Renny tiba di Banjarmasin 7 Desember, kalau perhitungan dokter masih tiga hari lagi Henny melahirkan.
Renny memang mengajukan cuti mulai hari ini tanggal 7 Desember, sesungguhnya dia bisa saja berangkat sejak hari Jumat tanggal 4 Desember. Tapi dia tidak melakukan hal tersebut. Hari Sabtu dan Minggu dia masih berkeliling Jakarta mencari banyak oleh-oleh untuk kedua orang tua, juga calon keponakannya yang menurut perkiraan adalah laki-laki.
Tahun 1991 bukan hal umum melakukan USG. Saat itu Henny terpaksa USG karena ada bercak pada saat di pemeriksaan terakhir, sehingga akhirnya ketahuan lah bahwa bayinya sehat walau kandungannya bermasalah dan kemungkinan jenis kelamin calon bayi Henny waktu itu adalah laki-laki jadi belum seperti sekarang yang setiap pemeriksaan sudah langsung dengan USG.
≈≈≈≈≈
“Mana mama dan papa?” tanya Renny ketika tiba di rumah siang itu.
“Mereka baru saja mengantar non Henny ke rumah sakit,” jawab seorang pembantu rumah tangga.
“Bukannya HPL-nya masih tiga hari lagi?”
“Iya HPL tiga hari lagi, tapi tadi malam dia sudah mulai merasakan kontraksi, lalu tuan Bima minta dibawa pagi ini.”
“Kenapa aku nggak dikabari?” tanya Renny pada Mamang penunggu rumah.
“Nyonya bilang tidak perlu dikabari karena kan Non Renny hari ini sudah ada tiket buat pulang. Tidak mungkin juga kan diubah? Jadi itu sebabnya Non Rennyi tidak dihubungi.”
“Apa suaminya sudah datang?”
“Tuan Bima sudah dua hari lalu ada di sini. Tadi kan mamang bilang tuan Bima yang minta non Henny dibawa ke rumah sakit.”
“Baguslah, setidaknya dia tidak sendirian,” ucap Renny.
Renny langsung memasukkan barang-barangnya lebih dulu, dia mandi dan shalat baru dia akan ke rumah sakit untuk melihat kakaknya.
≈≈≈≈≈
Renny datang habis shalat Maghrib. Dia membawa nasi juga lauk yang sudah dibungkus dari rumah, sekalian untuk makan kedua orang tuanya serta beberapa orang yang menunggu. Memang tadi dia minta kepada para pembantu di rumahnya untuk membuatkan nasi bungkus. Dia minta dibawakan 10 bungkus. Entah siapa yang ada di rumah sakit dia kan nggak tahu. Kalau kurang kasihan, kalau lebih bisa dikasihkan ke orang lain. Itu prinsip Renny saat itu.
“Kamu kapan datang?” tanya mamanya ketika Renny mencium tangan sama mama.
“Tadi Ma jam 03.00-an, aku mandi dulu, beres-beres sekalian nunggu nasi bungkus ini siap.”
“Mama baru mau nyuruh papa beli makan buat semua.”
“Ini aku bawa 10 bungkus. Apa kurang?”
“Enggak. Enggak kurang,” langsung Yuniarti Mulla membagikan makanan untuk yang jaga.
“Bima sebaiknya kamu makan dulu, agar kamu juga tidak sakit. Kita tidak bisa bertindak apa-apa kecuali mendoakan,” ucap Dylan Tarulla, mama Bima.
“Bagaimana kondisi Kakak Ma?” tanya Renny.
“Sejak tadi pembukaan tidak maju-maju, akhirnya dokter memutuskan untuk operasi. Satu jam lagi operasi akan dilakukan.”
“Semoga operasi berjalan baik,” ucap Renny dengan tulus. Dia tak bisa membayangkan bila kakaknya juga harus meninggal. Mereka tinggal berdua. Dua kakak kandung mereka meninggal saat di kandungan. Dan satu adik mereka hilang saat berusia dua tahun sampai sekarang. Jadi mereka benar-benar tak punya keluarga lagi, hanya tinggal Renny dan Henny saja.
Tentu Renny tak mau ditinggal oleh Henny.
≈≈≈≈≈
Dipaksa makan oleh kedua orang tuanya juga oleh kedua mertuanya, Bima pun makan dengan pelan. Sesungguhnya dia malas makan. Walau tidak mencintai Henny sebagai sosok istri, tapi dia merasa nyaman dan dia juga takut anaknya tak selamat.
Rasa nyaman Bima sebenarnya mulai terusik karena akhir-akhir ini saat di Singapura Bima mengetahui bahwa Henny sering bertemu dengan Almascatie. Secara kebetulan beberapa kali Bima mengetahui dan dia langsung menghampiri keduanya. Bima tentu bukan orang yang hanya senang menduga-duga, dia langsung menghampiri istrinya yang sedang makan siang atau hanya sekedar minum. Tentu ada saja alasan Henny. Entah belanja lalu tiba-tiba bertemu, entah dia ingin refreshing tiba-tiba tak sengaja ada Almas dan segala macamnya. Tapi jam makan siang mengapa selalu bertemu?
Itu yang Bima curigai, tapi dia tak mau ribut, karena saat itu istrinya sedang hamil tua.
≈≈≈≈≈
“Apa mau kembali pada Almas sesudah kamu melahirkan nanti?” pernah suatu waktu Bima menanyakan hal itu.
“Kakak nggak suka ya aku jadi istri Kakak?” tantang Henny.
“Bukan suka atau tidak suka, tapi kalau kamu tidak nyaman menjadi istriku masa mau aku kurung terus? Aku tidak mau lah punya istri yang merasa aku kekang. Hampir tiap ada kesempatan siang hari kamu pasti keluar dengan banyak alasan dan akhirnya ketemu dengan Almas tentu sebagai kepala keluarga aku wajib curiga.”
“Kami nggak ngapa-ngapain. Kan kami bertemu juga di tempat umum,” Henny membela diri.
“Betul kamu bertemu di tempat umum, tapi kamu lupa kamu istri aku. Orang akan membicarakan istri Pak Bima ternyata sering bertemu dengan mantan kekasihnya. Lalu aku harus bicara apa?”
Sejak ditegur seperti itu Henny langsung sedikit berubah, tidak lagi sering keluar di saat makan siang.
Bukan tanpa alasan Bima selalu memantau istrinya. Biar bagaimanapun mereka hanya berdua di Singapura, jadi saat mendekati kelahiran Bima memang sering memantau sang istri kalau jam 10.00 dia akan memantau apakah istrinya sudah istirahat. Jam 12.00 dia akan pantau lagi apakah istrinya sudah makan siang atau apakah istrinya kesakitan atau tidak. Bima memang tidak memantau langsung ke rumah tapi dia menelepon pembantu rumah tangga di rumah dinas mereka di Singapura. Dari pembantulah Bima tahu kalau hampir tiap siang istrinya keluar. Sedang diakhir minggu saat dia libur Henny tak mau diajak belanja.
Sejak usia kandungan delapan bulan, Bima mengantarkan Henny ke Banjarmasin agar lebih terjaga kesehatannya. Di situ dia mulai tenang karena tidak mungkin Almas menemui Henny ke Banjarmasin setiap saat. Bisa saja sebulan sekali, tapi kan juga tentu di Banjarmasin Henny tidak akan mungkin keluar tanpa pantauan Ibu Yuniarti Mulla.
≈≈≈≈≈
Bima memang kembali ke Banjarmasin tiga hari lalu, saat dia mulai mengambil cuti panjangnya. Bukan cuti tahunan tapi cuti akhir tahunnya diambil lebih dulu.
Walau dia adalah pemilik perusahaan, tapi tetap dia meninggalkan tanggung jawab begitu saja. Dia tetap terhitung cuti agar karyawan juga tahu dia bukan bolos tapi memang memperhatikan istri yang akan melahirkan.
≈≈≈≈≈
“Keluarga ibu Nugrahaeni Ikhsan,” panggil suster di depan ruang operasi.
“Ada apa Suster?” tanya Muhammad Ikhsan ayah kandung Henny.
“Sebelum dibius nyonya Nugrahaeni minta bicara dengan kedua orang tuanya, suaminya, serta adik kembarnya. Silakan masuk bergantian, total waktu tinggal 20 menit ya, jadi harus bisa gantian,” jelas suster.
“Apa dia sudah tahu aku datang?” tanya Renny.
“Sudahlah, kan dia tahu tiket kamu hari ini,” kata Yuni.
“Oh, aku kira dia tahu aku tiba di rumah sakit,” jawab Renny.
“Belum kalau kamu tiba di rumah sakit, dia belum tahu. Tapi dia tahu tiketmu adalah penerbangan pagi tadi, jadi dia yakin sore ini kamu sudah ada di sini,” kata Yuni.
“Kamu lanjutkan dulu makanmu, jangan terburu-buru, jangan diputus. Itu rizky, masih keburu kok. Biar Papa dulu ya masuk, kemudian mamamu baru nanti kamu dan terakhir nanti Renny,” kata Muhammad Ikhsan pada Bima yang masih makan.
Saat itu kedua orang tua Bima ada, juga ada beberapa kerabat dari Henny. Semua ingin tahu khabar pertama kelahiran cucu pertama keluarga mereka itu.