Coraima memejamkan mata, menolak melihat apa yang mereka perbuat pada jasad Godfreido. Ia tidak melihatnya, tetapi dalam pikirannya tidak bisa dikendalikan melakukan reka adegan orang- orang itu memasukkan tubuh suaminya ke dalam kantong mayat, bersama kain- kain yang mereka gunakan untuk mengelap lumuran darah dan kepingan isi kepala Godfreido. Rasanya baru sekejap lalu Godfreido melamarnya dan mereka sangat bahagia, merencanakan masa depan dan bulan madu yang indah.
"Kau tidak perlu bekerja di dapur lagi, cariño mío," ujar Godfreido seraya memadu jemari kekasihnya.
Mata Coraima menyorot memelas, menggeleng pelan. "Lalu apa yang akan kulakukan? Aku masih ingin mengerjakan sesuatu untuk menghasilkan uang. Ada Mami dan Papi yang harus kuongkosi, meskipun tidak banyak."
Godfreido tersenyum dan mengusap lembut pipinya. "Kau akan mengurus cabang hotel di Madrid, sayang. Kau menguasai manajemen dapur hotel, tentu tidak sukar lagi menjalankan manajemen seluruh hotel. Kau, cintaku, akan menjadi Nyonya Reyes seutuhnya. Kau istriku dan juga pemilik semuanya. Seluruh hartaku dan semua asetku akan tercantum atas namamu juga. Kau tidak perlu mengkhawatirkan biaya untuk kedua orang tuamu." Godfreido menyodorkan berkas- berkas kepemilikan asetnya dan menyodorkan pulpen, meminta tanda tangan Coraima,
Coraima mau pingsan. Matanya mengerjap- ngerjap tidak yakin pada perbuatan kekasihnya sendiri. "Jangan bercanda, Godfreido. Aku mencintaimu dan bersedia menjadi istrimu, tetapi memiliki seluruh hartamu ... itu terlalu luar biasa. Apa yang telah kulakukan sehingga mendapatkan semua ini?" Mereka bahkan belum sah menikah, bahkan belum melakukan hubungan badan, bahkan belum hamil duluan.
Godfreido menatapnya lekat dengan sorot penuh kasih. "Aku sangat mencintaimu, Coraima. Bahkan aku sanggup menjaga kesucianmu demi membuktikan kesungguhanku. Membagi nama kepemilikan kekayaanku adalah satu lagi pembuktian bahwa cintaku dan menikahimu bukanlah permainan dan kesenangan sesaat. Aku sungguh- sungguh mencintaimu dan ingin menghabiskan seluruh sisa hidupku bersamamu."
Coraima bergeming karena saking tidak percayanya. Bibirnya sedikit terbuka, dikecup mesra Godfreido. "Aku sangat mencintaimu, Coraima."
Ucapan itu terngiang dalam kepalanya. Coraima membuka mata, bergerak bangun dari ketidak berdayaannya. Sekujur tubuhnya yang sangat sakit digerakkan paksa. Tatapannya nanar menyasar jendela yang terang benderang oleh cahaya siang hari. Tubuh Godfreido ada di sana, di dalam kantong mayat, ditekuk- tekuk dijejalkan ke dalam koper dan akan disingkirkan entah ke mana. Namun, bukan itu tujuan Coraima. Ia yakin Godfreido menunggunya di atas sana, di langit biru yang indah.
Mengabaikan tubuhnya yang tanpa pakaian sehelai pun, Coraima berjalan ke jendela, membuka daun kacanya selebar mungkin. Ia akan menyusul Godfreido. Angin kencang berembus meniup tirai, memberi hawa kebebasan pada Coraima.
Salah seorang anak buah Salvador melihatnya dan berteriak keras. "Hei, apa yang kau lakukan?" Rekan- rekannya terperangah, satu orang yang terdekat dengan Coraima meninggalkan mengurus jasad Godfreido, melangkah cepat mendatangi Coraima dan menariknya menjauhi jendela. "Ja.lang bo.doh! Kau mau menyusahkan kami, hah?" bentaknya.
Perempuan itu lemas, sehingga tidak melawan, akan tetapi dia tidak sepasrah daun jatuh. Coraima berhasil mengambil pistol di pinggang pria itu lalu mengacungkannya ke arah anak buah Salvador meskipun tangannya gemetaran.
Para anak buah Salvador berdiri terkesiap dan mengangkat tangan mereka yang berlapis sarung tangan berlumuran darah. Darah dari tubuh suaminya. Coraima mengerahkan sisa tenaganya untuk menarik pelatuk akan tetapi pistol itu sekelebat direbut dari tangannya oleh pria tadi dan ....
Plak!
Pukulan keras menghantam wajah Coraima hingga dia terteleng lalu berdiri sempoyongan dan akhirnya terjatuh di lantai.
"Ja.lang sialan!" Pria itu memaki lagi, akan tetapi sekelebat pistolnya berpindah tangan dan tamparan yang lebih keras mengenai wajahnya hingga ia terlempar bergulung di lantai.
Semua anak buah terperangah. Salvador Torres datang dalam keadaan telanjang bulat karena ia tadi sedang mandi, langsung memukul anak buahnya sendiri lalu membuka pengunci pistol sambil memberitahu anak buahnya. "Tidak ada seorang pun yang boleh menyentuh Nyonya Reyes kecuali aku! Dia harus diperlakukan penuh hormat dan kalian harus menjaga keselamatannya meskipun mengorbankan nyawa kalian sendiri."
Salvador mengacungkan pistol ke arah anak buah yang memukul Coraima dan menembakkan senjata api itu.
Dor!
"Kyaaaah!" Anak buahnya berteriak kesakitan, sambil memegangi pahanya. Bunyi letusan itu membuat Coraima terjengkit, meringkuk seraya menutup telinganya dan memejamkan mata. Coraima lalu terkulai tidak sadarkan diri.
Salvador mendengkus sebal, dan menyerahkan pistol tadi pada anak buah yang segera siaga di sisinya. "Panggil Dokter Guinan!" ujarnya. "Nyonya Reyes harus diperiksa. Aku tidak ingin ia kenapa- kenapa."
"Baik, Sal!"
Salvador mengangkat Coraima dari lantai dan membaringkannya di ranjang lalu ia kembali ke kamar mandi menyelesaikan mandinya.
***
Tuhan, semoga semua yang telah terjadi hanyalah mimpi. Aku mohon, kembalikan aku di saat kami berciuman di depan gereja. Kembalikan aku di saat Godfreido berdansa memelukku dan kami tertawa bersama. Sebelum ketukan pintu itu tiba. Sebelum pria itu datang dan mengambil semuanya. Sebelum letusan itu. Sebelum hidupku berakhir.
Godfreido, mi amor ....
"Bagaimana keadaannya, dokter?" Suara hangat seorang pria terdengar cemas.
Suara pria yang tenang dan berujar telaten menyahut, "Dia baik-baik saja, Tuan, hanya kelelahan dan kekurangan cairan. Infus ini akan membantunya segar kembali, dan suntikan yang saya berikan ini akan membantunya lebih tenang dan bisa maksimal beristirahat."
Perlahan Coraima membuka mata, semuanya masih terlihat berkabut, tetapi ia bisa merasakan sekitarnya tenang dan terendus aroma obat dan uap alkohol desinfektan yang mengingatkannya hari- hari ketika ia menjalani terapi bicara dan pemulihan mental.
Coraima mengembus napas lega. Yakin ia berada di rumah sakit. Seseorang telah menyelamatkanku. Membangunkanku dari mimpi buruk itu. Sekarang, di mana Godfreido?
"Jika dia bisa makan akan lebih bagus lagi, Tuan Torres. Tenaganya akan lebih cepat pulih."
Torres? Siapa? Salvador Torres?
"Terima kasih, Dokter." Pria itu bersuara ramah.
Coraima membuka matanya lebar- lebar, dan ingin buru-buru bangun, tetapi efek obat penenang rupanya bekerja. Hanya jari-jarinya yang bisa digerakkan berkedut-kedut. Coraima ingin berteriak, tetapi hanya "Ah!" yang bisa terucap.
"Oh, dia sudah bangun, rupanya!" Salvador berujar bersemangat, bergegas ke sisi Coraima dan menggenggam tangannya lalu memberi satu kecupan di punggung tangannya. "Bagaimana perasaanmu, sayang?" tanya pria berwajah setengah berbekas melepuh itu penuh perhatian, tetapi dibalas tatapan ngeri Coraima.
Mereka rupanya berada di kamar yang lain, serupa tapi tak sama. Perabotan tertata rapi dan tidak ada mayat Godfreido maupun bekas- bekasnya. Tirai tertutup rapat dan tidak ada cahaya dari luar karena hari sudah malam. Tubuhnya sudah dibersihkan saksama, sejuk segar tanpa ada sisa noda darah. Coraima dipakaikan gaun tidur satin panjang berkombinasi renda warna putih, bahu setali. Gaun tidur yang rencananya akan dipakainya untuk malam- malam bulan madu bersama suaminya. Sebelah tangannya terpasang selang infus dan ia diselimuti dengan apik.
Pria paruh baya berkacamata muncul berdiri di sisi Salvador dan menatap lega pada Coraima. Pria berwajah ramah itu menyapa Coraima. "Halo, Nyonya. Saya Guinan, dokter yang merawat Anda barusan. Senang melihat Anda baikan."
Coraima panik, ingin menarik tangannya dari Salvador, tetapi dicengkeram kuat. Ingin minta tolong pada dokter Guinan, tetapi ia tidak bisa bicara. Salvador mengusap-usap rambutnya penuh perhatian. "Sssh, tenanglah, sayang. Dokter telah memberimu obat. Kau akan baik-baik saja. Aku akan merawatmu dengan telaten."
Seorang pria datang membawa masuk kereta makanan. Dokter Guinan merasa itu saatnya ia pergi. "Baikah, Tuan Torres, saya permisi dulu. Jika ada sesuatu yang Anda perlukan saya akan senang hati membantu."
Coraima mengembuskan napas keras dan cepat berkali-kali, wajahnya memelas ingin menangis, ingin dokter itu memperhatikannya dan membantunya, akan tetapi agaknya pria itu sengaja mengabaikannya. Dokter itu pun salah satu anak buah Salvador Torres. Coraima terisak tanpa air mata, sangat marah dan kecewa. Dokter itu berjalan menjauh. Salvador melepas kepergiannya tanpa beranjak dari sisi Coraima. "Terima kasih, Dokter. Hasta luego!"
Anak buah Salvador yang membawa kereta makanan mengantar Dokter Guinan keluar. Coraima putus asa lagi. Matanya terpejam dan air matanya berlinang. Itu yang terbaik yang bisa dilakukannya.
Tertinggal mereka berdua di kamar mewah itu. Salvador tersenyum serupa seringai di wajah buruk rupanya. "Jangan bersedih terlalu banyak, mi corazón." Ia mengecup kening Coraima lalu beranjak dari sisi wanita itu untuk mengambil kereta makanan. Ada bubur nasi berkaldu daging yang sangat lezat —khusus pesanan Salvador untuk Coraima— minuman s**u dan jus buah semangka, serta beberapa jenis kudapan. "Dokter bilang kau harus makan untuk memulihkan tenagamu." Ia berbalik membawa bubur itu pada Coraima sambil tersenyum lebar. "Aku suamimu sekarang, jadi, aku yang akan mengurusmu. Sekalian hitung- hitung bulan madu kita."
Ia bicara bagai dialog drama. sungguh berbeda dengan kenyataan.
Salvador duduk di sisi Coraima dan menyendokkan bubur yang masih hangat itu ke arah Coraima, tetapi wanita itu membuang muka. Salvador menarik napas dalam- dalam agar Coraima tahu bahwa ia sangat tidak suka sikap merajuknya. Ia menarik dagu Coraima agar menatapnya, menekan rahangnya agar membuka mulut. "Kau buka mulutmu ini dan makan, atau aku akan terus memaksamu!" bentak Salvador. Ia berhasil menjejalkan sesendok bubur ke dalam mulut Coraima, akan tetapi alih- alih ditelan, bubur itu disemburkan Coraima dan terpercik ke wajahnya. Salvador geram sampai gemetaran tangannya terkepal menggenggam sendok logam hingga bengkok.
"Kau benar-benar menguji kesabaranku, Coraima," gerutu Salvador lalu mengempas sendok ke lantai, berbunyi nyaring logam terbentur. Coraima terkejap untuk kesekian kalinya. Dia menarik napas gemetaran oleh amarah dan benci atas ketidak berdayaannya.
Adapun Salvador malah tersenyum tipis merasa dimudahkan menguasasi Coraima. Ia mengelap cipratan di wajahnya dan di sekitar bibir Coraima.
Ia diam sebentar memandangi wanita itu, menikmati wajah cantiknya meskipun hanya terlihat raut jijik. Salvador menghela napas dalam, sorot matanya melembut oleh rasa kagum yang tidak terucap. Pantas saja Godfreido mengagungkan wanita ini! Kurang ajar! Salvador membulatkan tekad. Wanita ini harus sehat sedia kala agar bisa melayaninya sepuas- puasnya.
"Aku tidak akan membiarkan kau menyakiti dirimu sendiri, mi corazón. Hanya aku yang boleh melakukan itu. Jika kau tidak mau makan dari mulutmu sendiri, maka aku yang akan melakukannya."
Salvador mengambil mangkok bubur. Ia mendongak dan menuang sebagian bubur itu ke dalam mulutnya, mengulumnya untuk sesaat ia meletakkan mangkok. Salvador meraih dagu Coraima, menciumnya paksa hingga gadis itu terdongak dan membuka mulut, menjejalkan limpahan bubur ke rongga mulur Coraima dan tidak melepaskan pautan bibirnya hingga seluruhnya ditelan Coraima.
Wanita itu seperti biasa, menangis berderai air mata. Tangannya yang memukul- mukul d**a Salvador dengan cepat kehabisan tenaga karena pengaruh penenang. Pria itu mengisi ulang mulutnya berkali-kali, memakaninya bagai induk burung. Setiap kali juga itu dilakukannya sambil mencum.bunya layaknya seorang kekasih.
Ada semangkok penuh bubur, sekarang tersisa mangkok kosong. Segelas s**u, yang tersisa setetes di dasar gelas. Segelas jus semangka yang tersisa bulir-bulir halusnya melengket di dinding gelas. Ia telah berhasil menyantapkan semua itu kepada Coraima. Wanita itu kenyang dan tertidur pulas oleh pengaruh obat. Jika Salvador mengguncang tubuhnya, Coraima tidak akan terbangun.
Salvador duduk di samping Coraima, meraih sebelah tangannya yang berinfus, melancarkan alirannya yang terhambat darah akibat berontak. Di kamar itu senyap, sehingga suara napas lembut Coraima bisa terdengar jelas. Salvador kembali diam memandanginya. Sorot mata kelam yang tidak bisa dijelaskan, sesaat hampa, lalu kembali terpercik kehidupan. Salvador menarik selimut untuk melihat turun naiknya napas Coraima. Kamisol tipis membuat gerakan itu terlihat jelas, juga dua puncak mungil buah pengasihnya.
Wajah Coraima terlihat tenang dan berona kemerahan. Salvador membungkuk mengecup lembut bibirnya yang ranum bekas ratusan ciuman paksanya. Lalu menghirup aroma lekukan lehernya, yang beraroma segar gabungan melati dan bunga jeruk. Sambil melakukan itu, jemarinya bergerak menurunkan bahu gaun tidur Coraima, perlahan, sangat berbeda ketika ia pertama kali menyentuh Coraima. Kali ini penuh kasih dan perhatian.
Salvador sedikit menggila, menggosokkan wajahnya ke lekukan da.da Coraima, menghirup kuat- kuat aroma tubuh wanitanya. Tanpa membuka mata, mulutnya menyosor mencari puncak buah pengasih Coraima. Ia menemukannya dan menawar dahaganya. Tanpa melihat dan melepaskan puncak kasihnya, tangan Salvador bergerak membuka kemeja dan celananya sendiri, menjadi polos untuk menuju surga dunia. Ia menyibak selimut, menjauhkan dari tubuh Coraima, lalu menyibak gaun tidurnya. Tidak ada penghalang di wilayah muara surga itu. Salvador menaiki tubuh wanita itu, mengisi rongganya lagi, untuk yang pertama di hari itu.
Di kamar itu, hanya ada mereka berdua. Suasana yang senyap, hingga engahan napas Salvador serta gemeresak kain seprai terdengar sayup. Salvador menjajah tubuh Coraima dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, sangat berbeda ketika kali pertama ia menyentuh Coraima. Di antara engahannya, ia berucap parau, "Aku mencintaimu, Coraima. Dengarkanlah apa yang aku ucapkan ini. Kau milikku, seutuhnya milikku seorang. Ti amo con todo mi corazón."
Aku mencintaimu, dengan sepenuh hatiku.
***
Bersambung ....