Tubuhnya direbahkan ke lantai bertatami*.
Capek sekali rasanya setiap kali berurusan dengan Si playboy itu.
Langit-langit apartemen membuatnya damai sejenak. Andai saja itu adalah langit berbintang di malam hari, pastinya indah sekali. Teringat kembali masa kecilnya bersama sang ayah melihat bintang di atas bukit, dadanya kembali terasa sakit dan sulit bernafas.
Ingin rasanya semua hal buruk ini hanya mimpi. Melompat ke jurang atau gedung tinggi, lalu terbangun dengan perasaan lega. Di puncak depresinya, ia nyaris meyakini teori itu. Entah apa dia harus bersyukur atau tidak masih ada di dunia ini sampai sekarang. Meninggalkan ibunya yang menanggung semuanya sendiri, pastinya sungguh jahat. Anak durhaka!
Masa lalunya tak boleh menjadi penghalangnya saat ini. Selama beberapa tahun belakangan ini, ia telah merasakan neraka dunia, jika harus berurusan dengan Toshio selama tiga puluh hari, itu pasti tak ada apa-apanya.
"Pasti begitu. Aku hanya perlu bertahan selama itu! Setelahnya, aku bisa lepas darinya. Mungkin sebaiknya aku juga mulai mencari apartemen lain." Ia menatap kartu nama Reiko. "Aku sungguh mengharap ada keajaiban nantinya."
Misaki bangkit, duduk bersandar. Makanan di atas meja masih cukup banyak. Miliknya pun belum habis separuh. Hebat. Perutnya tiba-tiba kenyang setelah kejadian tadi.
Tangan kanannya terjulur ke depan meja, jari-jarinya digerak-gerakkan. "Menghilanglah! Menghilanglah! Menghilang dari pandanganku!"
Ia menutup mata cukup lama, masih dengan posisi nyelenehnya. Kemudian setelah cukup tenang, ia membuka mata dengan ekspresi kesal bercampur pucat.
"Sayang kalo makanannya dibuang. Aku bisa hemat beberapa hari dengan ini semua. Penghinaan ini, toh, tak sebanding dengan semua hal pahit yang kualami dulu." Ia meraih sebungkus roti dan memakannya pelan. "Enak juga." Matanya berbinar melihat isi roti di tangannya.
Lapar atau tidak, mengisi tenaga adalah sebuah kewajiban. Hidup itu keras, tanpa energi bisa-bisa ia
roboh tak berdaya. Ia benci menjadi lemah!
***
"Untuk apa kau kemari?" bentak Wataru "Pulang sana. Sebentar lagi malam. Pakaianmu terlalu mencolok."
"Aduh~ adikku yang keras kepala ini sungguh keterlaluan. Masa mengunjungi adik sendiri tidak boleh?"
Reiko memakai terusan putih berenda di atas lutut hingga memperlihatkan kaki jenjang seksi dan
menggoda. Ia memakai high heels bertali sebetis. Rambut hitam panjang ikalnya diurai, di tangannya tergenggam sebuah kotak rias besar. Di tangan satunya ada koper super besar berwarna pink.
"Kau kabur dari rumah, ya? Jangan memberiku masalah! Piringku sudah penuh!" keningnya bertaut.
Reiko tertawa bak putri elit. "Jangan geer, ini bukan untukmu."
Mendengar ini, Wataru seperti ditampar oleh kata-katanya sendiri. Déjà vu macam apa ini? Perasaannya tak enak. Kehadiran kakak tertuanya itu selalu menimbulkan kehebohan yang menarik perhatian publik.
"Lalu, mau apa kemari?"
Reiko tersenyum angkuh. Meski hanya saudara tiri, tapi Wataru seperti bercermin melihat ekspresi perempuan itu.
"Karena aku sudah melihatmu baik-baik saja, maka aku akan ke urusan utamaku." Ia menyeret kopernya ke arah pintu Misaki.
"Kau mau apa sekarang?" Wataru nyaris menjerit, bola matanya membesar.
Dengan santainya, Reiko berkata, "Fujihara-san~! Aku sudah datang~! Buka pintu, dong~!"
BRAK!
Tangan Wataru menggebrak permukaan pintu milik tetangganya, wajahnya berubah serius. "Sejak kapan kau mengenal Misaki?"
Mata Reiko tertawa. "Wuah… kau cepat juga memanggil nama depannya."
"Berisik! Cepat katakan!"
"Kau ini bandel sekali, ya, Wata-chan!" ia menyentuh cepat ujung hidung Wataru, mengedip genit.
"HENTIKAN!"
Suara tegas dan keras Wataru membuat bukan hanya Reiko yang kaget, tapi juga Misaki yang sedang mandi sampai nyaris terpeleset.
"Ada apa, ya?" tanyanya bingung. "Miyamoto-san?"
Buru-buru ia segera menyelesaikan mandinya dan bergegas meraih atasan rajut cokelat longgar dan rok plisket putih dari dalam laci.
Suasana di luar sepertinya sedang panas. Terdengar jelas Toshio berteriak tiada henti dan menggebrak pintunya berkali-kali. Gawat! Jangan sampai pintunya beneran rusak!
Karena panik, ia pun melesat menuju pintu sampai lupa memakai kacamata, takut terjadi keributan besar dan memancing orang-orang menghampiri mereka. Sial!
KREK!
"Aku sudah bilang berapa kali! Pulang sana!" suara Wataru perlahan semakin besar seiring celah pintu terbuka.
"Ah~~~ Fujihara-san! My lifesafer!" ia memeluk Misaki dengan cepat, terlihat bahagia.
Ada apa tiba-tiba dipeluk seperti ini? Terakhir kali bertemu, pandangan mata perempuan seksi itu seperti ingin membunuhnya dengan laser tak kasat mata?!
"Misaki! Apa benar kau yang menyuruhnya kemari?" tatapan tajam dan benci terpatrit jelas di kedua bola mata sang Casanova*.
Misaki tidak langsung menjawab, matanya melirik dahi lelaki itu yang kini ditempeli plester luka.
Oh, sudah dirawat dengan baik rupanya, katanya dalam hati.
"Misaki! Sampai kapan aku harus terus mengulang kalimat padamu?" ia membanting daun pintu.
BRAK!
"WATARU!" tegur Reiko.
"Tolong. Jika kau ingin rencana acara itu berhasil dan segera menyelesaikan kontrak kita. Jangan ganggu kami berdua." Kata Misaki datar.
"Apa?" Wataru terdiam, tampak sedikit terkejut dan tak senang.
Lelaki itu baru sadar Misaki di depannya agak berbeda dengan sehari-hari yang ia temui selama ini.
"Kan? Jangan ganggu girl's time! Nanti bahaya, loh!" Reiko menepuk-nepuk pundak adiknya.
"Girl's time? Haaaaah?"
"Apa hanya ini barang yang anda bawa Miyamoto-san? Maaf sudah menyusahkan anda seperti ini."
Misaki meraih koper besar untuk diseret masuk ke dalam.
"Jangan sungkan. Malah aku yang senang!" suara Reiko terdengar menjauh ke dalam ruangan.
"Tunggu, Misaki!"
Ia mencegat perempuan itu dengan mencengkram pergelangan tangannya.
"Toshio-san." Matanya menatap lekat-lekat lelaki itu. "Aku minta maaf atas perbuatan burukku tadi siang. Aku benar-benar menyesal. Selanjutnya, mari kita bekerja sama dan segera mengakhiri kontak satu sama lain."
Misaki membungkuk sempurna di hadapan Wataru yang kini salah tingkah.
"Kau kesurupan apa, Misaki?"
Dia berdiri tegak. "Maaf. Kita tak sedekat itu sampai harus memanggil nama depan saja. Tolong bersikap profesional sesuai kontrak mulai sekarang. Aku akan berusaha keras agar memenuhi harapan Toshio-san. Kurasa aku sudah cukup jelas sejauh ini. Selamat beristirahat."
Sekali lagi, Wataru mencegatnya.
"Misaki! Ada apa?"
Perempuan itu hanya menepis tangannya dan kembali menyeret koper besar di belakangnya.
"MISAKI!"
"Toshio-san! Aku tidak tuli! Tolong jangan berteriak!"
"Kenapa kau berbeda sekali?"
"Berbeda? Anda amnesia, ya? Kita tak sedekat itu sampai bisa mengetahui kedalaman pribadi masing-masing."
"Kau…" tenggorokannya tercekat.
Perempuan itu menamparnya berkali-kali dengan hanya bermodalkan kata-kata. Menusuk, tajam sampai ke inti. Ditambah sangat menyakitkan di hatinya karena itu memang benar.
"Permisi."
Pintu dibanting cukup keras sampai lelaki itu kaget.
"A-apa? MISAKI!" dia menggertakkan gigi dengan kening bertaut, tangannya mengepal kuat. "Baru kali ini aku diperlakukan jungkir-balik seperti ini oleh seorang perempuan…" ia memaksa dirinya meninggalkan tempat itu.
Sesampainya di depan pintu apartemennya sendiri, kepalan tangan kanannya menghantam dinding dengan cepat.
"Sial... Kenapa penampilannya manis sekali sehabis mandi… kemana kacamata jeleknya itu, sih?
Lebih baik dia jadi Sadako saja terus!" kepalanya tertunduk, tangan kirinya menutupi wajahnya yang merona merah.
-----------------
*Catatan Author
1. Tatami (* tatami) (secara harafiah berarti "lipat dan tumpuk") adalah semacam tikar yang berasal dari Jepang yang dibuat secara tradisional, Tatami dibuat dari jerami yang sudah ditenun, namun saat ini banyak Tatami dibuat dari styrofoam.
(Punya Misaki adalah yang tradisional)
2. Casanova : adalah nama pria nakal petualang s*ks dari Italia, Giacomo Girolamo Casanova. Karena kisahnya yang luar biasa, akhirnya namanya disematkan sebagai istilah lain untuk seorang playboy atau player.