Aku dan Wulan pulang dari tempat itu. Bisa dikatakan, kami berdua puas dan tidak puas di saat yang bersamaan saat menemui sosok dukun tua di sana. Bisa dibilang, ekspektasi kami tidak benar-benar terisi dengan penuh, hanya saja tidak benar-benar mengecewakan juga. Aku tidak menduga kalau aku akan mendapatkan sesuatu yang benar-benar tidak kuduga akan kudapatkan dari tempat ini sebelumnya.
Wulan, tidak berhasil mendapatkan foto bersama dengan dukun Lavesta. Karena memang, semua orang yang menuju ke dalam klinik praktek ini tidak diperbolehkan untuk mendokumentasi ataupun juga mengabadikan momen-momen mereka berada di sini. Karena tentu saja akan membongkar penyamaran dari identitas asli dari dukun Lavesta itu sendiri nantinya.
Tapi sebagai gantinya, Wulan dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di balik layar semua dukun yang pernah dia lihat di layar kaca sebelumnya. Aku bahkan kaget, kalau Wulan benar-benar memercayai semua yang ditampilkan di sana dengan 100 persen. Aku juga sebelumnya yakin kalau memang mereka tidak mungkin memiliki semua kemampuan mistis itu sendiri dengan waktu yang sangat singkat.
Sedangkan diriku, mendapatkan pengetahuan soal siapa pria itu sebenarnya. Aku tidaklah berhalusinasi, bermimpi, atau telah menjadi gila. Sosok itu, benar-benar ada di sana dan masuk ke dalam pikiranku sekarang. Hanya saja, aku tidak mungkin menemuinya secara langsung sekarang. Dia sudah meninggal dan tidak berada di dunia ini. Satu-satunya pilihan yang bisa kumiliki untuk berkomunikasi dengannya hanyalah bertemu dengannya lewat mimpi yang malam dan panjang.
Aku cukup lega, mendengar hal itu. Aku sebelumnya benar-benar mengira kalau diriku sudah tidak waras dan juga cenderung berubah menjadi gila. Aku sangat khawatir bila ibu mengkhawatirkan kondisi kesehatan mentalku, dan membuatku untuk tinggal bersamanya lagi. Perlu kutekankan berkali-kali, kalau aku ingin hidup mandiri, lepas dari bayang-bayang ibu dan juga bisa melakukan apa pun sendirian.
Aku mungkin harus mengatakan itu soal ibu nantinya, soal siapa pria itu sebenarnya. Walaupun memang, Ibu mungkin tidak akan terlalu percaya dengan perkataan seorang dukun, hanya saja itu adalah penjelasan yang paling bisa kulakukan untuk menjelaskan sosok itu kepadanya. Penjelasan yang sangat absurd dan juga tak masuk akal bahkan untuk ibu bisa pahami.
Dukun Valesta, memberikanku sebuah kalung taring harimau, yang tak kusangka benar-benar seorang harimau asli. Dia mengatakan kalau kalung itu bisa menghalau kekuatan magis dan juga kekuatan roh hitam untuk masuk ke dalam tubuhku. Dan juga mencegah bila mana saja tiba-tiba pria di dalam mimpiku itu berusaha untuk berniat jahat dan buruk kepadaku. Aku merasa, kalau itu bagus untuk kumiliki.
Hanya saja, saat aku mendengar harganya, kupingku terasa sangat panas dan juga tubuhku berkeringat deras. Sebuah taring seperti itu saja tak kusangka akan menagih tagihan dan juga harga yang sangat mahal. Aku tahu, kalau mungkin macan sudah termasuk hewan langka saja. Tapi hanya dengan satu taringnya dan juga tali murah bisa kutemukan di pasar malam, aku merasa harganya tidak cocok dengan kualitas yang didapatkan. Aku merasa sedikit tertipu saat aku hendak mencoba untuk membayarnya.
Aku merasa, kalau mungkin dukun itu telah menipuku, mengira kalau aku adalah gadis orang kaya dan juga memiliki dompet yang tebal dan juga dalam di sana. Ingin kujawab “Amin!” dengan keras di dalam hati anggapannya itu. Namun aku tahu itu pasti akan menyinggung dirinya yang melakukan praktek di sana. Dia tidak ingin harga dirinya berada di bawah diriku seorang pasien biasa untuknya.
Saat aku ingin pulang, mencoba untuk menolak membeli kalung taring macan itu darinya, Wulan membisikkan sesuatu kepadaku. Sesuatu yang tak pernah kupikirkan dan juga kupertimbangkan sebelumnya. Dia berkata kalau aku mungkin tidak membutuhkannya, namun dukun ini juga tidak akan membiarkan kita pulang dengan membawa tangan kosong. Dia pasti akan mengguna-guna kami.
Aku pun akhirnya memutuskan untuk membeli kalung bertaring macan itu di sana. Walaupun masih merasa sakit hati karena harganya setara dengan setengah bulan gajiku di kantor. Aku awalnya beralasan kalau aku tidak punya uang cash, tapi dia berkata menerima jalur transfer bank. Dia memberikan nomor rekeningnya kepadaku. Tak kukira, dan aku lupa, kalau dukun jaman sekarang sudah sangat canggih.
Sebelum pulang, dukun itu memberikan kami berdua sebuah jampi-jampi. Mantra yang tak kutahu apa khasiat dan fungsinya kepada kami. Dia menyuruh kami berdua untuk diam, tidak bergerak dan melakukan apa-apa sebelum ritual ini selesai. Aku takut, kalau kami pada akhirnya nanti akan diapa-apakah nantinya. Karena memang banyak kasus soal-soal seperti itu.
Namun ternyata, aku merasa tidak terjadi apa-apa kepada kami. Aku merasa kalau memang itu hanyalah formalitas, agar dia benar-benar membuktikan kalau dia seorang dukun. Dan membuat kami percaya kalau kami tidak rugi untuk pergi ke klinik ini berkonsultasi kepadanya. Aku, meskipun dia sudah melakukan itu kepadaku masih tak percaya dengan apa yang dilakukannya.
Kami berdua pun pulang, keluar dari klinik ini. Dan setelah kami pulang, aku sadar kalau tempat ini selalu sepi sejak awal. Mungkin, angka antrian nomor 7 yang mereka berikan kepada kami tak lebih dari sebuah ilusi agar kami menganggap kalau tempat itu selalu ramai.
***
“Jadi, mau kemana kita hari ini?” tanya Wulan kepadaku, yang sedang menyetir mobil berada di tengah-tengah jalan sekarang. Aku pun menoleh cepat ke arahnya, menjawabnya. “Tentu saja pulang bukan? Memangnya, kita mau kemana lagi sehabis ini? Apa kau ingin pergi ke tempat lain?”
“Entahlah, sekarang kan hari minggu. Dan cuaca masih terasa panas. Aku merasa, kalau tidak sebaiknya kita buru-buru pulang. Mungkin, kita bisa nongkrong atau pergi ke suatu tempat untuk refreshing sekarang?” tanya Wulan kepadaku. Tapi memang benar, masih terlalu pagi bagi kami berdua untuk pulang sekarang. Jalanan pun masih sangat sepi, tanda tidak ada orang pergi atau pulang sekarang.
“Baiklah, idemu cukup bagus. Hanya saja, aku tidak tahu kemana kita akan pergi sekarang ini. Apakah kau memiliki ide untuk pergi kemana?” tanyaku kepada Wulan. Karena Wulan, memang lebih tahu tentang soal-soal seperti itu dibandingkan diriku. Aku bahkan jarang berlibur ke tempat-tempat di sekitar kota ini. Bukan karena malas, hanya saja aku bukan tipe yang suka pergi ke luar rumah.
“Sebentar, aku ingin memeriksa spot yang sedang keren sekarang,” Wulan membuka ponselnya, menggulirkannya mencari sesuatu di sana. “Ahh ini! Bagaimana jika kita ke mall sekarang! Aku melihat banyak sekali promo pakaian yang menarik di sana. Mungkin saja, kita akan menemukan pakaian yang cocok untuk kita beli. Bagaimana menurutmu?” Sahut Wulan dengan tiba-tiba.
Namun, sebenarnya aku tidak peduli dengan fashion ataupun pakaian. Orang-orang kantor, termasuk Wulan pasti tahu, kalau pakaian yang kukenakan untuk bekerja hanya itu-itu saja. Mereka bahkan mengira kalau aku tidak pernah mencuci bajuku. Mungkin mereka lupa, kalau di dunia ini ada teknologi bernama laundry dan juga pengering baju di saat yang bersamaan.
Saat aku terdiam, mencoba untuk berpikir, Wulan sepertinya sadar, dia pun melirikku sekarang. “Sabrina, aku nggak tahu apa yang kamu pikirin tentang fashion. Tapi yang jelas, menurut aku, dan banyak orang di kantor. Baju kamu itu sudah gak tren lagi tahu! Sebagai sahabatmu, aku Cuma bisa memberikanmu saran di depanmu secara langsung seperti ini sebelum orang-orang mencibirmu dari belakang!”
“Ah! Masa sih Lan!” Sanggahku dengan keras. Aku pun langsung saja, melirik spion yang ada di atas mobilku, memeriksa penampilanku sendiri sekarang. Aku, biasanya memakai sebuah kemeja berwarna putih agak menerawang dan juga rok selutut berwarna hitam. Apakah penampilan itu tidak cukup disebut sebagai pakaian kantoran yang fashionable? “Siapa memangnya yang bilang seperti itu?” tanyaku lagi.
“Banyak orang, jika aku menyebutkan nama-namanya, maka aku takut kalau dirimu akan melabrak ataupun tersinggung nantinya. Maka dari itu, lebih baik bila aku diam saja dan memberitahukanmu soal itu. Untuk masalah penampilan, sudah tenang saja, biarkan aku yang memilihkan baju terbaik untukmu!” Ungkap Wulan dengan sangat baik hati ingin memberikanku rekomendasi darinya.
Aku tahu, kalau niat Wulan benar-benar tulus, ingin memperbaiki citraku dimata orang-orang kantor. Dan mungkin, ini memang saatnya bagiku untuk mengubah penampilan sekaligus citraku sekarang ini. “Baiklah Wulan, jika itu memang kemauanmu. Kita akan pergi ke mall sekarang! Mencari barang-barang bagus dan juga pakaian untukku nantinya!” Ucapku kepada Wulan. Dia pun ikut senyum manis kepadaku.
***
Kami sekarang sudah sampai di mall. Aku lupa, bahwa hari ini adalah hari minggu. Dan perjuangan, untuk mencari tempat parkiran memakan waktu lebih lama daripada saat kami pergi ke dalam perjalanan menuju tempat ini sekarang. Aku sampai bisa melihat tatapan kebosanan di raut muka dan wajah dari Wulan saat itu. “Kukira, kalau mall besar parkirannya besar juga. Huh!” gerutu Wulan.
Untungnya, kami sudah berada di dalam gedung mall itu sekarang, terkena suhu dan juga angin sejuk dari AC sehingga kami bisa merasakan kesejukan untuk pertama kalinya. Hanya saja, aku bisa merasakan kalau angin yang ada di sini sangat dingin, seperti terkena perpindahan suhu yang sangat besar membuat diriku menjadi lebih dingin daripada sebelumnya. Dimana aku memakai pakaian tipis pula saat ini.
Wulan, membuka ponselnya, mencari dimana tepatnya lokasi dari bazaar pakaian itu sedang berlangsung. Aku yang tak memiliki pengetahuan apa-apa soal bazaar yang dia sebutkan hanya bisa mengikuti dirinya dari belakang. Sambil memegang tasku agar tidak dirampok atau dicuri oleh seseorang saat kami mencoba berjalan dengan santai sekarang. Tidak ada yang tahu kapan seorang kriminal akan mencuri.
“Di sebelah sini Sabrina! Ikuti aku!” Sahut Wulan kepadaku. Aku pun mengikutinya kemana-mana dari belakang. Dan kemudian, banyak sekali pengunjung mall ini yang merupakan seorang pasangan, antara cewek dan cowok. Saling bergandengan tangan dengan mesra lewat di depanku. Aku tak tahu, apakah mereka memang dengan sengaja memamerkan kemesraan mereka itu padaku atau mereka memang sengaja melakukannya di depan umum agar semua orang tahu kalau mereka adalah seoarang pasangan.
Wulan, mendorong kepalaku, karena aku semenjak tadi hanya bengong melihat orang-orang yang bergandengan tangan itu di sana. Di depanku, ada sebuah eskalator. Jika fokusku masih terbagi dan terbuang oleh orang-orang itu, mungkin aku akan terjatuh dan menjadi perhatian banyak orang di sini sekarang. “Kenapa kau melihat orang-orang yang berpacaran itu? Apakah kau iri dengan mereka?”
“Tidak! Aku tidak iri! Siapa yang iri!” balasku dengan sanggahan pedas. Aku pun menoleh ke arah yang lain, membuktikan kalau aku memang benar-benar tidak iri dengan mereka. “Aku hanya merasa mereka telah sombong memamerkan hubungan mereka dengan bergandengan tangan di tempat umum seperti ini. Apakah mereka memang sengaja melakukan itu agar dilihat banyak orang? Benar-benar sombong kan?”
“Ya sudah! Jangan alihkan fokusmu kepada hal yang lain! Lihat di depanmu. Bazaar itu ada di depan kita sekarang.” Ucap Wulan sambil menunjuk ke depan. Ternyata memang, Bazaar itu sangat ramai diisi oleh anak-anak muda ataupun orang-orang setengah tua di sana. Karena memang secara sekilas saja aku bisa melihat kalau pakaian-pakaian di sana cocok untuk dikenakan berbagai macam umur maupun usia.
Wulan menggandeng tanganku, seakan-akan takut kalau aku lepas dan hilang kendali dari tempat ini. Padahal, satu-satunya orang yang kukhawatirkan akan hilang kendali adalah dirinya sekarang. Tempat pertama yang dikunjunginya adalah sebuah pakaian dress berwarna kuning dan juga dilengkapi sebuah tas selempang berwarna kuning juga di sana. Seperti sebuah bundel yang dibeli dengan harga lebih murah.
Wulan memegang baju itu, memeriksa kualitas dari baju itu sekarang. Dia pun langsung saja pergi dari tempat itu ke tempat lain, seperti bisa merasakan kalau baju itu tidak cocok ataupun layak untuk dibeli sekarang. Meskipun membuatku bertanya-tanya kenapa dia bisa menilai sebuah baju dengan secepat itu. “Hei, mengapa kau buru-buru pergi? Apakah kau sudah tahu baju itu di sana?” tanyaku padanya.
“Sudah, percayalah saja padaku. Aku memiliki kemampuan khusus, bisa mendeteksi kualitas sebuah barang hanya dengan memegangnya saja. Aku bisa merasakan barang itu dalam jangka waktu 3 bulan akan rusak dan memiliki kualitas yang tidak bisa dipakai.” Ucap Wulan dengan sangat cepat dan juga tanpa berpikir. Aku tidak mengerti dia memiliki kemampuan sehebat itu.
Mungkin, dengan kemampuan itu Wulan bisa masuk ke dalam perkumpulan dukun-dukun, membuka praktek yang akan diincar oleh ibu-ibu berdaster nantinya.
Pandangan Wulan kembali teralihkan ke baju berwarna pink agak jauh dari pakaian yang tadi. Di sampingnya, ada seorang penjaga dan juga pelayan toko yang mencoba untuk menjual barangnya kepada kami. Wulan, seperti tak memiliki rasa sungkan dengan mbak-mbak pelayan toko itu. “Halo kak? Mau cari baju apa? Ada yang bisa saya bantu?”
Wulan pun memegang baju yang tergantung di sana, dan aku ikut untuk melihat baju itu sekarang. Tapi, aku melihat pandangan aneh dari Sang Pelayan itu sekarang. Dia melirik dengan aneh ke arah kalung yang aku kenakan. Sampai-sampai, dia mulai bersuara melihat kalungku sekarang. “Mbak, apa benar itu kalung taring macan? Jangan sembarangan mbak pakai kalung itu”...