"Galins, apa kau akan tidur disana?" tanya Alice hati-hati. Setelah memakan habis rotinya dia segera melirik ke arah Galins yang tengah berbaring seperti sudah tidur diatas kasurnya.
"Hmmm..." hanya sebuah deheman yang keluar dari bibir Galins, Alice yang mengerti pun hanya mengangguk. Dia segera beranjak dari duduknya untuk pindah ke sofa namun tangannya segera di tahan oleh Galins, sehingga tubuhnya menimpa tubuh Galins.
"Kyaaaaa!" jerit Alice, membuat Galins mendengus karena suara teriakan melengking itu.
"Galins lepaskan!" pinta Alice. Namun bukannya melepaskan Galins lebih erat memeluk tubuh mungil Alice.
"Tidur disini, bersamaku." bisik Galins tepat ditelinga Alice, membuat tubuhnya seketika itu juga menegang.
"Eh, hmmm ti..tidak Galins. Aku akan tidur di sofa saja." balas Alice gelagapan. Dia tidak ingin kejadian kemarin terulang kembali.
"Tidak ada penolakan, atau... aku akan menyayat pipi mulusmu dengan pisau." balas Galins, namun matanya masih terpejam.
Mendengar ancaman seperti itu lagi-lagi membuat Alice mendengkus, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah jika Galins sudah mengeluarkan kata seperti itu.
"Ba..baiklah, tapi aku akan mengambil minum terlebih dulu." jawab Alice, namun tidak ada jawaban sedikitpun dari Galins, selain melepaskan tubuh Galins.
"Bawakan aku juga." jawab Galins, di angguki oleh Alice.
Alice segera beranjak, dia segera menuangkan air ke dalam gelasnya dan meneguknya dengan segera. Lalu dia mengisi air di gelas yang berbeda untuk Galins. Dan diterima olehnya, Galins memberikan gelas itu pada Alice, dan di terimanya kembali.
Sial sekali! Galins begitu lapar malam ini. Dia harusnya makan dulu di rumahnya tadi. Kenapa juga dia tidak berinisiatif membawakan Alice makanan. Ah karena dia pikir Alice tak sesusah ini, dia sangat ingin mencicipi makanan Alice. Kalaupun wanita itu tak bisa memasak, tak masalah juga baginya.
Setelah itu, Alice kembali ke atas ranjang, lalu duduk di tepian ranjang lainnya.
Dengan satu tarikan, tubuh Alice kini berada dibawah tubuh Galins.
Galins menyeringai, namun Alice hanya mempu menelan salivanya dengan susah payah. Ia takut kejadian kamarin malam terulang kembali.
"Ga..galins apa ya..yang akan kau lakukan." ujar Alice terbata-bata.
Galins tersenyum manis, dia mendekatkan wajahnya ke wajah Alice dengan perlahan.
Hingga kening mereka akhirnya menyatu. Alice tersenyum geli kala nafas Galins mengenai wajahnya. Membuat Galins juga ikut tersenyum.
"Boleh kan?" tanya Galins pelan. Membuat Alice mengerutkan keningnya.
"A..apa?" tanya Alice pelan dan serak.
"Ini." ujar Galins, dia menyentuh bibir Alice dengan sebelah tangannya. Sementara tangan yang lainnya menopang sebagian berat tubuhnya.
Entah dorongan dari mana Alice menganggukkan kepalanya membuat Galins tersenyum senang. "Hanya itu saja, kau harus berjanji." jawab Alice.
Dengan hitungan detik, Galins segera membalikkan posisi sehingga Alice lah yang berada diatasnya. "Ya, aku tak bisa berjanji, dear." jawab Galins membuat Alice membulatkan matanya kembali.
Tubuh Alice lagi-lagi menegang, kala Galins berhasil menyatukan bibir keduanya.
Galins melumatnya pelan, dengan penuh rasa sayang. Baru kali ini Galins seperti ini pada perempuan. Biasanya Galins hanya akan menyewa wanita setelah itu membuat wanita itu kelelahan dan pingsan, bahkan ada yang tewas setelahnya. Nafsu Galins tak main-main. Untuk soal ini, entah Lian tahu atau tidak.
Namun kali ini rupanya tidak berlaku bagi Alice, dia merasa ada sesuatu hal yang menjanggal jika dia menyakiti Alice, dia berjanji akan menjaga Alice.
Galins mulai meraba punggung Alice dengan s*****l. Ciumannya begitu intens meskipun tidak ada balasan dari Alice. Itu berarti ini pertama kalinya bagi Alice berciuman.
Sementara Alice, dia merasakan hal yang aneh dalam hatinya. Terasa ada ribuan kupu-kupu yang terbang di perutnya. Sebelumnya dia tidak merasakan hal seaneh dan sebahagia ini.
Tangan kiri Galins mulai mengelus lembut punggung Alice dari dalam, membuat Alice semakin melenguh dan bergerak tak nyaman.
Galins masih mengelusnya dengan lembut, tangannya turun meraba b****g padat Galins. Hal itu membuat Alice semakin melenguh. Galins merutuk dan beberapa kali mengucapkan kata sial di dalam hati, kenapa hanya dengan suara lenguhan saja membuat sesuatu yang ada pada dirinya bangkit. Tidak biasanya, dia seperti ini.
"Ga... Galins jangan." lirih Alice, namun Galins tak menggubrisnya, dia masih setia dengan b****g Alice. Dan malah meraup bibir Alice untuk kembali berciuman.
Beberapa saat kemudian, Galins tersadar dia segera menghentikan aksinya dan memutuskan ciumannya, dia tidak ingin hal yang aneh terjadi diantara mereka berdua. Ini bukan waktunya. Galins berjanji akan menjaga Alice dengan segenap nyawanya mau itu luar atau dalam.
Pipi Alice merona, dia memutuskan untuk menyembunyikan wajahnya diceruk leher Galins. Hal itu membuat Galins terkekeh pelan. Dia mengabaikan sesuatu yang bangkit, dan lebih memilih memeluk Alice.
"Alice, apa kau tidak sekolah?" tanya Galins.
Alice menggeleng, "Harusnya sudah kuliah, aku baru tamat Hight School beberapa bulan yang lalu. Sebelum orang tua ku meninggal" jawab Alice membuat Galins mengangguk-anggukan kepalanya. Berarti umur Alice hampir sama dengan umur kedua adik kembarnya. Tapi, tunggu. Hight school, bukankah itu sekolahan yang sangat elite, bahkan dirinya, sepupu, dan para adiknya pun lulusan dari sana. Itu berarti, Alice satu angkatan dengan adik kembarnya, dan Alice adalah keluarga kaya, pikir Galins. Namun, tak menutup kemungkinan, jika Alice adalah siswa dengan beasiswa. Mengingat jika dirinya tak pernah melihat Alice di sekolah.
"Tidak ingin pulang ke kota?" tanya Lian, membuat Alice diam, pertanyaan yang terlontar dari bibir Galins membuat dirinya bingung.
"A-aku tidak tahu, sepertinya aku sudah tidak mempunyai rumah disana."
Galins ingin lebih tahu tentang kehidupan Alice, tapi lebih baik dia diam saja. Karena, ini adalah waktu yang tidak pas untuk bertanya. Dia akan mencari tahu semuanya saat dia sudah sampai di kota besok. Mungkin dengan bantuan dari Bryan dengan kemampuannya, dia bisa mencari semuanya tentang Alice.
"Siapa nama lengkap mu." tanya Galins, sebenarnya dia bertanya, agar memudahkan untuk mencari data tentang Alice nantinya.
"Alice Darwin." jawab Alice.
Galins menegang namun tak lama dia mengerutkan keningnya, nama Darwin sangat tidak asing di pendengarannya. Bahkan, dia begitu mengeanalnya jika dia benar-benar Mr. Darwin yang ada di pikirannya.
"Bukankah mereka adalah korban perampokan? Berarti kau adalah anaknya yang dinyatakan hilang itu?"
Alice segera mengangguk, "Ya benar, aku adalah anaknya. Anak tunggal Mr. Darwin, yang memiliki perusahaan dan properti hampir setara dengan Mr. William. Apa kau tahu siapa itu Mr. William, dia sangat terkenal di kota" ujar Alice.
Tubuh Galins semakin menegang, jika dia tahu bahwa dia anaknya Mr. William, apa yang akan Alice lakukan?
Dan juga, berarti dirinya kali ini sedang berurusan dengan..
Galins segera mengangguk-anggukan kepalanya. Dia sudah menemukan semua jawabannya meskipun tanpa perjuangan yang ekstra. Dia jadi berpikir yang macam-macam tentang ...
"Apa kau mengetahui keluargaku Galins?" tanya Alice.
"Ya keluarga mu adalah rekan bisnis daddy ku dulu, aku tidak terlalu mengenalnya. Tapi besok aku akan berbicara pada daddy, sekarang tidurlah." ujar Galins membuat Alice mengangguk. Dia tidak beranjak dari tidurnya, melainkan masih menelusupkan wajahnya di cerukan leher Galins. Hal itu memudahkan Galins untuk memeluk Alice lebih dalam lagi.
Sebelum pergi ke alam bawah sadar menyusul Alice, Galins terlebih dulu menarik selimut menggunakan kakinya dan memakaikannya untuk mereka berdua.
Udara sangat dingin, karena diluar pun salju sedang turun. Di tambah dengan mereka, yang berada ditengah hutan, jadi udara semakin menusuk.
***
Pagi ini Alice harus terbangun lagi tanpa Galins, dia menghela nafas kasarnya. Mungkin di hari selanjutnya Alice tidak usah terkejut dengan hal seperti ini. Ya, dirinya harus terbiasa mulai sekarang.
Padahal Alice belum merasakan perasaan apapun pada Galins selain rasa nyaman.
Apa rasa nyaman cukup untuk menggambarkan mereka berdua, mengingat jika mereka sepertinya saling membutuhkan?
***
Pagi-pagi sekali sekitar jam setengah tujuh, Galins sudah stand by di kursi meja makannya. Dia tengah melihat Lisha yang sedang sibuk berkutat dengan alat-alat dapur.
"Tumben sekali sudah bangun." ujar Lisha, membuat Galins mengangguk.
"Ya, karena semalam tidur lebih cepat."
Lisha mengangguk, dia tidak mengetahui jika semalam Galins tidak berada di rumah. Akan tetapi, Lian pasti mengetahuinya. Galins sudah menebak itu.
"Morning son. Morning mom" ujar Lian, dia segera duduk di samping Galins dengan dasi yang masih acak-acakan. Tetapi, rambutnya sudah rapi.
"Morning dad, akan berangkat kerja ya?" tanya Galins berbasa-basi sebelum dia bertanya pada hal inti.
"ya kenapa? Mau ikut" tanya Lian, dia menyunggingkan bibirnya ke arah tunggal-putranya. Dan benar saja, daddy nya selalu mengetahui sesuatu sebelum dirinya mengatakan.
Galins membalas dengan senyum tipis, dan mengangguk. "Tentu, aku kan setelah lulus akan menjadi penerus mu dad." jawab Galins membuat Lian tersenyum.
"Kalau begitu, setelah makan langsung berganti baju dengan jas. Kau harus menemani dad rapat."
Galins mendesah pelan, memakai pakaian formal menurutnya sangat tidak nyaman." Tidak usah dad. Aku berpakaian santai pun sudah pasti memikat banyak karyawan perempuan dan juga orang-orang lainnya."
Lian tersenyum, ia sangat mengetahui jika anaknya akan bertanya sesuatu yang tidak ia ketahui apa pertanyaannya. Mungkin mereka butuh waktu berdua jadi Lian berinisiatif untuk mengajak anaknya ke kantor miliknya.
" Ya, percaya diri sekali kau. Seperti daddy mu saja." ujar Lisha dari arah dapur. Dia segera menghidangkan gelas s**u di depan anaknya, Galins.
"Apa kau pergi ke kantor, hanya akan memikat para karyawan saja?" tanya Galins menaik-turunkan alisnya, sementara Galins menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Ngomong-ngomong dimana mereka berdua?" tanya Lisha, mereka yang dimaksud oleh Lisha adalah anak kembarnya.
"Vella tolong panggilkan mereka." ujar Lisha, membuat Vella asisten rumah tangga di mansion itu mengangguk.
Namun tak sampai beberapa langkah, Zea dan juga Kea sudah datang dengan setelan rapi nya.
"Morning dad mom and kak." ujar Zea semangat, dia segera mencium pipi sang kakak, dan tak lupa mencium pipi Lian dan Lisha juga. Di ikuti oleh Kea. Rutinitas mereka setiap pagi.
"Sudah cantik dan rapi anak daddy, mau kemana pagi-pagi begini?" tanya Lian.
"Pergi ke campus, dad. Ada jadwal hari ini," jawab Zea.
"Oh baiklah, hati-hati selama di kampus. Dari kejadian alzy, daddy sudah kirimkan boddyguard untuk mengawasi kalian berdua. Tapi tenang saja, mereka akan mengawasi kalian dari jauh." terang Lian.
Zea menghela nafas kasarnya, " Dad, aku pintar bela diri. Aku bisa menjaga diri sendiri dan juga Kea." jawab Zea, membuat Lian menggeleng. Meskipun dia pintar bela diri. Tapi, tetap saja Lian tak percaya dengan Zea yang bisa menjaga dirinya sendiri.
" Ayo sarapan, dan jangan banyak membantah. Ini juga demi kebaikan kalian berdua." jawab Lian, membuat Zea lagi-lagi menghela nafasnya. Dia tidak akan mungkin menang melawan daddy nya.
Sementara Kea, dia hanya menyimak protesan sang kakak dan lebih asik memakan roti panggang dengan selai kacang kesukaannya.
Sedang Zea alergi kacang, dia lebih memilih memakannya dengan keju.
"Ngomong-ngomong Dad, aku perlu bantuan mu. Aku ingin kau mencarikan aku seseorang." ujar Kea.
Semua mata langsung tertuju pada anak terakhir di keluarga William
"Tumben sekali, dear? Apa kau sedang jatuh cinta?" tanya Lian sambil tersenyum kecil.
"Ah tidak!" bantah Kea. "Aku hanya sedang mencari seseorang yang pernah aku temui sebelumnya. Apa kau bisa?"
"Tentu, dear. Kapanpun kau mau." jawab Lian membuat Kea tersenyum lebar.
"Kau harus menceritakannya padaku." pinta Zea.
"Yah, kapan-kapan saja kalau sudah ketemu." jawab Kea. "Daddy sedang banyak pekerjaan, kenapa kau tak meminta bantuan pada Bryan. Kemampuan hack nya sangat bagus." ujar Lian memberi saran.
Kea terdiam, dia menimang-nimang sebentar. Yang dikatakan kakaknya benar tetapi ada salahnya juga. Dirinya dan Bryan sedang tidak baik-baik saja. Tetapi, jika dia menolak maka semua pasti curiga.
"Ah ya kau benar kak, Dad tak usah aku akan meminta Bryan datang nanti." jawab Kea.
"Terserah mu saja, dear. Kalau tak ingin kabari saja daddy." jawab Lian.
Satu hal yang Kea kagumi dari sosok daddy-Nya. Disela-sela kesibukan kerjanya, Lian masih memperhatikan semua anak-anaknya dia selalu meluangkan waktu dan membantu jika anak dan istrinya sedang kesusahan. Sungguh pria yang sempurna dimata Kea. Begitupun dengan Galins, kakaknya adalah sosok kakak yang hebat, dia tak pernah membiarkan adik-adiknya kesusahan sendiri. Sungguh kakak yang sempurna juga bagi Kea.