Menjaga privasi pelang.gan adalah salah satu hal utama pelayanan hotel. Sama seperti Hotel Reyes kelas bintang 5, kerahasiaan aktivitas pelang.gan mereka adalah nomor satu. Apalagi Godfreido sudah berpesan pada staf hotel bahwa selama malam pernikahannya, ia tidak ingin ada gangguan. Jadi, orang luar tidak ada yang tahu bahwa Godfreido sudah tewas di tangan Salvador Torres, seorang eksekutor tersadis di Spanyol.
Tidak ada yang tahu bahwa Nyonya Reyes yang baru menjadi tawanan Salvador. Hidup Coraima sekarang dalam kendali penuh pria itu. Entah berapa kali dan berapa lama Salvador menaiki tubuhnya, Coraima tidak merasakan apa pun karena sekujur tubuhnya mati rasa oleh pengaruh obat. Yang jelas terlihat adalah rona kepuasan di wajah buruk menyeringai itu setiap kali pelepasannya.
Coraima tidak mengerti. Dari sekian banyak wanita yang dimilikinya, kenapa Salvador harus menggarapnya juga? Apa salahnya? Apa yang telah diperbuatnya sehingga Salvador begitu berhasrat menguasai tubuhnya? Jika ingin mengambil alih hartanya, ia bisa melakukan itu cukup dengan memaksanya tanda tangan. Jika hanya untuk menghancurkan hidupnya, setelah memakainya Salvador seharusnya mencampakkannya ke gorong-gorong. Pria itu malah mengambil peran suaminya dan memposisikannya sebagai istri. Ia didandani, riasan wajah, dan rambut yang apik, serta dipakaian gaun malam yang mewah, lalu didudukkan di meja makan berhias lilin dan buket mawar merah. Salvador menjadikannya boneka. Pria itu gila!
"Bicaralah, Coraima! Aku tahu kau bisa melakukannya!" gerutu Salvador saat mereka berhadapan di meja makan.
Wanita itu berekspresi getir. Tiba- tiba mengambil pisau makan dan menghunjam ke arah Salvador, akan tetapi pria itu lebih gesit. Ia menangkap tangan Coraima, memelintirnya sehingga menjatuhkan pisau itu lalu mendorong Coraima kembali duduk terhempas ke kursinya.
"Ah!" desah Coraima akibat nyeri di tangannya.
Salvador menyeringai senang menyudutkan wanita itu lagi. "Butuh keberanian besar melakukan itu padaku, mi corazon. Kau benar- benar cari mati." Salvador lalu memanggil anak buahnya. "Benicio, kemari!"
Pria berusia 30an berbadan tinggi besar, bersetelan jas hitam datang memenuhi panggilannya.
"Singkirkan peralatan makan Nyonya Reyes. Jangan ada benda tajam di dekatnya."
Benicio mengambil sendok garpu di hadapan Coraima dan pisau yang terjatuh, lalu membawanya pergi keluar.
Sorot mata menantang Coraima mulai surut dan berkaca-kaca. Salvador kembali tersenyum padanya. Senyum yang memuakkan.
Salvador memegang garpu dan pisau makannya untuk mulai menyantap hidangan steak di meja.
"Sepertinya kau lebih senang aku menyuapimu daripada makan sendiri, Coraima. Kau memang sangat manja, sayang. Itu membuat bulan madu kita semakin menyenangkan saja." Ia mengiris daging steak lalu menyodorkannya ke arah Coraima. Wanita itu malah membuang muka.
Salvador kembali tersengih lalu berteriak memanggil ajudannya lagi. "Benicio!"
Benicio datang dan bersiap menerima perintah.
"Ikat wanita ini dan bantu aku memakaninya! Dia pikir dia bisa seenaknya di hadapanku? Kita lihat saja, Nyonya Reyes."
Coraima kembali berderai air mata. Diikat ke kursi lalu dijejali makanan sampai ia menelannya lalu memuntahkannya. Bajunya kotor dan muntahan berceceran, tetapi Salvador tidak peduli. Ia tetap memakaninya lagi dan lagi.
"Aku terbiasa melakukan ini, sayang. Jadi kau jangan khawatir aku merasa bosan memakanimu," ujar Salvador lalu ia tertawa terbahak-bahak.
Setelah makan malam yang berantakan, Salvador dibantu Benicio, mendorong Coraima tersandar ke dinding. Benicio menahan pundak dan lengan Coraima sementara Salvador menyuntikkan obat lagi ke lengan Coraima.
"Ah!" desah Coraima karena nyeri kecil suntikan. Singkat dan itu saja suara yang dikeluarkannya.
Benicio melepaskannya sehingga Coraima terduduk lemas. Ajudan pria itu lalu meninggalkan ruangan beserta kereta membawa peralatan makan bekas. Salvador menyingkirkan jarum suntik sambil menyeringai memandangi Coraima.
Wanita itu mengusap bekas suntikan sekaligus memeluk diri sendiri dan berwajah sendu. Namun, beberapa detik kemudian, meringis serta mendesah gelisah. Tubuhnya memanas oleh aliran darah yang bertambah cepat dan semangat menggebu yang tidak dapat dikendalikan terpercik dalam dirinya. Coraima terperangah oleh rasa itu. Ia menoleh pada Salvador dan seketika menyadari apa yang dilakukan pria itu padanya. Bukan obat penenang atau pelemas agar ia tidak melawan, melainkan Salvador menyuntikkan perangsang seksual padanya.
Salvador tersenyum lebar dan berujar parau seraya menarik Coraima agar berdiri. "Jangan berpikir aku akan menyiksamu terus- terusan, sayang. Malam ini kita akan benar- benar menikmati bulan madu kita. Aku akan memberikan surga padamu, corazon."
Coraima berusaha lepas dari tangan Savador. Ia sempat lari beberapa langkah, akan tetapi tidak berkutik ketika kedua kakinya tidak bisa diajak kerja sama. Kakinya mengempit seolah sesuatu akan segera mengucur dari dalam rahimnya dan rongga halus itu harus segera dijejali pasak.
"Aaah!" erang Coraima seraya terbungkuk. Ia mencengkeram tubuhnya sendiri, agar tidak memelorotkan gaun yang dikenakannya. Tetapi kenapa yang dilakukan tubuhnya bertentangan dengan batinnya? Gaun setali itu terasa mengekangnya.
Salvador tertawa lepas yang membuat Coraima gemetaran mendengar suara maskulin itu. Pria itu mendatanginya dengan santai, mendekapnya seraya membelai wajahnya penuh kasih. Coraima malah terpejam merasakan getaran halus dari sentuhan itu.
"Tidak ada gunanya kau melawan, mi corazon. Tubuhmu membutuhkanku dan aku akan senang hati menyerahkannya utuh padamu," bisik Salvador.
Ucapan yang sangat memuakkan. Padahal kenyataannya itu semua karena pengaruh obat. Coraima seharusnya melawan dan menampik setiap sentuhan pria itu, akan tetapi ia malah melahap bibir Salvador ketika pria itu memeluknya dan mengecup bibirnya. Ia malah kelaparan dan kehausan setiap inci tubuh pria itu. Napasnya berat oleh kerakusan akan sentuhan yang lebih intens dan berbalas.
Salvador menangkup belakang kepala Coraima dan melalap rongga mulutnya. Ia berujar parau. "Oh, aku tahu kau akan menyukai ini, mi corazon. Kau tidak bisa terlihat seperti perawan suci setiap saat. Kau juga bisa menggila seperti aku. Tidak perlu lagi menahan diri, sayang. Keluarkanlah semua yang mengganjal di hatimu. Biarkan keluar ...."
"Aargh!" erang parau Coraima sambil menjambak rambut sendiri dan ingin mengamuk sekitarnya. Akan tetapi semuanya bergerak seperti komidi putar yang sangat cepat. Ketika pria itu menangkapnya lagi, ia merasa aman dan lega. Gembira ria, seolah, ya inilah tunggangan yang harus kunaiki. Jangan takut. Ayolah, berkuda bersamaku. Akan kubawa kau ke tempat di mana semuanya sangat indah dan menyenangkan.
Salvador menyeringai. Ia menarik Coraima lalu mendorongnya ke ranjang dan melucuti gaun beserta lingerie yang tak seberapa ada. Ia mengamati dan menggerayangi sepuasnya tubuh Coraima yang sedang menggeliat gelisah. Ia mengecup sesekali bibirnya yang mengeluarkan desahan berat. Juga lekukan tubuh yang menjadi titik paling sensitif bagi Coraima.
"Oh, Corazon ... kau milikku, sayang ...," desahnya.
Salvador bergelut di tubuh Coraima meskipun masih berpakaian lengkap dan kemeja terbuka memperlihatkan bidang dadanya yang penuh tato. Tangannya yang kekar bertato mencengkeram p****t Coraima. Ia berbaring dan mendudukkan Coraima di wajahnya. Lingua tak bertulangnya melalap rongga Coraima dan bernapas dari sana.
Mata cokelat wanita itu nanar menatap langit-langit, seakan kuda putih bersayap membawanya terbang tinggi ke angkasa. Pinggulnya menggeliat bergelombang. Berlutut mengempit wajah Salvador, Coraima meresah sepanjang waktu. Lidah membelesak liar ke dalam rongganya. Kecupan kuat menggigit muara di bawah sana. Ia membenamkan jemarinya di rambut Salvador.
Sambil mencumbu selaput wanitanya, Salvador tersenyum lalu menyeruput- nyeruput tetesan kenikmatan Coraima. Karena tahu hanya miliknya yang pernah bersarang di sana, Salvador bisa berkata lega. "Ayo, sayang, beri aku lebih banyak. Kau gula ternikmat yang pernah kucicipi, corazon."
"Ahh!" sahut Coraima yang merasa bangga dipuji demikian. Akal sehatnya melayang. Ia benar-benar yakin telah menjadi gila karena ia lupa segalanya dan merasa sangat bahagia. Ia memutuskan berkendara terus menerus bersama kuda putih tunggangannya.
Tidak disadarinya bahwa ia telah menunggangi Savador Torres, pria yang sangat dibencinya, sepanjang malam.
Hingga pagi menjelang dan terlihat terang di luar dari balik tirai, Coraima tertelungkup di kasur. Sangat kontras dengan tubuh Salvador yang penuh lukisan kulit, ia menciumi punggung mulus Coraima. Bukan hanya dilahap Salvador, pria itu juga menjejal keperkasaannya ke dalam inti tubuh Coraima. Wanita itu terpejam dan mengerang lembut oleh tubuhnya berayun dihunjam perlahan oleh Salvador. Sela penyatuan itu belepotan cairan hasil campuran dua insan manusia.
Selesai menyanggamainya, Salvador menindih Coraima dan memandangi wajahnya. Ia diam sejenak hingga Coraima bernapas tenang karena tertidur lelap.
"Mi corazon," ucapnya pelan lalu tersenyum getir. Setelah efek obat perangsang hilang, Coraima akan kembali pada kesadarannya semula di mana itu akan sangat menyusahkan. Sebelum itu terjadi, Salvador turut memejamkan mata dan tidur bersama Coraima layaknya pasangan yang saling mencintai.
***
Coraima masih tertidur lelap hingga lewat tengah hari. Salvador sudah mandi dan berpakaian lengkap. Ia memanggil Benicio lagi ke kamarnya dan bicara dengan suara dipelankan. "Siapkan makan siang untukku dan Nyonya Reyes."
"Baik, Sal," sahut Benicio yang segera keluar lagi.
Salvador menutup pintu lalu kembali ke sisi Coraima. Ia menyuntikkan satu ampul obat lagi ke lengan yang sebelahnya. Sebelum Coraima bangun dari mimpi indah, ia memberinya candu baru agar wanita itu sebahagia orang yang sedang berpesta pora.
Benar saja, Coraima membuka mata dan senyum- senyum sendiri, mengerling memandangi wajah buruk rupa Salvador bagai memandang kekasihnya. Salvador merangkak menaiki ranjang dan menciumi Coraima. "Kau merindukanku, sayang?" desahnya, tetapi hanya dibalas senyuman keheranan Coraima karena dalam hatinya menentang rasa bahagia itu, tetapi otaknya dalam pengaruh zat manipulatif.
Salvador menatap lekat ke dalam mata Coraima lalu ke bibirnya yang tersenyum hambar. "Kau masih belum bisa bicara, sayang? Coraima yang malang. Kau pasti mencemaskan orang tuamu. Tapi jangan khawatir, aku akan mengatasi hal itu."
Salvador bergegas turun dari ranjang. Ia kembali duduk di sisi Coraima, mengeluarkan ponsel Coraima dan ponselnya sendiri. Ia mentransfer voice note dari beberapa chat Coraima ke ponselnya. Mengunakan rekaman suara itu, ia menghubungi ayah dan ibu Coraima.
"Apa kabar, Mami? Maaf saya agak sibuk kemarin," suara Coraima.
Coraima membelalakkan matanya. Ia ingin mengambil ponselnya, tetapi Salvador buru- buru menjauh dan mengejeknya dengan seringai puas. Tubuh Coraima lemas sehingga jatuh ke lantai.
Juanita menyahut riang. "Tidak apa-apa, dulce bebe. Godfreido pasti menyita waktu dan tenagamu."
"Benar, Mami. Godfreido sangat romantis. Kami akan pergi jalan-jalan dan berbelanja di mall Madrid sekaligus menonton film di bioskop."
"Aah, menyenangkan sekali, sayang. Baiklah, selamat menikmati hari- harimu. Jangan khawatir kami di sini baik- baik saja. Suruhan Godfreido menyewa rumah di dekat sini dan siap membantu kami kalau ada apa-apa."
Coraima kembali terbelalak mendengar hal itu. Suruhan apa? Siapa? Apa maksudnya?
"Syukurlah. Terima kasih, Mami. Sampai jumpa."
"Oke, baiklah. Sampai jumpa, sayang," sahut Juanita di sambungan seberang lalu memutuskan panggilan.
Juanita yang sedang duduk di ruang tengah bersama suaminya saling pandang.
"Ada apa, Juanita?" tanya Armando.
Juanita lekas menggeleng. "Tidak ada apa-apa. Hanya sebentar sekali Coraima bicara."
"Mungkin mereka harus buru-buru pergi. Katanya mau jalan-jalan 'kan?"
"Oh, iya bisa jadi. Ah, setelah Coraima menikah aku malah menjadi waswas. Rasanya masih tidak percaya pria sekaya Tuan Reyes memilih putri kita sebagai pendamping," ucap Juanita sambil memandang menerawang keluar jendela.
"Aku yakin Tuan Reyes benar- benar tulus mencintainya, sayang. Ayolah, jangan berprasangka buruk di saat mereka sedang berbahagia. Nasib gadis baik seperti Coraima tidak mungkin selalu malang. Ia akan mendapatkan kebahagiaan yang pantas." Begitu ucapan Armando. Tanpa mengetahui, bahwa putri mereka sedang bahagia karena obat-obatan yang diberikan padanya.
Tanpa sehelai pakaian pun menutupi tubuhnya, Coraima menggeliat di lantai dengan pikiran mabuk kepayang. Salvador menyeringai sambil menyimpan kedua ponsel dan memberitahu Coraima satu hal. "Aku mengirim orang untuk menjaga kedua orang tuamu di Cuddilero. Jika kau macam- macam seperti berusaha kabur atau bunuh diri, maka aku akan memerintahkan anak buahku membunuh mereka."
Coraima terperangah. Di sela- sela mabuknya, ia masih bisa mencerna ucapan Salvador dan semakin membuatnya putus harapan. Jika ia bisa bicara ia ingin sekali memaki Salvador dan meminta pria itu membunuhnya, tetapi selalu saja engahan semata yang terucap.
Salvador mendatangi Coraima sambil membuka kemejanya, menampilkan badan penuh tato dan bekas luka. Ia membuka sedikit pinggang celana dan menurunkannya cukup keperkasaannya mencuat, lalu punggung bidangnya mengungkung Coraima di lantai dan di situ pula ia kembali mengangkangi wanita itu, memberikan pompaan yang kuat dan cepat.
"Nggghh ... ahhh ...," erang Coraima sambung menyambung dan tangan terkepal memukuli da.da Salvador. Haruskah setiap kali ia didera kenikmatan yang menyakitkan seperti ini? Ia tidak bisa menghayati hubungan tanpa azas suka sama suka seperti ini meskipun tubuhnya mencapai klimaks.
Hal itu selalu membuat Salvador puas. Ia malah berujar girang. "Iya, sayang, aku tahu kau menikmatinya. Meskipun kau tidak bisa mengatakannya, reaksimu masih jauh lebih baik daripada seseorang yang kukenal. Akan kubawa kau menemuinya, sayang ...," Salvador menyela dengan kecupan mesra di bibir Coraima, "segera, setelah bulan madu kita, ... ah, ya ... mi corazon ...."
***
Bersambung ....