1. Hari Pertama Sekolah
“Ven, Vena! Sudah siang, Nak!” teriak Mia, Mama Vena dari dapur.
“Iya, Ma. Vena udah siap kok,” jawaban dengan teriakan juga terdengar menyahuti panggilan Mia.
Tak lama muncul gadis cantik dengan seragam putih abu – abu melekat di tubuhnya yang ramping. Sebuah tas ransel tersampir di pundaknya. Rambut hitam panjangnya terikat rapi dengan hiasan ikat rambut berbentuk pita warna biru cerah, secerah wajahnya hari ini.
“Semangat banget deh anak Mama, ayo sarapan dulu.”
“Iya dong, Ma. Sekolah baru harus semangat empat lima, dong, sekarang kan Vena udah jadi anak SMA,” jawab Vena tanpa menghilangkan senyuman manis yang tercetak di bibirnya.
"Iya, iya, anak Mama udah besar ternyata ya. Kayaknya baru kemarin kamu bisa belajar jalan, masih pakai pampers," sahut Mia juga tersenyum memandang anak gadisnya.
Gadis cantik bernama lengkap Mentari Indah Lovena itu mendudukkan dirinya di atas kursi. Ia mengambil dua lembar roti tawar yang sudah dipanggang dan mengolesinya dengan selai kacang kesukaannya. Menakupkannya menjadi satu bagian, lalu melahapnya dengan tenang.
“Hari ini kamu berangkat sekolahnya diantar Pak Mamat ya, Ven,” ucap Mia yang sambil memperhatikan anak gadisnya mengunyah roti.
“Oke. Emang papa udah berangkat ya?” tanya Vena dengan masih mengunyah makanan di mulutnya.
“Iya, papamu berangkat setelah subuh tadi."
“Kok pagi banget?”
“Ada perjalanan bisnis keluar kota sama Om Arya. Tadi pagi Om Arya ke sini kamu masih tidur.”
Vena hanya ber – oh ria menjawab penjelasan Mia. Setelah selesai dengan sarapannya dan meneguk segelas s**u yang juga telah disiapkan untuknya, Vena beranjak dari duduknya. Ia berpamitan pada Mia dan segera berangkat.
“Hati-hati, jangan membuat ulah di sekolah baru,” pesan Mia saat Vena mencium tangannya.
“Mama ih! Aku kan anak baik,” jawab Vena dengan mengerucutkan bibirnya.
“Sudah SMA jangan seperti anak TK gitu bibirnya. Sudah sana berangkat. Pak Mamat sudah menunggu dari tadi."
“Iya. Berangkat dulu, Ma. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Vena berjalan menghampiri Pak Mamat yang akan mengantarnya ke sekolah barunya. “Ayo, Pak,” ajaknya pada supir keluarganya yang sudah bekerja sedari ia kecil.
“Siap, Neng. Kita berangkat,” jawab Pak Mamat tak kalah semangat.
Vena duduk di kursi penumpang di samping Pak Mamat. Dengan pembawaannya yang ceria membuat Pak Mamat ikut merasakan keceriaan itu juga.
“Kelihatan seneng banget, Neng,” ucap Pak Mamat.
“Iya, Pak. Aku tuh emang lagi seneng banget. Gak sabar nanti ketemu temen-temen baru, pasti seru deh, Pak.”
“Semoga temen-temen Neng Vena baik-baik ya, Neng. Bapak ikut seneng lihat Neng Vena semangat sekolah. Jadi kepingin sekolah lagi saya,” gurau Pak Mamat.
“Ih, Bapak mah. Udah tua Bapak, emang ada sekolah buat orang tua?”
“Ya gak tahu juga saya mah. Kan saya cuma bilang kepingin aja”
“Hehehe. Iya, Pak. Eh, tapi, kan menuntut ilmu gak harus di sekolah juga kan, Pak, di mana pun dan kapanpun kita bisa belajar kan.”
"Neng Vena mah pinter bener jawabnya."
"Itu sih kata guru Vena di SMP, Pak, hehehe."
Senyum di wajah keduanya masih belum luntur hingga beberapa saat meski sudah tidak ada pembicaraan lagi di antara mereka. Vena mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Melihat jajaran pohon yang rindang di sepanjang jalan menuju sekolah barunya.
Perjalanan dari rumah Vena menuju sekolahnya memerlukan waktu hampir empat puluh menit, karena Vena memilih sekolah yang ada di daerah kota, sementara tempat tinggalnya berada di daerah tepian kota. Saat ia sampai di depan gerbang sekolah telah banyak siswa – siswi berseragam sama dengannya memasuki gerbang.
“Pak, aku berangkat dulu ya. Hati – hati kalau pulang, jangan ngebut,” pamit Vena.
“Siap, Neng. Neng juga hati – hati. Nanti dijemput jam berapa?”
“Masih gak tahu, Pak. Di jadwal sampai jam satu sekolahnya. Nanti aku telepon saja kalau mau pulang.”
“Baik, Neng.”
Vena keluar dari mobil yang mengantarkannya. Ia berjalan bersama murid-murid lainnya untuk masuk ke dalam sekolah. Kesan pertama dari apa yang ia lihat adalah pepohonan yang rindang dan banyak tanaman hias yang tertata rapi di sepanjang koridor. Masih tetap sama seperti beberapa waktu yang lalu ketika dia mendaftar sekolah.
Vena membawa langkah kaki jenjangnya menuju kerumunan yang ia yakini adalah para siswa baru yang sedang melihat pengumuman pembagian kelas di mading. Ia ikut berdesak-desakan bersama yang lainnya untuk melihat namanya.
Satu persatu kertas yang tertempel ia teliti. Memindai setiap nama yang berawalan huruf 'M' untuk memudahkan mencari namanya. Dan akhirnya ia menemukan namanya tersemat di dalam kolom kelas X – IPA 3.
“X – IPA 3,” gumannya.
Setelah menemukan namanya, ia segera mundur dari kerumunan. Mempersilahkan yang lain untuk melihat papan pengumuman. Vena berjalan mundur tanpa melihat di belakangnya sehingga tanpa sengaja ia menginjak kaki orang yang berdiri tepat di belakangnya.
“Aduh! Maaf-maaf, gak sengaja,” ucap Vena berbalik dan meminta maaf.
Orang yang ia injak hanya mendesis menahan sakit tanpa menjawab permintaan maaf Vena. Perlahan, Vena menyingkirkan tubuhnya memberi jalan pada laki-laki yang ia injak kakinya. Tak henti-hentinya Vena memandang laki – laki itu dengan tatapan bersalah dan menilai penampilannya.
'Ya ampun, ganteng banget! Udah gitu cool banget kayak kulkas dua pintu,' batin Vena.
"Semoga aku satu kelas dengannya. Pasti menyenangkan," guman Vena berharap.
”Perhatian – perhatian! Kepada siswa baru SMA Insan Cendekia harap segera merapat ke lapangan! Silahkan membentuk barisan sesuai kelas yang telah ditentukan!” Suara pengeras suara menginterupsi lamunan Vena.
Ia bergegas menuju ke lapangan mengikuti perintah. Pelan – pelan ia berjalan dengan melihat papan yang bertuliskan kelasnya meski ia hamper tak melihat karena saking banyaknya siswa yang berdiri di depannya.
“Ya Allah, padahal aku nggak pendek-pendek banget, kenapa masih gak kelihatan depan sih? Sedihnya diriku,” gerutu Vena sedikit kesal.
“Ehm, maaf. Apa kamu tahu di mana kelas X – IPA 3?” tanya Vena pada perempuan yang berdiri di depannya.
“Nggak tahu,” jawab perempuan itu ketus.
Ih, ditanya baik-baik malah nyolot, dasar!
Vena berjalan menggeser badannya, berjalan perlahan mencari di mana barisan kelasnya berada. Pandangannya tertuju pada laki – laki yang ia injak kakinya. Dengan senyuman di bibirnya yang kembali terkembang ia menghampiri laki – laki itu.
“Sorry, apa kamu tahu barisan kelas X – IPA 3?” Tanya Vena pada laki – laki itu.
“Hem,” guman laki – laki yang ditanyai Vena.
“Di mana? Bisa kamu menunjukkannya padaku?” pinta Vena mulai sangsi, laki – laki itu terlihat kesal saat Vena bertanya.
“Di sini,” jawab laki-laki itu singkat dan padat.
Vena masih mencerna jawaban laki – laki yang ia juluki kulkas dua pintu itu. Begitu paham dengan maksudnya ia menepuk kepalanya sendiri merutuki kelemotanya yang datang di saat yang tidak tepat.
“Lalu di mana kita harus meletakkan tas kita?” tanya Vena lagi.
“Belakang.”
“Oh, okey. Thanks.” Vena berbalik dan berjalan menuju tepi lapangan. Ia meletakkan tasnya di tepian lapangan bersama dengan tas – tas yang lain. Tak lupa ia mengambil ponselnya dan meletakkannya di saku rok abu – abu yang ia kenakan. Setelah itu ia segera kembali menuju barisan kelasnya.
Tepat saat Vena masuk barisan, salah satu anggota osis tengah mengabsen siswa di barisannya. Satu persatu dipanggil oleh osis itu.
“Siapa namamu? Tadi ada beberapa nama yang sudah dipanggil tapi anaknya gak ada,” bisik gadis di sebelah Vena.
“Mentari Indah Lovena, apa sudah dipanggil?” Tanya Vena memastikan.
“Belum. Kenalkan, Aku Tiara Indrawan, kamu bisa memanggilku Ara,” bisik gadis itu mengulurkan tangan pada Vena.
“Salam kenal, Ara. Kamu bisa memanggilku Vena,” balas Vena dengan senyum manis di bibirnya.
“Aldi Alfian?” teriak anggota osis yang mengabsen.
“Hadir.”
“Davina Bianca Lesmana.”
“Hadir.”
“Narendra Atmaja.”
“Hadir.”
Oh, namanya Narendra Atmaja. Kira – kira panggilannya siapa ya? Naren atau Rendra? Atau Atma? Ah, nanti kan pasti tahu, guman Vena tersenyum sendiri.
“Vena, namamu dipanngil tuh,” bisik Ara mengalihkan lamunan Vena.
“Eh-hadir,” jawab Vena terkejut.
Bersambung….
---