Bab 6 Sifat Lupa Misaki

859 Kata
Sayup-sayup suara ketukan pintu membuyarkan mimpi indahnya. "Ah... sayang sekali cuma mimpi..." ia mendengus kecewa. Misaki bermimpi makan makanan mahal seperti saat ayahnya belum mengalami koma. Untuk bertahan hidup, ia selalu makan makanan cepat saji di mini market atau menunggu diskon agar bisa makan cukup mewah. Finansial keluarganya dulu terbilang cukup bagus dan hebat. Ayahnya adalah seorang manager perusahaan besar, tapi setelah tragedi yang menimpa dirinya di bangku SMA, kejadian buruk silih berganti datang bagaikan badai yang mengamuk di kehidupan keluarganya. Mereka pun jatuh miskin.... Hidup sungguh penuh kejutan. Dalam sekejap mata, semua bisa terjadi begitu saja. Suara ketukan pintu semakin keras dan tak sabaran. Ia melirik jam dinding, sudah lewat tengah hari. Perutnya pun keroncongan. "Oi, kutu buku! Bangun! Aku tahu kau sudah pulang! Jangan harap kau bisa kabur setelah tanda tangan kontrak perjanjian kita!" Ah! benar! Kontrak! Dia membuat kontrak dengan lelaki barbar itu! Diraihnya sebuah kertas bertanda tangan dari balik tumpukan buku dan draft di atas meja lesehan khas Jepang. "Waduh..." wajahnya berubah pucat. "Misaki! Buka pintunya atau kudobrak sekarang?" Astaga! lelaki itu! Biaya perbaikan pintu itu tak sedikit! pekiknya dalam hati. "Berisik! Tunggu dulu, dong! Aku baru bangun! Tunggu sebentar! Aku bereskan dulu kamarku!" Suara ketukan berhenti. Hening. Misaki menghela napas sejenak. "Apa kau sudah makan?" Eh? Misaki terbengong. "Aku tanya, apa kau sudah makan?" "Be-belum!" dengan gerakan secepat kilat ia menjejalkan benda-benda yang ada di atas meja ke dalam lemari pakaian. "Kalau begitu aku beli makanan dulu. Cepat bereskan kamarmu!" "Ba-baik!" Misaki mendekatkan telinganya ke pintu, mengintip dari lubang kecil dan duduk lemas di lantai. Siapa dia memerintah seenaknya? Mentang-mentang punya uang lima ratus juta yen! Tapi perutnya memang benar-benar lapar dan tak sanggup memasak saking laparnya. Perempuan berponi rata itu berjalan lemas menuju meja dan tertelungkup di sana. "Aku lupa dengan kontraknya. Aku pikir apa, sih? Ini gara-gara Eikichi..." suaranya serak tak berdaya. Di depan matanya tergeletak kertas kontrak itu. Salah satu poinnya berbunyi: "Pihak kedua, yakni Fujihara Misaki, akan melakukan pekerjaan apa saja selama tidak aneh-aneh, melanggar hukum dan moral selama 30 hari sejak kesepakatan dibuat. Dalam hal ini, bahwa pihak pertama, yakni Toshio Wataru berstatus sebagai bos pihak kedua tersebut." Di poin lain berbunyi: "Jika salah satu pihak membatalkan kontrak secara sepihak dengan alasan apa pun (kecuali berhubungan dengan nyawa), maka ia akan terkena denda dua kali lipat dari jumlah perjanjian." Kengerian menjalar di wajahnya. Harusnya ia tak sok jual mahal dengan berkata kalau tak mau makan gaji buta dan instan pada pria macam Toshio Wataru. "Otakku kenapa, sih, akhir-akhir ini?" Rohnya serasa melayang keluar dari tubuhnya. Dirinya yang introvert dan mendapat julukan hikikomori* oleh para penghuni apartemen, kini harus berinteraksi dengan makhluk-makhluk ekstrovert mulai sekarang, khususnya Toshio. Pekerjaan paruh waktu sebagai penjaga toko itu lain hal, setidaknya ia tak harus berinteraksi lama dan intense dengan para pembeli. Matanya menyapu beberapa tumpukan buku-buku tebal di lantai, ia tak sanggup membereskannya. Kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya ada pria selain editornya yang masuk ke apartemennya itu. Dan kunjungan terakhir editornya itu setahun yang lalu. Hati Misaki penuh dengan konflik tak berkesudahan. Pikirannya seperti film yang dipercepat dengan berbagai macam skenario. "Bodohlah. Dia, toh, juga nggak akan macam-macam sesuai kontrak itu. Bisa-bisa dia kena pinalti dua miliar yen." senyum ringkih muncul di lekuk bibirnya. Sudut matanya melirik poin terakhir: "Kedua pihak dilarang melibatkan perasaan khusus yang disebut cinta selama masa kontrak berlaku alias DILARANG KERAS JATUH CINTA DAN PACARAN SATU SAMA LAIN. Termasuk dilarang melakukan kontak fisik yang bersifat cab*l, atau dengan kata lain pelecehan. Jika dilanggar, maka pihak tersebut akan membayar pinalti dua miliar yen pada pihak korban, serta siap diadukan ke polisi, suka maupun tidak." Untuk saat ini dia aman. Sikapnya harus profesional. Meski phobia playboy, Misaki harus menyembunyikan fakta itu, kalau tidak, potensi dijadikan bahan lelucon oleh lelaki itu sangat besar. Cukup dengan dirinya diledek sebagai kutu buku dan jadi sumber alergi baginya. Pun takut phobianya lepas kendali dan menendangnya tanpa sadar. Bisa-bisa, ia malah buat perkara dengannya. Darimana ia akan mendapat uang untuk biaya ganti rugi nantinya? Susah payah Misaki menumpuk sisa-sisa buku yang berceceran di lantai dan mendesaknya ke sisi ruangan agar cukup ruang bagi mereka berdua. Boneka beruang diraihnya untuk dijadikan tameng dan pembatas untuk dirinya dan playboy itu. "Aku pulang!" Teriak Wataru seraya membuka pintu. Glek! Akhirnya si bos instannya datang! --------------    *Catatan Author   Hikikomori (*きこもり, ひきこもり, atau *き*もり, arti harfiah: menarik diri, mengurung diri) adalah istilah Jepang untuk fenomena di kalangan remaja atau dewasa muda di Jepang yang menarik diri dan mengurung diri dari kehidupan sosial. Menurut Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, definisi hikikomori adalah orang yang menolak untuk keluar dari rumah, dan mengisolasi diri mereka dari masyarakat dengan terus menerus berada di dalam rumah untuk satu periode yang melebihi enam bulan. Hikikomori hadir dalam berbagai bentuk. Selengkapnya, bisa kalian gugel atau langsung lihat ke wikipedia. >> 2 miliar yen, sekitar 255 miliar rupiah. -------------- Dari author: Misaki sebenarnya bukan hikikomori, tapi karena minimnya interaksi sosial dengan para penghuni apartemen dan sikapnya yang tertutup, serta hanya di apartemen saja setelah pulang kerja, maka ia pun mendapat julukan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN