Bab 21Dunia Yang Berbeda

1265 Kata
Selama dalam perjalanan, mereka berdua hanya diam satu sama lain. Tak ada musik, tak ada suara batuk, atau pun bersin. Bahkan suara napas mereka berdua diatur begitu hati-hati. Yang ada hanyalah deru mesin halus memenuhi keheningan. Kedua anak manusia itu tenggelam dalam pikirannya masing-masing, tak ada satu pun dari mereka berdua yang berinisiatif untuk memecah suasana tidak nyaman itu. Misaki melirik diam-diam ke arah Watar, ia mengendarai mobil dengan tampang serius, sulit ditebak. Posisi tubuhnya bersandar ke arah pintu mobil, dengan gaya seksi ia menggigiti kuku jarinya. Apa yang sedang dipikirkannya? Renung Misaki. Tak berapa lama, mereka pun berhenti di depan sebuah gedung. Misaki memeriksa ke sekitarnya, jangan-jangan salah gedung? Mewah dan megah sekali gedung itu! Benarkah ini hotel milik suami Reiko? Apakah perempuan-perempuan yang mendekati Toshio tahu betapa tingginya mereka sedang memanjat? Sepertinya keluarga Toshio bukan dari kelas orang kaya biasa. Rasanya seolah ia tak tahu apa-apa tentang lelaki di sampingnya itu. Rasa ngeri menjalar ke seluruh tubuhnya. "Jangan bergerak. Aku yang buka pintunya." Wataru berubah dingin semenjak ia menghabiskan waktunya berpikir sepanjang jalan ke tempat itu. Ada yang berubah dengan gelagatnya. Sesuatu yang membuatnya merasa gelisah. Bukan hanya jarak kelas dan status sosial yang berbeda, tapi rasanya lelaki yang semula terasa dekat itu, kini entah kenapa terasa jauh dan sulit diraih. Seolah lelaki itu membangun dinding tinggi dan sulit ditembus antara dirinya dan Misaki dalam waktu singkat secara sengaja. Bukankah itu bagus? Toh, ia tak rencana berlama-lama berurusan dengannya. Perempuan bermata empat itu hanya menurut saja. Seorang valet menghampiri mereka, menerima kunci dari Wataru. "Ayo." Katanya singkat. Apakah manusia bisa berubah dalam waktu sesingkat itu? Misaki bertanya-tanya. Di dalam lift, lelaki itu lagi-lagi diam. Padahal biasanya dia dengan mudahnya menemukan banyak ide licik untuk mengganggunya. Sulit sekali menebak lelaki satu ini! Gedung hotel itu sangat mewah. Rasanya seperti berada di salah satu hotel bintang atas di Macau, meski tak pernah ke Macau, tapi ia pernah melihatnya di TV. Pikirannya tiba-tiba lemah, rasa minder menyerangnya seperti ribuan jarum tertancap di tubuhnya. Siapa sebenarnya Toshio Wataru ini? Bahkan Reiko dengan gampangnya membuang sekoper baju seharga ratusan ribu sampai jutaan yen dalam sehari. Dunia kelas atas bukanlah hal yang diinginkannya. Tak sedetik pun terlintas di benaknya, meski ia butuh uang untuk keluarganya. Bermimpi pun ia tak pernah. Kenapa liftnya lama sekali? Memang lantai berapa, sih? Rutuk Misaki, cemberut. Ia berdiri di belakang Sang Playboy, bersandar pada dinding lift yang terpasangi cermin di semua sisinya. Mata Wataru mendelik sekilas ke kiri pada pantulan sosok wanita itu di cermin. Sorot matanya berubah dingin. Kebahagian seolah raib dari wajah tampan itu. Beberapa menit berlalu, mereka pun tiba pada bagian paling atas gedung itu. Sebuah ruangan terbuka dengan tenda mewah yang elegan terpasang sebagai kanopinya. Suasana tempat itu begitu romantis, dipenuhi oleh hiasan bunga berwarna kuning gading dan merah. Alunan instrumen musik lembut sayup-sayup memenuhi suasana damai dan tenang itu. "Misaki!" lengking Reiko dari jauh, ia bergegas menghampiri calon adik iparnya itu. Misaki membungkuk memberi salam. Cantik sekali, pikir Misaki. Reiko mengenakan gaun terusan kuning gading dengan lengan tembus pandang sebatas siku, bibirnya sangat merah cerah seperti stroberi, dipertegas dengan make up naturalnya. Sanggul bridesmaid membuat dirinya tampak seperti seorang ratu abadi yang menjemput tamu istimewa. "Kau menyewa semua tempat ini?" Wataru berjalan melewati Reiko yang sibuk mengamati pasangannya dari ujung kepala ke ujung kaki. "Aku sudah bilang pada suamiku bahwa ini acara penting, makanya dia setuju-setuju saja."  Jawabnya puas, tangannya mengapit lengan Misaki. Ia menggiring Misaki ke tengah ruangan. Wataru tampak duduk angkuh dengan kedua tangan di dalam saku, kaki disilangkan. Siapa lelaki ini? Pikir Misaki, heran. Karakter dan penampilannya sangat berbeda sekali dengan sosok di apartemennya beberapa menit yang lalu. Keheranan perempuan itu sepertinya ditangkap oleh Reiko. "Ini adalah Wataru yang asli. Seperti dua orang yang berbeda, bukan?" katanya tenang. "Aku tidak mengerti." sorot matanya bingung. Memang Toshio berkepribadian ganda? Renungnya singkat. "Saat ini dia bukan Toshio Wataru, tapi Miyamoto Wataru. Pria bertangan besi dan berhati dingin dalam dunia bisnis keluarga kami." "Apa?" "Nanti juga kau akan terbiasa." Reiko tersenyum simpul, sekilas ia melihat wanita itu memberi tatapan iba padanya. Halusinasinya-kah, saja? Kemudian Reiko memberi isyarat pada beberapa pelayan di sudut ruangan. Tunggu! Tunggu dulu! Protesnya membatin. Hatinya belum siap menerima semua informasi aneh dan terlalu tiba-tiba ini! Jadi dia benar bukan gig*lo? Pebisnis kelas kakap, kah? Atau apa? Jangan-jangan, ayah Toshio adalah salah satu konglongmerat di negeri ini? Bukannya Toshio memutus semua dukungan dari ayahnya? Lalu kenapa begini? Rasanya Misaki tiba-tiba saja terserang culture shock! Pikirannya berkecamuk oleh prasangka dan dugaan. Dirinya sedang berurusan dengan apa dan siapa, sih? Ini terlalu berat untuk dicerna! Lima ratus juta yen. Pantas saja dengan mudahnya terucap dari mulut lelaki itu. Sepertinya ada yang salah, deh! Misaki berubah pucat, kakinya berjalan mundur dan berbalik perlahan, cepat-cepat ingin menghilang saja dari tempat silau itu. Ia merasa kecil dan kotor menjejakkan kakinya di sana. "Kau mau ke mana, Misaki?"Reiko menahan bahunya. "To-toilet." Katanya gelagapan. "Oh! Tuh, di sana!" Ia menunjuk sebuah ruangan elegan lainnya di sudut ruangan. Ya, ampun! Itu toilet? Marmernya indah dan berkilau sekali! Bagaimana tampak dalamnya, ya? Seru Misaki membatin, penuh kekaguman, "OK!" ia memberi isyarat dengan ibu jari dan telunjuk yang dibulatkan, masih dalam keadaan memunggungi Reiko. Tubuhnya menggigil hebat. Keluarga macam apa ini, ya, tuhan? Keluhnya dalam hati. *** "Jadi, Misaki. Apa kau suka dengan dekorasi ruangan yang aku pesan ini? Suasananya bagus, kan? Romantis, kan? Cocok dengan kalian yang sepasang merpati takdir dari langit ini" mata Reiko tersenyum. Wataru mengabaikan hal itu. Dan fokus pada makanan yang disajikan sejak tadi. Lelaki itu tampak tak peduli lagi pada pelajaran yang akan diberikannya ke Misaki sebelumnya. Apa karena sudah diambil alih oleh kakaknya? Terka Misaki. Perempuan berponi rata itu tak tahu harus berkata apa, hanya bisa mengangguk pelan, sulit sekali tersenyum. Mata dingin menusuk Wataru tertuju padanya setiap beberapa menit sekali, ia sangat tak nyaman. Siapa dia? Matanya itu apa, sih? Pisau es, kah? Jeritnya dalam hati. Selama hampir satu jam Reiko mengajari table manner ala Amerika dan Inggris secara bergantian, kepala perempuan berponi rata itu seketika juga pusing dijejali oleh macam-macam aturan tak tertulis dari Reiko. Macam-macam sendok dan garpu, macam-macam piring. Macam-macam cara menyentuh makanan. Dan masih banyak lagi, penjelasan Reiko baginya seperti kaset rusak yang masuk ke telinga kanan, keluar telinga kiri. Ia tak yakin bahwa besok bisa langsung bersikap bak tunangan dari luar negeri. Hah! Siapa yang mau dibohonginya kalau begini? Cuma orang bodoh saja pastinya. Sungguh misi yang mustahil! "Dan ingat! Jangan duduk bersandar! Tegakkan punggungmu. Lenganmu jangan sampai menyentuh atau diletakkan di atas meja. Pisau dan garpu jangan sampai terbalik penggunaannya. Dan serbet ini punya kode tersendiri, kau tahu hal dasar ini, kan? Jika diletakkan di atas kursi, artinya akan segera kembali. Jika ditaruh terbuka di atas meja, artinya sudah selesai makan." wanita itu antusias menjelaskan etiket peralatan makan seraya menyentuh benda peraganya satu persatu. "Biarkan dia makan dulu. Kau bisa memberinya ceramah setelah perutnya penuh." Kepala Wataru menoleh ke arah Misaki, mata dingin lelaki itu seperti menelanjanginya. Misaki tersenyum kecut, rasanya sekujur tubuhnya seketika meremang. Sungguh melelahkan menghadapi kakak-beradik ini. "Benar juga! Kurasa sudah hampir semua aku ajarkan padanya. Bagaimana kalau kita masuk sesi tanya jawab? Setuju, kan, Wataru-kun?" "Boleh juga. Kau boleh makan dengan santai. Tapi, saat acara besok, jangan makan sambil berbicara." Tatapan matanya penuh arogansi seperti biasanya, hanya saja kali ini lebih dingin menusuk. Eh? Sesi tanya jawab? Entah kenapa Misaki merasa gelisah dalam sekejap. "Mari kita bicara sedikit tentang keluargamu, Misaki. Boleh, kan?" Reiko menyentuh tangan kiri Misaki, tatapannya lembut dan penuh kasih. GLEK! Daging yang baru saja masuk ke mulutnya terasa seperti potongan karet yang pahit. -----------
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN