"Jadi, hubungan kalian sudah sampai tahap mana?" perempuan anggun dan seksi itu memeriksa isi lemari pakaian Misaki tanpa permisi.
"Kami tak ada hubungan semacam itu, kok." Dengan susah payah ia menaikkan koper ke lantai tatami.
"Tidak mungkin!" Dia tertawa hingga tubuhnya berguncang hebat. Matanya menatap geli pada Misaki. "Aku tahu adikku itu playboy kelas kakap yang luar biasa sampai bikin ayahku sakit kepala. Tapi, memilih seseorang sebagai tunangan, pasti kau istimewa di matanya."
"Koreksi. Tunangan palsu." Satu tangannya bergerak membentuk tanda kutip di udara, ekspresinya datar.
Senyum Reiko kali ini bersahabat dan lembut. "Tetap saja seorang tunangan."
"Iya. Tapi palsu." Katanya lagi dengan ekspresi yang sama.
"Pffft! Kau lucu sekali Misaki. Kurasa aku mengerti kenapa Wataru-kun memilihmu."
"Tolong salah paham Miyamoto-san direm. Toshio-san itu alergi pada tipe sepertiku. Jadi, kami tidak mungkin ada hubungan istimewa satu sama lain. Lagi pula, aku tak tertarik padanya sedikit pun. Aku akui adik Miyamoto-san itu sangat tampan." Dia berdehem sekali seraya kepala dimiringkan, wajah sedikit merona, "tapi, kagum dan jatuh cinta itu jelas berbeda."
"Apa kau pernah jatuh cinta, Fujihara-san?" Reiko duduk di atas meja lesehan ruang tamu, kakinya dilipat.
Sungguh tidak sopan, adik dan kakak sama saja! protesnya dalam hati.
"Fujihara-san?" dia memeriksa pandangan mata Misaki yang melotot ke arah meja.
"Ah? Ya?"
"Kau pernah jatuh cinta?"
"Aku lupa."
"Kau lupa?" dia tergelak.
"Iya. Aku pernah jatuh cinta. Siapa yang tak pernah jika sudah sampai di umur sepertiku. Tapi…"
"Tapi?"
"Aku lupa rasanya seperti apa…"
"Kenapa bisa begitu…?"
"Entahlah. Lupa begitu saja."
"Seperti apa orang itu? Apa pernah berjumpa dengannya lagi?"
"Aku sama sekali tak ingat apa-apa tentangnya." Tangannya mengepal kuat, topik itu adalah hal tabu baginya. Ia senang tak ingat apa pun tentang orang yang memberinya luka seumur hidup itu.
Peka melihat reaksi itu, Reiko berhenti mengintrogasinya.
"Lupakanlah. Mari kita bahas keinginanmu di telepon tadi."
Ia mengangguk patuh.
"Aku lihat kau lumayan juga dengan model ini." Ia berdiri dan memutar Misaki seperti gasing, rasanya seperti déjà vu. "Apa seperti ini koleksi baju-bajumu? Terakhir kali aku lihat kau cuman pake kaos oblong dan celana jeans butut."
"Ini koleksi lamaku yang belum sempat kubuang," dia tersipu malu.
"Hah? Dibuang? Kenapa? Ini, kan, bagus!" ia memeriksa dahi Misaki. "Kau tidak sakit, kan?"
"Aku merasa style ini sudah tak cocok denganku lagi. Itu saja."
"Ckckck! Sini kopernya!"
Ia membuka koper dan mulai mengaduk-aduk isinya. Bola mata Misaki nyaris melompat keluar dari tempatnya. Itu pakaian bermerk mahal dan sangat modis! Tentu saja ia tahu hampir segala hal tentang fashion, toh, ia penulis yang harus punya banyak ilmu dan wawasan yang luas.
"Mi-Miyamoto-san! Ini, kan, pakaian bermerk mahal! Harganya bisa ratusan ribu sampai jutaan yen* untuk satu biji! Apa tidak apa-apa membawanya kemari?" kakinya mundur selangkah, takut-takut jika menyentuhnya saja bisa merusak barang-barang itu. Wajahnya memucat. Ia tak mau menambah panjang daftar hutangnya!
"Fujihara-san~ Kau bilang apa? Untuk calon adik iparku, hal ini bukan apa-apa!" ia bersenandung riang memilih antara dress terusan polos hijau zamrud atau biru navy.
"Miyamoto-san! Aku ini palsu! Tunangan palsu!" dia berlutut panik dan salah tingkah, badannya condong ke depan.
"Dengar, Fujihara-san. Ah! Ribet! Aku panggil Misaki, saja, ya, tanpa embel-embel. Boleh?"
"Eh?"
"Boleh tidak? Kita, kan, sekarang sudah berteman." Kedua matanya tersenyum, bibirnya melengkung indah.
"I-iya. Mi-Miyamoto-san."
"REIKO!" ujarnya seperti mengajari anak kecil berbicara pertama kalinya. "Panggil saja Reiko! Jangan ada embel-embel di belakangnya."
"Miyamoto-san, apa tidak apa-apa? Ini baru pertemuan kedua kita. Rasanya agak…." Ia menggaruk pelipisnya dengan telunjuk, tak enak hati.
"Aku suka padamu. Jadi tak mengapa jika kita langsung sebut nama saja. Misaki."
Misaki merah seperti tomat. Ada perempuan asing yang datang dan tiba-tiba sudah akrab begitu saja. Ini rasanya terlalu luar biasa, apalagi dengan perempuan seperti Reiko Modis, dewasa, dan berkelas!
"Kita hentikan basa-basi ini. Misaki, apa tidak apa-apa kau memberitahuku tentang kontrak kalian?"
"Tidak apa-apa." Jempolnya dimajukan dengan mantap, ekspresinya tegas tanpa keraguan.
"Benarkah?"
Misaki mengangguk yakin. "Tidak disebutkan dalam kontrak, kok."
Reiko mendengus geli, kepalanya dimiringkan ke arah balkon. "Kau dengar itu, Wataru-kun? Aku tidak tahu kau itu bodoh sekali dalam membuat kontrak. Aku heran ayah kita sampai begitu mengandalkanmu."
"Miyamoto-san! Kenapa meneriaki Toshio-san?"
"REIKO! REI-KO! Jangan lupa, dong, Misaki!"
"Ba-baik. Tapi, Re-Reiko-" suaranya tercekat memanggil nama pemberian (given name) perempuan itu begitu saja. "Toshio-san bisa marah kalo diganggu seperti itu."
"Marah apanya? Dia itu lagi nguping di belakang sana."
BRUK!
Suara jatuh terdengar keras di beranda.
Buru-buru Misaki keluar melihatnya. Tampak lelaki itu sedang menatap langit senja dan sudut mulutnya menggigit sepuntung rokok baru.
"Ah! Misaki? Kakakku bikin masalah apa denganmu? Aku. Aku hanya sedang merokok. Apa aku tidak boleh merokok di balkonku sendiri, hah?" matanya terlihat sinis.
"Terbalik," ucap Misaki singkat.
"Apa?"
"Rokokmu terbalik, adikku sayang!"
Reiko muncul di belakang Misaki, menjawab pertanyaan Wataru sebelum perempuan berponi rata itu membuka mulut.
"Terserah aku, dong, mau merokok seperti apa!" elaknya menahan malu.
Reiko terbahak keras.
"Cepat pergi kalau sudah selesai! Jangan ganggu Misaki! Dasar pembuat onar!" bentaknya kesal.
"Wata-chan. Aku datang kemari karena dia meminta bantuanku untuk menyeimbangimu yang playboy. Tipe seperti ini susah sekali mau mengubah penampilan, loh! Aku akan memoles dia berkilau untukmu".
"Aku bukan beling yang berkilau kalau dipoles," respon Misaki dengan muka datar yang polos menggemaskan.
Lagi-lagi Reiko terbahak. "Kau memang menarik Misaki." punggung Misaki ditepuk berkali-kali.
"Wataru-chan! Sayang sekali kalau kau melepas dia jadi tunanganmu nanti! Aku bakal kasihan sekali padamu."
"Berisik! Dia bukan tipeku! Jangan mengada-ada!"
"Benar! Reiko-san! Aku juga tidak tertarik sama sekali padanya selain uang lima ratus juta itu." Wajahnya serius, namun terlihat lucu.
Reiko hanya tersenyum kecil mendengarnya.
"Adikku sayang, apa nilaimu hanya lima ratus juta yen? Padahal kau bisa melampaui itu!"
Reiko tak henti-hentinya terbahak sejak memasuki apartemen Misaki dengan fakta yang ditemukannya.
"Cepat pergi setelah urusanmu selesai! Jangan ganggu Misaki! Besok aku akan mengajaknya keluar untuk belajar hal-hal dasar! Dia butuh istirahat, tahu!"
"Enaknya masa muda. Kencan yang penuh kobaran api, ya?" ia bertopang dagu dengan salah satu siku bertumpu pada telapak tangan, pura-pura terlihat kecewa.
"Toshio-san? Hal-hal dasar apa maksudmu?" Misaki memajukan badannya ke depan, railing dicengkeram erat-erat.
"Aku akan mengajarimu table manner tadinya. Tapi karena… " ia melirik Reiko yang tersenyum
misterius. "… kejadian tadi siang. Jadinya aku mengganti reservasi untuk besok saja."
"Wataru-kun. Kalau boleh tahu, acara apa yang harus membawa Misaki sebagai tunanganmu? Apa kau akan hadir pada acara lelang perusahaan akhir minggu ini?"
"TIDAK." Jawabnya tegas tanpa keraguan. "Aku mau ke acara reuni alumni universitasku."
"Eh? Kau tidak bilang kalau ini tentang reuni!" protes Misaki.
"Aku tidak pernah bilang acara resmi, kok. Kau jago sekali berkhayal, ya?" ia memperbaiki postur tubuhnya, cengirannya terlihat meledek.
"Lantas kenapa mesti bawa tunangan palsu segala?" Reiko penasaran.
"Tameng."
"Apa?" Reiko dan Misaki nyaris bersamaan bersuara.
"Dia kujadikan tameng di acara itu."
"Brengs*k!" kedua tangan Misaki mengepal kuat, tubuhnya gemetar.
Wataru mendengus penuh arogansi melihat reaksi kedua perempuan itu.