32. away

4998 Kata
Maaf banget aku ulang BAB, inshaallah beberapa hari lagi aku ganti. Soalnya tulisan ku di handphone yang satunya lagi. *** "Apa kau lapar, baby?" tanya Galins pada Keana. Galins membawa Keana ke atas pangkuannya, sedangkan Keana lebih memilih menenggelamkan wajahnya di d**a Galins. Jujur saja, tak ada hal yang ingin Keana lakukan dan minta kepada Tuhan selain lepas dari penjara ini, lepas dari ruangan yang sumpek ini. Ia ingin dirinya dan Galins selamat dan cepat kembali. Sebenarnya selain memikirkan adiknya yang sedari tadi gerak-gerik seperti orang yang tengah ketakutan, Galins juga memikirkan Alice yang sekarang keberadaannya masih dipertanyakan. Dia tak sedikitpun bertemu dengan kekasihnya saat kejadian itu, dia juga tak melihat Cleo. Apakah Cleo dan Alice berada dimobil lain? Atau mereka hanya membawa dirinya saja. Ah sepertinya itu sangat tidak mungkin. Alice pasti berada dalam mansion yang sama dengan dirinya, tetapi tempatnya cukup jauh. Alice pasti sudah dibawa oleh Alzy, tetapi yang menjadi pertanyaannya Alice dibawa kemana? Apakah diruangan lain? Sepertinya dia harus segera bertidak ia tak ingin kekasihnya kenapa-napa. Kalau sampai Alice celaka Galins tak akan pernah memaafkan dirinya sendiri. Lalu bagaimana dengan Cleo apakah pria itu juga sedang dalam keadaan susah, Galins berdoa semoga assisten nya itu ditinggal dijalan sehingga ia hanya fokus pada penyelematan ini. Keana menggeleng di pelukan Galins, sungguh tak ada yang ia inginkan selain pertolongan segera. "Tidak kak, aku hanya tak ingin kau kenapa-napa." jawab Keana, sebisa mungkin air matanya ia tahan agar tak jatuh. Sumpah demi apapun dia tak ingin membebani pikiran kakaknya. Ya! Tentu saja pikiran Galins tak sedang diam, kakak nya itu pasti tengah memutar otaknya memikirkan bagaimana caranya selamat. "Kau serius, baby? Aku mempunyai roti, menyingkirlah sebentar aku ambilkan untukmu. Roti nya berada disaku dalam baju ku." jika bepergian Galins akan membawa sekurang-kurangnya satu roti. Hal ini untuk mencegah kalau dirinya dalam keadaan sulit seperti ini. Dia tak pernah lupa dengan pesan daddy-Nya yang sudah berpengalaman. Roti itu gunanya untuk membuat Galins tak kelaparan. "Tidak kak! Kubilang tidak! Aku juga mempunyai roti dari uncle Jordi. Aku akan memakannya saat lapar. Roti mu, makan lah kak, aku tak ingin kakak kesakitan walaupun hanya sedikit saja, aku tak akan rela." Galins menyunggingkan senyum senang mendengar jawaban manis dari adiknya sendiri. "Kau tahu, harusnya aku yang berbicara seperti itu." Kea tak menjawab dia hanya mampu tersenyum kecil saja, masih dalam pelukan Galins. "Ngomong-ngomong, kau percaya padaku kan, Kea?" tanya Galins menatap kepala Keana yang berada di d**a bidangnya. Keana nampak nyaman berada di posisi seperti ini, dibanding dengan Zeana. Kea lah yang sering seperti ini pada dirinya. "Tentu, aku selalu percaya padamu kak. Kau jangan mengkhawatirkan perasaanku. Aku baik-baik saja," jawab Kea. Meskipun ia yakin semua orang juga tak akan percaya jika dirinya baik-baik saja, termasuk Galins. Pria itu tak akan percaya jika adiknya baik-baik saja. Adiknya ini pasti sangat ketakutan, terbukti kalau Keana memeluk dirinya terlampau erat. Lian terkekeh pelan, dia jadi teringat saat mereka berdua berada didalam rumah, Keana berlari ke kamar dirinya yang berada di lantai atas. Keana datang malam-malam karena tak ingin tidur sendirian, waktu itu Galins baru saja pulang, dan akan memejamkan mata. Keana tetap menjadi adiknya yang penakut, adiknya yang mempunyai banyak ketakutan, dan adiknya yang polos. Berbanding balik dengan Zeana wanita itu mempunyai sifat dan sikap seperti dirinya. Keras, tak pandang bulu jika membunuh orang, satu lagi Zeana adalah wanita yang tanggung. Tetapi kali ini, Galins membuktikan kalau Keana sama tangguhnya seperti Zeana. Keana tak selemah yang ia kira, buktinya sedari tadi Keana sama sekali tak merengek. Ia kira Kea akan merengek dan membuyarkan konsentrasinya. "Apa kau kedinginan?" kembali Galins melontarkan pertanyaan. Keana lagi-lagi menggeleng, ia tak ingin terlihat lemah dimata kakaknya. Ah sebenarnya opsi pertama yang menjadi motivasi dirinya adalah, ia tak ingin kakaknya malah mengkhawatirkan dirinya. Ia tak ingin itu terjadi. Galins pasti sedang memikirkan bagaimana caranya untuk bebas dari penjara ini. Dan membeli ucapan Darwin yang akan menguliti atau bahkan membuat tubuhnya menjadi daging panggang. Ah Daddy dan para uncle-Nya tak akan pernah mungkin membiarkan hal itu terjadi. Apalagi dengan Mr. Geraldo, dia akan melakukan segala cara. "Apa kau ma-" "Hei! Kenapa kalian berdua malah bersantai huh." tiba-tiba saja Bryan datang dari balik pintu, pria itu mampu membuat Keana membulatkan mata lantas beranjak dalam hitungan detik. Keana menatap Bryan tak percaya, bagaimana bisa dia berada di-- Ah semuanya pasti bisa, karena ulah uncle Jordi yang sangat cerdik, apakah bisa di sebut licik? Tidak! Karena ini adalah sebuah taktik. "Kenapa kau kemari, ck mengangguk saja." berbeda halnya dengan Keana yang masih terkejut. Galins malah nampak biasa-biasa saja, seolah-olah kedatangan Bryan bukanlah hal yang aneh. "Kau tak ingin selamat ya, dude? Ah baiklah, aku akan menyelematkan Keana saja." Bryan buru-buru memasang wajah cuek andalannya, membuat Galins menyunggingkan senyum kecil. "Ah, kalau seperti ini aku menjadi yakin jika kita akan selamat." lirih Kea. Galins maupun Bryan terkekeh, mendengar jawaban dari wanita cantik yang kadangkala bertingkah polos. "Secara tidak langsung kau sedang tak percaya padaku Kea." Keana kelabakan, dia memukul bibir nya yang polos, bisa-bisanya dia berbicara seperti itu didekat Bryan dan kakaknya sekaligus. Ah dirinya memang sangat bodoh sekali. "Hum, ah maksudku bukan seperti itu. Aku sangat percaya padamu." Galins mengangguk, dia memeluk adiknya dengan erat. "Kau menunggu disini, apa tidak apa-apa?" Keana mendongak, menatap manik mata kakaknya yang hitam pekat, seperti mata burung elang. "Ka..kau mau kemana?" Galins tersenyum manis, "Aku hanya akan ke depan. Pegang ini," Galins memberikan jaket kepada Keana. "Apa cara ini adalah benar? Kau yakin Galins?" "Kau meragukan semuanya, Bryan?" Bryan menghela nafas pelan, apa yang dilakukan Galins memang benar tetapi ada salahnya juga. "Kenzie sedang berada didepan gerbang. Dia sudah menyusup. Berhati-hatilah, sekarang kita tukar baju. Dan jangan lupa gunakan masker," Galins mengangguk, tetapi Keana tak tahu tahu harus berbuat apa. Jujur saja, dia tak mengerti dengan apa yang Bryan dan Galins katakan. Di depan wajah Keana, mereka berdua membuka baju bagian atas yang cukup tebal. Bryan menukar pakaian serba hitamnya dengan pakaian milik Galins. Hal itu semakin membuat Kea kebingungan. Galins menatap adiknya dengan lekat lalu tersenyum pada Keana. "Bryan disini bersamamu, kau tahu aku mencintaimu sangat mencintaimu. Jadi jangan khawatir, santai dan tetap tenang, kau mengerti?" Galins mencium kening Keana cukup lama sebelum dia benar-benar pergi meninggalkan ruangan pengap untuk menggantikan peran Bryan sebelumnya. Sekarang Keana mengerti dengan jalan pikiran mereka berdua. Semoga Tuhan selalu melindungi kakaknya dan semoga saja rencana ini berhasil, agar semakin banyak orang yang menyusup ke mansion milik Mr. Darwin dan menghancurkan keluarga itu dengan segera. *** "Kau mau berdiri terus?" Bryan memandang Keana yang masih mematung, sedangkan dirinya sudah terduduk dilantai yang cukup dingin. Sejak kejadian dimana dirinya menyatakan perasaannya pada Keana, wanita itu selalu canggung padanya. Ya! Keana tak seagresif Zeana. Mungkin jika Zeana yang berada di posisi seperti ini, wanita itu akan bertingkah kecentilan. "Humm. Ya, aku akan duduk." Keana berjalan mundur dengan perlahan, membuat Bryan terkekeh dengan tingkah kekasihnya, sejak kapan? Entah tetapi, sejak saat itu Bryan mengklaim jika Keana adalah miliknya. Buk "Kyaahhhh..Bryan!" refleks Kea berteriak, sampai Bryan saja harus menutup telinga nya sendiri. Karena lama menunggu jalan Kea yang seperti siput, apalagi berjalan mundur. Tangan Keana ia tarik, sehingga wanita itu terduduk tepat di pangkuannya. "Kau tak harus seperti ini Bryan!" Kea tak terima dengan perlakuan Bryan, jujur saja jantungnya sekarang berdetak lebih kencang. "Kenapa? Bukankah barusan juga kau seperti ini pada Galins." bisik Bryan tepat ditelinga Kea. Kea menggaruk tengkuknya yang sebenarnya sama sekali tak gatal. "Itu beda Bryan. Kak Galins, adalah kakakku!" Bryan terkekeh kecil, semakin mengeratkan pelukannya pada perut Kea. Ia takut wanita yang berada dalam pangkuannya kedinginan, mengingat cuaca kali ini sangat ekstrim. "Lalu, kita apa? Bukannya kita juga adalah saudara... biologis?" Keana tertegun mendengar penjelasan dari Bryan, lagi-lagi kenyataan pahit itu mampu menamparnya. Walau satu tamparan tetapi lebih menyakitkan dari apapun juga. Harusnya ia sadar dari awal, dengan statusnya bersama Bryan. Tak seharusnya dia menyukai saudara biologis nya sendiri, karena sampai kapanpun hubungan mereka tak akan pernah mendapat restu, mereka berdua tak akan pernah mencapai kebahagiaan walau sujud sekalipun. Hubungan terlarang antara dirinya dan Bryan benar-benar tak bisa dilanjutkan. Harusnya Keana sadar! Bahkan secara tak langsung Bryan tak menganggap dirinya sebagai orang yang spesial melainkan hanya menganggap dirinya sebagai saudara saja, tak lebih. Sementara Bryan, tengah merutuki ucapannya yang terlampau menyakiti wanita yang masih berada di pangkuannya. Setelah berkata seperti itu badan Keana menegang, bahkan wanita itu sekarang tengah memainkan jari-jari tangannya sembari menunduk. "Ah dear, maksudku tidak seperti itu." Bryan segera mencium puncak kepala Keana dengan penuh kelembutan. Sementara yang mendapat kecupan tak bergeming sedikitpun, wanita itu masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Tapi demi Tuhan, Bryan mengucapkan kata itu hanya bercanda saja, ia tak tahu kalau efeknya akan seperti ini. "Kau benar, Bryan. Kita saudara." lirihan dari bibir wanita yang ia sayangi itu membuat hati Bryan merasa sakit. Dia seperti pria yang sangat jahat sekali. Dalam satu hentakan, kini Keana sudah duduk menghadap Bryan. Pria itu segera membuka masker yang menutupi mulutnya. Di tatapnya mata kepala Keana yang sedang menunduk, dia menggeram kesal dengan dirinya sendiri. Bryan mendongakkan kepala Keana dengan sebelah tangannya. Refleks Keana pun menatap wajah Bryan. Di tatapnya mata kepala Keana yang sedang menunduk, dia menggeram kesal kepada dirinya sendiri. Bryan mendongakkan kepala Keana dengan sebelah tangannya. Refleks Keana pun menatap wajah Bryan "Apa kau mempercayai ku, Keana?" Keana tak bergeming, sembari memegang tangan kanan Bryan yang berada di wajahnya dia menatap lekat mata biru itu. mata indah milik Bryan yang sudah mampu membuatnya jatuh hati. *** Makan malam dilakukan dengan hening, tidak ada pembicaraan diantara mereka. Hanya ada suara sendok dan garpu saja yang berdenting saling bersahutan. Bahkan Lisha tak bernafsu makan sedikitpun. Tiba-tiba suara seseorang masuk di pendengaran mereka membuat Lian menggenggam Sendoknya dengan erat. "Mr Liandra. nyonya Erlin sedang membawa anak-anak panti untuk dijadikan sebagai pekerja peracik n*****a, mereka akan mengirimnya segera melalu jalur laut." Liandra dan semua orang yang ada disana langsung melirik ke arah sumber suara, "Bagaimana kau mengetahui itu, Revano?" " Emelly sedang menyadap pembicaraan nyonya Erlin. Dan yang lebih parah nya adalah ... " Revano menjeda perkataanya menbuat semua orang yang ada disana menatapnya bingung "Katakan cepat!" "Ruangan X sudah di kuasai oleh Nyonya Erlin dan juga seorang pengkhianat. Bahkan Reno, Reni, Dan Bima dinyatakan telah tewas." Liandra begitu terkejut, bagaimana bisa ada orang yang mempunyai akses untuk pergi ke markas X, Pasti ada yang berkhianat di markas tersebut. Reno, Reni dan Bima tewas Lalu? "Jadi apa yang kau maksud, Adrian adalah pengkhiatnya?" Sebelum Lian mengatakan hal itu, Victor terlebih dulu mengatakannya. Revano mengangguk samar. Lian mengepalkan tangannya, lalu memukulkannya ke meja. Aura membunuhnya menguar kemana-mana membuat siapapun yang melihat nya akan merasa ngeri. "Siapkan jet, kita akan segera terbang ke lokasi." Revano mengangguk, ia berniat akan melangkahkan kakinya, untuk melaksanakan tugas nya. Namun ditahan oleh Geraldo, "Tunggu dulu. Sebaiknya kita rapatkan ini semua. Kalian semua ikut saya ke ruangan rapat, ajak juga wanita hacker itu dan Aderald." Revano mengangguk, mereka juga semua setuju dengan ucapan dari Mr Geraldo. Mereka ingin secepatnya masalah ini selesai, kalau bisa malam ini juga dapat terselesaikan. Hanya satu yang Lian pikirkan sekarang, Terbunuh atau ____ Membunuh *** Sementara di pesisir pantai, nampak beberapa orang pria berbaju hitam sedang menggiring anak kecil untuk masuk kedalam kapal. Bukan hanya itu saja, jika ada anak kecil yang menangis mereka tak segan-segan untuk mencambuknya dengan kasar. "Cepat masuk!" Anak kecil yang sekiranya masih berumur sekitar 14-15 tahunnan itu hanya bisa menangis saat lagi-lagi suara pecutan terdengar di telinganya. Para Bodyguard itu belum juga memasukkan semua anak kecil sejak dua jam yang lalu karena anak-anak itu ada yang mencoba kabur bahkan ada yang sudah menyeburkan diri ke arah pantai. Anak-anak yang tak bersalah itu sudah tahu jika dirinya akan menjadi b***k. Lebih baik mati daripada melakukan hal seperti itu Wushhh... Wushh... Wushhh.. Suara tembakan laras panjang yang melumpuhkan musuh tanpa adanya suara, membuat mereka yang sedang memegang senjata itu tersenyum licik, tak sia-sia mereka membeli senjata ini dengan harga mahal ternyata sangat memang berguna. Musuh dengan cepat dapat diatasi dan tumbang dalam sekejap di atas kapal. Anak-anak semakin ketakutan tetapi Bella dan Lisha segera mengevakuasinya. Dan mencoba untuk Menenangkan anak-anak. Orang yang tengah menembaki musuh satu persatu itu adalah Bella dan juga Lisha. Saat akan membawa anak-anak ke arah kendaraan mereka, tiba-tiba saja ada yang mendorong tubuh Bella dan juga Lisha ke dalam kapal. Lalu pintu itu tertutup dengan sendirinya. "Gadis bodoh!" Seorang Laki-laki berjalan mendekat ke arah Lisha dan Bella. Mereka tidak tahu jika ada musuh lain yang berada di dalam kapal. "Kalian harus mengganti Hacker kalian. Kemampuan Emelly sangat buruk sekali rupanya" Laki-laki asing itu menyeringai. Semakin Mendekat ke arah Bella dan juga Lisha. Dengan gerakan cepat Lisha segera menendang s**********n lelaki itu sampai mengerang kesakitan. Hal itu tidak disia-siakan oleh Bella. Bella segera mengeluarkan pisau kecil lalu menyayat tangan lelaki itu dengan dalam sampai dia meringis kesakitan. Dorrr ... Lisha menegang, wajahnya memucat. Dia segera melihat sekilas orang yang telah menembak seseorang yang berada di hadapannya sampai tumbang. "Re-reza," Lirih Lisha. Bahkan saking melirihnya, Bella yang berada di sisinya saja pun tidak dapat mendengar. "Kalian tidak apa-apa? Ayo cepat keluar dan segera ke rumah X. Ibu ku telah memasang bom disana. Dalam waktu tiga puluh menit akan meledak, sementara Kakakku dan yang lainnya sepertinya sudah berada disana." Lisha menegang, untung saja dia memakai masker penutup mulut. Jadi, Reza tidak dapat mengenalinya. Bagaimapaun, Lisha belum berani menampakkan diri yang sebenarnya pada Reza. Tunggu ... Apa yang sedang Reza lakukan? Kenapa dia malah berada di pihaknya. "Ayo, masalah anak-anak panti aku yang akan mengurusnya" Belum sempat menjawab, tangan Lisha segera di tarik oleh Bella membuat lisha mau tak mau mengurungkan niatnya untuk bertanya. Bella segera masuk kedalam helikopter bersama Lisha. Menyuruh sang pilot agar segera terbang ke rumah X. Bagaimanapun juga, Bella dan Lisha hanya memerlukan waktu dua puluh sembilan menit untuk menyelamatkan orang-orang tersayangnya. Lisha meremas tangan nya dengan cemas, takut jika hal yang tidak di inginkan terjadi. Ia takut jika Kakak dan Kakeknya meninggalkan dirinya sendiri, ia juga takut jika Liandra, pria yang mengusik kehidupannya dan telah menyembuhkannya dari luka yang Reza buat tiada. Membayangkan semua itu membuat Lisha ketakutan. Tak terasa air matanya mengalir, masker hitamnya hampir basah oleh air mata. Sekuat-kuatnya wanita menjalani semuanya pasti akan menangis juga. Lisha selalu berpikir kenapa hidupnya begitu rumit, kapan dia akan merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Padahal keinginannya hanya satu yaitu, hidup bahagia bersama orang-orang tersayang nya. ** "Hei. Siapa anda! Mau dibawa kemana anak-anak panti, " Teriak seorang wanita. Wanita itu sedikit berlari terpincang-pincang menghampiri lelaki yang sedang menggiring anak-anak panti. Reza membalikkan badannya ke arah belakang lalu melihat siapa wanita yang telah memanggilnya. "Aku akan mengevakuasi mereka, ada apa?" "Sebelumnya aku tidak pernah melihatmu. Kau berada di kubu mana?" Tanya Emelly sambil melirik intens ke arah Reza. Dia diam-diam mengeluarkan senjata dari kantung jaketnya. "Santai dulu, aku adalah pengkhianat ibuku, dan berada di kubu kakakku, Liandra." Jawab Reza membuat Emelly mengangguk. "Dimana saudari ku?" "Oh maksudmu dua perempuan yang hampir celaka?" Emelly membulatkan kedua matanya dengan lebar, "Cepat katakan dimana mereka!" Reza menunjuk ke atas langit, menunjuk ke arah helikopter yang sedang mengudara semakin jauh. "Mereka akan ke rumah X, dan menyelamatkan Kakak ku" Ujar Reza membuat Emelly mengangguk. "Ayo cepat evakuasi mereka, aku akan membantu." Dengan kaki pincang karena bekas tembakan ulah anak buah Erlin membuat Emelly sedikit kesusahan. Reza mengangguk, lalu mulai memasukkan anak-anak ke dalam mobil Box yang besar. "Bisa kau mengantarkanku ke rumah X?" Tanya Emelly. Sejenak Reza terdiam seperti sedang berpikir lalu mengangguk. "Ya, jalan laut saja. Nanti kita akan sampai di bawah mansion itu dan menyelinap lewat ruang bawah tanah." Emelly tersenyum lalu mengangguk senang, mereka berdua beriringan masuk kedalam kapal dengan Reza yang menjadi Nakoda nya. "Kenapa kaki mu?" Tanya Reza. "Hanya sedikit terluka." Reza segera mengambil kapas, alkohol, obat merah dan juga perban. Dengan telaten dia membersihkan kaki Emelly yang di penuhi dengan darah kering. Pandangan mereka tak sengaja bertemu, lalu Reza dengan segera menyudahi kegiatannya dari membersihkan luka Emelly. Dia berdehem kecil untuk mengurangi kegugupannya. "Bisa sendiri kan? Aku harus segera membawa kapal nya" Emelly tersenyum kikuk, lalu mengangguk dan mulai mengobati kaki nya sendiri dengan perlahan. Untung saja dia bertemu dengan laki-laki sebaik Reza. Di tatapnya mata kepala Keana yang sedang menunduk, dia menggeram kesal kepada dirinya sendiri. Bryan mendongakkan kepala Keana dengan sebelah tangannya. Refleks Keana pun menatap wajah Bryan "Apa kau mempercayai ku, Keana?" Keana tak bergeming, sembari memegang tangan kanan Bryan yang berada di wajahnya dia menatap lekat mata biru itu. mata indah milik Bryan yang sudah mampu membuatnya jatuh hati. *** Makan malam dilakukan dengan hening, tidak ada pembicaraan diantara mereka. Hanya ada suara sendok dan garpu saja yang berdenting saling bersahutan. Bahkan Lisha tak bernafsu makan sedikitpun. Tiba-tiba suara seseorang masuk di pendengaran mereka membuat Lian menggenggam Sendoknya dengan erat. "Mr Liandra. nyonya Erlin sedang membawa anak-anak panti untuk dijadikan sebagai pekerja peracik n*****a, mereka akan mengirimnya segera melalu jalur laut." Liandra dan semua orang yang ada disana langsung melirik ke arah sumber suara, "Bagaimana kau mengetahui itu, Revano?" " Emelly sedang menyadap pembicaraan nyonya Erlin. Dan yang lebih parah nya adalah ... " Revano menjeda perkataanya menbuat semua orang yang ada disana menatapnya bingung "Katakan cepat!" "Ruangan X sudah di kuasai oleh Nyonya Erlin dan juga seorang pengkhianat. Bahkan Reno, Reni, Dan Bima dinyatakan telah tewas." Liandra begitu terkejut, bagaimana bisa ada orang yang mempunyai akses untuk pergi ke markas X, Pasti ada yang berkhianat di markas tersebut. Reno, Reni dan Bima tewas Lalu? "Jadi apa yang kau maksud, Adrian adalah pengkhiatnya?" Sebelum Lian mengatakan hal itu, Victor terlebih dulu mengatakannya. Revano mengangguk samar. Lian mengepalkan tangannya, lalu memukulkannya ke meja. Aura membunuhnya menguar kemana-mana membuat siapapun yang melihat nya akan merasa ngeri. "Siapkan jet, kita akan segera terbang ke lokasi." Revano mengangguk, ia berniat akan melangkahkan kakinya, untuk melaksanakan tugas nya. Namun ditahan oleh Geraldo, "Tunggu dulu. Sebaiknya kita rapatkan ini semua. Kalian semua ikut saya ke ruangan rapat, ajak juga wanita hacker itu dan Aderald." Revano mengangguk, mereka juga semua setuju dengan ucapan dari Mr Geraldo. Mereka ingin secepatnya masalah ini selesai, kalau bisa malam ini juga dapat terselesaikan. Hanya satu yang Lian pikirkan sekarang, Terbunuh atau ____ Membunuh *** Sementara di pesisir pantai, nampak beberapa orang pria berbaju hitam sedang menggiring anak kecil untuk masuk kedalam kapal. Bukan hanya itu saja, jika ada anak kecil yang menangis mereka tak segan-segan untuk mencambuknya dengan kasar. "Cepat masuk!" Anak kecil yang sekiranya masih berumur sekitar 14-15 tahunnan itu hanya bisa menangis saat lagi-lagi suara pecutan terdengar di telinganya. Para Bodyguard itu belum juga memasukkan semua anak kecil sejak dua jam yang lalu karena anak-anak itu ada yang mencoba kabur bahkan ada yang sudah menyeburkan diri ke arah pantai. Anak-anak yang tak bersalah itu sudah tahu jika dirinya akan menjadi b***k. Lebih baik mati daripada melakukan hal seperti itu Wushhh... Wushh... Wushhh.. Suara tembakan laras panjang yang melumpuhkan musuh tanpa adanya suara, membuat mereka yang sedang memegang senjata itu tersenyum licik, tak sia-sia mereka membeli senjata ini dengan harga mahal ternyata sangat memang berguna. Musuh dengan cepat dapat diatasi dan tumbang dalam sekejap di atas kapal. Anak-anak semakin ketakutan tetapi Bella dan Lisha segera mengevakuasinya. Dan mencoba untuk Menenangkan anak-anak. Orang yang tengah menembaki musuh satu persatu itu adalah Bella dan juga Lisha. Saat akan membawa anak-anak ke arah kendaraan mereka, tiba-tiba saja ada yang mendorong tubuh Bella dan juga Lisha ke dalam kapal. Lalu pintu itu tertutup dengan sendirinya. "Gadis bodoh!" Seorang Laki-laki berjalan mendekat ke arah Lisha dan Bella. Mereka tidak tahu jika ada musuh lain yang berada di dalam kapal. "Kalian harus mengganti Hacker kalian. Kemampuan Emelly sangat buruk sekali rupanya" Laki-laki asing itu menyeringai. Semakin Mendekat ke arah Bella dan juga Lisha. Dengan gerakan cepat Lisha segera menendang s**********n lelaki itu sampai mengerang kesakitan. Hal itu tidak disia-siakan oleh Bella. Bella segera mengeluarkan pisau kecil lalu menyayat tangan lelaki itu dengan dalam sampai dia meringis kesakitan. Dorrr ... Lisha menegang, wajahnya memucat. Dia segera melihat sekilas orang yang telah menembak seseorang yang berada di hadapannya sampai tumbang. "Re-reza," Lirih Lisha. Bahkan saking melirihnya, Bella yang berada di sisinya saja pun tidak dapat mendengar. "Kalian tidak apa-apa? Ayo cepat keluar dan segera ke rumah X. Ibu ku telah memasang bom disana. Dalam waktu tiga puluh menit akan meledak, sementara Kakakku dan yang lainnya sepertinya sudah berada disana." Lisha menegang, untung saja dia memakai masker penutup mulut. Jadi, Reza tidak dapat mengenalinya. Bagaimapaun, Lisha belum berani menampakkan diri yang sebenarnya pada Reza. Tunggu ... Apa yang sedang Reza lakukan? Kenapa dia malah berada di pihaknya. "Ayo, masalah anak-anak panti aku yang akan mengurusnya" Belum sempat menjawab, tangan Lisha segera di tarik oleh Bella membuat lisha mau tak mau mengurungkan niatnya untuk bertanya. Bella segera masuk kedalam helikopter bersama Lisha. Menyuruh sang pilot agar segera terbang ke rumah X. Bagaimanapun juga, Bella dan Lisha hanya memerlukan waktu dua puluh sembilan menit untuk menyelamatkan orang-orang tersayangnya. Lisha meremas tangan nya dengan cemas, takut jika hal yang tidak di inginkan terjadi. Ia takut jika Kakak dan Kakeknya meninggalkan dirinya sendiri, ia juga takut jika Liandra, pria yang mengusik kehidupannya dan telah menyembuhkannya dari luka yang Reza buat tiada. Membayangkan semua itu membuat Lisha ketakutan. Tak terasa air matanya mengalir, masker hitamnya hampir basah oleh air mata. Sekuat-kuatnya wanita menjalani semuanya pasti akan menangis juga. Lisha selalu berpikir kenapa hidupnya begitu rumit, kapan dia akan merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Padahal keinginannya hanya satu yaitu, hidup bahagia bersama orang-orang tersayang nya. ** "Hei. Siapa anda! Mau dibawa kemana anak-anak panti, " Teriak seorang wanita. Wanita itu sedikit berlari terpincang-pincang menghampiri lelaki yang sedang menggiring anak-anak panti. Reza membalikkan badannya ke arah belakang lalu melihat siapa wanita yang telah memanggilnya. "Aku akan mengevakuasi mereka, ada apa?" "Sebelumnya aku tidak pernah melihatmu. Kau berada di kubu mana?" Tanya Emelly sambil melirik intens ke arah Reza. Dia diam-diam mengeluarkan senjata dari kantung jaketnya. "Santai dulu, aku adalah pengkhianat ibuku, dan berada di kubu kakakku, Liandra." Jawab Reza membuat Emelly mengangguk. "Dimana saudari ku?" "Oh maksudmu dua perempuan yang hampir celaka?" Emelly membulatkan kedua matanya dengan lebar, "Cepat katakan dimana mereka!" Reza menunjuk ke atas langit, menunjuk ke arah helikopter yang sedang mengudara semakin jauh. "Mereka akan ke rumah X, dan menyelamatkan Kakak ku" Ujar Reza membuat Emelly mengangguk. "Ayo cepat evakuasi mereka, aku akan membantu." Dengan kaki pincang karena bekas tembakan ulah anak buah Erlin membuat Emelly sedikit kesusahan. Reza mengangguk, lalu mulai memasukkan anak-anak ke dalam mobil Box yang besar. "Bisa kau mengantarkanku ke rumah X?" Tanya Emelly. Sejenak Reza terdiam seperti sedang berpikir lalu mengangguk. "Ya, jalan laut saja. Nanti kita akan sampai di bawah mansion itu dan menyelinap lewat ruang bawah tanah." Emelly tersenyum lalu mengangguk senang, mereka berdua beriringan masuk kedalam kapal dengan Reza yang menjadi Nakoda nya. "Kenapa kaki mu?" Tanya Reza. "Hanya sedikit terluka." Reza segera mengambil kapas, alkohol, obat merah dan juga perban. Dengan telaten dia membersihkan kaki Emelly yang di penuhi dengan darah kering. Pandangan mereka tak sengaja bertemu, lalu Reza dengan segera menyudahi kegiatannya dari membersihkan luka Emelly. Dia berdehem kecil untuk mengurangi kegugupannya. "Bisa sendiri kan? Aku harus segera membawa kapal nya" Emelly tersenyum kikuk, lalu mengangguk dan mulai mengobati kaki nya sendiri dengan perlahan. Untung saja dia bertemu dengan laki-laki sebaik Reza. Di tatapnya mata kepala Keana yang sedang menunduk, dia menggeram kesal kepada dirinya sendiri. Bryan mendongakkan kepala Keana dengan sebelah tangannya. Refleks Keana pun menatap wajah Bryan "Apa kau mempercayai ku, Keana?" Keana tak bergeming, sembari memegang tangan kanan Bryan yang berada di wajahnya dia menatap lekat mata biru itu. mata indah milik Bryan yang sudah mampu membuatnya jatuh hati. *** Makan malam dilakukan dengan hening, tidak ada pembicaraan diantara mereka. Hanya ada suara sendok dan garpu saja yang berdenting saling bersahutan. Bahkan Lisha tak bernafsu makan sedikitpun. Tiba-tiba suara seseorang masuk di pendengaran mereka membuat Lian menggenggam Sendoknya dengan erat. "Mr Liandra. nyonya Erlin sedang membawa anak-anak panti untuk dijadikan sebagai pekerja peracik n*****a, mereka akan mengirimnya segera melalu jalur laut." Liandra dan semua orang yang ada disana langsung melirik ke arah sumber suara, "Bagaimana kau mengetahui itu, Revano?" " Emelly sedang menyadap pembicaraan nyonya Erlin. Dan yang lebih parah nya adalah ... " Revano menjeda perkataanya menbuat semua orang yang ada disana menatapnya bingung "Katakan cepat!" "Ruangan X sudah di kuasai oleh Nyonya Erlin dan juga seorang pengkhianat. Bahkan Reno, Reni, Dan Bima dinyatakan telah tewas." Liandra begitu terkejut, bagaimana bisa ada orang yang mempunyai akses untuk pergi ke markas X, Pasti ada yang berkhianat di markas tersebut. Reno, Reni dan Bima tewas Lalu? "Jadi apa yang kau maksud, Adrian adalah pengkhiatnya?" Sebelum Lian mengatakan hal itu, Victor terlebih dulu mengatakannya. Revano mengangguk samar. Lian mengepalkan tangannya, lalu memukulkannya ke meja. Aura membunuhnya menguar kemana-mana membuat siapapun yang melihat nya akan merasa ngeri. "Siapkan jet, kita akan segera terbang ke lokasi." Revano mengangguk, ia berniat akan melangkahkan kakinya, untuk melaksanakan tugas nya. Namun ditahan oleh Geraldo, "Tunggu dulu. Sebaiknya kita rapatkan ini semua. Kalian semua ikut saya ke ruangan rapat, ajak juga wanita hacker itu dan Aderald." Revano mengangguk, mereka juga semua setuju dengan ucapan dari Mr Geraldo. Mereka ingin secepatnya masalah ini selesai, kalau bisa malam ini juga dapat terselesaikan. Hanya satu yang Lian pikirkan sekarang, Terbunuh atau ____ Membunuh *** Sementara di pesisir pantai, nampak beberapa orang pria berbaju hitam sedang menggiring anak kecil untuk masuk kedalam kapal. Bukan hanya itu saja, jika ada anak kecil yang menangis mereka tak segan-segan untuk mencambuknya dengan kasar. "Cepat masuk!" Anak kecil yang sekiranya masih berumur sekitar 14-15 tahunnan itu hanya bisa menangis saat lagi-lagi suara pecutan terdengar di telinganya. Para Bodyguard itu belum juga memasukkan semua anak kecil sejak dua jam yang lalu karena anak-anak itu ada yang mencoba kabur bahkan ada yang sudah menyeburkan diri ke arah pantai. Anak-anak yang tak bersalah itu sudah tahu jika dirinya akan menjadi b***k. Lebih baik mati daripada melakukan hal seperti itu Wushhh... Wushh... Wushhh.. Suara tembakan laras panjang yang melumpuhkan musuh tanpa adanya suara, membuat mereka yang sedang memegang senjata itu tersenyum licik, tak sia-sia mereka membeli senjata ini dengan harga mahal ternyata sangat memang berguna. Musuh dengan cepat dapat diatasi dan tumbang dalam sekejap di atas kapal. Anak-anak semakin ketakutan tetapi Bella dan Lisha segera mengevakuasinya. Dan mencoba untuk Menenangkan anak-anak. Orang yang tengah menembaki musuh satu persatu itu adalah Bella dan juga Lisha. Saat akan membawa anak-anak ke arah kendaraan mereka, tiba-tiba saja ada yang mendorong tubuh Bella dan juga Lisha ke dalam kapal. Lalu pintu itu tertutup dengan sendirinya. "Gadis bodoh!" Seorang Laki-laki berjalan mendekat ke arah Lisha dan Bella. Mereka tidak tahu jika ada musuh lain yang berada di dalam kapal. "Kalian harus mengganti Hacker kalian. Kemampuan Emelly sangat buruk sekali rupanya" Laki-laki asing itu menyeringai. Semakin Mendekat ke arah Bella dan juga Lisha. Dengan gerakan cepat Lisha segera menendang s**********n lelaki itu sampai mengerang kesakitan. Hal itu tidak disia-siakan oleh Bella. Bella segera mengeluarkan pisau kecil lalu menyayat tangan lelaki itu dengan dalam sampai dia meringis kesakitan. Dorrr ... Lisha menegang, wajahnya memucat. Dia segera melihat sekilas orang yang telah menembak seseorang yang berada di hadapannya sampai tumbang. "Re-reza," Lirih Lisha. Bahkan saking melirihnya, Bella yang berada di sisinya saja pun tidak dapat mendengar. "Kalian tidak apa-apa? Ayo cepat keluar dan segera ke rumah X. Ibu ku telah memasang bom disana. Dalam waktu tiga puluh menit akan meledak, sementara Kakakku dan yang lainnya sepertinya sudah berada disana." Lisha menegang, untung saja dia memakai masker penutup mulut. Jadi, Reza tidak dapat mengenalinya. Bagaimapaun, Lisha belum berani menampakkan diri yang sebenarnya pada Reza. Tunggu ... Apa yang sedang Reza lakukan? Kenapa dia malah berada di pihaknya. "Ayo, masalah anak-anak panti aku yang akan mengurusnya" Belum sempat menjawab, tangan Lisha segera di tarik oleh Bella membuat lisha mau tak mau mengurungkan niatnya untuk bertanya. Bella segera masuk kedalam helikopter bersama Lisha. Menyuruh sang pilot agar segera terbang ke rumah X. Bagaimanapun juga, Bella dan Lisha hanya memerlukan waktu dua puluh sembilan menit untuk menyelamatkan orang-orang tersayangnya. Lisha meremas tangan nya dengan cemas, takut jika hal yang tidak di inginkan terjadi. Ia takut jika Kakak dan Kakeknya meninggalkan dirinya sendiri, ia juga takut jika Liandra, pria yang mengusik kehidupannya dan telah menyembuhkannya dari luka yang Reza buat tiada. Membayangkan semua itu membuat Lisha ketakutan. Tak terasa air matanya mengalir, masker hitamnya hampir basah oleh air mata. Sekuat-kuatnya wanita menjalani semuanya pasti akan menangis juga. Lisha selalu berpikir kenapa hidupnya begitu rumit, kapan dia akan merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Padahal keinginannya hanya satu yaitu, hidup bahagia bersama orang-orang tersayang nya. ** "Hei. Siapa anda! Mau dibawa kemana anak-anak panti, " Teriak seorang wanita. Wanita itu sedikit berlari terpincang-pincang menghampiri lelaki yang sedang menggiring anak-anak panti. Reza membalikkan badannya ke arah belakang lalu melihat siapa wanita yang telah memanggilnya. "Aku akan mengevakuasi mereka, ada apa?" "Sebelumnya aku tidak pernah melihatmu. Kau berada di kubu mana?" Tanya Emelly sambil melirik intens ke arah Reza. Dia diam-diam mengeluarkan senjata dari kantung jaketnya. "Santai dulu, aku adalah pengkhianat ibuku, dan berada di kubu kakakku, Liandra." Jawab Reza membuat Emelly mengangguk. "Dimana saudari ku?" "Oh maksudmu dua perempuan yang hampir celaka?" Emelly membulatkan kedua matanya dengan lebar, "Cepat katakan dimana mereka!" Reza menunjuk ke atas langit, menunjuk ke arah helikopter yang sedang mengudara semakin jauh. "Mereka akan ke rumah X, dan menyelamatkan Kakak ku" Ujar Reza membuat Emelly mengangguk. "Ayo cepat evakuasi mereka, aku akan membantu." Dengan kaki pincang karena bekas tembakan ulah anak buah Erlin membuat Emelly sedikit kesusahan. Reza mengangguk, lalu mulai memasukkan anak-anak ke dalam mobil Box yang besar. "Bisa kau mengantarkanku ke rumah X?" Tanya Emelly. Sejenak Reza terdiam seperti sedang berpikir lalu mengangguk. "Ya, jalan laut saja. Nanti kita akan sampai di bawah mansion itu dan menyelinap lewat ruang bawah tanah." Emelly tersenyum lalu mengangguk senang, mereka berdua beriringan masuk kedalam kapal

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN