Episode 31

2003 Kata
Aku pun kembali ke dalam kantor, dengan kondisi yang sudah sangat ramai dan padat oleh karyawan di sana. Aku duduk sendirian, tak melihat wajah-wajah familiar yang biasa kusapa sekarang. Karena memang, kantor sedang mengalami restrukturisasi sekarang. Beberapa karyawan dipindahkan ke kantor lain untuk penghematan biaya dan juga pendistribusian pekerjaan yang lebih efisien. Tapi bukan suasana ini yang aku sebalkan, karena aku tidak bisa melihat wajah orang-orang yang seharusnya duduk bersamaku di dalam kantor ini sekarang seperti Wulan maupun Arya. Mereka berdua, seperti telah menghilang di telan bumi tak mampu untuk kutemui maupun ku sapa sekarang ini. Tak tahu apakah mereka memang masih hidup atau sengaja berusaha mengabaikanku. Untuk Wulan, aku bisa mencoba untuk sedikit memahaminya, dia mungkin mencoba untuk berkabung dan mengurusi pemakaman nenek yang memang sangat dekat dengan dirinya itu. Aku tak mungkin, dalam kejadian seperti ini tetap berusaha untuk memaksanya masuk dan berlaku seperti kawan kerja yang menyebalkan. Aku benar-benar paham dengan situasi yang Wulan tengah hadapi sekarang ini. Namun untuk Arya, aku merasa dia sedang lari dari tanggung jawabnya. Kami, melakukan hal dan juga kejadian tak senonoh itu di WC, tanpa bisa memberikan apa pun yang membuatku tahu akan kondisinya yang sebenarnya. Satu-satunya memori dan juga ingatan terakhirku tentang Arya adalah bahwa dia sedang memelukku di kamar mandi ataupun juga toilet di depan cermin itu. Aku sudah mencoba untuk memesannya, dan dia sama sekali tak memiliki tanggapan atau balasan atas pesanku. Semakin membuatku tak percaya dengan dirinya yang sebenarnya. Mungkin keputusanku untuk meninggalkannya memang tepat, dia hanya mencoba memilih untuk melakukan hal yang enak-enak saja tanpa memikirkan apa konsekuensinya kepada orang lain. Jika saja dia hadir sekarang, dan meminta maaf kepadaku. Aku tak tahu kalau aku harus memaafkannya atau tidak. Aku benar-benar ingin marah dan mengutuknya sekarang, jika aku memiliki salah satu tenaga sihir ataupun kemampuan magis yang dimiliki oleh orang-orang di sekitarku. Mengubahnya menjadi seekor anjing ataupun juga lalat yang mengorek-ngorek sampah di tempat umum dengan habis. Sesaat setelah Darrel meninggalkanku, aku tak tahu apa yang terjadi kepadanya. Aku mengira, kalau ada sesuatu yang terjadi antara dirinya dan juga Connor, secara mereka berdua memang seorang cenayang. Mungkin, Darrel mengetahui sebuah fakta mencengangkan yang belum dia bagikan kepadaku. Aku entah kenapa begitu terobsesi untuk mencari Darrel kembali, mencari tahu apa yang sedang ia sembunyikan. Aku berjalan kembali ke kantor, dan mengingat aku belum mendapatkan balasan ataupun juga sebuah pesan apa pun dari Fatima. Saat kami berada di mall tersebut, dia sempat mengatakan kalau akan membalas dan juga memberiku pesan, tentang Connor dan juga keberadaannya di dalam mimpiku, tapi aku tak menerima pesan apa pun untuk bisa kulihat ataupun kubalas sekarang. Tapi aku sudah memberikan nomorku kepadanya, begitu pula nomornya kepadaku. Dia pasti akan membagikanku sesuatu bila ia mengetahui sesuatu soal itu nantinya, hanya saja sekarang dia benar-benar tak tahu harus mengapakan informasi yang dia miliki itu. Mungkin, dia ingin berdiskusi dengan para tetua ataupun pemimpin organisasi tentang apa yang harus mereka lakukan sekarang ini. Aku ingin sekali mencoba untuk menghubunginya, mengingat kalau diriku ini mungkin mudah untuk terlupakan bagi beberapa orang. Mungkin satu pesan akan bisa membuatnya kembali ingat kalau aku di sini butuh pengarahan, sekaligus penjelasan dari dirinya, sosok yang tentu saja lebih tahu daripada diriku. Aku tak tahu apakah aku menjadi prioritasnya saat ini atau tidak. Nekat, aku pun menghubunginya sekarang ini. Hanya dengan pesan perkenalan, tentang siapa aku dan dimana kami berdua bertemu. Dan mengapa aku harus menyimpan nomor ini darinya. Aku yakin, Fatima tidak akan melupakan diriku atau soal jimat itu di sana. Karena aku masih ingat betul betapa hancurnya hatiku saat dia membuang uang yang telah kuhabiskan beberapa menit yang lalu dengan mudahnya. Munculnya para cenayang ini juga membuatku gusar, mereka seperti datang tiba-tiba di hidupku dan mencoba untuk menunjukkan keahlian sekaligus kelihaian mereka di depan mataku. Seakan-akan aku ini adalah seorang penonton sirkus ataupun juga seorang penonton polos. Mengapa ini semua bisa terjadi? Apakah takdir memang memikatku dengan orang-orang yang seperti itu? Saling mengikat satu sama lain? Jika saja aku memiliki salah satu dari kemampuan itu, mungkin aku tidak harus bekerja dengan susah payah. Hanya harus duduk sambil tiduran di tengah pantai dan membuat matahari pagi menyinari dan juga memanasi seluruh tubuhku. Aku benar-benar ingin merasakan itu untuk waktu yang lama, tidak terpengaruh deadline ataupun juga hutang-hutang perusahaan yang menumpuk. Jauh di dalam lubuk hatiku dan juga impianku, aku ingin menjadi orang yang sangat kaya raya nantinya. Dan sekarang, aku rasa tak lama lagi aku akan menyambut datangnya para tamu dan sekaligus calon investor untuk datang kemari. Aku harus menyiapkan obrolan dan juga kemungkinan-kemungkinan pembicaraan negosiasi yang harus aku lakukan jika telah bertemu dengan mereka nantinya. Semua kemungkinan itu aku harus pelajari untuk menerima hasil yang benar-benar terbaik nantinya. Aku pun datang ke kantor Pak Bos, berada di sisinya karena negosiasi yang sepenting ini memang harus memerlukan andil yang sangat penting darinya. Aku menjadi pendamping dari pak Bos untuk bisa membuatnya berhasil melakukan negosiasi ini. Bukannya aku meragukan kemampuan pak Bos untuk bernegosiasi, tapi dia hanya sangat terlihat panik dan juga ketakutan penuh kekhawatiran sekarang ini. “Sabrina, ingat! Ini adalah kesempatan terbaik kita untuk bisa membuat investor ini jatuh hati kepada perusahaan ini! Jika kita gagal, maka tak ada opsi lagi selain memecah belah perusahaan ini menjadi beberapa bagian! Dan mungkin, semua karyawan yang bekerja di sini akan terkena imbasnya! Kau tidak ingin kita mempertaruhkan semuanya di sini kan!” Ungkap Pak Bos kepadaku. “Baik pak, saya mengerti! Saya memang harus menerapkan dan juga merasakan kalau tugas ini menjadi tugas yang sangat penting bagi saya. Aku, hanya harus mencoba untuk bernegosiasi dan juga menemukan kesempatan yang terbaik agar semua jalan yang ada di sini terbuka lebar kan pak!” Balasku pada pak Bos. Dia pun mengusap rambut dan juga kepalaku seperti bangga kepadaku. Di meja, sudah ada beberapa dokumen sekarang. Baik dokumen perusahaan kami merupakan dokumen yang berisi calon dari perusahaan investor kami. Yaitu adalah investor yang menjadi investor terkaya saat ini, investor yang mungkin memiliki angka kemungkinan terkecil sekaligus terbaik bila kami bisa mendapatkan deal atas perjanjian ini. Perusahaan itu adalah perusahaan Anjasmoro. Aku, memiliki dua sisi untuk perusahaan ini. Yaitu sisi optimis dan juga sisi pesimis. Kedua sisi ini benar-benar seperti mencekikku, tidak memberiku ampun untuk mengetahui mana yang mungkin untuk menjadi kemungkinan terbaik bagi keduanya. Aku mungkin, akan memilih kalau dua kesempatan ini tidak akan bisa benar-benar terjadi jika aku tidak memainkan dua kesempatannya dengan benar. Seperti halnya sekarang, aku optimis karena merasa kalau perusahaan ini ternyata memiliki hubungan yang cukup dekat dengan perusahaan kami. Pemilik dari perusahaan ini merupakan teman kecil dan juga sahabat baik dari pemilik Anjasmoro Group. Mereka sama-sama merintis perusahaan ini dari awal, dan mungkin saja, sahabatnya ini akan berbaik hati mencoba untuk membantu sesama temannya. Sementara untuk perasaan pesimis. Perusahaan kami berada di dalam ambang batas sekarang. Tren penjualan, produktivitas, maupun popularitas yang makin menurun tiap tahun membuatku takut kalau mereka akan memandang kami dengan rendah sekarang, tak menginginkan kami menjadi perusahaan yang maju dan bisa membalap mereka nantinya. Namun, semua keraguan dan juga kerisauanku sepertinya harus kusingkirkan sekarang, karena aku harus menghadapi masalah itu untuk sekarang. Mereka datang, dengan mengetuk pintu. Dan Pak bos, datang berdiri, sambil merapikan jasnya yang sedikit kusut karena dia gunakan untuk duduk. “Mereka datang Sabrina. Ayo cepat berikan sambutan terbaik kepada mereka”. “Selamat siang!” Ucapku berbarengan kepada pak bos sambil menutup kedua telapak tangan kami masing-masing. Seorang pria tua, dengan rambut gondrong dan juga sudah beruban datang ke ruangan ini. Dia memakai sebuah baju tradisional berwarna hitam panjang sambil memegang sebuah tongkat pegangan di tangan kanannya. Tatapannya benar-benar tajam, tak tersenyum kepada kami sama sekali. Dia datang hanya dengan dua orang, dan bukan itu yang benar-benar mengagetkanku. Kedatangannya, dengan seseorang yang benar-benar ku kenal. Pria itu, datang bersama dengan Darrel. Dia memakai jas yang sangat sama dengan jas yang dia pakai saat kami berada di kafe. Aku tak pernah menyangka ini, ternyata selama ini dia adalah orang yang sepenting itu. Cuma, aku tak tahu apa yang terjadi dengannya. Bisa saja, Darrel adalah seorang asisten, pembantu yang ditunjuk oleh seseorang yang berjabatan lebih tinggi di sampingnya itu. Aku tidak bisa melihat korelasi lain selain itu. Aku dan Darrel saling bertatap-tatapan, seakan-akan kami tak mengenal akan masing-masing. Yang bisa kupahami, ke bias an akan suatu keputusan akan sangat berdampak dalam keputusan yang segenting ini sekarang. “Pak Prabu, silahkan duduk pak..” Pak Bos mempersilahkan pria tua itu untuk duduk di sofa di depan kami berdua. Darrel, terlihat mencoba untuk membantu pria tua itu untuk duduk di sana. Dia memang lebih mirip seperti seorang asisten daripada partner kerja atau seseorang yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari itu semua. Aku hanya harus mengamati apa yang terjadi sekarang. “Bagaimana kabarnya pak? Saya sudah lama tidak bertemu dengan Anda semoga Anda...” “Sudah, potong basa-basinya! Kenapa kita tidak langsung menuju ke intinya saja sekarang! Aku tidak memiliki waktu yang banyak untuk sekarang ini. Aku akan segera memutuskannya dengan cepat!” Pak Bos dan aku tersentak dengan sangat kaget, aku tak mengira kalau dia benar-benar tidak ingin berbasa-basi sekarang. Pak Bos pun memberikan apa yang dia mau, dengan membukakan setiap dokumen yang ada di atas meja itu, dengan lantang, jelas dan memastikan kalau kakek tua itu bisa mendengarkannya. Pak Bos bahkan sampai mengucapkan kata-katanya berulang kali untuk memastikan. Hanya saja, aku sadar kalau Pria itu, pemilik dari Anjasmoro Group terlihat tak tertarik ataupun juga ingin untuk mendengarkan kata-kata itu dengan tenang sekarang. Dia, malah seperti memfokuskan dirinya untuk mencari dan juga melihat ke arah yang lain. Arah yang mungkin tidak kami ingin dan harapkan sebelumnya. Sekarang, tanda-tanda bendera merah menginginkan kami untuk mundur semakin jelas. Pak Bos telah selesai membicarakan penjelasannya, dan dia mulai menanyakan Kakek pemilik Anjasmoro Group itu untuk memberikan jawabannya. “Saya sudah menyampaikan apa yang menjadi tawaran perusahaan saya terhadap Anda pak. Bagaimana jawaban yang ingin bapak sampaikan?” “Tidak!” Ucapnya dengan sangat tegas dan lantang. Sampai aku yakin, beberapa orang yang menguping dari balik tembok yang terbuat dari kaca itu bisa mendengarnya. Mereka mendengar kata-kata penolakan itu, membuatku benar-benar terkaget-kaget dan juga syok untuk sementara sekarang. Dia, seperti sudah memikirkan jawabannya jauh sebelum dia menduduki kaki dan juga keberadaannya di sini. “Aku rasa, keberadaan dan juga jawabanku di sini sudah cukup untuk hari ini. Aku akan segera kembali dan pulang, aku tak memiliki urusan lagi di sini.” Lanjutnya dengan tegas. Dia pun berdiri dengan tiba-tiba, yang dibantu oleh Darrel di sampingnya agar kakek itu bisa berdiri dengan lancar, sambil menekan tongkat agar dia membantunya bisa berjalan dengan mudah sekarang ini. “Tapi pak! Bagaimana perjanjian Anda dengan pak sugeng! Bukankah, Anda sudah mengatakan kalau Anda ingin membantu kami sekarang ini di sini pak!” Sahut Pak Bos, dengan muka memelas dan juga keringat yang berkucuran di pelipisnya. Aku benar-benar merasa kasihan dengannya, aku tak pernah melihatnya memiliki wajah dan raut muka seperti ini sebelumnya. Pak Sugeng adalah pemilik sekaligus bos induk dari perusahaan ini. Dan aku yakin, nama dari kakek tua yang ada di hadapanku sekarang ini adalah Pak Prima. Mereka seperti legenda yang sudah berjalan turun temurun bahkan sebelum aku menginjakkan kakiku di kantor ini. Pak Prima, menoleh ke arah Pak Bos, dengan tatapannya yang tajam dan juga rambut panjangnya yang putih bersliweran bak sebuah abu. “Aku berjanji kepada Sugeng hanya untuk menemui dirimu dan berada di perusahaan ini. Aku tidak pernah berjanji untuk menerima bantuan permintaan sekaligus negosiasi ini.” lanjutnya berkata. Dia kemudian menoleh ke atas, kanan sekaligus semua hal yang ada di ruangan ini. “Kau seharusnya bersyukur, karena aku pernah menginjakkan kakiku di perusahaan ini. Maaf jika omonganku menyakiti hatimu, namun kau berdiri di sini saja merupakan sebuah keajaiban. Aku bisa memprediksi, kira-kira 3 bulan lagi perusahaan ini akan hancur dengan sendirinya. Aku tak ingin, menjadi pemulung yang mengais-ngais reruntuhan dan juga harta yang tak berharga di sini. Aku, bukan orang semurah itu.” Dengan kata-kata yang sangat pedas dan menyakiti hati pak Bos, dia kemudian pergi di sana, bersama dengan Darrel. Dan Darrel, tak mengucapkan sepatah katapun di ruangan itu tadi.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN