Bunda setidaknya masih baik. Masih mengucapkan selamat atas episode pertamanya yang tayang perdana semalam dan benar-benar sukses besar. Tanpa tahu kalau Shabrina punya tujuan dibalik itu. Ia tersenyum kecut ketika mendapatkan pesan dari bunda. Ya ia akui kalau mantan mertuanya itu benar-benar baik padanya.
Terima kasih, bunda.
Bahkan setelah diceraikan oleh anaknya pun, masih bertanya bagaimana kesibukannya dan lain-lain. Walau Shabrina tak mau terlalu dalam terlibat dengannya lagi. Ya ia masih bersikap sopan tentunya pada perempuan itu. Fara?
"Bunda, Fara pulang dulu," panitnya. Si bunda menjawab salamnya dari dapur. Tampak masih sibuk. Sementara Fara menghela nafas mendengar kabar series-nya Shabrina yang tayang setelah satu bulan sejak konferensi pers terakhir. Kabar itu tentunya heboh diberitakan di televisi di ruang keluarga rumah mertuanya ini. Ya bunda tak bermaksud menyakitinya. Bunda menganggap kalau masalahnya sudah selesai bukan dengan mantan menantunya itu?
Fara tidak mengendarai sepeda. Dulu sebelum hamil, ia memang selalu mengendarai sepeda kalau jalan-jalan di komplek atau ke minimarket depan. Semenjak hamil, ia jelas sudah jelas tak berani. Bahkan suaminya sampai memasnag rantai pada sepeda yang sering ia gunakan. Biar tak nakal katanya. Ia kan kadang masih bebal. Hahaha.
Lalu kini berjalan kaki menuju rumah dengan perut besarnya. Jelas lelah lah. Apalagi tak lama lagi akan memasuki trimester akhir. Ini saja sudah kepayahan tapi pergerakannya semakin lincah. Ya hamil bukan alasan baginya untuk tak bergerak.
Tak lama malah berpapasan dengan beberapa ibu-ibu yang baru keluar dari rumah seberang kanannya. Mereka tentu menyapanya. Ia hanya mengangguk-angguk dan menjawab seadanya. Ya ia masih kurang bergaul dengan beberapa ibu-ibu komplek. Masih kurang nyaman karena kisruh rumah tangganya yang diketahui se-Indonesia. Ditambah lagi, asal-usulnya yang mereka tahu tak begitu jelas dibandingkan dengan Shabrina ya semakin menyudutkannya. Lalu ditambah lagi dengan series Shabrina yang sedang booming.
"Tapi kalo beneran hamil terus dinikahin sama si Farrel ya bodoh amat si Farrel."
Para ibu-ibu baru bersuara saat langkahnya sudah lebih jauh. Yaa tentu saja membahas episode pertama yang booming itu di mana Aminah diperkosa lalu dinikahi oleh Rafael. Episode pertama yang sungguh membuat heboh publik.
"Mungkin enggak tahu kalau udah hamil atau korban p*******n begitu."
Yang lain memgangguk-angguk.
"Tapi masa Pak Fadlan gak ngecek dulu anaknya nikahin siapa."
"Ya kan pasti percaya atuh sama anaknya. Anaknya si Farrel kan soleh begitu. Pasti manut-manut. Mungkin disuruh juga sama si pak kyai-nya ya jadi mau-mau aja gitu."
"Iyaaa! Apalagi kan titelnya anak kyai. Ya semua orang mikirnya pasti perempuan baik-baik. Perempuan solehah."
Yang lain mengangguk-angguk.
"Terus makanya atuh mau dipoligami. Kan udah gak perawan juga. Si Farrel juga mungkin gak enak cerainnya. Kan gak enak sama pak haji. Eeeh mantannya dihamili cowok lain. Masih sayang kayaknya makanya dinikahin."
Para ibu-ibu itu kembali mengangguk-angguk lagi.
"Terus kenapa atuh si Shabrina yang diceraikan?"
"Ya si Shabrina udah gak sanggup mereun dipoligami. Jadi istri kedua. Si Farrel kan baik banget gitu. Gak tega cerain istri pertamanya."
Kening mereka malah semakin berkerut-kerut. Semakin tak paham dengan apa yang sebenarnya terjadi.
"Tapi aneh lah. Lihat itu, dia malah lagi hamil anaknya si Farrel."
Mereka akhirnya geleng-geleng kepala. Bingung juga bagaimana ceritanya mereka ini bisa bersatu. Dan Fara mendengar semuanya dari balik pintu gerbang rumah. Ia sudah tahu soal episode pertama yang semua orang bicarakan. Ia sengaja ingin mendengar?
Tidak. Semua masuk saja ke telinganya tanpa ia pinta. Ia menarik nafas dalam. Semua cerita itu jelas tidak begitu. Ia dan Farrel sama sekali tidak dijodohkan. Lelaki itu lah yang mengejar-ngejarnya. Ia juga awalnya menolak mati-matian yaa karena tadi. Termakan omongan orang dan pemberitaan yang tak jelas sumbernya.
Jujur saja, tidak mudah menikah dengan figur publik seperti Farrel dan keluarga besarnya. Ia yang hanya gadis biasa dari keluarga sederhana ini merasa minder. Lalu belum lagi dengan berbagai pemberitaan Farrel dan perempuan-perempuan. Ya rasanya masih tak percaya saja, kok Farrel mau padanya yang biasa-biasa ini?
Ia tidak merasa cantik meski banyak yang bilang begitu. Tapi dibandingkan perempuan-perempuan yang ada di sekeliling Farrel, ia merasa jauh sekali. Sangat jauh bahkan tidak sebanding. Para perempuan itu juga bukan orang sembarangan. Rasanya Farrel memang lebih sepadan dengan mereka dan itu lah alasannya dulu lebih suka mencari lelaki yang sederhana. Dari tampang atau apapun cukup yang sederhana. Walau ilmu agama lah yang paking penting terutama dibagian penerapannya. Farrel?
Sialnya, suaminya oke juga dalam hal agama. Ia bahkan sempat kaget. Benar-benar kaget. Karena posisi Farrel sebagai hafiz Quran itu ia anggap hanya rumor. Hanya sebuah kabar berita yang tidak benar.
"Love?"
Suaminya muncul disaat ia baru saja mengangkat baju dari tempat jemuran.
"Belum mandi? Tadi pagi katanya mau ke mall."
Ia bahkan sudah lupa akan rencana itu. Farrel justru sengaja untuk pulang kebih cepat agar bisa menemaninya. Saat lelaki itu hendak mencium keningnya, ia justru mundur. Kening Farrel jelas mengerut.
"Aku belum mandi," tukasnya. Jadi ia hendak mandi setelah menaruh baju-baju kering itu ke dalam keranjang biar besok bisa dilipat dan disetrika oleh si bibi. Sementara ia berjalan menuju lift yang membawanya ke lantai atas.
"Aku tunggu di bawah, love."
Fara hanya berdeham. Langkahnya lesu sekali. Sementara Farrel sibuk dengan ipad-nya. Lelaki itu duduk di ruang tamu sambil menunggu. Fara muncul setengah jam kemudian. Istrinya memang tak pernah ribet. Ia memutuskan untuk tak memakai cadar kali ini. Ya, memutuskan untuk lebih terbuka. Akan bagaimana netizen menghina wajahnya kali ini? Bahkan hanya dengan bedak tipis dan lipstik seadanya? Ia sudah tak perduli juga jika harus dibanding-bandingkan. Ia juga sudah lelah dengan mereka.
"Udah?"
Ia hanya mengangguk lantas keduanya pergi. Fara menyandarkan punggungnya sementara Farrel sudah mengemudikan mobil.
"Kamu kenapa?"
Farrel tentu sadar kalau ada yang mencoba menghindari ciumannya tadi.
"Kenapa apanya?"
Ia bertanya balik. Farrel menarik nafas dalam. Memilih untuk mengungkit hal itu dari pada mereka bertengkar dan tak jadi ke mall.
"Kamu ngapain aja di rumah?"
"Seperti biasa."
Ia menoleh ke arah jendela. Sedang suntuk begini ditanya-tanya. Farrel meliriknya sebentar.
"Akhir-akhir ini kamu suka nyimpen-nyimpen sesuatu."
Biasanya ia memang lebih terbuka. Fara juga tak tahu kenapa ia jadi agak malas bercerita atau menanggapi orang lain. Kesannya menjadi lebih cuek.
"Aku ini suamimu, love."
Ya Farrel benar. Ia menarik nafas dalam. "Aku gak suka kamu ada hubungan dengan perempuan manapun. Apapun urusannya."
Jujurnya. Farrel tersenyum kecil. Ia tahu. Sungguh tahu apa yang digelisahkan oleh istrinya.
"Jangan dipercaya kabar-kabar media di luar sana. Mereka kan gak tahu gimana kenyataannya. Soal Ferril dan istrinya juga kan kamu tahu bagaimana."
Ya ia sadar kalau ini memang bukan hanya menimpanya. Pemberitaan tentang Farrel dan Ferril memang terus disorot. Mungkin karena dianggap menarik oleh netizen. Dan bukan hanya ia yang difitnah dalam berbagai pemberitaan. Tapi Echa juga. Hanya saja kan orang masih belum tahu identitas Echa. Karena Ferril sama sekali tidak membukanya di hadapan publik. Suatu saat nanti sudah pasti. Lelaki itu menunggu istrinya untuk siap.
@@@
"Serius, ma?"
Ia jelas senang mendengarnya. Iyaaa. Nanti pasti datang. Kamu gak perlu khawatir. Ia beryeye ria. Tampak senang sekali tentunya karena kedua orangtuanya sangat bersepakat untuk mendekatkannya dengan Hamas. Tanpa tahu kalau papanya sebetulnya agak keberatan. Ia kurang suka dengan sosok ayahnya si Hamas. Agak susah diajak kompromi. Walau kini ia susah melakukan segala cara untuk menyeretnya. Apakah berhasil?
Ohoo tentu saja. Demi anak apapun dilakukan. Toh tak rugi-rugi amat juga. Ia sudah menghitung keuntungan kalau memiliki menantu seperti Hamas. Setidaknya cowok itu bisa diandalkan dan bisa sukses suatu saat nanti. Ia bisa mendorongnya untuk menjadi orang hebat. Yang jelas, ia melakukan itu agar anaknya tak malu punya suami yang tak sukses.
Kini Nisa berpamitan padanya. Gadis itu mengendarai mobilnya dengan cepat menuju kampus. Ia memasuki lobi fakultas lalu berjalan menuju kelasnya. Ya ada kuliah pagi yang harus ia ikuti. Tapi anak-anak sibuk sekali membicarakan anak-anak baru. Ya bukan anak baru juga sih. Ia juga tahu siapa yang dibicarakan. Hanya karena tak ada lagi mahasiswa baru yang lebih cantik dari dia. Yang membuatnya kesal sejak awal adalah orang-orang selalu menyebutnya paling cantik di fakultas.
"Gak capek apa ya ngomongin cewek terus!"
Ia sampai mengomel. Omelannya jelas terdengar oleh para cowok di belakang sana.
"Namanya juga cowok, Nis! Kalian yang cewek juga pasti ngomongin cowok ganteng tuh!"
Bacotannya dibalas. Nisa mendengus mendengar sementara para sahabatnya malah tertawa.
"Lu kayak gak tahu mereka aja."
"Tauk. Tapi kayak gak ada cewek lain yang kudu dibahas. Muka songong gitu aja dibahas."
Sahabat-sahabatnya tertawa. Ya mereka juga tak suka dengan muka sombong milik cewek yang katanya paling cantik sefakultas. Walau menurut mereka memang pantas untuk songong. Yaa karena tak hanya cantik tapi juga anak konglomerat.
Satu perkuliahan lewat, mereka kekuar dari kelas. Nisa celingak-celinguk. Tentu saja mencari-cari seseorang yang belum lama kembali ke Jepang. Ya setidaknya untuk semester ini. Meski ia sempat ke Jepang untuk menghampirinya. Lalu bertemu?
Tidak. Cowok itu mengatakan kalau ia sibik sekali. Ia dongkol sekali kala itu. Padahal sengaja mengajak orangtuanya liburan ke sana. Tapi malah tak bertemu. Lalu sekarang....
"Kak Hamas tuh kak Hamas!"
Teman-temannya berbisik. Tepat sekali. Ia memang mencarinya bukan?
"Kak Hamaaaas!"
Ia langsung memanggil. Cowok yang tampak sedang bercanda entah dengan siapa itu menoleh ke arahnya. Lalu bertanya pula....
"Kenapa, Nis?"
Nisa tersenyum manis. Ia langsung menghampirinya dengan cepat. Gaya cantik pun dilakukan. "Eung....besok malam, kak Hamas ikut dinner ke rumah Nisa gak?"
Teman-temannya menahan senyum. Ya sebetulnya mereka tahu sih kalau perasaan Nisa memang berteouk sebelah tangan sejak dulu. Tapi masih bertampang munafik untuk mendukungnya. Kalau si belakangnya? Ya menertawakan. Seperti sekarang. Mereka justru menahan tawa mati-matian.
"Sorry, ada urusan lain," tolaknya. Dan itu sudah diduga oleh mereka. Namun Nisa tak menyerah. Gadis itu melompat ke depannya demi menghalangi langkahnya yang hendak pergi.
"Yaaah, padahal Papa mau ngobrol sama kak Hamas loh."
Obrolan yang sangat spesial menurutnya. Karena papanya tidak terbuka untuk semua teman-teman lelakinya. Hanya orang-orang tertentu saja yang mungkin memiliki privilege. Ia juga kan tidak sembarangan berteman dengan orang. Bahkan papanya sebetulnya pernah membujuknya untuk mendekati si anak konglomerat itu. Tapi ia tak sudi. Kalau si anak konglomerat itu jelek dan tidak berpotensi untuk mengalahkannya sebagai gadis populer yaaaa ia tak masalah. Lah ini? Semua orang menyebut gadis itu sebagai gadis paling cantik sefakultas, bagaimana ia tak dongkol?
"Lain kali aja ya, Nis."
Hamas masih menolaknya. Nisa menghela nafas. Oke, ia tak akan terlalu memaksa kali ini.
"Beneran ya, kak?"
Lelaki itu hanya berdeham lalu meninggalkannya. Ia berkacak pinggang melihat lelaki itu menjauh. Teman-temannya saling memainkan mata sebelum berdiri di sebelah kanan-kirinya dan merangkulnya.
"Sibuk kali. Kak Hamas kan persiapan buat jadi calon ketua BEM tuh. Banyak yang kudu diurus. Apalagi dia kan emang banyak kesibukan selain itu."
Sahabatnya mencoba untuk membesarkan hatinya. Ya, ia tahu sih. Tapi tetap saja dongkol karena dari SMA, respon Hamas padanya masih sama. Masih tak ada respon yang begitu berarti. Itu yang membuatnya agak-agak kesal.
"Udah yuk, mending ke kelas. Udah mau mulai lagi nih."
Ia mengangguk. Akhirnya ikut ke kelas. Tapi siangnya ia masih mencoba mencari Hamas. Yaaa seperti firasatnya, Hamas tak terlihat di mana pun. Kemudian ia sibuk lagi dengan perkuliahan hingga akhirnya selesai jam tiga sore. Ia memustukan untuk datang ke ruangan BEM eeh malah dihadang sama Wayan yang berdiri di dekat pintu.
"Lo mau nyari Hamas sampe ke susut-sudut ruangan juga gak bakal ada," tukasnya.
Nisa mendengus. Ia jelas tak percaya dengan lelaki yang satu ini. Akhirnya ia mendorong tubuh Wayan dan mencoba mengitari ruangan BEM dengan matanya. Lalu ia temukan?
Tidak. Benar-benar tidak ada. Ia mendengus dan akhirnya balik badan kemudian berjalan menuju parkiran. Sementara itu, ruangan BEM justru dipenuhi dengan tawa begitu ia pergi. Kenapa?
Ya karena Hamas bersembunyi dibalik pintu. Andai Wayan tak memperingatkan, ia pasti sudah tertangkap basah oleh Nisa. Hal yang tentu saja membuat riuh. Meaki ini adalah pemandangan yang sangat biasa. Ya anak-anak BEM tentu tahu bagaimana tidak sukanya Hamas. Cowok itu tak perduli dengan kecantikan Nisa. Sejak dulu, ia memang tidak suka.
"Thanks, bro."
"Yoiii!"
Wayan nyengir. Gita geleng-geleng kepala melihat keduanya. Ya sudah biasa. Pemandangan Hamas menolak Nisa sudah menjadi makanan sehari-hari bagi mereka.
Sementara Nisa masih duduk di depan setiran mobilnya. Sebetulnya ia belum ingin pergi karena sudah melihat keberadaan mobil Hamas. Tapi tampaknya lelaki itu tak diketahui keberadaannya. Sekalipun ia sudah mengirimi pesan. Lalu saat ia hendak mengendarai mobilnya, satu pesan lain masuk. Siapa?
Rianza. Salah satu anak konglomerat juga yang mengiriminya pesan melalui media sosial sejak beberapa minggu lagi. Kini malah mengajaknya bertemu. Haaah. Ada banyak cowok ganteng di dunia ini yang mau padanya kecuali Hamas. Jadi ia sama sekali tak bisa memberi hatinya. Dan ketika sedang suntuk begini.....
"Mau ketemu sama gue?"
Ia meladeninya. Ya tentu saja setiap cowok ganteng yang ingin mendekatinya, yaa tak semuanya ia tolak. Ada yang mungkin masih ia terima minimal ya sebagai teman. Tak ada yang menjadi pacar. Paling ya sekedar teman tapi rasa pacar.
"Iyaa dong. Gue lagi nongkrong nih di mall biasa lah. Yang paling hits di Jakpus. Gak jauh dari kampus lo."
Setahunya sih cowok ini kuliah di luar negeri. Lalu kenapa bisa di sini? Ya suka-sukanya lah. Hidup-hidup dia. Emangnya ia harus perduli?
@@#
"Itu nenek Liani."
Dokter Latifah mengajaknya untuk bertemu nenek Liani yang dirawat di rumah sakit ini. Nenek tua itu miliarder. Tapi yang mengurusnya hanya para pelayan dan beberapa orang kepercayaannya. Anak dan cucu?
Sibuk dengan urusan pekerjaan di berbagai negara. Ia dirawat di sini tentunya di sebuah paviliun yang ada di belakang rumah sakit namun masih tersambung. Untuk masuk ke area sana memang hanya diperbolehkan pada tenaga medis tertentu. Selain keluarga, orang luar ya tidak diperbolehkan untuk masuk. Jadi Latifah mengajaknya ke sana untuk menemui si nenek yang baik hati itu.
"Anak-anaknya sukses-sukses, Keera. Kamu mungkin tahu salah satu anak-anaknya."
Latifah terus berceloteh tapi sebetulnya Shakeera tak perduli. Sekalipun Latifah bercerita soal dirinya di masa jahiliyah dulu. Ya kan gadis ini juga pernah terjun bebas karena salah pergaulan. Yaaa sebagai anak kuliahan kan tidak semuanya lurus. Ia juga salah satu yang bengkok. Alasannya?
"Aku pengen banget jadi dokter. Dan kuliah di kampus manapun, pasti aku gak mampu. Orangtuaku juga sadar. Jadi aku bohong ke mereka. Aku bilang kalau aku dapat beasiswa di kampus padahal enggak sama sekali."
Dan karena tuntutan itu, ia bekerja untuk meraih mimpinya menjadi dokter. Rela menjadi simpanan om-om selama bertahun-tahun. Bukannya ia ingin membongkar aib. Tapi sebetulnya hanya ingin memberitahu Shakeera kalau yang mengalami nasib buruk bukan hanya dirinya. Ia tahu kalau Shakeera mengalami nasib buruk?
Tidak juga. Ini hanya instingnya saja. Ya melihat Shakeera yang tampak seperti itu dan dokter Aisha juga menyuruhnya untuk lebih memerhatikan Shakeera, ia pikir ia tahu masalahnya. Walau mungkin akan berbeda dengannya. Meski ia juga tak tahu bagaimana latar belakang keluarga Shakeera.
Dan masa lalu Latifah sebetulnya lebih suram. Shakeera setidaknya jauh lebih beruntung soal finansial. Hingga ia tidak harus berada di posisi Latifah yang melawan nurani. Ia tahu kalau apa yang ia lakukan sungguh salah. Setelah menikah, ia setidaknya sudah lebih banyak memperbaiki dirinya. Ya hidup memang tak mudah bukan?
"Gak ada orang yang kepengen dibelai-belai cowok gitu. Demi nilai, demi uang, demi impian, aku lakuin semua itu. Aku gila."
Ia bahkan pernah tidur dengan beberapa dosennya dulu. Yang bagian ini tentu tak ia ceritakan pada Shakeera. Rela dilecehkan saat bimbingan. Bukan kah itu mengerikan? Ya dan ia bertahan dari semua itu. Apakah mentalnya kuat?
Tidak juga. Ia pernah hancur. Sangat hancur saat dipermalukan teman-temannya dikala koas. Digilir saat mabuk lalu foto-foto dan videonya disebarkan di grup. Bukan kah itu sangat gila?
Ya. Tapi ia berhasil melawan semua titik terendah itu untuk kemudian bangkit dan bertahan. Bahkan sekalipun dalam kasus mabuk dan digilir itu, tak ada satu pun pelakunya yang ditangkap atau diadili di hadapan hukum. Karena apa?
Ia dianggap sukarela datang ke sana. Ke kosan cowok yang salah satunya memang sedang mencoba mendekatinya kala itu. Eeh ternyata ia habya dipermainkan. Yaa hidup benar-benar tak adil baginya. Maka seberapa berat kah kalau dibandingkan dengan m yang dihadapi Shakeera?
Mungkin kalau Shakeera mendengar kisah lengkapnya dan tahu bagaimana kronologinya, ia harusnya lebih bersyukur. Karena ia tak mengalami hal semengerikan itu. Ya kan?
Sementara itu, kedua orangtuanya sedang duduk di hadapan psikolog. Mereka berkonsultasi soal apa yang dialami Shakeera dan bagaimana kelakuannya saat ini yang sangat memperihatinkan tentunya.
"Saat orang patah gari maka otak mereka akan bereaksi dengan cara yang sama seperti pecandu yang berusaha untuk menghentikan dirinya dari mengonsumsi obat-obat terlarang."
Ya karena orang yang jatuh cinta itu memamg ibarat pecandu. Pecandu yang akan terus melihat orang yang dicintai tanpa henti. Dan ketika patah hati, mereka dipaksa untuk berhenti. Itu jelas menyulitkan sekali bukan?
"Dia masih berhubungan dengan laki-laki itu atau mungkin dengan orang-orang yang bisa membuatnya berhubungan dengan laki-laki itu?"
Tio dan Jihan sama-sama saling bersitatap. Tentu saja tidak. Tapi lingkaran itu pasti akan terus ditemui. Tak bisa dihindari dan ini membuat Tio menghela nafas.
"Kalau memang masih belum bisa melupakan ya akan lebih baik kalau menghentikan hubungan dengannya dan orang-orang di sekitarnya. Biar dia gak membuka luka lama. Itu sangat penting."
Tinggal di Padang seharusnya sudah menjadi jawaban. Tapi adanya media sosial maupun pemberitaan, itu adalah hal yang sangat tidak bisa dihindari bukan?
"Kalau mungkin masih sulit. Ya cara lainnya dengan membuatnya belajar untuk menerima kenyataan yang terjadi."
"Itu sangat sukit, bu. Saya sudah mencoba untuk mendorongnya. Tapi tak menghasilkan apa-apa. Ia malah mencoba banyak hal yang bisa menghancurkan dirinya sendiri dan ini membuat saya sangat khawatir."
Psikolog itu mengangguk-angguk. Ia tentu paham kalau yang namanya orangtua pasti khawatir.
"Kalau mengalihkan perhatiannya? Menyibukkan diri?"
Jihan menggeleng. "Anak saya seharusnya bisa fokus pada kuliahnya dan koasnya sekarang. Harusnya kesibukan itu dapat membuatnya lupa. Kami kan juga sempat lama di Padang sebelum akhir-akhir ini kembali ke Jakarta. Tapi tetap tak ada yang berkurang."
Si psikolog mengangguk-angguk. "Apakah dia pernah mencurhatkan isi hatinya, bu?"
Jihan menggelengkan kepala. Ia sudah sering membujuknya untuk membuka hati dan bercerita padanya. Tapi.....
"Anak saya dulunya sangat ceria dan sangat terbuka, bu. Tapi ya semenjak itu, dia enggan bercerita apapun. Semua terkesan ditutup-tutupi."
"Atau mungkin dia ingin berbicara dengan orang yang tidak mengenalnya? Seperti saya?"
Ia mencoba menawarkan diri. Siapa tahu bisa membantu. Tio dan Jihan kembali bertatapan. Seolah bertanya-tanya. Apakah harus begitu? Untuk mencoba membuka tabir yang selama ini Shakeera tutupi. Tentang apa yang ia alami. Seberapa parah sakit hatinya hingga yaaa mungkin alasan dibalik ia melakukan hal-hal yang buruk dan membahayakan diri sendiri.
@@@