Kejadian itu begitu cepat hingga dalam sekejap mata Misaki hanya bisa mengingat satu hal di pikirannya.
HUTANGKU BELUM LUNAS, YA, TUHAN!
Mana ada orang yang mau mati dengan hutang sebanyak yang ia tanggung? Lima ratus juta yen pada Toshio dan biaya perawatan ayahnya, belum lagi mesti memberi nafkah pada keluarganya!
Apakah ini cara Yang Maha Kuasa mengangkat penderitaannya selama ini? Sepertinya tidak buruk juga.
Toh, dia bakal meninggal dengan outfit seharga ratusan juta. Mati dalam keadaan elit juga tidak begitu buruk, kok.
TAK!
Perempuan bermata empat itu mengerjapkan mata beberapa kali. Otaknya masih sulit mencerna semuanya. Tas genggam kecil yang dibawanya terlempar ke udara dan jatuh cukup jauh di bawah sana.
"Misaki… kau berat. Bukan bulu angsa! BANGUN!"
Tunggu! Misaki masih berusaha memproses semuanya.
Matanya bertemu dengan mata lelaki itu. Tangan kanan Wataru mencengkeram susuran tangga, wajahnya terlihat pucat.
"Toshio-san?" ujarnya sayup-sayup, kembali mengerjapkan mata. Misaki merasakan sesuatu di pinggangnya, hangat dan kuat. Apa, ya?
"Kau mau menggodaku, ya, mentang-mentang memakai pakaian mahal?" sudut bibir Wataru berkedut, suaranya terdengar merintih kesakitan.
HEEEEEEE???? Baru disadarinya ternyata ia dalam pelukan lelaki itu yang berusaha menahan berat badan mereka berdua di susuran tangga.
Satu tangan Misaki berada di bahu sang majikan, satunya lagi tertahan pada susuran tangga. Jarak wajah mereka hanya beberapa senti, kedua sisi wajah Wataru diselimuti oleh rambut halus nan panjang Misaki.
"Ma-maaf, Toshio-san!" jeritnya panik, sekujur tubuhnya tiba-tiba merinding.
GAWAT!
Phobianya!
Dalam sedetik ia tak bisa menggerakkan tubuhnya!
SIAAAAAALL!!!! pekinya membatin.
Posisi macam apa yang terjadi pada mereka berdua sekarang? Jika dilihat oleh orang lain, bisa-bisa ia dicap benar-benar sedang menggoda si playboy arogan itu!
"Mama! Lihat! Ada suami-istri di sana! Seperti di tv, ya? Adegan romantis!" teriak seorang bocah perempuan yang lewat bersama ibunya.
GLEK!
Tuh, kan, benar! Bagaimana ini? kepanikan menyerbu otaknya.
Misaki juga belum bisa menggerakkan tubuhnya! Siapa lagi yang bakal melihat hal memalukan ini?
Wajah mereka berdua yang terlindungi oleh rambut panjang Misaki bakal mengira mereka sedang melakukan hal yang tak senonoh depan umum!
HARGA DIRIKU! batinnya lagi.
"Jangan lihat, Mikako! Dasar perempuan tak tahu malu! Cari kamar sana!" umpat ibu sang anak tersebut, menutup mata anaknya dengan tangan dan buru-buru meninggalkan tempat itu.
"Misaki…" deru napasnya berhembus di wajah perempuan itu, suaranya terdengar sedikit menggoda.
Ia ingin membalas perkataan Wataru, tapi mulutnya ikut terkunci. Gimana, dong?
"Cepat juga langkahmu, ya? Sejauh ini belum ada perempuan yang nekat seperti dirimu dalam menggodaku." Nada suara Wataru tertahan, ia meringis.
"…Khakn… Bukh…" suaranya dipaksa keluar meski tak jelas
Bagaimanapun juga, posisi Misaki saat ini seperti perempuan yang sedang menyerang lelaki tampan tak berdaya.
"Cepat juga kau belajar dariku, huh? Playgirl Sadako?" usai berkata demikian tubuh mereka berdua ambruk ke anak tangga.
BLETAK!
Dahinya menghantam dahi Wataru.
Lelaki itu tak sempat untuk berteriak, terlalu kesakitan sejak menahan beban tubuh mereka berdua dengan satu kaki tertekuk sebelumnya.
"TOSHIO!" Misaki buru-buru memeriksa dahinya.
"Sudah! Cepat berangkat!" Ia mengerang menahan sakit.
"Maafkan aku! Aku tak terbiasa berpenampilan seperti ini! Coba kulihat baik-baik! Apa perlu diberi obat? Berdarah tidak?" Ingatannya kembali pada kejadian sewaktu kepala Wataru berdarah, ibu jarinya menyentuh bekas luka itu.
Wataru diam tak bergerak.
Pandangan perempuan itu begitu teduh dan hangat, tapi sedih penuh penyesalan. Berapa kali ia sudah nyaris mencelakainya selama ini? Apakah mereka memang ditakdirkan untuk saling menyakiti?
Pikiran sekejap ini membuat Misaki seperti disiram air dingin.
Apa yang dipikirkannya?
Jangan-jangan, yang jadi kutukan itu bukanlah Toshio? Tapi dirinya pada lelaki itu?
Wajahnya tiba-tiba murung, hatinya sedih mengingat semua kejadian yang menimpa keluarganya gara-gara dirinya.
Apakah dia memang Sadako terkutuk?
Segala hal yang melakukan kontak dengannya akan mendapat musibah?
Jemari Misaki mengelus lembut penuh kasih sayang pada pipi Wataru. "Maaf…" katanya setengah berbisik.
Wataru membeku.
Sesaat, hati lelaki itu tersentuh. Gelombang hangat menyeruak dari dalam hatinya. Meluber hingga detak jantungnya berpacu tak karuan.
Bibir Wataru terbuka sedikit, kacamatanya berkilau.
Seolah magnet, tanpa sadar tangannya meraih wajah Misaki ke dalam genggamannya.
Mata mereka saling bertemu, seperti ada ruang kosong yang saling mereka isi satu sama lain di dalam sana. Tapi mereka berdua tak tahu jelas apa itu.
Misaki masih memandangnya dengan tatapan sendu, dan lelaki itu merasakan sebuah dorongan kuat untuk menariknya ke dalam pelukannya, namun tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Ingin melindungi dan menguasai Misaki seorang diri. Entah kenapa ia merasa perempuan itu begitu rapuh dalam genggamannya.
Ia ingin memiliki Misaki!
Pikiran aneh itu entah datang dari sudut mana di otaknya, berdentang begitu hebat.
"Misaki…"
"Toshio…"
"Mama! Mereka sudah ganti posisi!" teriak bocah yang tadi lewat.
"Astaga! CARI KAMAR SANA!" bentak ibunya, kini menutup kedua mata anaknya secepat kilat,
menggendongnya terbirit-b***t dengan kantong plastik kecil bergoyang di tangan satunya.
Mendengar teriakan sang ibu itu, mereka berdua baru tersadar sudah terjebak atmosfer klise drama tv.
Wataru berdeham sekali menahan harga dirinya, berusaha bersikap santai layaknya kelakuan seorang playboy. Ia membantu Misaki berdiri tegak.
"Kau itu ceroboh sekali. Tunangan macam apa kau ini?"
Sadako mini market itu hanya tertunduk, wajahnya merah bukan kepalang.
Baru kali ini ia begitu dekat dan intim dengan seorang pria!
Sekali lagi Wataru berdehem.
"Jika kau bisa akting seperti tadi, acara besok pasti akan sukses besar. Harusnya sejak dulu kau seperti tadi, agresif sedikit, dong."
Ia mengangkat dagu Misaki untuk melihat reaksi menggemaskannya untuk dijadikan bahan ledekan, tapi bukan seperti apa yang diharapkannya, Wataru malah terpana.
Wajah merah merona Misaki dengan rambut berantakan di wajahnya yang lugu, membuat jantungnya nyaris berhenti berdetak, pertahanan dirinya mulai runtuh perlahan-lahan, otaknya sepertinya akan blank. Ia sudah berancang-ancang menyerang wanita itu tanpa pikir panjang. Lalu, suara berbisik Misaki menghentikannya.
"Toshio-san…?"
Lelaki berkacamata itu terbelalak kaget, kesadaran menghantamnya seperti ombak pecah. Ia hampir saja melakukan sebuah kesalahan besar! Bagaimana mungkin ia dengan Sadako aneh itu? Tipe yang paling dibencinya? Si jelek itu? Sungguh mustahil!
"Turunlah…" ia melepas tangannya, memunggungi Misaki. Antara malu dan tak percaya, ia menutupi wajahnya yang panas menyengat oleh rasa malu luar biasa.
Kenapa lagi dengan lelaki itu?
Misaki mengamati dari balik rambutnya yang terurai berantakan.
Lelaki itu berjalan menuruni tangga.
Hah?
Jalannya agak pincang dan mencengkeram bahu kanannya.
"Dia terluka? Karena aku?"
"Tunggu di sini. Aku ambil mobil dulu." Teriaknya seraya meraih tas Misaki dari tanah.
"Toshio…"
Apakah dia benar kutukan bagi Toshio?
Kenapa mereka mesti bertemu?
Apakah ia juga akan melukai lelaki itu pada akhirnya seperti keluarganya sendiri?
Apakah ia akan membuat makhluk indah itu hancur berantakan tak bersisa?
Kenapa hatinya merasa tidak tenang?
"Ayo, naik!"
Wataru menghentikan mobil sport tepat di depannya.
"Toshio… Apa yang harus aku lakukan? Aku tak ingin meredupkan cahayamu dengan kutukanku." Ucapnya lirih, wajahnya berubah muram.
"Kau bicara apa? Aku tidak dengar! Cepat kemari, Misaki!"
Tak seharusnya mereka berdua melakukan kontak sejak awal.
Misaki akhirnya sadar bahwa ini sebuah kesalahan yang mungkin akan disesalinya seumur hidup.
Sorot mata perempuan itu berubah kosong, seolah-olah cahaya dikuras habis dari kedua bola matanya.