bella? Sekaligus sahabat?
Aah maksudnya mantan sahabat. Sama. Ia lebih tak tahu ke mana menghilangnya perempuan itu. Yang jelas, ia di sini sekarang sendirian. Ia mencoba untuk berbahagia demi menikmati kesuksesan. Lantas apa ia benar-benar mendapatkannya?
Tidak. Meski hatinya berkata kalau ini adalah permulaan. Apakah ia memperingati Farrel?
Tidak juga. Tidak penting. Tidak ingin melakukannya. Walau hatinya berkata lain. Namun ia tetap tak bergerak. Ia memamg sedang bermain-main dengan sesuatu. Niatnya memang untuk membalas dendam apapun yang terjadi. Lalu kalau ia membalas dendam maka apa tujuan yang ingin ia capai? Mereka berpisah?
Terakhir ia sudah melakukannya dan berhasil? Ya. Tapi akhirnya ia yang malah diceraikan. Maka tujuannya kali ini apakah mencoba memisahkan? Tidak. Ia hanya ingin agar imej perempuan itu hancur. Sama sepertinya. Hanya itu sudah cukup menjadi tujuannya kali ini. Lalu apakah Farrel akan membiarkannya?
"Aku tahu apa yang kamu pikirkan, love."
Ya Farrel tentu mengamati apa yang cukup menganggu pikiran istrinya. Hanya satu, pasti menyangkut mantan istrinya bukan? Tak ada hal lain yang menganggu istrinya kecuali yang satu itu.
Lalu kini Fara menghela nafas panjang. Memikirkan apa yang telah mereka lewati bersama. Berbagai kesalahpahaman yang pernah terjadi. Ia yang tak mengenal Farrel karena lelaki itu begitu asing. Berbagai penolakan yang pernah terjadi sebagai akibat dari semua hal itu.
"Masih sulit percaya padaku?"
"Aku percaya padamu."
Ia menyangkalnya. Farrel mendekatinya. Berbaring di sebelahnya tanpa jarak. Kemudian mengelus kepalanya.
"Aku tahu kalau aku membuat kesalahan besar saat itu."
Ya ia menjadi egois karena memaksa pernikahan. Saat menjelang pernikahan, ia justru ingin berpisah tapi memikirkan Fara akan dimiliki lelaki lain membuatnya gila. Ia merasa tak sanggup.
"Kenapa nekad?"
"Aku egois. Aku sudah pernah mengatakan ini padamu."
Ya bahkan Farrel berulang kali mengatakannya. Ia tak bisa kehilangan Fara. Fara menarik nafas dalam. Ia mencoba memiringkan tubuhnya ke arah Farrel lalu tangannya mencoba memeluk lelaki itu.
"Aku mungkin sulit menikah kalau kamu membatalkan pernikahan kita waktu itu."
"Aku bisa membuatmu trauma?"
"Heum."
Ia mengangguk lemah. "Jadi kamu mendukung keputusanku untuk tetap menikahimu?"
"Aku gak tahu."
Farrel tersenyum kecil. Ya Fara pasti bimbang. Ia telah melewati banyak hal yang berat. Hal yang paling sulit bagi Fara sejak awal bersama Farrel adalah status lelaki itu. Status kepopulerannya pasti membuat Fara sulit bahkan hingga sekarang.
"Love, apapun yang terjadi, yang namanya hidup pasti akan begitu. Kita harus bertahan bersama. Jangan pernah berpikir kita hanya sendiri."
Ya iya tahu kalau ia tak sendiri bukan? Di dalam rumah tangga ini, ia dan Farrel telah menyatu.
"Love?"
Fara mengangguk. Ia biarkan Farrel mengecup keningnya.
"Jadi, apapun yang terjadi, tetap bersama ya? Tetap percaya sama aku. Jangan pernah berpikir sesuatu yang mungkin tak benar hingga itu menyulitkanmu sendiri."
Ia mengiyakan. Mereka memang hanya perlu bersama sekarang. Tak ada jalan lain bukan?
"Aku ingin terus bersamamu."
Farrel tersenyum tipis. "Aku juga, love."
Sementara itu, Shabrina baru saja merebahkan tubuhnya. Tangannya tak sengaja menyenggol sesuatu. Fotonya terjatuh. Ia mengambilnya dan terpaku. Fotonya dengan selempang terbaik ketika terpilih menjadi Puteri Indonesia. Membuatnya kembali pada kenangan lebih dari setahun yang lalu.
"Mas Dava!"
Ia tentu sudah lama menunggunya. Meminta untuk dikenalkan dengan lelaki ganteng di kejauhan sana.
"Oke, tunggu aja."
Ia mengangguk dan kembali sibuk dengan tamu-tamu lain. Hingga akhirnya Dava muncul lagi seolah memberi kode padanya. Maka tak lama, Dava pasti akan memanggil lelaki yang sangat ia ingin kan itu. Lelaki dengan segala kesempurnaannya. Ya ada banyak lelaki ganteng tapi yang memiliki privilege sempurna rasanya bisa dihitung dengan jari. Dan lelaki itu memiliki privilege kesempurnaan yang ia maksud.
Dava tampak memanggil lelaki itu. Ia memantau dari jauh. Tentu saja ia sudah menyiapkan diri. Hingga akhirnga Dava muncul lagi dengan lelaki itu dan....tentu saja memanggilnya.
"Shaaaaaaaab!"
Ia berpura-pura menoleh dengan kaget. Kemudian datang dengan berjalan seanggun mungkin.
"He's perfect."
Itu adalah alasan pertamanya tertarik pada lelaki itu. Kedua? Tidak seperti kembarannya yang b******k, lelaki ini cukup bersih dari gosip-gosip dengan perempuan. Hal yang membuatnya penasaran. Ia tentu mempunyai banyak teman yang pernah berkuliah di US maupun di UK. Yang tentu saja mengenal saudara kembar itu. Tapi rumor tentang Farrel sungguh jauh dari perempuan. Katanya alim?
Ia kurang percaya. Ia pikir Farrel sama saja dengan lelaki lain. Apalagi saudara kembarnya yang playboy itu. Lalu kini dari sekian banyak event yang pernah ia hadiri, akhirnya ia berhadapan juga dengan lelaki ini.
"Kenalin nih temen gue, Rel."
Dengan senang hati Shabrina menyambut tangan Farrel yang sebetulnya agak dipaksakan oleh Dava. Ya Dava sudah hapal dengan kelakuannya dan biar ia tidak malu di hadapan Shabrina kalau lelaki ini sampai tidak menyalami Shabrina.
"Shabrina," tuturnya dengan seanggun mungkin. Ia benar-benar tersenyum lebar. Bahkan matanya berbinar saat menatap Farrel. Lalu Dava memberi kode lagi ke arahnya seolah mengatakan kalau ia akan pergi. Yaa biar ia dan Farrel bisa mengobrol lebih dekat. Bukan kah ini adalah keinginannya?
"Eh, ngobrol-ngobrol aja berdua. Gue tinggal ke sana dulu ya, oke Bri?"
Dava mengedip ke arahnya. Ia tersenyum sebagai balasan. Benar-benar berterima kasih karena telah diberikan kesempatan itu. Tentu senang sekali bukan?
"Heum.....Farrel Adhiyaksa."
Ia sungguh menyukai nama itu. Ia tersenyum kecil ketika melihat Farrel yang mengalihkan pandangannya ke panggung di depan sana. Ia melirik ke arah Farrel tanpa henti saking senangnya bisa berada sedekat ini dengan Farrel. Ia sudah lama sekali ia naksir lelaki ini tapi baru kali ini mendapat kesempatan untuk mendekatinya. Dan ternyata, lelaki ini memang jauh lebih tampan ketika berdiri di sampingnya. Ia bahkan lupa mengedipkan matanya melihat pahatan wajah Farrel yang menurutnya sungguh-sungguh sempurna. Wooow!
Shabrina berdeham. Ia tentu saja mencoba untuk menarik perhatian lelaki ini. Biasanya yaaa cowok-cowok mengantri untuknya. Sangat ingin berkenalan dengannya dan ia tahu apa yang mereka inginkan. Apa?
Tubuhnya. Bukan cintanya. Namun ia berharap lain dari lelaki ini. Kalau lelaki ini mencintainya, ia berjanji akan memberikan segalanya. Benar-benar segalanya diberikan.
"Kamu kakaknya Ferril kan?"
Ia mencoba memulai percakapan.
"Aku kenal Ferril."
Ia menahan senyum. Melirik sebentar ke arah Farrel sebelum mengalihkan tatapannya ke depan. Lalu ada jawaban dari lelaki ini? Tidak ada. Mau berapa kali pun ia melirik ke arahnya dan berharap menemukan jawaban.
Ia berdeham sekali lagi kemudian melirik ke arah Farrel yang masih serius menatap lurus ke depan. Apakah apa yang ada di panggung sana lebih menarik?
Ohooo. Ya mungkin. Ada cewek seksi di depan sana. Sang pembawa acara dengan belahan d**a yang terlihat sedikit lalu gaun yang benar-benar mengikuti lekuk tubuh. Apakah perempuan itu lebih cantik darinya dan lebih seksi darinya sehingga ia lebih tertarik?
"Ekhem, Rel."
Apa ia mulai bicara saja?
"Kamu kuliah di US kan? Kenal dengan Melissa? Pasti kenal deh. Dia satu jurusan sama kamu dan sering satu kelas juga. Dia itu temen aku sejak SMA, Farrel. Gak nyangka ya dunia ternyata sesempit ini."
Ia heboh sendiri. Sesekali tertawa kecil yaa biar tampak akrab dengan Farrel. Namun ketika ia melirik ke arah Farrel, Farrel tetap diam. Wajahnya datar dan benar-benar tak memberikan respon apapun. Lelaki ini benar-benar tak tertarik padanya?
Ia melirik lagi ke arah depan. Tapi si pembawa acara tadi tak terlihat. Bahkan hanya para lelaki di depan sana yang sedang bernyanyi. Ia mengerutkan kening. Ada satu rumor yang pernah ia dengar dari lelaki ini. Apa?
"Katanya sih pernah naksir cewek. Terus ditolak mungkin atau gak tahu juga beneran pacaran atau gimana. Yang kelas, yaaa dia gak pernah kelihatan lagi sama cewek gitu."
Entah rumor dari mana itu berasal. Yang jelas, ia tak tahu harus mempercayai apa. Yang ia lihat sekarang adalah lelaki ini mungkin trauma pada perempuan yang pernah dicintainya itu sehingga kehilangan rasa tertarik pada perempuan lain dan mungkin bisa jadi tertarik pada lelaki juga. Kalau tertarik pada lelaki, itu namanya gay kah?
"Sorry, gue mau ke sana."
Lalu ia pergi begitu saja. Shabrina menarik nafasnya. Ya dongkol lah. Dava tertawa dari kejauhan sana. Lelaki itu datang menghampirinya.
"Gimana?"
"Kaku atau dia gay sampai gak tertarik sama gue?"
Ia dongkol. Dava tertawa-tawa. "Belum ada satu pun cewek yang dia gubris tiap gue kenalin. Entah mungkin gak selera atau gimana. Gue juga gak paham, Shab."
"Lo pernah tahu cewek yang mungkin pernah dia taksir?"
Dava mengendikan bahu. Ia benar-benar tak tahu.
"Seksi, lucu, cantik. Mungkin bukan kriterianya kali."
"Lo bercanda, mas?"
Dava terkekeh. Cowok mana yang tak suka cewek seksi? Ohooo. Rasanya bodoh sekali. Ia tak habis pikir.
"Gay kali."
Dava terbahak. Ia menepuk-nepuk bahu Shabrina.
"Kalo beneran suka, ya kejar lah. Mungkin dia tipe cowok yang harus dikejar sama cewek."
Woow. Ia merasa tertarik. Di zaman ini, tak ada batasan apakah harus cewek yang lebih dulu mengejar atau sebaliknya. Menurutnya akan sama saja.
Dan kini ia baru saja membanting foto itu. Marah. Marah karena ia tak pernah dicintai lelaki itu sejak awal bahkan hingga sekarang. Yang membuatnya lebih marah lagi adalah......apa yang dilihat Farrel dari sosok istrinya yang sekarang? Cantik?
Ia jelas jauh lebih cantik. Perawan?
Ohoooo. Memangnya itu penting? Bullshit rasanya kalau masih ada cowok yang juga masih perjaka. Setidaknya itu menurutnya. Dan di zaman ini, mana ada cewek yang masih perawan sebelum menikah?
Bahkan sekalipun yang mengenakan kerudung. Karena ia melihat sendiri bagaimana teman-temannya dulu. Tak ubahnya sepertinya. Berpacaran tanpa bersentuhan itu hanya omong kosong. Dan lagi, apa salahnya bersenang-senang?
@@@
"Anda yakin?"
"Saya akan lakukan apapun untuk kesembuhan Nisa. Saya tidak ingin ia terus seperti ini, dokter."
Si dokter menarik nafas dalam. Ya, ia bisa membantu walau untuk datang ke sini jelas jauh sekali.
"Saya tidak mungkin melakukannya di rumah. Anda tahu permasalahannya seperti apa. Anda pasti menangkapnya."
Ya memang benar. Ia pasti tahu kenapa ia tak pernah berani. Kini malah kabur sejauh ini demi menyembuhkan anaknya. Bukan kah perjuangan yang sungguh berani?
Ia mengapresiasi keberanian itu. Maka kini ia mencoba masuk ke dalam kamar di mana Nisa berada. Berharap akan dapat menbantunya. Menghadapi korban p*********n tidak lah mudah. Ia tahu itu.
"Seperti yang pernah saya bilang, Nisa mengalami PTSD. PTSD ini semacam gangguan emosional seperti mimpi buruk," lalu kata mereka sama-sama tertuju pada Nisa yang teriak-teriak meski memejamkan mata. "Kadang dia sulit tidur juga kan?"
Mamanya mengangguk.
"Lalu ketakutan serta depresi." Si dokter menarik nafas dalam. "Ada dua macam terapi pengobatan yang biasanya dilakukan pada penderita PTSD, yaitu pendekatan farmakoterapi dan psikoterapi. Pertama-tama saya bahas dulu mengenai terapi pengobatan menggunakan psikoterapi. Terdapat tiga jenis psikoterapi yang biasanya digunakan untuk penanganan PTSD, pertama, manajemen ansietas. Terapis akan membantu korban dalam mengatasi gejala PTSD dengan relaksasi."
"Itu memungkinkan untuk Nisa, dok?"
"Di dalam relaksasi, korban belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan serta membantu merelaksasikan otot-otot di tubuh. Terapis juga membantu korban untuk melatih bernapas dengan perut secara perlahan-lahan. Terapis juga akan membantu untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stres. Ya intinya untuk mengontrol semua itu. Kita akan coba dulu. Karena tidak tahu bagaimana hasilnya."
Mamanya Nisa memgangguk. "Memungkinkan, dok?"
Ia melihat anaknya bahkan tak merespon sama sekali.
"Semoga. Saya akan kirim beberapa psikolog. Yang terpenting adalah...."
Mereka keluar dulu karena Nisa mulai tenang di dalam tidurnya. Meski belum melakukan apapun. Ya segala halnya harus dibicarakan dulu dengan lebih matang. Beberapa pilihan mungkinnahrus ditentukan sekarang.
"Dulungan ibu sebagai mamanya. Itu yang harus ditunjukkan."
Ia tahu. Meski itu lah yang sangat sulit. Sementara Nisa di dalam mimpinya seolah-olah mengulang masa-masa silam yang sungguh ia benci. Walau mungkin tak ingin ia lupakan.
"Kak Hamaaas!"
Ia menyambut dengan ceria begitu melihat keluarga lelaki itu. Namun senyumannya menghilang begitu melihat Hamas justru berbelok ke arah lain. Ia memperbaiki senyuman diwajahnya lagi ketika kedua orangtua lelaki itu menghampiri mejanya. Meski ya tanpa Hamas.
"Malam, Tante Helma!"
Ia mencium pipi kanan dan cium pipi kiri dari ibunya lelaki ini. Yaa anggap saja calon ibu mertua. Kemudian ia menyalami Papanya Hamas dengan segala hormatnya.
"Hamas mana?"
Mamanya tentu bertanya-tanya. Walau tadi memang sudah melihatnya. Lalu tante Helma mengatakan kalau anaknya pergi ke toilet. Ya dan Nisa tak menyimak lagi apa yang para orangtua ini bicarakan. Ia sudah menunggu-nunggu kedatangan Hamas bukan orangtuanya.
"Mana sih?"
Ia agak gelisah karena harus menunggu agar lelaki itu segera keluar dari toilet. Dan lelaki itu memang muncul tak lama tapi....lah? Malah hendak berjalan ke pintu luar.
"KAK HAMAAAS!"
Ia berdesis karena cowok itu memang selalu menghindari acara makan malam seperti ini. Ia jelas kesal lah. Ia sudah dandan selama tiga jam demi makan malam ini. Tapi haaaaah.
"KAK HAMAS!"
Ia berteriak sekali lagi dan kali ini mampu membuat semua mata menoleh. Dan tentu saja berhasil membuat Hamas membalik badan. Senyuman Nisa langsung mengembang.
"Duduk dekat sini nih."
Hamas hanya menghela nafas. Begitu pesanan datang, ia heboh meminta agar para pelayan mengambil foto-foto makan malam. Ia sempat mendengar suara ibu Hamas yang menyuruh anaknya agar tersenyum. Yaa ia juga sempat melirik wajahnya yang yah.....memang selalu begitu. Tak pernah ramah kepadanya. Ia heran, kenapa sih? Apa kurangnya coba? Ia cantik begini. Cowok-cowok banyak yang mengantri. Ya kan?
Yaa dari pada memikirkan wajah Hamas yang tak ingin tersenyum itu. Ia lebih memilih untuk meng-upload foto itu ke media sosialnya. Dalam sekejab saja sudah riuh dengan berbagai komentar dan like dari teman-teman dan fansnya. Yuhuuu!
Setelah itu, ia sibuk dengan makanan yang baru datang lalu....
"Cobain nih, Kak. Enak loh. Nisa nih yang pesenin."
Ia memberikan sepiring kepiting pada Hamas. Ia benar-benar antusias. Ia menunggu respon Hamas tapi....
"Makasih ya, Nis," malah ibunya lelaki itu yang bersuara. "Sudah merhatiin Hamas."
Sungguh bukan itu jawaban yang ia inginkan. Iterpaksa tersenyum tipis walau yaaa ia rada jengkel juga. Ada rasa marah sih. Tapi ya semarah apapun ia pada Hamas, kenyataannya ia tak pernah berani menunjukkan rasa marah itu. Karena apa?
Nanti lelaki ini pergi meninggalkannya dan ia hanya akan merasakan patah hati untuk ke sekian kali. Kalau itu sampai terjadi, ia tak mau ada perempuan lain yang akan bersanding dengan Hamas. Ia tak rela. Ia sudah bertekad bahwa tak akan ada satu pun perempuan yang akan mendampingi Hamas kecuali dirinya dan ia akan membantai siapapun perempuan yang berani merebut Hamas darinya maka mereka akan berurusan dengannya. Ia akan hajar mereka secara habis-habisan dan mempermalukan perempuan itu di sepanjang hidupnya. Lihat saja!
"Nih, lagi, kak."
Ia memberikan makanan yang lain. Hasilnya? Ya tentu saja tak akan diperdulikan. Lalu menoleh pada papanya. Berharap papanya langsung pada inti dari pembicaraan ini. Papanya mengetahui hal itu lantas berdeham.
"Kami, dalam hal ini saya dan ibunya Nisa serta orangtua kamu, sudah berencana nak Hamas."
Ia menarik nafas dalam. Lalu memulainya lagi. Nisa berusaha menahan rasa membuncah di dalam dadanya. Tinggal satu langkah lagi untuk dapat memiliki lelaki ini. Bersanding dengannya maka dengan begitu, tak akan ada perempuan lain lagi yang berani mendekati Hamas. Ya kan?
"Om ini lama sekali temenan dengan Papamu, Hamas. Mungkin dari belum jadi apa-apa sampai sekarang, ya kan, Heng?"
Nisa berdeham. Ia sengaja mendekatkan kursinya secara perlahan ke arah Hamas.
"Nisa dan kamu juga kan sudah lama saling mengenal sejak SMA. Jadi saya rasa, tak ada salahnya kan kalau kita atur segera pertunangan kalian berdua? Kamu kan sebentar lagi akan fokus koas, Hamas. Takutnya tak akan sempat memikirkan hal-hal semacam ini. Biar Nisa juga bisa fokus pada kuliahnya. Gak was-was mikir kalau kalian berpisah karena kamu koas."
Nisa menundukkan wajahnya. Agak-agak malu juga gembira sekali dengan rencana yang sudah sejak lama disusun ini. Ia tentu saja menanti-nanti hal ini. Karena inti dari acara makan malam ini kan memang ini. Bahkan ia sudah lama mengabari teman-teman dekatnya. Dan kalau malam ini masuk ke dalam inti pembicaraan, pemberitaan di kampus pasti akan heboh lagi bukan? Bukan kah akan menyenangkan?
"Untuk pernikahan juga, tak usah terlalu terburu-buru tak akan menjadi masalah," tutur mamanya. "Biar kan Hamas selesai kan koasnya dulu. Begitu nanti mendapat kerjaan yang mapan dan bagus, baru kita atur ke arah sana, ke arah pernikahan. Yang penting kan pertunangan dulu. Diikat dulu. Bagaimana Jeng Helma?"
Ia melempar pertanyaan itu pada ibunya Hamas. Rasanya memang hanya Nisa yang benar-benar senang dengan ide ini. Papanya sebetulnya agak keberatan karena kurang menyukai kepribadian Hamas yang tak bisa disetir itu. Anak lelaki yang satu ini sepertinya harus ia tekan dengan sesuatu dulu baru mau mengikuti perintahnya. Dan ia sedang mencari celah untuk itu.
"Kalau saya, ikut anak-anak saja bagaimana baiknya dan bagaimana maunya mereka."
Begitu kata ibu Hamas. Ia jelas senang sekali mendengarnya. Ia tersenyum lebar. Mamanya memegang tangannya karena ikut senang dengan kebahagiaan anaknya. Bagi mamanya, kebahagiaan Nisa memang segalanya. Apa saja dilakukan. Sekalipin ide konyol tentang pertunangan ini.
Anaknya memang terlalu muda. Masih terlalu kekanakan. Masih belum bisa mengurus diri. Terlalu buta akan cinta. Bahkan tak bisa berpikir hal lain kecuali tentang hal itu.
"Kalau begitu, kita sudah menemukan kesepakatan. Saya tentunya sudah membicarakan hal ini terlebih dahulu dengan Nisa. Nisa mau-mau saja kalau suatu saat nanti Hamas ingin menikah saat Nisa masih koas. Karena kan perkiraannya, Nisa koas setahun lagi dan Hamas pasti sudah lulus lebih dulu. Dari pada pacaran begini yang tidak jelas kan lebih baik memang menikah bukan?"
Nisa tersenyum lebar. Ia menoleh ke arah Hamas. Tapi wajah lelaki itu benar-benar masam dan sedang menahan amarah. Nisa kehilangan senyumnya. Yaaa ia tahu kalau hanya ia yang senang dengan segala pembicaraan ini. Bagi Hamas? Semua ini hanya omong kosong. Lalu lelaki itu mendadak beranjak dari kursi. Membuat semua orang menatap ke arahnya.
"Mau ke mana, Hamas?"
Mamanya jelas bertanya. Anaknya tak menjawab. Tapi ia berbelok ke arah toilet. Suasana makan malam memang berubah. Berubah tidak nyaman. Apalagi raut wajah papanya Nisa. Lelaki itu jelas dongkol. Bahkan sudah sejak awal juga sudah dongkol. Kini makin marah dan memang benar......
Tiba di rumah, papanya membanting sesuatu.
"Anak sialan itu. Sama saja sombongnya dengan papanya. Dia pikir dia siapa?"
Nisa hanya menghela nafas. Ia memilih untuk naik ke tangga. Ia tak mau kalau papanya menyuruhnya untuk memcari lelaki lain hanya karena persoalan itu. Apa susahnya bersabar untuk Hamas?
"Nisa! Nisa! Nisa!"
Ia membanting pintu kamar. Yaaa dongkol sih dan tak tahu harus menyalahkan siapa.
@@@