Bab 35

2173 Kata
Manhattan, New York (US) Alfred menatap ke arah luar jendela yang kini mulai turun hujan es dengan intensitas tinggi. Ada rasa khawatir yang tiba-tiba memenuhi pikirannya ketika dia mengingat keberadaan Aurora yang ada di pusat kota. Manhattan mungkin hanya berjarak beberapa jam dari rumah sakit ini, tapi mengingat bagaimana dinginnya udara di luar membuat Alfred kembali mengurungkan niatnya. “Tenanglah, Aurora pasti baik-baik saja. Jika kau keras kepala dan memutuskan untuk menjemputnya saat ini, dalam beberapa mil mobilmu akan kembali berhenti bergerak..” Kata Felix yang duduk di sisi kiri Alfred. Perapian yang Felix buat bersama dengan beberapa orang dokter dan perawat kini dikelilingi oleh banyak pasien yang dengan sengaja dibawa ke ruangan ini. Suhu udara semakin rendah, membuat beberapa perawat sibuk menyiapkan selimut tambahan, mereka juga memberikan cokelat panas untuk membantu menenangkan orang-orang yang mulai panik. “Sepertinya kau harus belajar dari kepala rumah sakit itu. Putrinya ada di California, tapi di sini dia tetap tenang dan terus melayani pasien yang kedinginan..” Kata Felix. Alfred menolehkan kepalanya dan menatap kepala rumah sakit yang sibuk berjalan dari satu sisi ke sisi yang lainnya untuk bisa memastikan bahwa tidak ada pasien yang terlantar. Alfred merasa terkesan dengan kinerja kepala rumah sakit ini. Seorang pria tua biasanya sangat lemah juga sudah menyangkut udara dingin. Seluruh sendi dan tulangnya pasti langsung terasa nyeri di udara dingin seperti ini, tapi kepala rumah sakit seakan menghiraukan rasa sakitnya dan terus berusaha melayani pasiennya. Di tengah bencana seperti ini, apakah seorang dokter tidak peduli pada keadaannya sendiri dan terus berusaha untuk membantu orang lain? Jika iya, maka mereka adalah orang-orang yang hebat. “Kudengar sepupumu seorang dokter. Apakah di tengah bencana seperti ini dia juga tetap bekerja di rumah sakit?” Tanya Alfred. “Dia bekerja tanpa pernah pulang ke rumah. Aku bertanya-tanya bagaimana dia bisa memiliki istri padahal hampir seluruh hidupnya dihabiskan di rumah sakit” Jawab Felix dengan tenang. Beberapa saat mereka semua sibuk menghangatkan diri di dekat perapian, tiba-tiba saja terdengar gemuruh yang cukup mengerikan. Alfred segera bangkit berdiri dan berjalan mendekati jendela kaca yang ada di ujung lorong sebelah kanan. Langkahnya bergetar setiap kali mendengar suara gemuruh udara, tapi Alfred tetap bertekat untuk melihat apa yang terjadi di luar sana. Begitu sampai di samping jendela, Alfred tidak lagi terkejut ketika mendapati keadaan luar yang begitu gelap. Angin kencang bersama dengan bongkahan es mulai berjatuhan hingga membuat suara nyaring yang cukup mengerikan. Tidak ada satu orangpun yang melintas di jalanan luar, tapi keadaan ini tetap saja sangat berbahaya. Beberapa bongkahan es menghantam kaca rumah sakit, sekalipun merasa sedikit khawatir, Alfred tetap percaya jika kaca rumah sakit tidak serapuh itu untuk bisa dipecahkan. Ya, semoga saja tidak ada satupun jendela yang pecah. “Profesor, kurasa kau tidak mendengar.. tapi sepertinya ada telepon di ruanganku. Mungkin itu adalah putrimu..” Kepala rumah sakit tiba-tiba saja datang dan berdiri di samping Alfred yang sedang fokus menatap di balik jendela. “Apakah itu benar putriku?” Alfred bertanya dengan suara khawatir. “Entahlah, tapi kurasa hanya putrimu saja yang menghubungi rumah sakit ini menggunakan telepon tua tersebut..” Kepala rumah sakit menjawab dengan tenang. Alfred segera berlari menuju ke lantai atas tempat ruangan kepala rumah sakit berada. Dia merasa sangat menyesal karena tidak menghubungi Aurora sejak tadi. Di tengah situasi yang begitu mengerikan seperti ini Aurora pasti sangat ketakutan. Sayangnya, begitu sampai di ruangan kepala rumah sakit, telepon tersebut tampak tenang seperti tidak ada panggilan sebelumnya. Alfred tidak menyerah, dia langsung berjalan mendekati telepon tersebut lalu mencoba untuk menghubungi Aurora. Jika putrinya sedang berada di gudang hotel, maka Aurora pasti akan mendengar dering telepon tersebut. Pada dering pertama tidak ada jawaban. Tapi pada dering selanjutnya terdengar jawaban dari sambungan telepon tersebut? “Halo?” Bukan suara Aurora. Alfred justru mendengar suara seorang pria di tengah keributan yang begitu kencang. Sepertinya itu adalah suara badai seperti yang sedang terjadi di tempat ini. “Dengan siapa aku berbicara?” Pria di sambungan telepon tersebut kembali berbicara dengan suara yang keras. Sepertinya dia menyadari jika Alfred sangat kesulitan mendengarkan suaranya karena badai mengacaukan sambungan telepon. “Dengarkan aku, apakah kau mengenal Aurora? Bisakah kau memanggilnya? Aku adalah ayahnya Aurora!” Alfred menjawab dengan suara keras juga. Dia takut kekacauan badai di sana membuat suaranya ikut terganggu. “Aurora? Tunggu dulu..” Alfred menunggu dengan kebingungan. Hanya ada suara keributan dan juga percakapan antara dua orang yang tidak terdengar terlalu jelas. “Maafkan aku, Sir. Tapi di sini sedang terjadi badai, udara di gudang atas sangat dingin sehingga saya tidak bisa memanggil Aurora ke sini. Dia sedang ada di ruangan perapian, dia baik-baik saja dan kami sedang berusaha untuk mencari benda yang bisa dibakar agar perapian itu tidak mati. Sebelumnya Aurora telah menghubungi Anda tapi tidak berhasil terhubung” Alfred merasa jika ada perbedaan antara suara orang yang pertama kali mengangkat teleponnya dengan orang yang baru saja memberikan penjelasan mengenai Aurora. Sekilas Alfred mengingat suara seorang pria yang sempat terdengar saat dia menghubungi Aurora terakhir kali. “Dia baik-baik saja?” Tanya Alfred dengan cepat. Tidak ada waktu untuk memikirkan siapa pemuda yang sedang berada di sambungan telepon ini, Alfred mengapresiasi kepeduliannya kepada Aurora di tengah badai udara dingin yang sedang terjadi. Pemuda itu benar, udara di gudang atas terasa lebih dingin karena Aurora pernah menceritakan jika di sana terdapat sebuah pintu yang tidak bisa tutup dengan rapat. “Dia baik-baik saja, tapi.. bisakah Anda menjelaskan apa yang sedang terjadi? Maaf jika saya terkesan lancang, tapi perkenalkan saya adalah Victor. Saya mengenal Aurora, dia mengatakan jika Anda adalah ahli di bidang meteorologi. Anda juga yang—” “Jangan berbasa-basi, cepat tanyakan apa yang sedang terjadi saat ini!” Alfred menaikkan sebelah alisnya. Jadi tebakannya memang benar, ada dua orang pemuda berbeda yang tadi sempat berbicara dengannya. “Kapan puncak dari badai ini? Dan kapan semua ini akan berakhir?” Alfred menarik napasnya dengan pelan. Dia tidak bisa mempercayai kedua pemuda asing tersebut, tapi tidak ada pilihan lain. Ini adalah sebuah informasi penting yang harus disampaikan kepada semua orang. “Aku masih belum bisa memastikan kapan puncak dari badai tersebut. Tapi sepertinya kita sedang berada di awal badai..” Jawab Alfred dengan pelan. “Aurora mengatakan jika Anda akan datang ke sini, apakah Anda sungguh akan datang?” “Tentu, tentu saja aku akan datang..” *** Alfred mengakhiri sambungan telepon karena mendengar suara gemuruh badai yang cukup keras. Pemuda yang awalnya berbicara dengannya mengatakan jika dia harus turun untuk melihat keadaan di bawah. Tidak ada pilihan lain selain mengakhiri sambungan telepon karena Alfred sendiri menyadari jika saat ini sedang terjadi badai besar, kemungkinan gelombang dingin juga akan tiba sesaat setelah badai berada di puncak. “Apakah kau berhasil berbicara dengan Aurora?” Tanya Felix. Pria itu ikut berdiri di balik jendela kaca yang sekarang beberapa bagiannya mulai retak karena terus dihantam oleh bongkahan kaca. “Ada temannya yang sedang berada di gudang, kurasa mereka saling mengenal dengan dekat karena beberapa jam lalu aku sempat mendengar suara pemuda itu ketika sedang berbicara dengan Aurora” Jawab Alfred dengan pelan. Jarinya terulur untuk menyentuh lapisan kaca yang dingin bagaikan air yang membeku. Udara di luar sepertinya semakin dingin sehingga kaca jendela bisa ikut membeku dan dilapisi oleh es. “Wow, Aurora berada di hotel bersama kekasihnya?” Tanya Felix. Alfred menaikkan sebelah alisnya, dia sama sekali tidak berpikir sampai sejauh itu. “Kurasa mereka berteman..” Alfred menjawab dengan tidak yakin. “Kurasa tidak.. berapa usia putrimu?” “17 tahun..” “Aku memiliki tiga kekasih yang berbeda ketika aku berusia 17 tahun” Jawab Felix. Alfred mengendikkan bahunya, dia merasa jika Aurora bukan tipe remaja seperti yang diceritakan oleh Felix. Tapi kalaupun pemuda itu adalah kekasih Aurora, sepertinya Alfred juga tidak akan merasa keberatan. Aurora akan lebih baik jika ada yang menemani di tengah situasi yang begitu mengerikan seperti ini. Tapi seingatnya, Aurora sama sekali tidak pernah membicarakan tentang kekasihnya. “Sepertinya mereka hanya berteman, dia tidak pernah bercerita jika memiliki kekasih di Manhattan..” Alfred menatap sebuah bongkahan es yang menghantam jendela dengan cukup keras. Dia terkejut lalu kembali menampilkan ekspresi tenang. “Apakah kau pernah membicarakan tentang Charlotte kepada putrimu?” Alfred menolehkan kepalanya lalu menggeleng dengan pelan. Sepertinya Felix adalah teman yang paling tepat untuknya. Pria itu membuat Alfred merasa sedikit kesal ketika sedang mengungkapkan hal serius, sayangnya Felix selalu mengatakan hal yang benar. *** Hembusan udara dingin mulai membuat beberapa orang melemah dan memejamkan matanya. Para dokter dan perawat bergerak dengan cepat untuk mengurus orang-orang yang mulai menunjukkan tanda mengalami . Alfred menggosokkan kedua telapak tangannya, sekalipun merasa sangat kedinginan, Alfred rasa dia masih bisa menahan matanya untuk tetap terbuka. Alfred terus berusaha untuk menggerakkan tangan dan kakinya agar dia bisa tetap merasakan pergerakan pada sendi dan tulangnya. Gejala awal orang yang terserang hipotermia adalah menurunnya respon, bahkan yang paling buruk adalah mati rasa. “Aku sangat kedinginan..” Berulang kali Felix mengatakan hal yang sama. Alfred menolehkan kepalanya dengan pelan dan menatap Felix yang tampak menggigil. Rasa cemas langsung menguasai pikiran Alfred begitu dia melihat keadaan Felix. Pria itu sedikit kesulitan saat berbicara, dia juga mulai menutup matanya seakan dia mengalami penurunan kesadaran. Tidak, ini adalah pertanda yang sangat tidak baik. “Gunakan selimut ini.” Alfred melepaskan selimut yang membungkus tubuhnya. “Kau akan kedinginan..” Felix menolak dengan gerakan pelan. Tubuh pria itu tampak kaku, dia juga terlihat sesak napas. Semua gejala awal yang dialami oleh penderita hipotermia sudah dialami oleh Felix. “Aku akan baik-baik saja. Ayo mendekat ke perapian!” Alfred bangkit berdiri dan menyeret tubuh Felix yang diam tanpa bisa digerakkan. Rasa dingin langsung menghampiri Alfred begitu dia menggerakkan tubuhnya. Sekalipun ada sebuah perapian besar yang ada di tengah ruangan, rasanya mereka semua masih sangat kedinginan. Bahkan beberapa kali terdengar tangisan dari seorang perawat karena tidak bisa menyelamatkan pasiennya. “Jangan menutup matamu, bodoh!” Alfred mengguncang tubuh Felix. Felix membuka matanya dengan pelan. Pria itu tampak sangat lemah. “Aku sangat kedinginan..” Suara Felix mulai terdengar tidak jelas. Beberapa kali pria itu meracau dengan suara bergetar karena dia mengigil. “Jangan menutup matamu, Felix!” Alfred kembali berteriak begitu mata Felix tertutup. “Apakah terjadi sesuatu padanya?” Seorang perawat yang mendengar teriakan Alfred segera datang mendekat dan memeriksa keadaan Felix. Ada satu orang dokter yang ikut melakukan pemeriksaan. “Tolong tetap pastikan tubuhnya berada di suhu yang aman. Kami akan mencarikan selimut tambahan untuknya..” Dokter tersebut berbicara setelah menyuntikkan sebuah obat ke dalam tubuh Felix. Alfred menarik napasnya dengan pelan. Apa yang bisa dia lakukan? Udara di sini sangat dingin. “Tetaplah sadar, Felix. Aku akan membunuhmu jika kau menutup mata!” Alfred membentak Felix dengan suara bergetar. Hampir sebagian orang yang berada di lantai ini mulai menutup mata mereka. Udara dingin semakin menusuk tulang, berulang kali Alfred berusaha untuk mempertahankan kesadarannya, tapi tampaknya dia sendiri juga sangat kedinginan. Dalam ambang batas antara kesadaran dan ketidaksadaran Alfred tiba-tiba mendengar suara tangisan seorang bagi. Alfred melihat dengan jelas jika tangannya terulur untuk mengangkat bayi perempuan yang masih berlumuran darah tersebut. Alfred juga memeluknya, dia menangis ketika merasakan detak jantung bayi itu untuk yang pertama kalinya. Ruangan bersalin yang awalnya dipenuhi oleh teriakan Abigail, kini terasa begitu nyaman begitu Alfred bisa mendengar suara tangisan putrinya. Tangan mungilnya bergerak untuk meraih sesuatu, tapi tidak ada yang tahu apa yang diinginkan oleh bayi kecil tersebut. Alfred melangkahkan kakinya dengan pelan untuk melihat Abigail yang sedang berbaring dengan peluh memenuhi tubuhnya. Wanita itu.. dia baru saja mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan putrinya. Sampai kapanpun Alfred tidak akan bisa melupakan momen ini. Sambil terus menangis, Alfred menggerakkan tangannya untuk menyentuh kulit lembut putrinya. Bayi ini berada dalam pelukannya, sekarang Alfred bukan hanya memeluk perut Abigail, tapi dia bisa langsung merasakan detak jantung putri kecilnya. Rasanya begitu menakjubkan.. Putrinya.. putrinya akan menjadi seorang anak perempuan yang dilimpahi kasih sayang. Alfred dan Abigail akan membesarkannya dengan baik, mereka akan selalu menciptakan lingkungan yang nyaman, mereka akan menjaga dan memberikan apapun yang putrinya butuhkan. Alfred berjanji akan selalu ada di setiap momen penting putrinya. Dia akan meninggalkan dunia demi menyaksikan tumbuh kembang putrinya. Ya, Alfred berjanji untuk menjadi seorang ayah yang terbaik. Putrinya akan bangga ketika menyebut namanya, mereka akan menghabiskan banyak waktu bersama, dan Alfred tidak akan pernah membuatnya kecewa. “Sir, apakah Anda baik-baik saja?” Alfred membuka matanya. Dia menatap ke sekelilingnya dengan kebingungan. Saat ini ia memang berada di rumah sakit... tapi tidak ada putrinya, juga tidak ada Abigail. “Anda membutuhkan selimut tambahan?” Tanya perawat tersebut. Alfred menarik napasnya dan mulai merasakan sesak di dalam dadanya. Bukan, ini bukan efek dari kedinginan, Alfred merasa sesak karena dia sadar jika semua janji yang ia ucapkan sepada Aurora tidak bisa dia tepati. Tidak ada satupun janji yang Alfred tepati. Alfred tidak pernah menjadi ayah terbaik, dia tidak meninggalkan dunia demi melihat tumbuh kembang putrinya, dia tidak ada di setiap momen penting putrinya, dia juga tidak membesarkan putrinya dengan baik, alih-alih menciptakan lingkungan yang baik, Alfred justru menjadi mimpi buruk bagi kehidupan Aurora. Perselisihan, pertengkaran, dan juga perceraian.. semua itu harus ditanggung oleh putri kecilnya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN