Episode 4

2164 Kata
Aku kembali ke kantorku, setelah aku dan juga Wulan sibuk untuk membicarakan persoalan tentang perjodohan, yang membuatku pada akhirnya bersikap bodo amat dan tak peduli apa nanti yang akan terjadi kepadaku. Jika memang takdir berkata kalau aku tidak akan mendapatkan sebuah pasangan, mungkin aku harus menerima nasib itu dan menjadi seorang perawan tua nantinya. Wulan pun berkata kalau dia akan mengatur pertemuan antara aku dan juga Arya nantinya. Entah pertemuan macam apa yang akan dia atur, aku hanya harus pasrah dan menerima apa pun rencana yang akan ia berikan kepadaku. Aku tak tahu juga harus berbuat apa nantinya, karena sekarang, pekerjaan yang harus kulakukan masih menumpuk dan menunggu untuk diselesaikan. Aku memandangi layar monitor, berbaris-baris dan juga berkolom-kolom tabel aku tatap di layar tersebut, dengan jumlah angka-angka sekaligus nominal yang tak pernah bisa aku gapai atau raih seumur hidupku. Melihat bagaimana rupanya saja aku tidak akan pernah bisa melihatnya secara langsung, karena berjumlah sangat fantastis sekaligus luar biasa untuk dilihat dengan wujud secara fisik. Tapi di tengah-tengah aku melakukan pekerjaanku, tiba-tiba notifikasi sebuah pesan muncul dari dalam laptopku itu. Aku mengira pak bos sedang memberiku pesan akan pekerjaan, namun ternyata itu bukan dari pak bos, melainkan dari Wulan itu sendiri. “Sabrina, kenapa kau bengong saja sih dari tadi? Masih kepikiran soal mimpi itu ya? Sudah jangan dipikirin! Kerjain kerjaanmu saja sekarang!” Aku menoleh ke belakang, melihat Wulan melambaikan tangannya kepadaku. Aku cukup kesal karena dia harus memperhatikanku semenjak tadi. Karena aku tentu saja tahu bagaimana cara untuk melakkukan pekerjaanku sendiri sekarang. Aku pun membalas Wulan dalam pesan itu sekarang, “Urus sendiri pekerjaanmu! Jangan banyak omong jika kau tak ingin membantuku menyelesaikannya!” “Ya ampun... begitu saja kok kamu marah si Sabrina. Kamu tahu kan kita berteman sudah sampai berapa lama. Refreshing dikit-dikit juga perlu kali. Jangan serius-serius amat jadi orang, itu pula lah penyebab kamu jadi jomblo sampai sekarang!” Ucap sabrina dalam pesan itu. Sudah kuduga, senjata terakhir bagi dirinya untuk mengolok-olokku adalah menggunakan status dan jabatan itu untuk menjatuhkanku. “Kamu seharusnya ngaca dulu yah sebelum bilang begitu sama aku. Minimal kamu harus punya pacar CEO startup ternama dulu deh baru bisa ngomong kek begitu ke aku. Orang sama-sama jomblo juga tapi sok melakukan pembenaran. Tingkat dan kasta terendah seorang jomblo itu orang kayak kamu tahu!” balasku lagi kepada Wulan. Aku dengan asyik membalas pesan-pesannya sampai lupa untuk bekerja. “Aku itu single ya bukan Jomblo! Inget! Beda antara Single dan Jomblo. Dan juga, kalo memang single seburuk itu, kenapa permainan badminton ada yang single? Bukan ganda doang? Itu berarti single memang lebih baik kan daripada ganda!” jawabnya lagi kepadaku dengan argumen aneh bin ngawur tak masuk akal. Aku tak tahu harus menjawabnya dengan apa lagi. “Dih dasar jomblo pembenaran!! Gak sudi aku dikasih saran sama jomblo kayak ka...” Tiba-tiba, sebuah email masuk dalam komputerku saat aku masih mengetik pesan untuk Wulan. Pesan itu berasal dari bos. Untung saja aku tidak buru-buru mengirim pesan itu sekarang, karena bisa saja pesan itu malah terkirim ke pak bos bukannya ke Wulan. Aku pun membuka isi pesan dari pak bos itu sekarang juga. “Hei, kenapa kau diam saja? Apa kau sudah kalah berdebat denganku?” Ucap Wulan yang terlihat dari notifikasi di layar komputerku. Aku mengabaikannya bukan karena aku kalah darinya. Hanya saja ada sesuatu yang lebih penting daripada membalas pesan-pesan bodoh dari Wulan itu sekarang. Dan ternyata memang benar, isi pesan itu adalah sebuah isi pesan pekerjaan. Beberapa saat lagi akan ada seorang calon investor yang sangat ingin membeli sebagian saham dari perusahaan ini. Aku ditunjuk menjadi salah satu orang pembicara atau perwakilan dari kantorku untuk bicara dengan investor tersebut memberikan apa yang mereka inginkan tentang perusahaan kami. Ini adalah pekerjaan yang cukup dan juga sangat penting dalam hidupku. Karena pekerjaan ini menjadi ujung tombak dari perusahaan akan semakin maju atau tidak nantinya. Karena jika iya, mungkin mereka akan memberikanku sebuah bonus atau kenaikan pangkat karena telah berhasil membuat perkembangan pesat di dalam perusahaan ini nantinya. Aku berkata kepada Pak Bos kalau tentu saja aku menerima pekerjaan itu dengan senang hati. Aku tak boleh melewatkan kesempatan itu begitu saja saat ini, aku juga tak memiliki alasan apa pun untuk menolaknya dalam kurun waktu yang sangat dekat seperti sekarang ini. +++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++Aku berada di sebuah ruang fotokopi sekarang, ruang yang selalu sepi karena memang beberapa tahun terakhir ini mesin fotokopi sudah jarang digunakan, semuanya mulai mengirim dokumen mereka menggunakan email ataupun juga media sosial sekarang. Yang tentu saja selain menghemat kertas juga menghemat pengeluaran kantor secara bulanan. Lebih tepatnya, ada 3 mesin fotokopi di sini. Namun yang berfungsi cuman 2, satunya rusak. Entah kenapa tak kunjung diperbaiki atau dipindahkan ke tempat lain semenjak 1 tahun belakangan. Karena memang satu mesin fotokopi yang ada di sana menambah sesak sempit ruangan ini sekarang. Aku pun menunggu di bangku panjang dekat tembok agar mesin fotokopi itu selesai menyalin semua dokumen yang aku perlukan. Dokumen-dokumen untuk aku kirim ke kantor-kantor para calon investor. Sebagai salah satu perusahaan pialang saham, kami memang perlu melakukan ini beberapa kali sehari agar aktivitas perusahaan menjadi sehat karena adanya pengeluaran dan juga pemasukan perusahaan. Dan secara tiba-tiba, saat aku bengong saja di sana tak memikirkan apa-apa, seorang lelaki tampan muncul dan masuk ke dalam ruangan ini. Dia memakai kacamata bundar dengan rambut belah tengah dan berpostur tubuh tinggi dan juga atletis. Dia memakai baju kemeja yang slim fit bisa memperlihatkan lekuk tubuhnya benar-benar indah dan membuatku penasaran. Bak seorang artis korea yang biasa kulihat. Namun meskipun begitu, umurnya terlihat jauh lebih muda dariku. Dia sangat linglung saat pertama kali masuk ke dalam ruangan ini, dia mungkin adalah pegawai baru. Dan seketika aku teringat dengan Wulan saat kami makan berdua di kantin. Seseorang yang kulihat sekarang adalah Arya, anak baru yang bekerja di divisi IT, jauh berlawanan tempatnya dari tempat divisiku dan juga Wulan bekerja sekarang. Aku ingin menyapanya, namun aku takut jika aku malah dianggap sebagai perempuan yang sok asyik dengan berlagak sok kenal dan juga sok dekat. Mungkin aku harus menentukan waktu yang tepat untuk aku bisa berkenalan dengannya. Karena jujur saja, penampilannya lebih tampan daripada saat aku melihatnya di foto dari ponsel Wulan beberapa jam yang lalu tersebut. Arya mencari mesin fotokopi tersebut, namun yang dia coba hampiri dan tekan-tekan adalah mesin fotokopi yang rusak. Aku sebagai senior yang baik pun langsung saja mengingatkannya kalau mesin itu sudah rusak, “Ehh... mas, Mesinnya rusak. Kalau mau pakai, pakai saja mesin di sebelah kiri itu. Kalo yang itu masih bisa, cuman kadang-kadang eror ngadat. Kalau mau pakai yang bisa, cepat, lancar, tunggu punyaku selesai saja dulu ya baru gantian punya masnya”. “Oh... begitu ya mbak. Oke deh mbak, saya tunggu punya mbaknya saja dulu deh...” Balas Arya. Sambil menunggu mesin fotokopiku selesai, dia pun sekarang duduk di sampingku. Seharusnya, aku memanfaatkan ini untuk berkenalan dengannya, namun bodohnya aku karena masih dipenuhi rasa malu, aku hanya berdiam diri di sana tidak mengatakan apa-apa padanya sampai mesin selesai mencetak. Aku pun mengambil kertas fotocopy itu, langsung buru-buru kabur dari ruangan ini. Aku tak bisa melihat diriku sendiri di cermin sekarang karena mungkin aku akan memukul diriku sendiri yang telah bertindak bodoh sekaligus benar-benar tak masuk akal dengan segala sifatku yang memang ternyata membuatku tidak bisa mendapatkan aku jodoh sekarang. Tapi tiba-tiba, Arya memegang lenganku dan membuat langkahku tertahan untuk keluar dari ruangan ini sekarang. Jantungku langsung terasa dag dig dug berusaha memahami apa yang menjadi penyebab Arya melakukan ini sekarang. Memang ini terlalu dini, apakah dia berusaha untuk menyatakan perasaannya kepadaku sekarang? Jika memang iya, aku belum siap mengatakannya karena kami tak saling kenal. “Ehh... mbak. Maaf ya, tapi bisa gak bantuin saya cetak kertas fotokopiannya. Saya belum pernah pakai ini sebelumnya. Saya terlalu takut untuk mencobanya karena takut rusak juga. Kalo bisa, tolong ya mbak hehe!” ucap pria itu. Hatiku terasa rontok dan jatuh ke atas tanah begitu saja saat Arya mengatakan itu. Bagaimana tidak, karena pikiranku telah dibanjiri dengan ekspektasi berlebihan. Seseorang menyatakan cinta kepada seseorang yang lain hanya berlaku jika orang tersebut kenal dengan orang yang ia nyatakan. Dan mana mungkin seorang Arya, pria tampan yang lugu dan mempesona tidak pernah kenal denganku sebelumnya mengucapkan cintanya kepadaku. Mungkin, aku memang terlalu banyak menonton drama korea yang tidak nyata dengan kehidupan sehari-hari. “Baiklah aku akan membantumu. Lagi pula, pekerjaanku juga tidak terlalu banyak kok hari ini.” Ucapku kepada Arya di sana. Aku pun membantunya mengerjakan mesin fotokopi itu. Dan dia dengan sabar dan telaten melihatku melakukannya dengan benar. Aku pun duduk dan bersender kembali ke bangku panjang itu, menunggu mesin fotokopi selesai melakukan pekerjaannya sekarang. Sementara Arya menghampiri sebuah mesin pembuat kopi di sana, dia pergi ke arahku dengan membawa dua buah cangkir kopi yang aku yakin satunya lagi untukku. “Terima kasih ya Mbak atas bantuannya,” Ucap Arya sambil menodongkan segelas kopi panas itu kepadaku. Aku pun mengambilnya, dan meniup kopi itu yang memang sungguh masih panas dan tidak mungkin aku minum sekarang. “Jangan panggil aku mbak, aku punya nama kok mas. Panggil saja aku Sabrina, itu sebutan orang-orang yang ada di sekitar sini kalau sama aku.” Ungkapku kepadanya. “Oh iya.. maaf aku lupa untuk memperkenalkan diriku. Namaku Arya Hernanda, anak baru dari perusahaan ini. Aku bekerja di bagian IT, hobiku sehari-hari adalah bermain game, menonton tv, dan kadang-kadang bermain futsal kalau Sabrina sendiri bagaimana?” ucapnya menjelaskan kepadaku. Dan entah kenapa dia mengatakannya seperti ingin sedang interview kepadaku. “Tunggu... kenapa kau seserius itu saat mencoba mengucapkannya kepadaku? Santai saja, aku bukan orang HR yang akan melaporkanmu kepada bos karena kinerjamu atau apa pun itu kok. Aku sendiri bekerja di bagian marketing, berlawanan dari pekerjaan yang kau lakukan. Tapi kalau ditanya hobiku, mungkin aku sama sepertimu, suka menonton TV, terlebih lagi drama korea.” Ujarku padanya. “Ah... maaf ya. Aku memang jarang untuk berinteraksi dengan orang baru, dan setiap kali aku melakukannya, aku selalu melakukan itu dengan perasaan yang canggung. Sampai sekarang saja, aku merasa canggung saat bertemu dengan dirimu.” Jawabnya kepadaku. Dari ucapannya, Arya memang seorang tipe pria yang polos dan lugu, entah itu memang sifat aslinya atau bagaimana. “Kenapa kau harus merasa canggung? Sudah kukatakan bukan, kalau kau seharusnya bersikap biasa-biasa saja kepadaku tanpa harus bersikap seperti itu. Kau tidak memiliki tanggung jawab untuk membuatku terkesan kepadamu atau yang lainnya. Santai saja, oke?” Jawabku kepadanya mencoba menenangkannya. “Ya, santaiku memang bukan tanpa alasan. Aku akan selalu canggung bila berada di dekat senior dan juga perempuan secantik dirimu. Selama aku berada di kantor ini, mungkin dirimulah perempuan paling cantik yang pernah aku temui.” Ungkap Arya dengan enteng keluar dari mulutnya. Aku menaruh cangkir kopi itu kembali ke atas meja, berpura-pura kalau itu masih terlalu panas untuk dipegang. Aku pun berpaling dan menuju mesin fotokopi, berpura-pura untuk melihat progress dari jalannya mesin fotokopi itu sekarang. Dan memang benar mesin fotokopi ini sudah akan selesai melakukan tugasnya. “Eh, sepertinya fotokopi ini akan selesai.” “Tunggu, Sabrina, mengapa kau tiba-tiba bersikap seperti itu? Apakah ada dari kata-kataku tadi yang salah?” tanya Arya kebingungan melihat sikapku yang sungguh aneh. Aku ingin menjawab dengan sangat lantang dari hati. Salah! Perbuatannya sungguh sangat Salah! Seumur hidupku berada di kantor ini, aku memang selalu dipuji sebagai wanita yang cantik dan anggun. Tapi entah kenapa, saat Arya mengatakannya, ada seperti perasaan yang berbeda dari dalam hatiku. Aku tak bisa menyangkalnya, perasaan saat Arya membicarakannya terasa begitu spesial. Lebih tepatnya, bukan Arya yang salah karena mengucapkan itu, tapi akulah yang salah karena memang telah berharap sesuatu dan malah mendapatkan itu darinya sekarang. Seperti serangan tiba-tiba. “Tidak kok Ar, kamu tidak salah. Hanya saja, kopi itu terlalu panas, aku tidak suka dengan kopi dari tempat ini sejak lama. Maaf jika kamu repot-repot membuatkan kopi itu untukku namun berakhir aku tak menginginkannya.” Ucapku kepada Arya tanpa aku melihat ke arah mukanya. Pria itu kemudian menghampiriku, membisikkanku nomor yang bisa kuasumsikan adalah nomor ponselnya. Entah kenapa, tiba-tiba tubuhku menggelinjang saat aku mendengar suaranya yang berat dan lembut masuk ke dalam telingaku itu sekarang. “Itu adalah nomor teleponku, dan mungkin setelah kantor ini berakhir. Kita bisa meminum kopi bersama-sama. Apakah kau ingin melakukan itu bersamaku?” Aku berusaha mengingat-ingat nomor itu dan juga fokus terhadap pikiranku sekarang, mana mungkin aku masih bisa berjalan dengan lurus dan tegak setelah mendengar beberapa kalimat manis dari Arya itu sekarang? Bahkan aku takut jika aku tiba-tiba menjadi pingsan karena aku tidak bisa berpikir dengan baik dan juga konsen sekarang. Aku bahkan sampai lupa harus melakukan apa sekarang di ruangan ini. “Baiklah, aku akan mencoba mengingatnya, aku juga akan menentukan tempat dimana kita akan bertemu nantinya saat melakukan pertemuan minum kopi bersama. Itu pun jika kau menginginkan rekomendasi dariku sih, kalau tidak juga tidak apa-apa aku tidak akan memaksa”. “Tunggu... apakah itu berarti kita akan melakukan kencan malam ini?” tanya Arya memastikan. “Aku tidak bisa bilang iya, tapi aku juga tidak bisa bilang tidak. Untuk sekarang, sampai jumpa”,
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN