2. Aku Tak Sudi

1007 Kata
MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA "Bambang sudah berjanji hari ini akan melunasinya. Kalo tidak bisa maka ...." Si plontos menjeda ucapannya. Pria pendek buncit itu menatapku dari ujung kepala sampai kaki. "Bambang harus menyerahkan anak gadisnya yang sudah ia jadikan sebagai jaminan," tuturnya dengan seringai menyeramkan. Aku sendiri membeku mendengar penuturan itu. Si plontos mendekat. Pria itu menatapku lagi. "Bodi anakmu terlalu rata, Mbang. Untung mukanya lumayan manis," ujarnya menilai fisikku, "kalo bos gak mau, kamu mesti segera lunasin hutangmu! Kalo enggak ... siapkan nyawa cadanganmu!" lanjutnya menggertak. "Ayo cabut!" Ketika Si plontos mengibaskan tangan, kedua anak buahnya mengikuti. Sebelum pergi salah seorang dari mereka menendang pintu rumahku dengan teramat kencang. Membuat Bintang bergidik ngeri. "Kamu gak papa, Bang?" tanya Ibu tampak khawatir. Wanita itu langsung membantu Bapak untuk berdiri, lalu mendudukkannya di kursi. Cekatan tangan Ibu meraih tisu yang tersedia di meja. Penuh ketelatenan dirinya membersihkan darah di sekitar area mulut dan hidung Bapak. "Gadis, ambilkan air hangat dan kain buat kompres bapak!" suruh Ibu dengan fokus pada luka Bapak. "Ya, Bu," sahut adik perempuanku. Lajang enam belas tahun itu gegas menghambur ke dapur. Lima menit kemudian dia datang dengan baskom berisi air hangat di tangan. Hati-hati Gadis menaruhnya di meja. "Kiran, tolong belikan Bapakmu obat merah dan plester," pinta Ibu padaku. "Aku gak ada uang," jawabku acuh tak acuh. Ibu menghela napas. "Nanti ibu ganti kalo sudah dapat upah." Janji Ibu meyakinkan. Wanita itu adalah buruh cuci gosok di beberapa rumah orang kaya. Upahnya dibayar setiap dua minggu sekali. "Bu, kenapa Ibu masih mau merawat orang jahat ini?" tanyaku sambil menunjuk wajah Bapak dengan geram. "Kiran, jaga sikapmu!" tegur Ibu tenang, "hormat sama dia. Dia masih bapakmu." "Bapak macam apa yang tega menjadikan anaknya sebagai bahan taruhan judi, Bu?!" sergahku muntab. "Aku gak sudi menikahi dengan bos preman itu. Lebih baik aku pergi dari rumah ini saja," putusku serius. Kaki ini bergerak cepat menuju kamar. Kuraih tas ransel yang tergantung di dinding, lantas membuka lemari kayu pintu satu ini. Kuambil beberapa baju dan seragam kerja. Tidak lupa dompet dan HP pun kumasukkan juga. Setelah itu bergegas keluar. "Kiran, kamu kemana?" tegur Ibu menghentikan langkahku. "Aku mau pergi, Bu. Aku gak mau dijadikan tumbal Bapak untuk menikahi bos preman itu," jawabku tegas. "Jangan pergi, Nak!" larang Ibu terdengar memohon. Wanita bangkit untuk mendekat. "Kamu mau pergi ke mana?" "Ke mana saja yang terpenting bisa bebas dari dia," balasku sambil mengerling tajam pada Bapak. "Kiran, ada banyak jalan keluar jadi jangan--" "Apa, Bu?" selaku cepat, "uang delapan puluh juta itu banyak. Mau cari di mana, Bu? Mau jual rumah petak ini?" "Kiran--" "Aku harus pergi, Bu." Aku kembali bertekad. Kulepas pegangan Ibu. Setelah itu menderap pergi. "Mbak Kiran jangan pergi!" Bintang adik bungsuku memelukku dari belakang. "Aku sayang Mbak Kiran," ucapnya sedih. Aku melepaskan pelukan, lalu membalikkan tubuh. Sedikit membungkuk untuk mensejajarkan tinggi badan. "Mbak harus pergi. Jaga diri baik-baik ya, Bin," ucapku sambil mengacak pucuk rambut bocah sembilan tahun itu. "Jangan pergi, Mbak Kiran ...." Bintang merengek. Bocah itu kembali mendekap perutku. Dia memang dekat denganku. Apalagi semenjak aku sudah bekerja, Bintang teramat manja karena hampir semua kebutuhannya tercukupi oleh gajiku. Mengabaikan nelangsa kembali kuurai dekapan Bintang. Tanpa bicara aku berbalik arah, kemudian melangkah lebar-lebar. "Mbak Kiraaan!" Tidak hanya Bintang yang memanggil, Gadis pun ikut menyeru namaku. Namun, tekadku sudah bulat. Tidak sudi jika aku harus menikah dengan seorang berandal. Anak buahnya saja seram-seram begitu. Apalagi Bosnya? Hiii! Aku bergidik ngeri. Langkahku sudah tiba di jalan raya. Ketika ada angkot lewat, tanganku menyetop. Saat masuk tampak ada seorang pria tua duduk berdampingan dengan seorang lelaki muda. Sepertinya mereka anak dan ayah. Pemuda itu terlihat begitu menyayangi ayahnya yang tampak sakit. Tangannya terampil memijit pelipis sang bapak. Melihat itu hatiku menjadi gerimis. Terakhir kali aku memijit Bapak sekitar sepuluh tahun lalu. Sebelum Bapak mengenal judi dan mabuk. Aku merindukan masa-masa itu. Karena setelah Bapak berubah kasar rasa hormat dan sayangku berganti benci. Angkot menurunkan aku di perempatan jalan. Setelah membayar kaki ini mengayun menuju sebuah rumah kontrakan. Seratus meter kemudian sampailah aku di depan pintu kontrakan petak ini. "Kok bawa ransel?" tegur Mita. Pemilik rumah sekaligus rekan kerjaku di pabrik. "Aku mau tinggal di sini," jawabku sambil memasuki ruangan delapan kali delapan ini. Kujatuhkan tas pada kursi busa yang sudah tipis ini. "Aku gak salah dengar kan?" tanya Mita memastikan. "Gak." "Ada masalah?" Aku terdiam beberapa saat. Tanpa bisa dicegah air mata ini menetes. "Bapakku menjadikan aku taruhan judinya, Mit." "Astaghfirullah hal adzim!" Mita menutup mulut. "Aku pergi dari rumah karena gak mau dijadikan jaminan hutang bapak, Mit," tuturku dengan air mata berlinang. "Aku takut dijadikan b***k oleh preman itu." Tangisku pecah. Mita langsung memelukku. "Kamu tahu ... aku tuh iri melihat kalian yang masih punya orang tua lengkap. Dari kecil aku sama sekali tidak tahu rupa ayah ibuku." "Lebih baik jadi anak yatim daripada punya ayah gi la macam bapakku," sahutku mengurai pelukan. Mita tersenyum simpul. Gadis itu urung berbicara lagi. Dirinya memilih membiarkan aku meredakan tangis. *** Dua hari berlalu. Aku tetap bekerja seperti biasa di pabrik. Namun, nomor ponsel sengaja kuganti. Itu kulakukan agar tidak ada yang bisa menghubungi. Namun, pada di hari ketiga aku pergi dari rumah, Gadis datang menemui. Pemudi itu memanggil ketika aku dan Mita baru keluar dari pintu gerbang. "Mbak Kiran, bapak masuk rumah sakit. Tadi siang preman-preman itu datang ke rumah buat nagih utang," lapor Gadis dengan cemas. "Mbak gak peduli, Dis. Biar saja bapak mati sekalian dipukuli mereka," balasku cuek. "Astaghfirullah hal adzim! Gak boleh ngomong seperti itu, Ran!" Mita menasihati. "Aku mohon Mbak Kiran pulang." Gadis memohon manik yang mulai merebak, "kalo Bapak gak bisa bayar utang, mereka akan mengambilku secara paksa. Apa Mbak Kiran tega melihat itu?" Jleb! Hatiku bagai tertohok palu. Tentu saja aku tidak tega membiarkan mereka mengambil Gadis. Tapi, aku sendiri juga tidak mau dijadikan b***k. Bagaimana ini? "Mbak ...." Gadis mengguncang pelan pundakku. Aku tergagap. Kutarik napas perlahan. "Gak ada jalan lain lagi. Sebaiknya kamu ikut aku aja pergi dari rumah," putusku serius. "Apaaah?!" Gadis tersentak kaget, "aku gak salah dengar kan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN