Manhattan, New York, (US)
Aurora membawa beberapa karung kain bekas yang sepertinya adalah sprei yang sudah tidak layak pakai. Bukan hanya kain, Aurora juga mengangkat sebuah balok kayu yang berukuran cukup besar.
Sementara Aurora kesulitan membawa karung kain dan sepotong balok kayu, Victor tampak menuruni tangga dengan terburu-buru karena dia mengangkat balok kayu berukuran besar. Entah apa yang ingin Victor lakukan dengan kayu-kayu ini, tapi mereka sempat membongkar sebuah meja riang di gudang atas dan memotong kayunya menjadi potongan kecil agar lebih mudah untuk dibawa.
Aurora sepenuhnya menyadari jika tindakannya ini adalah sebuah upaya perusakan fasilitas hotel. Tapi dia tidak memiliki pilihan lain. Sekarang satu-satunya hal yang Aurora harapkan adalah dia tidak bertemu dengan pelayan hotel.
“Cepatlah masuk dan susun semua ini di bak mandi, aku akan kembali ke atas untuk mengambil beberapa sisa potongan kayu..” Kata Victor begitu mereka sampai di depan ruangan.
Aurora menatap Victor yang langsung berlari ke lantai atas untuk kembali mengambil potongan kayu meja rias yang masih tersisa di gudang. Selain menemukan kayu dan kain, Aurora juga menemukan sebuah pematik api yang untungnya masih berfungsi dengan baik.
“Jika ini masih kurang, kita bisa menghancurkan perabotan lainnya di gudang itu..” Victor kembali sambil membawa sekarung kayu.
“Kurasa ini sudah cukup. Kita hanya perlu bertahan hingga ayahku datang ke sini. Dia sedang terjebak di rumah sakit karena mobilnya berhenti bergerak. Suhu rendah telah membuat bensin mobil itu membeku..” Kata Aurora.
Victor menganggukkan kepalanya lalu segera menyusun tumpukan kayu ke atas kain yang sudah Aurora letakkan di atas bag mandi. Toilet ini akan menjadi tempat perapian untuk sementara.
“Aku melihat beberapa tamu hotel yang dievakuasi untuk masuk ke dalam bis karena mereka akan pergi ke perbatasan, apakah kita akan tetap tinggal di sini?” Tanya Victor.
Aurora teringat pada pesan yang diberikan oleh Alfred. Percobaan evakuasi ini akan berakhir sia-sia, mesin mobil akan berhenti bergerak ketika suhu udara semakin rendah.
“Aku harus memperingatkan mereka agar tetap tinggal..” Kata Aurora sambil berjalan keluar dari ruangan hotelnya.
***
“Jika kau tidak ingin selamat, maka kau bisa tetap tinggal di sini!”
Berulang kali Aurora mendengarkan jawaban yang sama setiap dia menjelaskan apa yang akan terjadi jika mereka nekat menaiki bis dan melakukan perjalanan di tengah badai salju seperti ini.
Aurora tidak menyerah begitu saja, dia berlari dari satu orang ke orang lainnya untuk memperingatkan mereka agar tidak naik ke atas bis.
“Kalian tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ayahku adalah Profesor Alfred Bernadius, dia salah satu ahli meteorologi yang memahami bagaimana situasi badai ini. Dia datang dari Washington, D.C untuk menjemputku, tapi mobilnya berhenti bergerak karena mesin dan bensin mobil itu membeku. Kalian tidak boleh keluar dari ruangan ini, suhu di luar sangat dingin. Kalian bisa terkena hipotermia!” Aurora menarik lengan seorang wanita tua yang akan keluar dari hotel.
Tidak, Aurora tidak bisa membiarkan mereka pergi begitu saja. Aurora mempercayai ayahnya, Alfred mengatakan hal yang benar.. Aurora akan merasa bersalah jika dia gagal menyelamatkan para pengunjung hotel.
“Aku tidak mengenal ayahmu, Nona. Tapi jika tetap ingin mengikuti pemikiran ayahmu, maka tetaplah tinggal di sini. Jangan menghasut kami untuk mati bersamamu!”
Aurora cukup terkejut ketika ada seorang pria muda yang mendorongnya hingga membuat tubuhnya kehilangan kendali. Punggungnya terbentur lantai yang dingin karena keseimbangannya terganggu akibat dorongan kuat dari pria asing tersebut.
“Hei, apa yang kau lakukan? Dia seorang wanita!” Ada satu orang pria muda lainnya yang langsung membantu Aurora bangkit berdiri.
“Dia menghalangi jalan kami! Apakah dia akan bertanggung jawab jika kami mati di tempat ini?!”
“Jangan berteriak padanya! Jika kalian ingin pergi, maka pergilah!” Kata pria yang membantu Aurora.
“Aurora, ada apa?” Victor berlari mendekati Aurora dan menatapnya dengan khawatir.
Aurora tersenyum lalu menggelengkan kepalanya dengan pelan.
“Jika kalian berdua adalah temannya, maka jaga mulut gadis muda ini! Dia mengganggu evakuasi dengan doktrin sesatnya!”
Aurora cukup terkejut ketika mendengar kalimat kasar tersebut. Dia merasa sedikit kecewa karena beberapa orang di sekitarnya langsung menyerukan kalimat yang serupa.
“Kalian bisa pergi jika memang ingin pergi! Jangan menyalahkannya!” Pria asing yang tadi sempat membantu Aurora kembali berbicara dengan suara keras.
Aurora merapatkan tubuhnya ke arah Victor yang tampak masih kebingungan dengan keributan yang terjadi. Untuk sesaat Aurora menyesali perbuatannya, dia seharusnya tetap diam dan membiarkan mereka melakukan apapun yang mereka ingin lakukan.
“Jangan biarkan mereka pergi..” Aurora berbicara dengan suara pelan.
“Aurora, kurasa sebaiknya kita kembali ke lantai atas..” Victor menahan lengan Aurora.
Alfred sendiri mengatakan jika kemungkinan besar mesin kendaraan akan berhenti bekerja di suhu rendah seperti ini, belum lagi ancaman datangnya badai udara dingin yang bisa muncul kapan saja. Aurora tidak bisa diam saja dan membiarkan mereka semua pergi. Aurora akan merasa sangat berdosa jika dia melakukan itu.
“Tolong dengarkan aku, jangan meninggalkan—”
“Aurora! Hentikan semua ini. Mereka tidak akan mendengarkanmu..” Victor kembali menghentikan Aurora.
Bahu Aurora melemas ketika dia mendengarkan kalimat Victor. Apa salah jika dia berusaha menghentikan orang-orang tersebut? Mereka berada dalam bahaya yang masih belum mereka ketahui. Aurora tidak bisa diam saja, bukan?
“Victor.. Kau mendengar sendiri apa yang dikatakan oleh ayahku. Mereka tidak akan bisa menghadapi udara dingin di luar sana!” Aurora menatap Victor dengan kecewa.
“Kau sudah mengatakan itu kepada mereka, jika mereka menolak, itu bukan salahmu. Kau sudah melakukan tugasmu, tapi kita tidak bisa mengatur keputusan seseorang, Aurora..”
Aurora kembali terdiam. Dia akhirnya memilih untuk berdiri di ujung ruangan sambil menatap puluhan orang yang berbondong-bondong keluar dari pintu hotel untuk menuju ke dalam bus. Jalanan yang terlihat sepi sejak kemarin siang, kini mulai dipenuhi oleh kendaraan yang sepertinya akan segera menuju ke perbatasan. Pemerintah New York mengerahkan banyak bantuan untuk mengevakuasi warga Manhattan sebelum gelombang dingin menyapu wilayah ini.
Hujan salju yang begitu lebat tidak menghentikan niat mereka untuk melakukan perjalanan. Hembusan angin membawa masuk butiran es kecil yang menyusup lewat sela pintu kaca. Beberapa kali Aurora mengeratkan jaketnya, dia menyadari betapa dinginnya udara di dalam hotel.. entah sedingin apa udara di luar sana.
“Kita harus naik ke atas, Aurora. Kau ingat apa yang dikatakan ayahmu? Kita akan sangat kedinginan jika terus berdiri di sini..” Kata Victor sambil berjalan mendekati Aurora yang sedang tadi hanya diam sambil mengamati proses evakuasi.
Beberapa bus yang sudah penuh mulai berjalan membelah kota Manhattan yang dipenuhi oleh salju. Beberapa orang tampak menggigil kedinginan di dalam bus, tapi tidak ada satupun yang mau mengubah keputusan mereka untuk melakukan perjalanan.
“Naiklah lebih dulu, aku masih ingin melihat mereka..” Jawab Aurora dengan suara pelan.
“Aku tidak mungkin meninggalkanmu sendirian..” Kata Victor sambil merangkul bahu Aurora.
Situasi saat ini sungguh sangat buruk. Seumur hidupnya, Aurora sama sekali tidak pernah mendengar tentang badai angin dingin yang bisa membekukan lapisan daratan dan lautan. Ada banyak badai yang sering terjadi di Amerika, tapi ini adalah satu-satunya badai mengerikan yang membuat Aurora merasa sangat ketakutan.
Sekarang Aurora sedang berada di New York, dia tinggal di Manhattan yang sayangnya menjadi titik pusat kebekuan tersebut.
Ledakan nuklir membawa banyak dampak buruk pada iklim global sehingga saat ini suhu udara di permukaan laut berubah dengan sangat cepat. Sinar matahari tidak mampu menebus lapisan karbon yang tercipta karena ledakan nuklir, bumi semakin dingin sehingga membuat badai terbentuk dengan cepat.
“Aku akan segera naik. Aku hanya ingin melihat siapa yang memilih untuk tetap tinggal di sini..” Kata Aurora.
Victor tampak menghembuskan napasnya lalu mengangguk dengan maklum. Pria itu seakan mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh Aurora.
“Jangan merasa bersalah, mereka membuat keputusan mereka sendiri..” Victor berbicara sambil mengusap kepalanya dengan pelan.
“Kau tahu caranya menyalakan api? Aku akan segera naik setelah semua orang pergi menggunakan bus..”
“Baiklah, tapi berjanjilah untuk tidak melakukan sesuatu yang ekstrem seperti tadi. Tetaplah berdiri di sini sampai mereka semua pergi, lalu naiklah ke atas. Aku akan segera menyiapkan perapian yang diminta oleh ayahmu..”
Aurora menganggukkan kepalanya dengan tenang. Sejujurnya Aurora berharap jika ada yang mau tinggal di hotel ini sesuai dengan instruksi dari ayahnya. Udara dingin di luar sana akan benar-benar membekukan tulang mereka. Hotel ini adalah satu-satunya tempat aman yang mereka miliki.
“Kau masih berharap mereka mau mendengarkanmu?”
Aurora menolehkan kepalanya dan menatap seorang pria yang tadi sempat membantunya. Pria itu berjalan mendekatinya sambil membawa segelas minuman hangat yang uapnya masih mengepul tepat di atasnya.
“Mereka tidak akan pernah mendengarkan seorang gadis muda yang mencoba melawan aturan pemerintah yang tidak masuk akal” Pria tersebut kembali berbicara.
Aurora mengendikkan bahunya dengan pelan.
“Setidaknya aku sudah mencoba..” Jawab Aurora.
“Namaku Osvaldo, kau?” Pria tersebut mengulurkan tangannya ke arah Aurora.
“Aurora..” Aurora menjawab sambil membalas uluran tangan pria tersebut.
“Kau akan tetap tinggal di hotel ini?” Tanya Osvaldo.
Aurora baru mengenal Osvaldo beberapa menit lalu, tapi dia rasa tidak ada salahnya jika Osvaldo mengetahui alasan Aurora memilih untuk tetap tinggal di hotel ini.
“Ayahku adalah seorang ilmuan yang mempelajari meteorologi. Dia memintaku untuk tetap tinggal di dalam hotel karena beberapa saat lalu dia menghubungiku dan mengatakan jika mesin mobilnya membeku saat dia mencoba masuk ke New York..” Aurora menjelaskan dengan tenang.
“Membeku? Apakah keadaan di luar sana seburuk itu?” Tanya Osvaldo dengan raut terkejut.
Aurora baru saja akan menjawab pertanyaan Osvaldo, tapi secara tiba-tiba terdengar keributan saat ada seseorang yang jatuh pingsan di tengah tumpukan salju ketika dia akan masuk ke dalam bus evakuasi.
Aurora segera berlari mendekati pintu hotel, dia berteriak dan meminta agar wanita tua yang pingsan tersebut bisa dibawa masuk ke dalam hotel.
“Dia kedinginan, kalian harus membawanya masuk ke sini!” Aurora menjadi untuk menerobos beberapa orang yang tampak berdiri di depan pintu untuk menunggu giliran masuk ke dalam bus.
“Hei, kau kembali membuat kekacauan! Pergilah dari sini, Nona! Kau merepotkan kami semua!”
Aurora terhuyung ke belakang ketika seorang pria mendorong tubuhnya.
“Apa kalian sudah gila? Jangan membawanya ke dalam bus, dia akan semakin kedinginan!” Aurora bangkit berdiri dan kembali mencoba untuk menerobos barisan.
Sayangnya sesuatu yang buruk tiba-tiba terjadi. Terdengar suara gemuruh yang cukup mengerikan. Hujan salju seketika berhenti dan kini digantikan dengan hujan es yang turun sangat deras. Bukan dalam butiran kecil seperti yang terjadi beberapa jam lalu, hujan es turun dengan ukuran yang jauh lebih besar dari kepalan tangan orang dewasa.
Aurora menatap dengan wajah ketakutan. Beberapa orang yang berada di luar hotel segera berlari untuk memaksa masuk ke dalam bus. Ada sekitar 10 orang yang masih tersisa di dalam hotel, beberapa dari mereka mencoba untuk keluar dari hotel karena mendengar suara mesin bus yang sepertinya akan segera berangkat.
Aurora segera berdiri di depan pintu dan menghalangi mereka semua. Hujan es kali ini akan sangat berbahaya, bukan hanya menggigil kedinginan, tapi mereka bisa saja terluka jika terkena bongkahan es berukuran besar.
“Menyingkirlah, bodoh!” Seorang pria menarik Aurora dengan kuat lalu mendorongnya ke arah belakang.
Aurora meringis kesakitan ketika tubuhnya kembali mendarat di atas lantai yang dingin.
Ada lebih dari 5 orang yang nekat berjalan ke luar untuk masuk ke dalam bus. Sayangnya, begitu satu orang terakhir berlari di tengah hujan es, kakinya terpeleset sehingga dia jatuh dan kepalanya menghantam tangga depan. Aurora bisa melihat ada darah yang mengalir dari kepala wanita itu. Hujan es yang turun semakin deras juga langsung mengenai tubuh wanita malang tersebut.
Aurora menjerit dengan histeris ketika dia melihat bagaimana bongkahan es besar menghantam kepalanya dan menimbulkan luka yang sangat parah. Bukan luka... tapi kepala wanita itu telah hancur.
“Tidak!” Aurora bangkit berdiri dan berusaha untuk keluar dari hotel untuk membantu wanita tersebut.
“Apa kau sudah gila?! Kau akan mati jika keluar dari pintu hotel!” Osvaldo menarik tangan Aurora dan menghentikannya.
Aurora memberontak dengan keras. Dia tidak mungkin membiarkan wanita itu terus tergeletak di luar pintu. Wanita itu bisa saja.. dia bisa saja meninggal.
“Kita harus membantunya!” Aurora berteriak kembali.
Bus yang awalnya berhenti di depan pintu hotel, kini telah melaju dengan kecepatan tinggi. Aurora melihat jika bus tersebut sempat kehilangan keseimbangan, tapi akhirnya kembali melaju dengan kecepatan tinggi hingga Aurora tidak bisa lagi melihatnya.
“Dia sudah meninggal. Kita tidak bisa membantunya!”
Aurora seketika terdiam. Tidak.. itu sama sekali tidak mungkin.
“Aurora.. Oh Tuhan, apa yang terjadi?”
Aurora menolehkan kepalanya dan menatap Victor yang tampak sangat khawatir. Pria itu berlari lalu langsung memeluknya dengan erat. Victor memeluknya, pria itu mencoba menghalangi pandangan Aurora yang sejak tadi tertuju pada tubuh perempuan asing yang sekarang sudah mulai terkubur di dalam bongkahan es.
“Perempuan itu meninggal..” Aurora berbicara dengan suara lirih.
“Semuanya akan baik-baik saja, Aurora. Jangan khawatir, aku akan selalu menjagamu..” Tangan Victor bergerak untuk mengusap kepala belakang Aurora. Beberapa kali pria itu mengecupkan bibirnya ke puncak kepala Aurora. Dengan segala cara, Victor mencoba untuk menenangkan Aurora, tapi siapa yang bisa tenang jika dia baru saja melihat seorang wanita mati karena tertimpa hujan es?