Bab 31 Reuni (1)

1072 Kata
Ballroom itu sangat luas, saking luasnya jadi lautan meja bundar dengan ratusan orang yang memenuhinya. Dekorasinya sangat mewah dan megah. Langit-langitnya tinggi dengan pilar-pilar ala Yunani di sudut ruangan. Pada jendela-jendela kaca tinggi terpasang tirai yang diatur secantik dan semenarik mungkin. Lampu-lampu semi futuristik menempel bagaikan karya seni pada bagian langit-langit ballroom, cahaya lampunya diatur sedemikian rupa sehingga terkesan temaram, namun tetap terang benderang tanpa mengganggu penglihatan. Lantainya dihiasi oleh karpet merah bermotif daun warna kuning gading yang ketika diinjak begitu lembut hingga membuat Misaki tergoda untuk guling-guling sepanjang lantai. Pada setiap meja terdapat bunga putih dalam vas kristal yang diletakkan tepat di tengah-tengahnya. Tatanan meja pun senada dengan warna bunga tersebut. Peralatan makan ditata begitu rapi dan mewah. Dua buah kartu terpampang jelas dengan nama-nama hadirin di sana. Hal yang menakjubkan dari ruangan itu adalah sebuah lantai dansa khusus segiempat yang cukup lebar dan sedikit lebih tinggi dari lantai berkarpet berada antara meja tamu dan panggung—Marmernya sangat mewah dengan dasar putih dan garis-garis emas meliuk-liuk indah pada sisi-sisinya. Empat pilar tinggi  ukuran sedang berdiri kokoh pada setiap sudut lantai dansa hingga membuat siapa pun yang melihatnya merasa kecil. Hebatnya, satu set lampu kristal besar nan mewah tergantung tepat di atasnya. Berapa, ya, harga sewa ruangan ini? pikir Misaki. Ia dan Wataru duduk pada sebuah meja bundar besar dengan kapasitas dua belas orang. Mereka berdua berada pada meja paling depan, khusus untuk menyambut sang dewa bisnis muda. Sejak memasuki ruangan bergandengan tangan dengan Wataru, semua mata tertuju pada pasangan palsu itu. Bisik-bisik terdengar jelas memenuhi ruangan, meski alunan musik instrumental menghidupkan acara itu. Wajah Misaki tegang dan serius sesuai perintah sang playboy. Ia kini lebih mirip boneka porselen bergaya gothic dengan ekspresi dingin, kejam, namun elegan. Sebenarnya, dalam hati, ia ketar-ketir sendiri sampai ingin lari bersembunyi seperti kura-kura pecundang. Misaki bertahan sejauh ini karena rangkulan kuat dan tatapan menusuk Wataru yang membuat rohnya seolah akan melayang keluar. Tatapan tajam disertai rasa benci menyerangnya dari berbagai arah. Padahal ia sedang duduk manis tak mengganggu siapapun sedari tadi. Ia berusaha fokus mendengar perkataan pembawa acara yang begitu semangat berapi-api di atas panggung. Hal itu diperparah setelah mereka menyapa beberapa orang, lelaki itu mengenalkannya sebagai sang tunangan tercinta. Basa-basi mereka dengan orang-orang yang tak dikenal Misaki, dominan sang playboy itulah yang mengambil alih. Tugas Misaki hanya tersenyum, berbicara seirit mungkin demi menunjang figure yang dibangunnya. Bukan hanya tatapan tajam disertai rasa benci, tapi tatapan kagum dan terpesona terasa sekali dari balik matanya sampai jadi minder, Misaki nyaris mendesah panjang sekali. Capek! Saat acara makan formal dimulai, tak sengaja pisaunya membuat bunyi 'krek'. Mata sang dewa bisnis seolah menembakkan laser agar dirinya hangus menjadi debu seketika itu juga. Sulit sekali bernapas lega di antara kerumunan orang-orang hebat dan berkelas itu! Saat perhatian tertuju padanya gara-gara pisau jahann*m itu, Misaki meminta maaf penuh rasa bersalah, nada suaranya kalem dan tenang. Tanpa pikir panjang ia mencoba tersenyum manis bak putri-putri dongeng, hal ini membuat hadirin di meja itu (dominan laki-laki), langsung diam membeku, wajah merona bukan main. Wataru berusaha tersenyum, tapi malah jadi cengiran aneh. Hatinya merasa kesal tanpa alasan yang jelas. Ini seperti yang diharapkannya, tapi ia tak senang. Selesai makan, mereka pun berpindah ke sesi acara non-formal. Banyak