Episode 10

2030 Kata
Aku telah setuju untuk berkencan dengan Arya. Aku memilih 3 hari setelah pertemuan terakhir kami. Dan untuk urusan tempat, jujur saja, aku tidak memiliki pengetahuan yang baik soal dimana saja tempat yang harus aku pilih dalam pertemuan kami. Aku merasa kalau memang aku mungkin harus menyerahkan hal tersebut kepada Arya nantinya. Duduk di depan cermin, aku sudah berdandan rapi sekarang, bersiap-siap untuk Arya menjemputku menggunakan mobilnya. Hari ini juga merupakan hari libur, aku tidak memiliki kesibukan lain yang harus aku urus di dalam rumah. Kelebihan dari hidup sendiri adalah seperti itu, mampu untuk berbuat bebas semau mungkin agar bisa membuat hidup kita menjadi lebih berarti nantinya. Suara klakson terdengar dari luar rumahku. Tampaknya, Arya tidak merasa kesulitan saat mencari rumahku, karena memang lokasinya yang sangat strategis dekat dengan mana saja di kota ini berada. Aku menengok lewat jendela, dan benar saja, mobil sedan putih terparkir di depan rumahku dengan santai menungguku untuk masuk ke dalamnya. Aku pun mengambil tasku, pergi dari rumah sekarang. “Sabrina, kau tampak cantik hari ini.” Sambut Arya memujiku saat aku masuk ke dalam mobil. Aku menengok ke tubuhku sendiri sekarang, apakah mungkin aku telah berpenampilan berlebihan hanya untuk menemui Arya sekarang? Apakah dia akan merasa malu jika aku makan dengannya di tempat umum memakai pakaian seperti ini? Aku tidak tahu, aku cukup malu untuk membahasnya dengan Arya. “Apakah penampilanku yang sebelum-sebelumnya kurang cantik bagimu?” tanyaku, berusaha memancingnya. Arya tampak panik dan juga bingung, karena jika dia mengatakan iya, maka penampilanku sangatlah jelek di matanya sehari-hari. Sedangkan jika dia mengatakan tidak, maka ia harus datang dengan alasan yang lebih masuk akal agar aku bisa terus percaya dengannya dan pergi bersamanya untuk hari ini. “Eh tidak, maksudku, penampilanmu lebih berbeda hari ini. tampak sangat cantik dan indah daripada biasanya. Tapi penampilan sehari-harimu sudah cantik seperti biasa.” Jawab Arya kepadaku. Aku serasa overdosis pujian darinya sekarang. Membuatku merasa sedikit tak puas jika harus menerima setiap pujian itu dari mulut manisnya. Aku hanya diam, tak tega jika harus menggoda Arya terus menerus membuatnya salah tingkah seperti itu. Penampilan Arya sendiri juga tampak sedikit luar biasa dibandingkan sebelumnya. Dia memakai baju polo berwarna merah dengan celana chino coklat yang tampak sangat cocok dengan dirinya. Seharusnya, dia memakai pakaian seperti ini setiap hari saat menuju ke kantor. Arya mulai menyalakan mesin mobilnya, menjalankannya dengan pelan-pelan. Dia sepertinya sudah tahu akan mau kemana saat menyetir mobilnya tersebut sekarang. “Jadi, apakah kau tahu kemana tujuan kita saat ini? Aku menyerahkannya kepadamu. Dan aku tidak ingin dikecewakan dengan pilihanmu itu sekarang ini.” Tanyaku kepadanya di dalam mobil itu. Dia tampak sangat nyaman dengan pilihannya. “Tentu saja, aku akan memilih pilihan yang terbaik bagimu sekarang. Aku tidak akan mencoba untuk mengecewakanmu nantinya.” Balas Arya dengan sangat yakin. Dia memang tak mencoba untuk berpikir ulang kemana harus membawaku, seperti di otaknya sudah tertancap peta dimana dia akan pergi sekarang. Di dalam mobil, aku sudah izin kepada Arya bahwa aku akan jarang mengobrol dengannya. Aku cenderung akan diam, tak mengucapkan banyak kata-kata dengannya karena sesungguhnya aku masih sangat lelah bahkan untuk mengobrol dengan orang lain. Semua urusan yang kumiliki akhir-akhir ini membuatku menjadi jarang untuk beristirahat. Arya juga memakluminya, dia tahu kesibukan apa saja yang telah aku lakukan di kantor karena memang dia telah bertemu denganku di dalam kantor dalam waktu yang cukup sering. Dia bingung kenapa aku mendapatkan pekerjaan sebanyak itu dari pak Bos. Aku hanya bisa menjawab kepadanya karena memang, aku adalah orang kepercayaan paling bisa diandalkan oleh pak bos. *** “Sabrina, ayo bangun, kita sudah sampai di tempat tujuan.” Arya menggoyangkan pahaku, aku pun terbangun, tak terasa aku tertidur sangat cepat dalam kurun beberapa menit saja setelah aku memejamkan mataku. Aku merasa malu, dengan apa saja yang telah kulakukan di dalam mobil ini selama aku tertidur. Aku berharap kalau aku tidak akan membuat repot atau malu Arya di sana. “Apa yang terjadi selama aku tertidur? Aku tidak berbuat apa-apa bukan?” tanyaku kepada Arya. Pria itu hanya tersenyum, sambil memutar kunci mobilnya untuk segera keluar dari sini sekarang. “Tidak, dari yang kuketahui. Aku terlalu fokus menyetir mobil tadi, bahkan tak sempat untuk menengok ke arah dirimu. Tapi tenang saja, rahasia kalau kau tertidur di dalam mobilku aku jamin aman kok hehe.” Di samping mobil itu ada sebuah spion, aku buru-buru bercermin di sana. Benar memang apa kata Arya, aku bahkan tak sempat untuk melakukan hal yang aneh-aneh di dalam mobil itu. Aku takut, jika tadi aku mengorok, mengiler, atau hal yang memalukan lainnya. Untungnya, aku tidak melakukan hal itu semua sekarang. Seluruh wajahku telah bersih tanpa noda mengenang di mana-mana. Aku pun buru-buru mengangkat tasku, menariknya mencoba untuk keluar dari mobil ini sekarang. Sementara Arya berada di sisi mobil yang lain. Di depan kami ada sebuah gedung tinggi dengan lampu-lampu gemerlapan di atasnya. Aku mengira kalau tempat ini adalah sebuah hotel bintang lima, tempat dimana orang-orang kaya berkumpul. Aku berjalan mendekati Arya menanyakannya sesuatu. “Arya, apa benar ini adalah tempat yang kau pilih, entah kenapa, aku merasa kalau tempat ini terlalu mewah bagiku.” Tanyaku padanya. Memang benar, kalau kami berdua adalah salah satu pegawai dari kantor paling beken di kota ini. Tapi tetap saja, makan di restoran bintang lima seperti ini akan menguras kocek dompetku hingga cukup dalam sehingga aku tidak dapat melakukan apa-apa lagi setelah ini. “Tenang saja, memang penampilannya dari luar kalau tempat ini adalah tempat yang mahal, bintang lima, ataupun lain sebagainya. Namun saat kau masuk ke dalamnya, bisa kupastikan kalau kau tidak akan menemukan persepsi-persepsi yang miring soal tempat ini nantinya. Ikutlah saja denganku sekarang.” Ucap Arya, sambil menggandengku pergi masuk ke dalam restoran berbentuk hotel itu sekarang. Saat masuk, kami disambut dengan manis oleh mbak-mbak resepsionis cantik di sana. Aku menundukkan kepalaku dengan hormat membalas sambutan manis itu. Arya juga melakukan hal yang hampir mirip denganku saat ini. Dia membawaku untuk masuk ke dalam lift, dan dia menekan lantai paling atas dari semua pilihan lift di tempat ini. “Ehhmm... Arya, jika kau tidak tahu. Ini adalah lantai paling atas dari gedung ini. Apa kau yakin restoran ini berada di lantai itu?” tanyaku jika saja Arya tak tahu soal itu. Tapi Arya hanya tersenyum. Dia seperti benar-benar tahu dengan mekanisme gedung di tempat ini. Dia mungkin sudah pernah ke sini sebelumnya, dengan pacarnya yang dahulu. Aku tentu saja akan sangat egois dan polos jika berpikir kalau orang setampan Arya tidak pernah berpacaran dengan siapa pun sebelumnya. Lift pun terbuka, membuat kami berdua keluar dari sana bergandengan tangan. Aku melihat jauh di sana, dan memang benar kalau letak dari restoran dari hotel ini ada di bagian rooftop. Lebih tepatnya di lantai ke 30. Berani sekali bagi sebuah hotel seperti ini menaruh restoran di lantai atas karena sungguh tak lazim untuk dilakukan. Karena proses pengiriman makanan dan juga pembekalan restorannya akan sangat kacau dan juga tidak semudah saat ditaruh di bagian paling bawah. Di dalamnya, restoran ini juga cukup ramai di isi oleh banyak sekali orang-orang dewasa, atau cenderung kaya memakai baju-baju formal dan berkelas di sini. Aku merasa sangat beruntung sekali, mengenakan gaun merah gelap untuk sampai kesini, alih-alih memakai baju luaran seperti t-shirt dan jaket untuk ke sini. Arya menatapku, dan berkata. “Ayo, pelayannya mungkin akan menunggu kita sekarang.” Kami duduk di bagian kursi paling tengah, kursi yang berada paling jauh dari lokasi jendela di kiri dan kanan kami. Karena di pinggir jendela, kami akan bisa melihat pemandangan perkotaan di malam hari. Tapi sayangnya, kami tidak bisa melakukan itu sekarang. Aku juga sebenarnya tidak masalah duduk di sana, hanya saja sebuah peluang yang disayangkan tak bisa menikmati pemandangan itu. Pelayan datang, memberikan daftar menunya kepada kami. “Selamat datang mas dan mbak di restoran hotel Eastin. Anda mau pesan apa?” tanyanya kepada kami. Aku membuka menu daftar menu itu sekarang. Dan benar-benar kaget dengan harganya yang ternyata tak semahal yang aku pikirkan sebelumnya. Semua harga ini bisa dibilang murah dengan infrastruktur restoran seperti ini. “Saya mau pesan kerang balado beserta nasi goreng guling. Sedangkan untuk minumnya es teh leci saja.” Pesan Arya kepada pelayan itu yang kemudian dia tulis di atas kertas. Aku masih kebingungan dengan menu apa yang akan kupilih, karena sesungguhnya aku ingin memesan semua hal yang menarik di sini. “Ehmm.. aku pilih sausage red sama rice coco ya mbak. Minumnya sama es teh leci juga”. “Oke mas, mbak, ditunggu ya pesanannya, akan segera kami proses sebentar lagi.” Pelayan itu mengambil menunya kembali, bergegas untuk kembali ke kantor asalnya sekarang. “Sabrina, kau tahu apa yang kau pesan tadi?” Tanya Arya kepadaku. Pertanyaannya seakan-akan sudah tahu kalau pesananku adalah sesuatu yang salah atau aneh. “Entahlah, tapi saat aku melihat gambar dan juga tulisannya, terlihat lezat di kepalaku. Apakah aku telah memilih sesuatu yang salah di restoran ini?” “Tidak, aku tidak mengatakan pesananmu salah, hanya saja pesananmu tadi itu adalah pesanan yang paling tidak populer di restoran ini. Aku bahkan kaget saat pelayan itu mengatakan kalau stok makanan atau menunya masih ada. Membuatku heran kenapa mereka masih menulisnya di sana.” Jawab Arya. Itu, adalah tanda-tanda kalau makanan yang akan datang kepadaku adalah makanan yang tidak enak. Aku ingin menangis, menyesal telah memesan menu itu. Namun Arya hanya tersenyum, seperti sudah tahu apa yang akan datang kepadaku. “Hey Arya, apakah kau pernah ke tempat ini sebelumnya? Kenapa kau tahu banyak hal tentang restoran ini? Apakah kau sering mengajak mantan pacarmu kesini?” tanyaku Arya langsung tersedak, batuk-batuk saat mendengarkan ucapanku. Aku tak tahu apa yang tengah ia hirup sampai dia berlaku seperti ini. Hanya saja aku sedikit khawatir jika dia kenapa-napa sekarang ini. “Hey Arya! Ada apa! Katakan padaku kalau kau baik-baik saja sekarang!” Tanyaku lagi kepada pria itu dengan panik. Kuharap dia tidak memiliki kondisi penyakit aneh atau apa pun itu. “Tidak, aku tidak apa-apa. Aku hanya kaget saat kau mengucapkan kata-kata itu padaku. Namun untuk menjawab pertanyaan dan rasa penasaranmu. Tidak, aku tidak pernah mengajak mantan pacarku atau siapa pun itu di sini untuk makan. Aku tahu tempat ini karena aku memang dulu waktu masih kuliah, bekerja sampingan di tempat ini.” ucapnya. Entah kenapa aku bisa mempercayai itu dari mulut Arya. “Seperti yang mungkin kau tahu, aku adalah mahasiswa teknik informatika, dan sangat sulit bagiku untuk bisa melakukan tugas atau bahkan mendapatkan nilai bagus. Itu semata-mata hanya karena aku memang bekerja di tempat seperti ini sehari-hari. Menyambung hidup dan juga membuat aku bisa membiayai biaya kuliahku sendiri tanpa membebankan orang tuaku. Aku sudah terbiasa hidup mandiri”. Arya menceritakan kisah hidupnya, dan aku memang salut dengan anak-anak kuliah yang masih menyempatkan bekerja untuk membiayai diri mereka sendiri. Karena aku tahu, melakukan itu semua di dalam kurun waktu yang bersamaan sungguh tidak mudah. Aku sendiri saja waktu masih kuliah saat dulu benar-benar kesusahan untuk mendapatkan nilai yang baik daripada saat aku bersekolah. “Aku mengenal setiap sudut dari restoran ini, karena memang aku sudah bekerja 3 tahun di sini. Tapi karena aku keluar, banyak juga anak-anak pegawai dari restoran ini ikut keluar. Aku semacam seorang pemimpin bagi mereka semua di sini. Mereka, mengikuti kata-kata yang aku ucapkan kepada mereka”. “Hmm.. begitu ya. Memangnya kenapa kau harus bekerja? Maksudku, bukankah seharusnya kau bisa fokus untuk melakukan kuliahmu dan mendapat nilai bagus alih-alih bekerja seperti itu?” Tanyaku kepada Arya. Aku tahu kalau pertanyaanku mungkin cukup sensitif baginya, tapi memang aku penasaran dengan bagian dari hidupnya yang itu. Sudah menjadi tanggung jawab orang tuanya untuk menafkahinya. “Ya... memang seperti itu. Ayahku meninggal baru saja saat aku menginjak semester kedua. Aku tak memiliki keleluasaan atau privilege hidup bersantai-santai atau bermalas-malasan. Aku harus kuliah, sambil bekerja untuk menafkahi ibu dan juga adik-adikku. Bahkan sampai sekarang. Mungkin itu membebaniku, tapi aku tak bisa hidup tanpa mereka di belakangku.” Jawab Arya. “Lagipula, saat aku bekerja dan kuliah, aku tidak sempat mengeksplor apa-apa lebih jauh. Termasuk dengan wanita. Saat kau bilang kalau aku kemari karena sering untuk pergi bersama mantan pasanganku, aku cukup syok sekaligus kaget saat mendengarnya. Aku sendiri tidak pernah berpacaran dengan siapa pun seumur hidupku. Bisa dibilang, aku mungkin jomblo ultimatum ya hahahah”.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN