"Aku mohon Mbak Kiran pulang." Gadis memohon manik yang mulai merebak, "kalo Bapak gak bisa bayar utang, mereka akan mengambilku secara paksa. Apa Mbak Kiran tega melihat itu?"
Jleb!
Hatiku bagai tertohok palu. Tentu saja aku tidak tega membiarkan mereka mengambil Gadis. Tapi, aku sendiri juga tidak mau dijadikan b***k. Bagaimana ini?
"Mbak ...." Gadis mengguncang pelan pundakku.
Aku tergagap. Kutarik napas perlahan. "Gak ada jalan lain lagi. Sebaiknya kamu ikut aku aja pergi dari rumah," putusku serius.
"Apaaah?!" Gadis tersentak kaget, "aku gak salah dengar kan?"
"Gak ... emang gak ada cara lain lagi." Aku menggeleng lemah. "Duit delapan puluh juta itu gak sedikit. Kita mau cari di mana uang sebanyak itu dalam waktu dekat ini?"
"Aku gak nyangka Mbak Kiran punya pikiran sedangkal ini," kecam Gadis pelan, tetapi cukup dalam.
"Maksud kamu apa?" Aku mengernyit bingung.
"Mbak pikir dengan kita kabur berdua semua masalah akan selesai? Enggak, Mbak!" Gadis menggeleng tegas. "Kita mungkin bisa terbebas dari tuntutan itu, tapi bagaimana dengan nasib ibu dan bapak. Nasib Bintang juga?" cecar Gadis menggebu. Lajang yang terbiasa kalem itu kini berbicara keras.
"Terus sekarang kamu mau apa?" Aku ikut terpancing emosi mendapat sergahan dari Bintang. Membuat beberapa karyawan lain yang lewat menoleh ke arah kami.
"Sebaiknya kita bicara di rumah. Gak enak di sini didengar banyak orang." Mita dengan halus memberi saran.
Aku dan Gadis setuju. Kami lantas mengikuti langkah Kita yang terlebih dulu berjalan. Rumah kontrakan Mita hanya berjarak sekitar dua ratus meter. Delapan menit berjalan kami tiba pada rumah petak ini.
Ketika aku dan Gadis sudah menghempaskan tubuh di kursi, Mita berlalu ke dapur. Tidak lama dia kembali dengan dua mug berisi es teh manis. Minuman yang pas untuk cuaca yang lumayan gerah ini.
"Silahkan diminum," ujar Mita tulus.
"Terima kasih," balas Gadis kalem, sedangkan aku memilih diam. Namun, kami bersamaan meneguk air manis itu.
"Mbak, pulanglah! Kasihan bapak dijadikan bulan-bulanan mereka," bujuk Gadis usai menaruh cangkir besar itu ke meja. "Bagaimana pun juga dia bapak kita. Biar pun Mbak Kiran membenci bapak, seenggaknya pikirkan nasib kami."
"Kirani, bukannya aku mau mencampuri urusan kalian. Hanya saja jika aku jadi kamu, maka aku akan mengikuti saran Gadis yaitu pulang ke rumah," tutur Mita terdengar tenang.
Aku menggeleng getir. "Kamu gampang ngomong seperti itu karena gak akan ngerasain, Mit," tuturku sedih. "Melihat preman di jalan saja aku takut, apa lagi jika harus tinggal bersama. Membayangkannya saja aku sudah tidak mampu."
"Jadi Mbak Kirani lebih menginginkan aku yang menghadapi itu?" Gadis kembali menukas, "andai aku sudah dewasa, Mbak. Gak akan sampai dua kali berpikir, aku pasti langsung menerima keputusan ini."
"Gadis--"
"Ibu sudah cukup susah dengan mengandung, melahirkan, dan merawat kita. Sekarang waktunya kita membalas jasanya, Mbak. Mumpung Ibu masih hidup," cerocos Gadis kembali menyentil dadaku.
"Kiran ...." Mita meraih jemariku. Dia menguatkan dengan genggaman, "ingat, ada Allah yang bisa kamu mintai pertolongan."
Aku terdiam. Ini benar-benar keputusan yang sulit. Namun, aku juga tidak mungkin tega membiarkan Gadis yang menanggungnya.
"Semoga dengan kejadian ini, bapak akan tobat nantinya, Mbak." Gadis menambahkan.
Aku masih tidak menyahut. Hari ini benar-benar kalut. Namun, jika mengingat Ibu dan Bintang, aku hanya manut.
Akhirnya, kuanggukkan pelan kepala ini. Tanda jika aku mau diajak pulang. Gadis meringis senang melihatnya, sedangkan Mita hanya tersenyum tipis.
"Biar aku yang bereskan bajumu, Mbak," tawar Gadis bangkit berdiri.
Ditemani Mita, Gadis menuju satu-satunya kamar tidur di rumah ini. Tidak sampai sepuluh menit, dia sudah kembali dengan menggendong ranselku.
"Ayok, Mbak!" Gadis menarik lenganku untuk bangkit.
"Apa pun yang terjadi, Allah lah tempatmu meminta." Mita memberi wejangan, "dan pintu rumahku selalu terbuka untukmu." Gadis itu merengkuhku tubuhku erat. "Aku yakin kamu gadis yang kuat," ujarnya usai memisahkan diri.
Aku menipiskan bibir. "Makasih ya tumpangannya beberapa hari ini."
"Sama-sama," balas Mita kalem.
Usai berpamitan aku dan Gadis meninggalkan rumah. Mita mengantar kami sampai jalan besar. Tepat kami sampai, ada sebuah angkot yang melintas
Aku dan Gadis gegas masuk setelah cipika-cipiki dengan Mita sebentar. Di dalam angkot aku dan Gadis duduk berdampingan. Kami sama-sama membisu.
Hingga turun dari angkot, kami masih setia menutup mulut. Sampai di depan pintu, kami mendapati rumah dalam keadaan sepi. Ketika kami akan mengetuk pintu, seseorang sudah terlebih dulu membukanya dari dalam.
"Mbak Kiran." Bintang langsung menghambur. Bocah itu mendekapku erat. "Bapak, Mbak. Bapak muntah darah," adunya dengan raut ketakutan.
"Sekarang mereka ada di mana?" cecar Gadis ikut gusar.
"Bapak dibawa ke rumah sakit sama Ibu dan aku disuruh jaga rumah. Aku takut sendirian kalo malam, Mbak," rengek Bintang menarik ujung bajuku.
Aku menarik napas perlahan. "Dis, kamu dan Bintang jaga rumah sebentar. Aku mau lihat keadaan bapak di rumah sakit."
"Ya, Mbak." Gadis mengangguk setuju.
Kakiku melangkah kembali menuju jalan. Di pangkalan, aku menaiki salah satu ojek. Kusuruh tukang ojek ini untuk sedikit mengebut.
Jarak sekitar satu kilometer membuat kami cepat tiba ditujuan. Usai membayar, aku menderap langkah menuju lobi. Pada petugas yang berjaga kutanyakan kamar Bapak.
Sebagai orang yang tidak punya uang berlebih tentu Ibu memasukkan Bapak di kamar kelas tiga. Ketika masuk, ada banyak pasien dalam kamar. Ranjang Bapak berada di paling ujung.
Pria itu sedang tertidur ketika aku mendekat. Selang infus dan masker oksigen menghiasi lengan dan wajahnya. Ibu tertegun melihat kedatanganku.
"Bapakmu kena liver yang cukup parah, Ran," lapor Ibu dengan wajah nelangsa. Aku sendiri tidak terlalu kaget. Pasalnya Bapak termasuk pemabuk berat. "Kalo tidak segera ditangani, ibu takut bapakmu gak tertolong." Air mata Ibu lolos ke pipi.
Dadaku terasa sesak. Seumur-umur baru kulihat Ibu menangis. Walau pun sering disakiti Bapak, wanita itu jarang meneteskan air mata.
"Andai ibu punya banyak uang mungkin--"
"Aku bersedia dijadikan jaminan utang bapak, Bu," selaku yakin.
Ibu menatapku serius. "Kamu ...."
"Dan jika bos preman itu banyak uang, maka aku akan meminjam uang padanya untuk pengobatan bapak."
Ibu tidak bicara. Wanita itu hanya langsung merengkuhku ke dalam dekapannya.
"Kamu ajak anak yang berbakti. Kamu anak yang sholeha. Insya Allah hidupmu akan beruntung, Nak," bisik Ibu terus mendekapku erat.
Aku membisu. Hanya air mata yang menitik ke pipi.
***
Esok harinya aku pergi ke tempat Bapak biasanya main judi. Sebuah tempat hiburan. Tentu saja ketika siang begini tempat tersebut belum beroperasi. Namun, saat kutanyakan keberadaan si plontos, penjaga tersebut memberi tahu.
Ternyata jika siang hari begini para preman itu sedang menjalankan tugasnya di pasar. Setelah memutari pasar, akhirnya kutemui anak buah si plontos. Pada pria gondrong itu kuutarakan niat.
"Ya sudah ... Ayuk ikut dengan kami!" ajak pria gondrong yang dulu menghajar Bapak itu.
Dia dengan rekannya baru saja bertugas menarik uang keamanan pada para pedagang di pasar ini. Dengan perasaan was-was aku mengikuti langkah kedua lelaki bertubuh besar itu. Mereka membawa motor. Mengabaikan rasa takut aku membonceng salah satu dari mereka.
Pria berambut keriting itu membawaku ke sebuah rumah. Lumayan jauh dari pasar dan agak terpisah dari rumah warga. Hunian tersebut tertutup.
"Ayo masuk!" ajak si gondrong padaku.
Begitu pintu gerbang dibuka tampak duduk beberapa pria bertubuh besar di teras rumah. Melihat badan dan penampilan mereka, hatiku dihinggapi perasaan takut.
"Ayok!" Si keriting kini yang mengajak.
Kucengkeram paha ini agar tidak gemetar. Setelah mengucap bismillah, aku memasuki rumah berlantai dua itu.
"Siapa, Jong?" tanya salah satu preman yang sedang main biliar di teras.
"Manis nih. Buat gue aje ye?" timpal yang lain meledek. Matanya mengedip sebelah padaku. Membuat aku harus membuang muka.
"Anaknya Bambang yang dijadikan taruhan kemarin nih." Si gondrong memberi tahu.
"Ohhh ... punya si bos dong."
"Yoi."
Dari dalam muncul si plontos. Pria itu kembali menatapku seksama. "Ayok ikut denganku!" ajaknya kemudian.
Aku mengangguk. Kuikuti langkah si plontos. Hatiku kian berdetak tidak karuan. Rumah ini tidak kotor, tapi hawanya sangat tidak mengenakan.
Si plontos terus melangkah hingga berhenti di sebuah ruangan. Lelaki yang tingginya hampir sama denganku itu mengetuk pintu.
"Masuk!"
Suara dingin itu membuat hatiku mengkerut. Namun, ketika si plontos menyuruh masuk, aku pun memberanikan diri untuk mengikuti.
"Bos, anaknya Bambang datang nih." Si plontos melapor.
Sosok di balik kursi bersandaran tinggi itu membalikkan diri. Aku terpana. Seorang lelaki berusia di bawah tiga puluh tahun menatapku dingin.
Dia tidak gendut seperti si plontos. Dirinya juga tidak jelek seperti si gondrong. Parasnya cukup ... menawan.
Jan lupa subscribe ya untuk update part terbaru ?