Di malam itu, tempat aku berduaan dengan Arya sudah banyak sekali hal-hal yang kubahas bersamanya. Mulai seperti kenapa dia bekerja di tempat kantorku sekarang, dan dia berkata kalau itu adalah ulah orang dalam. Aku mengira kalau dia bercanda, ternyata memang itu adalah sesuatu yang serius. HRD dari kantorku adalah mantan kakak kelasnya dulu di SMA.
Aku ngakak setengah mati saat mendengarnya. Tak mengira kalau dia memiliki pengalaman seunik itu, aku mengira kalau Arya hanyalah pria polos yang mungkin tak tahu kerasnya dunia. Persepsi dan anggapanku salah tentang dirinya. Dia jauh lebih mengetahui tentang apa pun di dunia ini daripada diriku, mungkin. Pengalaman dan ceritanya tak kunjung habis-habis.
Setelah itu, aku berganti cerita tentang bagaimana caraku untuk masuk ke dalam kantor. Caraku masuk dan lolos seleksi sebagai pegawai adalah dengan memasukkan namaku sendiri di bagian HRD, karena memang HRD menyuruhku untuk menulisnya sendiri. Aku tak tahu, kalau waktu itu ternyata yang dia lakukan adalah hanya memancingku saja, menguji apakah aku adalah orang yang jujur atau tidak.
Tapi aku memang benar-benar menulis namaku sendiri. Aku mengira, kalau mungkin aku tidak akan diterima oleh kantor ini, tapi dua minggu kemudian. Namaku dipanggil, bukan karena telah mendapatkan reputasi yang buruk di kantor, namun karena tes yang kulakukan telah berhasil membuatku menjadi peraih nilai tertinggi. Akan sangat bodoh bagi mereka jika tidak membiarkanku masuk.
“Hahahaha... Aku tak mengira kalau apa yang kita berdua lakukan untuk masuk ke dalam kantor adalah sebuah kecurangan belaka. Andai saja, kita masuk ke dalam jalur normal, mungkin kita tidak akan dapat masuk dan bekerja di sana ya.” Balas Arya sambil tertawa menyipitkan matanya. Dia benar-benar terlihat senang dengan cerita tentang pengalamanku di sana.
“Entahlah, mungkin saja jika aku tidak menulis namaku sendiri di kolom pegawai milik HRD di sana, mungkin aku tidak akan menjadi pegawai yang diincar dan ditandai selama aku bekerja di sana sampai sekarang. Hahaha.. aku muak melihat dan juga menelaah wajahnya setiap saat. Jujur saja ya, jangan bilang-bilang. Aku sempat ingin untuk menampar dan juga memukul wajahnya hahaha”.
Semakin larut dan semakin mabuk, aku tidak menyangka minuman beralkohol yang aku minum semenjak tadi itu membuatku bisa berkata dengan bebas, lepas, dan sejujur itu di hadapan Arya. Meskipun aku tahu kalau HRD itu adalah orang kenalannya sendiri. Seperti membicarakan seseorang tepat di depan mukanya. Aku meminum setetes alkohol terakhir dari gelasku sekarang.
“Huss... jangan ngomong begitu ah. Dia pasti sedang bersin-bersin sekarang karena kita membicarakannya terus hahaha. Tapi meskipun kita masuk ke dalam kantor dengan cara yang tidak biasa, aku merasa kalau itu merupakan tanggung jawab yang besar juga. Memberikan nama dari orang yang sudah bekerja terlebih dahulu. Tidakkah kau berpikir begitu?”
Aku tidak mendengar separuh kata-kata yang diucapkan oleh Arya. Aku benar-benar mengantuk sekarang. Aku menyenderkan kepala dan juga bahuku di atas meja, sementara tanganku aku longgarkan ke atasnya mencoba untuk meregangkan semua lenganku. Aku benar-benar merasa kalau aku mungkin akan jatuh pingsan karena tertidur sekarang. “Ya... benar semua ucapanmu itu Arya.” Sahutku padanya.
“Loh, Sabrina? Kamu kenapa? Kamu sakit? Atau kenapa?” tanya Arya panik. Dia meminum alkohol dengan jumlah yang sama denganku, namun entah kenapa dia tidak mabuk sama sekali. Mungkin, dia bisa minum satu gentong gin secara penuh dan masih bisa tersadar karena kemampuannya itu di sana. Aku pun hanya menunjukkan jempolku, mengisyaratkan kalau aku memang sedang baik-baik saja.
“Tidak apa-apa... Kok... Arya. Aku hanya merasa benar-benar mengantuk sekarang. Aku terlalu banyak minum alkohol, membuat mataku benar-benar berat dan membuatku mengantuk. Aku mungkin, ingin kita segera pergi dari sini sekarang juga.” Ucapku kepadanya. Entah dengan setengah sadar atau tidak. Dengan tiba-tiba, Arya pun menggendongku naik melalui bahunya. Aku bisa merasakan otot-otot bisep di lengannya itu menyentuh tubuhku sekarang entah akan membawaku kemana setelah dari sini.
“Hahahah... Kau ini. Benar-benar mirip seseorang yang aku kenal. Dia akan berbicara melantur saat dia sudah mabuk parah. Tenang saja, aku akan mengurusmu, dan membawamu untuk pulang. Aku tidak mungkin meninggalkanmu sendirian.” Ucap Arya, menggendongku menuju lift di sana dan melihat orang-orang yang makan di restoran ini sudah sepi, meja dan kursi pun sudah ditata dengan rapi.
Ternyata, kami berdua adalah pelanggan terakhir di restoran ini, tidak ada pelanggan lagi selain kami berdua. Lampu sudah dimatikan sebagian, sementara para petugas ataupun pelayan juga sudah pulang beberapa. Hanya lampu remang-remang, yang menuntun kami berdua untuk berjalan menuju lift. Jujur saja, aku tak tahu sudah berapa lama aku berada di restoran ini bersama Arya.
Kami memasuki lift, Arya masih menggendongku. Aku merasa kalau dia sudah kelelahan karena memang mungkin tubuhku terasa berat baginya. Aku sudah tidak mengecek berapa berat badanku sekarang. Satu-satunya metode yang aku gunakan untuk mengukur berat badan hanyalah dengan bercermin. Dan aku, masih menganggap kalau diriku yang sekarang masih berada di dalam jangkauan proporsional.
Arya terasa ingin sekali menurunkanku, namun saat dia melakukannya, aku memeluknya dengan erat. Tak ingin melepaskannya. Aku tak tahu apa yang aku perbuat, merasa sangat manja saat berada di dekatnya. Tapi memang benar, badan hangat tubuh Arya beserta parfum dan juga bau badannya membuatku candu, tak ingin melepaskannya. Aku merasa ingin memeluknya selama-lamanya.
“Haduhh... Sabrina. Maaf ya, bukannya aku ingin menurunkanmu karena berat badanmu yang luar biasa. Hanya saja, kita akan naik tangga sebentar lagi. Dan aku tidak mungkin bisa naik ke atas tangga sambil menggendongmu seperti ini!” Ucapan Arya sama sekali tak bisa kudengar, mungkin aku bisa mendengarnya, namun tak bisa memahaminya sama sekali. Aku, mengabaikannya.
Fokusku sekarang tertuju kepada gedung-gedung pencakar langit dan juga jalanan yang sudah mulai sepi dan hanya beberapa buah mobil yang bisa dihitung. Pemandangan ini memang sering kulihat saat lembur dan berada di kantor, namun suasana yang sekarang membuatku merasa jauh lebih berbeda. “Hei, Arya, bukankah ide bagus jika kita bermalam di hotel ini sekarang?
***
Aku bangun, di atas kasur, dengan kondisi tubuh dan juga pakaian yang masih rapi. Lampu di kamar juga berubah menjadi remang-remang, aku tak bisa melihat siapa-siapa sekarang. Aku sadar kalau ini bukanlah rumah, karena ada banyak sekali perabotan asing sekaligus aneh ada di dalam kamar ini. Aku bisa mendengar suara shower terdengar di dalam sana.
“Halo, siapa di sana?” Tanyaku dengan berhati-hati. Aku setengah ketakutan dalam kondisiku sekarang. Apa mungkin aku sedang diculik atau disekap sekarang ini di dalam ruangan tertutup? Tiba-tiba pikiran dan juga memori yang aku miliki tentang ruangan ini menjadi sangat kabur sekaligus buram. Aku hanya bisa melihat di depan kaca gedung ini sekarang, tersadar kalau waktu menunjukkan dini hari.
“Eh Sabrina, kamu masih bangun?” Seorang pria datang kepadaku. Dia menyalakan lampunya, membuat ruangan ini terlihat dengan sangat jelas. Dia sedang tidak memakai baju apa-apa sekarang, memperlihatkan perutnya yang membidang sementara rambutnya yang basah entah karena sehabis mandi. Laki-laki itu adalah Arya, dan aku tak tahu apa yang baru saja dia lakukan di kamar mandi itu di sana.
“Eh! Arya! Kenapa kau di sini? Apa yang baru saja kau lakukan denganku?!” Ucapku dengan histeris. Arya hanya tersenyum, memakai bajunya kembali sekarang dengan rapi. Sepertinyam aku telah bertindak dan berlaku bodoh di depannya saat aku mabuk tadi. Aku malu dan ingin mengubur mukaku sendiri di depannya. Aku ingin kabur dan pergi dari tempat ini sekarang juga.
“Bagaimana kau bisa lupa? Kau sendiri yang mengatakannya bukan? Kalau kau ingin menginap di hotel ini? Kau mengoceh tentang itu setiap waktu, saat aku menggendongmu di lift. Bahkan kau tak segan-segan berteriak di depan resepsionis. Aku rasa aku tak memiliki pilihan lain kan? Selain memesankanmu kamar untukmu beristirahat di sini?” Ungkap Arya kepadaku.
“Aku melakukan itu?” tanyaku kepada diriku sendiri, tak sadar betapa bodohnya kelakuan yang kuperbuat. Mungkin memang benar, meminum alkohol terlalu banyak adalah sebuah kesalahan yang fatal. “Lalu, jam berapa sekarang? Sudah berapa lama aku tertidur?”
“Hmm... aku rasa sekitar 15 menit semenjak kau masuk ke dalam kamar ini. Aku menaruhmu di kasur, sadar bahwa mungkin kasur itu akan membuatmu nyaman untuk tidur nantinya. Sementara aku? Oh, jangan khawatirkan aku. Aku akan pulang sekarang, tujuanku telah selesai telah mengantarkanmu di kasur ini dengan selamat.” Jawab Arya kembali.
“Namun sebelum aku pulang, aku mencoba untuk mencoba untuk mencuci mukaku di sana. Awalnya aku hanya ingin kencing, karena alkohol itu membuat ginjalku bekerja terlalu keras. Namun saat aku bercermin, aku sadar kalau mukaku benar-benar kusam. Dan sekalian, aku pun mandi dengan shower hotel ini. Aku tak pernah menginap di hotel ini. Meskipun sudah bekerja dalam waktu yang cukup lama.”
Aku pun berjalan mendekati Arya sekarang, menyentuh tubuhnya yang masih basah terkena air itu di sana. “Lalu, jika memang begitu, kenapa kau tidak mencoba bermalam hanya untuk sekali saja di kamar hotel ini sekarang? Aku tidak akan menyuruhmu untuk buru-buru pulang kok.”
“Hah... Sabrina. Aku tahu kalau kau kelelahan. Aku memang telah berusaha untuk mengantarmu sampai ke hotel ini, namun jika begini caranya maka aku akan mungkin...” Aku memegang senjata milik Arya, sadar kalau benda itu semakin lama semakin mengeras saat aku pegang dengan lembut sekarang.
“Mungkin apa? Apakah kau tidak bisa mengatakannya kepadaku dengan jelas sekarang dengan menatap wajahku di sini? Atau mungkin sesuatu telah mengganggumu?” tanyaku padanya. Aku bisa melihat kalau wajah Arya sungguh sangat kaget, syok, sekaligus panik saat aku melakukan itu sebelumnya kepadanya. Aku tahu apa yang aku telah lakukan, namun aku tak bisa mundur kembali sekarang.
“Entahlah aku tak mengerti apa yang kau maksud Sabrina sekarang sungg-“ Sebelum dia menyelesaikan kata-katanya, aku mengecup bibir Arya di sana. Tidak ada perlawanan sama sekali dari dirinya, mengikuti alur dari cerita dan juga Skenario yang tengah kubuat untuknya sekarang ini. Aku mendorong dirinya perlahan-lahan, untuk bisa sampai jatuh ke atas sofa itu sekarang.
Arya terjatuh, sementara pakaian basahnya mengenai tubuhku sekarang. Aku berada di atasnya, mencicipi mulutnya yang manis dan juga lembut itu sekarang. Tangan kiriku menyentuh tongkat miliknya, dan aku bisa merasakan kalau tongkatnya itu semakin lama semakin mengeras terkena ciptaan hawa nafsu yang bergulir di ruangan ini sekarang.
Aku merobek bajunya, penasaran dengan sesuatu apa yang ada di dalamnya itu. Ternyata memang benar, itu adalah tubuhnya adalah sebuah karunia tersendiri dari Tuhan. Sebuah mahakarya dan juga ciptaan yang benar-benar indah. Aku membuka kancing di dadaku, mencoba menyentuh badannya itu dengan mengusap-usapkannya dengan lembut dan juga perlahan.
Kecupan manisku berhenti, aku perlahan-lahan turun, lidahku membuat sebuah jejak dari ujung atas bibirnya sampai menuju bawah, tempat tongkatnya berada sekarang. Aku bisa membuka kancing celana itu dengan mudah, membuat tongkat itu menonjol, mengagetkanku, aku tak pernah sehaus ini saat melihat benda seperti itu sebelumnya di sana.
Aku memijati tongkat itu, mencoba untuk mencari tombol mana yang bisa membuatnya tersadar, dan terbangun, kalau aku akan mewujudkan fantasi terbaiknya yang dia punya saat ini. Aku pun menjulurkan lidahku di sana, perlahan-lahan, sampai seluruh bagian dari tongkat itu basah karena air liurku atas sampai bawah. Aku tak bisa menahannya lagi.
Bagai mengecap sebuah lollipop, hanya saja yang menjadi perbedaannya hanyalah permen ini tidak semakin mengecil dan habis, namun semakin menguat, membesar, dan mengeras setiap waktu. Aku bisa mendengar Sang pemilik tongkat melenguh, mendapat ledakan hormon dopamin yang bersahut-sahutan di otak dan kepalanya sekarang ini... “Hngghh... Argghh!!”
Tiba-tiba, Arya, menghentikannya. Dia pun mencekik leherku, membalik posisi kami menjadi dirinya yang diatas sementara aku yang ada di bawah. Sambil berbisik-bisik, dia mencoba untuk menjatuhkan kepalanya di atas dua puding kenyalku itu. Merasakan kenikmatan dan kelembutannya sekarang. “Maafkan aku Sabrina, Aku awalnya tidak berencana melakukan ini. Namun kau yang memaksaku”.
“Hngghh... Ar... Ak... Aku... sudah tak tahan lagi... Arghh!” Desahku merasa nikmat. Pertahananku dijebol olehnya, aku hanya bisa melenguh dan berteriak sekarang. Hanya lampu-lampu yang terang itu membuat mataku yang sudah tertutup masih bisa melihatnya dengan jelas. Dua tangan Arya, mencetak puding milikku dengan sangat tekun sekarang. Sementara aku bisa merasakan tongkatnya, masuk ke dalam gua pertahanan milikku.
Aku tak bisa menahannya lagi, dan aku bisa merasakan sebuah cairan kental, terjatuh, dan juga keluar ke dalam dadaku sekarang.