Manhattan, New York (US)
Aurora terus berdiri sambil menatap Manhattan yang dipenuhi oleh lapisan es. Bukan lagi udara dingin yang menjadi masalah mereka, tapi rasa kantuk yang seakan berusaha untuk menutup mata mereka.
Berulang kali Aurora mengusapkan tangannya yang dingin ke arah kelopak matanya. Dia tidak boleh tertidur, dia harus tetap terjaga untuk terus mengamati fenomena yang terjadi.
“Kurasa kita semua akan mati..” Osvaldo berbicara sambil berdiri di samping Aurora.
Aurora menggelengkan kepalanya dengan pelan. Dia tidak ingin mati di tempat ini.
Ibunya ada di Ohio, perempuan itu pasti sangat khawatir karena Aurora tidak bisa memberikan kabar apapun. Lalu ayah kandungnya sedang berusaha bertahan di tengah badai es untuk menjemputnya di hotel ini, Aurora tidak bisa mati sebelum bertemu dengan mereka.
Sudah sangat lama Aurora menantikan kesempatan untuk bertemu dengan ayahnya. Aurora menyadari jika selama ini dia juga sering menghindari Alfred, tapi Aurora sangat menyayangi pria itu.
“Aku tidak ingin dikubur di tempat ini. Jika aku harus mati, kurasa akan lebih baik jika aku mati di Ohio..” Kata Aurora dengan suara pelan.
“Kau mencoba memilih tempat kematianmu?” Tanya Osvaldo.
Aurora tersenyum lalu mengendikkan bahunya dengan pelan. Ini bukan saat yang tepat untuk membahas tentang kematian, tapi entah kenapa Aurora merasa lebih baik karena mendengar kalimat konyol Osvaldo.
“Kau akan sangat kedinginan jika berdiri di sini, Aurora. Jangan menjauh dari perapian..” Victor berbicara sambil menarik Aurora untuk kembali mendekat ke perapian.
Aurora mengikuti langkah Victor, mereka berdua duduk sambil bersandar di tembok hotel yang mulai terasa dingin.
Jika Aurora tidak melakukan sesuatu, suhu tubuhnya jadi semakin menurun.
“Kalian berasal dari Ohio?” Tanya Osvaldo yang baru saja duduk di depan Aurora.
“Kami tinggal Colombus. Bagaimana denganmu?” Jawab Victor.
Victor menarik Aurora untuk lebih dekat ke arahnya. Aurora menatap pria itu sekilas, entah kenapa Aurora merasa jika Victor tidak nyaman ketika Aurora berdekatan dengan Osvaldo.
“Ayahku tinggal di Washington, D.C. Dia salah satu politisi yang berpengaruh di sana, ibuku berada di Los Angeles.. Tapi aku tidak punya tempat tinggal..” Jawab Osvaldo sambil tersenyum singkat.
Sejak gelombang dingin mulai terasa, ruangan perapian sangat sunyi karena tidak ada satupun orang yang mau berbicara. Beberapa saat lalu mereka semua sempat terlihat perdebatan saat pria tua yang ada di sudut ruangan mengalami hipotermia.
“Kau tinggal dari satu kota ke kota lain?” Tanya Victor.
“Begitulah. Bahkan kurasa ayahku tidak tahu jika aku berada di Manhattan saat ini..” Osvaldo menggerakkan tubuhnya untuk duduk di samping Aurora. Pria itu menyandarkan kepalanya dan menutup mata dengan perlahan.
“Ayahku juga tinggal di Manhattan..” Kata Aurora.
“Aku tahu, Profesor Alfred Bernadius, bukan?”
Aurora menganggukkan kepalanya.
“Kau beruntung karena dia akan datang mencarimu..” Osvaldo berbicara tanpa membuka matanya.
Aurora kembali menganggukkan kepalanya. Dia merasa sangat beruntung karena ayahnya rela melakukan perjalanan jauh dari Washington, D.C ke Manhattan di tengah badai dingin yang sedang terjadi.
“Tidak ada orang yang beruntung di dunia ini. Jika aku beruntung, seharusnya aku tidak terjebak di kota beku ini..” Aurora menyandarkan kepalanya ke bahu Victor yang terasa dingin. Seolah tahu jika Aurora merasa kedinginan, Victor menggerakkan tangannya untuk menyelimuti tubuh Aurora. Victor selalu membuat keadaan Aurora berubah menjadi lebih baik.
“Kau akan baik-baik saja, Aurora.. percayalah padaku..” Kata Victor. Berulang kali pria itu mengusap kepala Aurora dengan gerakan pelan.
Beberapa saat kemudian, Aurora mendengar suara gemuruh yang keras. Bersamaan dengan gemuruh tersebut, getaran gempa juga kembali terasa.
Aurora langsung memeluk Victor dengan erat, dia merasa sangat ketakutan.
“Terjadi gempa!”
Aurora mendengar suara keributan, tapi dia sama sekali tidak tahu siapa yang sedang berteriak ketakutan. Aurora terus memeluk Victor sambil menutup matanya hingga getaran gempa tersebut kembali tidak terasa.
Hampir dua menit lamanya mereka semua menjerit ketakutan karena gempa bumi kembali terjadi.
Lampu berkedip selama beberapa saat, hembusan angin juga terasa semakin dingin.
“Jangan keluar dari ruangan ini!”
“Kita akan mati jika tetap berada di dalam hotel!”
“Kalian akan mati membeku jika keluar!”
Aurora memeluk Victor semakin erat. Matanya terpejam dengan tubuh bergetar ketakutan. Beberapa kali dia mendengar suara perdebatan, juga langkah kaki yang tidak berirama.
Untunglah setelah beberapa saat kemudian, dinding hotel kembali berhenti bergetar. Suara gemuruh angin juga terdengar semakin pelan.
Aurora membuka matanya dengan perlahan, dia melihat jika beberapa balok kayu yang sempat dikumpulkan kini berserakan di seluruh ruangan. Osvaldo tampak menundukkan tubuhnya untuk menjaga pria tua yang sedang pingsan di sudut ruangan, sepertinya Osvaldo menjaga pria itu jika sewaktu-waktu ada reruntuhan bangunan yang terjatuh. Di sisi sebelah kanan, Aurora melihat Amanda dan seorang wanita lainnya yang sedang menundukkan tubuh untuk berlindung di bawah lemari besar.
“Kau baik-baik saja?” Victor menangkup wajahnya dan menatap Aurora dengan khawatir.
Aurora menganggukkan kepalanya dengan ragu. Dia terus menatap ke sekelilingnya yang tampak sangat berantakan karena bara api berserakan di atas lantai.
“Semuanya baik-baik saja? Apakah ada yang terluka?” Osvaldo membalikkan tubuhnya dan bertanya dengan suara lantang.
“Aku terluka..”
Aurora segera menolehkan kepalanya ketika dia mendengar jika ada yang terluka.
Di sudut ruangan, tepatnya di ambang pintu, Amanda terlihat berbaring dengan darah yang mengalir dari kepalanya. Tepat disampingnya ada sebuh guci yang pecah dan serpihan keramiknya menancap di tempurung kepala Amanda.
Aurora segera bergerak untuk mendekati wanita itu. Untuk sesaat Aurora merasa panik karena melihat ada banyak darah yang mengalir dari luka Amanda.
“Kepalanya terluka!” Kata Aurora dengan suara keras.
Victor dan Osvaldo datang mendekat, mereka memeriksa seberapa dalam keramik tersebut melukai Amanda.
“Kau tidak bisa mencabutnya!” Victor memukul tangan Osvaldo yang terulur untuk menyetuh keramik tajam yang menancap di kepala Amanda.
“Kita membutuhkan obat, aku harus mencari di ruangan penyimpanan obat..” Dengan langkah bergetar karena panik, Aurora mencoba bangkit berdiri dan berjalan keluar dari ruangan perapian. Sayang sekali langkahnya tidak seimbang sehingga kakinya tidak sengaja menginjak serpihan keramik yang lain.
“Jangan menggerakkan kakimu, kau bisa menginjak keramik yang lainnya!” Victor segera mendekati Aurora dan membantunya untuk berjalan menjauh.
Aurora meringis kesakitan. Dia cukup terkejut ketika melihat darah yang mengalir dari kakinya.
“Obat apa yang kau butuhkan? Aku yang akan mengambilnya di ruang penyimpanan obat” Kata Victor.
“Kau tidak tahu dimana lokasinya, biarkan aku yang mencari ke sana..” Osvaldo ikut mengajukan diri untuk membantu mengambil obat.
Luka di kaki Aurora dan juga di kepala Amanda harus segera diobati agar tidak terjadi infeksi. Tapi Aurora sadar jika lorong hotel akan terasa sangat dingin, Osvaldo akan menggigil kedinginan jika dia nekat pergi ke ruangan penyimpanan obat.
“Di luar sangat dingin..” Kata Aurora dengan pelan.
“Harus ada seseorang yang pergi keluar dan mengambil obat, bukan? Kalian tetaplah di sini, aku akan kembali dengan cepat..” Kata Osvaldo sambil berjalan keluar dari ruangan perapian dengan langkah hati-hati.
“Obat apa yang harus aku ambil?” Tanya Osvaldo sambil menghentikan langkahnya.
“Ambil saja kotak P3K yang ada di sana..” Jawab Aurora dengan pelan.
Setelah mendengar jawab Aurora, Osvaldo kembali melanjutkan langkahnya. Aurora harap pria itu tidak akan kedinginan saat berjalan di lorong hotel.
“Sepertinya tadi bukan gempa, itu adalah akibat dari gelombang dingin yang kembali menerpa..”
Aurora menolehkan kepalanya dan menatap Sir Andres yang sedang berdiri di balik jendela kaca yang kini tampak retak di bagian ujungnya. Jika jendela itu pecah, maka udara dingin akan langsung masuk ke dalam ruangan. Kemungkinan besar mereka semua pasti akan mati membeku di tempat ini.
Aurora memejamkan matanya dengan perlahan, dia berharap jika kemungkinan buruk tersebut tidak akan pernah terjadi. Jangan sampai jendela kaca itu pecah..
“Apakah kakimu sangat sakit?” Tanya Victor.
Aurora menatap kakinya yang berada di pangkuan Victor. Luka itu berada di kaki Aurora, tapi Victor yang terlihat lebih panik.
“Luka di kepala Amanda jauh lebih buruk..” Jawab Aurora dengan pelan.
“Kakimu juga terluka, jangan memikirkan orang lain ketika kamu sendiri sedang terluka..” kata Victor.
Aurora menatap Amanda yang tampak menutup matanya, perempuan itu hanya diam sambil terus berbaring di atas lantai yang begitu dingin.
“Apakah kau baik-baik saja?” Beberapa orang yang ada di ruangan perapian mulai berkumpul untuk melihat keadaan Amanda, begitu juga dengan Sir Andres yang meninggalkan jendela demi memastikan keadaan Amanda.
“Entahlah, apakah aku akan mati?”
Aurora mengalihkan tatapannya. Dia tahu jika luka di kepala Amanda tidak akan mudah untuk ditangani, tapi dia tetap harus berusaha untuk membantu wanita itu. Sekarang Aurora hanya perlu menunggu Osvaldo kembali sambil membawa kotak obat.
“Lukamu tidak seburuk itu, kau tidak akan mati..” Jawab Victor.
Entah Victor hanya ingin menenangkan Amanda atau dia memang tidak tahu seberapa parah luka di kepala perempuan itu, tapi Aurora merasa sangat terkesan dengan perhatian yang Victor berikan. Di keadaan seperti ini, mereka tidak boleh cemas dan ketakutan.
“Pandanganku mulai terasa kabur. Tidak ada dokter di sini, apakah kalian percaya pada Aurora? Pria tua itu masih belum sadarkan diri hingga saat ini..” Amanda kembali berbicara.
Tatapan Aurora tertuju kepada pria tua yang sedang terbaring di sudut ruangan. Sudah hampir satu jam berlalu, tapi pria itu tetap tidak sadarkan diri.
“Bisa membantuku berdiri? Aku harus melihat keadaan pria itu..” Aurora berbicara dengan suara pelan.
Victor mengikuti tatapan mata Aurora yang sedang memperhatikan pria tua yang ada di sudut ruangan.
“Jangan mendengarkan Amanda, kau harus tetap diam agar lukamu tidak semakin dalam. Pria itu baik-baik saja, jangan khawatir..” Kata Victor.
Aurora menarik napasnya dengan pelan. Dia merasa sangat cemas karena sampai sekarang pria tua itu masih belum membuka matanya.
“Aku harus memeriksanya karena—”
“Berikan aku air...”
Aurora berhenti berbicara ketika dia mendengar suara rintihan pria tua yang sejak tadi terbaring tanpa ada tanda-tanda kehidupan.
“Air.. berikan aku air..”
Suara rintihan pria itu semakin terdengar dengan jelas sehingga tiga orang yang awalnya mengerubungi Amanda kini berjalan untuk menghampiri pria tua tersebut. Aurora ingin melakukan hal yang sama, tapi Victor menahan gerakannya.
“Dia membuka matanya.. apakah kami bisa memberikan air kepadanya?” Salah satu orang yang berdiri di samping pria itu bertanya sambil menatap Aurora.
“Berikan air hangat.. dia harus meminum air hangat..” Jawab Aurora dengan cepat.
“Air ini membeku..” Sir Andres menunjukkan botol mineral yang sebelumnya terisi penuh dengan air. Sayangnya air di dalam botol tersebut sudah membeku karena udara yang begitu dingin.
“Panaskan botol itu di perapian..” Kata Victor.
Sir Andres berjalan mendekati perapian lalu mengulurkan tangannya untuk mencairkan air yang membeku.
“Berikan minum secara perlahan. Tenggorokannya pasti kering karena udara yang begitu dingin..” Kata Aurora.
Sir Andres menatapnya sekilas lalu menganggukkan kepalanya. Pria itu berubah menjadi lebih baik hanya dalam hitungan jam.
“Kau berhasil menyelamatkannya, Aurora..” Kata Victor dengan suara pelan.
Aurora memejamkan matanya sambil tersenyum dengan lega. Setidaknya ada satu masalah yang berhasil mereka selesaikan.. sekarang Aurora hanya perlu fokus untuk mengobati luka di kepala Amanda.. Ya, dan mengobati luka di kakinya juga.