di antara mereka sibuk saling menyapa satu sama lain. Ruangan itu jadi berisik sekali penuh tawa-canda, tentu saja itu adalah sesi pamer kekuasan dan jabatan secara tidak langsung pastinya. Misaki yang orang luar, seperti udara tembus pandang. Kebanyakan pendamping juga ikut bercakap-cakap tanpa risih, tidak seperti dirinya. Mungkin sudah kenal jauh hari sebelumnya? Atau memang begitulah karakter orang-orang dunia elit itu, super ekstrovert! Wataru yang duduk di sampingnya sibuk berbincang-bincang serius dengan hadirin lainnya. Telinganya sesekali menangkap nama palsunya 'Akabane-san' disebut-sebut oleh mereka. Ia tak begitu memperhatikan topik itu, tangannya di bawah meja sibuk membuka-buka file di email keluar. Dengan cepat, ia menyerap informasi menggunakan metode skimming*. Toh, ia sudah melakukan riset sebelumnya. Sejauh ini, belum ada yang mengajaknya berbincang atau pun sekedar menegur sapa. Untuk apa, sih, dia datang sebenarnya? Misaki cemberut, itu pun harus dalam hati. Soalnya, tunangan palsunya meliriknya rutin seperti petugas keamanan yang curigaan sejak mereka duduk. Seperti de javu saja! "Wataru. Aku tak menyangka kau bakal tunangan juga," lelaki tinggi kurus di depannya berkata setengah mengejek, "percuma, dong, aku kirim foto-foto itu." Meski dengan berkata dengan nada menggoda setengah menyindir, lelaki tinggi kurus itu memiliki ekspresi serius dan tegas, gaya pakaiannya pun menampilkan sisi kejantanannya yang mendominasi. Ia memakai tuxedo dilengkapi dengan vest dan dasi berwarna cokelat Wataru tersenyum lembut, "semua hal di dunia ini ada akhirnya, bukan?" Misaki yang dipandang tiba-tiba, menegakkan kepala. Tersenyum semanis mungkin. DEG! Kenapa lelaki itu menatapnya segalak itu? Dia salah apa lagi kali ini? "Kalau tak keberatan, apa aku boleh bertanya sedikit tentang Akabane-san?" perempuan di kursi sebelah kiri bertanya. Ia duduk bersandar menghadap Misaki, rambut cokelat gelapnya digelung tinggi dan dipadankan dengan riasan ringan yang natural. Si penanya ini memakai gaun jatuh halus berwarna cokelat, mewah dan elegan. "Iya. Tentu saja." "Bagaimana kalian bisa bertemu? Apa kalian bertemu di klub malam?" jelas sekali perempuan itu ingin merendahkan Misaki dengan cara yang licik. "Kami bertemu di sebuah Book Fair," Wataru buru-buru menjawab. "Oh! Book Fair rupanya, Aku kira di klub malam, atau pemakaman. Apa dia tahu seperti apa dirimu, Wataru?" sebelah keningnya naik, pembawaannya tenang dan dingin.  Ada nada menghina dalam suaranya. Panas juga mendengarnya, Misaki berusaha mempelajari sedikit tentang perempuan itu, jadi ia membiarkannya berbicara sedikit lebih lama. Perempuan berambut cokelat itu cantik tapi auranya seperti ular berbisa. Kabar Wataru yang membawa tunangan sudah tersebar ke seluruh ruangan dalam hitungan menit, tapi perempuan satu itu masih saja mencoba menggodanya dengan tatapan genitnya. "Tak ada yang kusembunyikan dari tunanganku. Dia pun begitu. Iya, kan, Merry-chan?" ia meremas manja kedua tangan Misaki di bawah meja, tersenyum sok santai. Misaki ingin terbahak kesetanan rasanya. Pede sekali ia berkata demikian! Dia, kan, sama sekali tak tahu apa-apa tentang dirinya! "Oh, jadi apa dia juga tahu kalau aku sudah mengejarmu sejak dulu?" "Aku sudah bilang, bukan? Tak ada yang kusembunyikan dari tunanganku," kali ini, Wataru meraih dagu Misaki, menatapnya intense. Bukan hanya meja itu yang heboh, tapi sekeliling mereka juga begitu. Bisik-bisik keras kembali terdengar. "Hmmm… Akabane-san. Bagaimana pendapatmu tentang Wataru? Apa kau sudah…" perempuan itu menyeringai sedikit, "… tidur dengannya?" JLEB!  -----------    NOTE Skimming adalah suatu teknik membaca dengan kecepatan tinggi untuk mencari hal-hal yang penting atau ide pokok dari suatu bacaan. (sumber: internet)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN