terpaksa bohong

1981 Kata
Icha tidak berani keluar kamar sedikitpun sejak insiden kemarin. Bahkan sejak siang kejadian kemarin hingga pagi ini, jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi, Icha belum makan sehingga Icha hanya bisa menahan rasa laparnya. Dan di saat Icha haus, terpaksa Icha minum air keran yang mengalir dalam kamar mandi kamar ini. Dan sepanjang malam, Icha tidak bisa memejamkan kedua matanya barang sedikitpun. Bagaimana tangan besar Kak Evan melayang menampar pipinya, bagaimana ringannya kaki Kak Evan yang ingin menendangnya terngiang-ngiang bagai kaset rusak dalam otak Icha sejak semalam bahkan hingga saat ini. Selain alasan di atas Icha tak bisa tidur, rasa lapar yang luar biasa menambah beban derita Icha membuat Icha lemas bahkan gemetar kedua lututnya. Dan sepertinya, Icha tidak bisa menahannya lagi, Icha merasa mual dan pening, perutnya teramat sangat perih saat ini. Icha butuh makanan untuk mengganjal perutnya, sehingga tidak ada pilihan lain. Icha akan keluar kamar dan akan bertemu dengan Kak Evan yang sepertinya tidak kemana-mana mendengar suara televisi yang lumayan berisik sejak semalam hingga pagi ini. Mendengar ada piring atau gelas yang pecah, mendengar ada suara Kak Evan yang ngobrol dengan suara agak kuat dengan Rania dan juga dengan orang yang tak Icha kenal. Kamar yang Icha tempati, berada tepat dengan ruang keluarga. Bahkan sofa yang ada di ruang keluarga atau tv, berada tepat di depan tembok kamar yang Icha tempati. Icha yang berbaring di atas ranjang hanya di sekat oleh tembok dengan Evan yang berbaring di atas sofa. "Aku bisa mati kalau terus mengurung diri dalam kamar ini,"ucap Icha pelan. Dan Icha melirik kearah ransel yang sedang kedua tangannya peluk di depan dadanya. Icha sekaligus walau merasa marah, muak, dan benci pada Evan. Mau tidak mau, Icha harus pamit. Icha langsung pergi begitu saja, pasti akan membuat Ua nya khawatir dan bertanya-tanya. Kenapa ia pulang tanpa memberi tahu setidaknya memberitahu anaknya Evan yang ada di rumah. Dan ceklek Akhirnya pintu yang Icha tutup rapat dan kunci, sudah Icha buka. Pengharum ruangan rasa apel yang ada di ruang keluarga langsung menusuk indera pencium Icha, membuat rasa lapar Icha semakin naik berkali-kali lipat. Dan Icha menghembuskan nafasnya leg, di saat Icha menatap setiap sudut ruang keluarga, tidak ada batang hidung Evan. Semoga saja laki-laki itu sedang olah raga di luar. Harap hati Icha di dalam sana. Dan Icha tidak mau buang waktu lagi, icha dalam sekejap sudah berlari menuju dapur. Ingin mencari makanan sedikit saja di sana atau yang ada di dalam kulkas atau sisa makan Kak Evan semalam. Tapi, di saat Icha sudah ada di dekat meja makan, berdiri tepat di depan meja makan, meja makan kosong melompong, toples yang berisi kerupuk, sereal, abon, kacang-kacangan, jajanan kering, botol saos, kecap, keranjang buah-buahan, tidak ada di sana. Tapi, tunggu dulu, di dapur tempat masak, Icha mendengar ada suara orang yang sedang menggoreng, ada suara minyak yang meletup dan aroma ayam goreng yang sangat memabukkan. Enak dan menggoda selera. "Apakah Bibi sudah pulang, tidak jadi cuti seminggu?"Tanya Icha bingung pada dirinya sendiri. Dan Icha dengan jantung yang rasanya ingin meledak, Icha berjalan masuk ke dapur, yang hanya di sekat oleh gorden dengan meja makan. Dan sungguh... Icha merasa sangat menyesal sudah masuk ke dapur... karena bukan Bi Riri yang berdiri membelakangi Icha saat ini, tapi Evan dengan bertelanjang d**a, dan hanya celana bola kedodoran yang membungkus tubuh bagian bawahnya. Dan Evan yang merasa ada orang di belakangnya, menoleh dengan gerakan santai kearah Icha. Dan Evan.... melempar senyum yang hangat untuk Icha... Icha yang membeku kaku di tempatnya saat ini melihat Kak Evan yang tersenyum--- pada dirinya saat ini. Evan yang moodnya sudah baik, bahkan wajahnya terlihat berseri, segar, berbanding terbalik dengan wajah Icha yang kacau, pucat dan kedua mata yang hitam. Tapi, Evan yang tersenyum bahagia karena sepanjang malam mengobrol dengan kekasihnya Rania, lenyap di saat Evan melihat dan baru sadar akan ransel yang hingga detik ini masih Icha peluk dan pegang kuat di depan dadanya... Icha melihat raut wajah Evan yang berubah dalam sekejap jadi datar. Icha.... "Aku... Aku mau pamit pulang, Kak...."Ucap Icha terpatah, dan sudah membuang tatapannya kearah lain. Enggan dan merasa sakit hati melihat wajah Evan yang terlihat sangat segar di depannya. "Tidak baik ngobrol sambil berdiri, ..."Ucap Evan dengan nada suara yang sangat-sangat datar. Evan dalam sekajap sudah duduk di kursi meja makan. Icha dengan takut-takut mengikuti Evan dan duduk di kursi yang ada di seberang Evan. Evan yang wajahnya entah kenapa terlihat semakin datar saat ini. "Untuk kemarin siang, aku minta maaf..."Ucap Evan sambil mengusap wajahnya frustasi. "Sudah Icha maafkan, Kak Evan..."Ucap Icha cepat. "Icha juga minta maaf, sudah buat kakak panik, maksudnya... Icha ada di rumah ini, otomatis Icha kenapa-napa, tanggun jawab tuan rumah..."ucap Icha dengan suara tercekat. Dan Icha sudah membuang wajah kearah lain, enggan menatap wajah Evan. Evan yang lagi-lagi saat ini terlihat mengusap wajahnya kasar. "Ya, kamu betul, Cha....." "Kalau gitu, Icha pamit dulu..." "Aku dengar, mama suruh, kamu jangan pulang dulu sebelum mama pulang,"Ucap Evan masih dengan nada suara datarnya. "Ya, benar. Tapi, aku harus pulang,"Ucap Icha pahit, masih tidak menatap wajah Evan yang menatap dalam wajah Icha saat ini. "Kalau ngomong lihat wajah lawan bicaramu, Cha..."Ucap Evan geram. Icha sedari tadi tidak sopan padanya, sial!, tidak tatap wajahnya sedikitpun sedari tadi! Kalau ngomong sambil lihat kakak, kakak jijik. Mulutku bau dan menjijikkan. Ucap hati Icha sakit dan pahit di dalam sana. "Begini saja, toh kakak dengar ucapanku..."Cicit Icha pelan. "Kenapa?"Ucap Evan singkat. Ica jelas mengernyitkan keningnya bingung. Kenapa? Kenapa apa? Dan sudah cukup, Icha tidak mau basah basih lagi. "Aku pamit , Kak..." "Apa karna aku tampar kamu kemarin siang, makanya kamu..." "Bukan, aku tulang punggung keluarga. Aku harus pulang!"Ucap Icha tegas. Dan kata-kata jawaban yang sudah ada di ujung lidah Evan, sudah Evan telan kembali dan perlahan tapi pasti, kepala Evan akhirnya mengangguk, mengiyakan ucapan Icha yang ingin pamit pulang . "Ya, pulang lah,"Ucap Evan pelan. Icha mengangguk. Dan bangun dengan agak terburu dari dudukkannya. Dan tanpa pamit lagi atau menoleh kearah kakak sepupunya, Icha langsung melenggang pergi. Tapi, baru 4 langkah Icha melangkah, Icha menghentikan langkahnya dan kembali menoleh kearah evan. Evan yang terliat menegang kaku dan menahan nafas kuat di tempatnya saat ini. "Ada apa...." "Aku datang bulan subuh tadi, kakak terlebih Icha bisa tenang. Karena artinya Icha tidak akan hamil karena kejadian 2 hari yang lalu...." Brak! Ucapan Icha terhenti telak, di saat tiba-tiba Evan menjatuhkan dirinya di atas lantai dan Evan detik ini terlihat tengah bersujud. "Syukur alhamdullillah ya Allah..... Terimah kasih, Ya Allah..."Ucap Evan bahagia nyaris teriak. Dan ya, Evan sedang melakukan sujud syukur saat ini dengan raut wajah yang bahagia, Icha tidak hamil, Evan jelas senang dan lega. Berbanding terbalik dengan raut wajah Icha yang hampir menangis dan terlihat sangat sedih saat ini.... **** Senyum tak henti-henti terbit dari kedua bibir Evan. Intinya sejak 2 jam yang lalu Evan bak orang gila. Sesekali teriak, meraung, lalu tertawa dengan kencang. Bahkan laki-laki yang sudah umur 28 tahun itu meloncat-loncat bagai anak kecil dengan tangan yang meninju udara, penuh semangat dan gairah hidup yang tinggi. Beban besar yang Evan angkat di pundaknya sejak 2 hari yang lalu, yaitu kesalahan yang Evan lakukan dengan tak sengaja meniduri adik sepupunya, dan takut Icha hamil, sudah terangkat. Demi Tuhan, sekali lagi, Evan merasa sangat lega dengan kedatangan tamu bulanan Icha. Karena sumpah, demi langit dan bumi beserta isinya, Evan sampai kapanpun tidak akan bisa bertanggung jawab untuk nikah dengan Icha. Evan juga tidak suka anak itu misal Icha hamil. Dan tidak mungkin mengakui pada dunia atau pada mamanya, anak yang Icha kandung adalah anaknya. Selain ada kekasihnya yang sangat Evan cintai, alasan utamanya, Evan juga tahu, mamanya tidak suka Evan atau Kak Putrinya menikah dengan kerabat dekat atau jauh dari pihak keluarga mamanya. Mamanya tidak suka, entah apa alasannya. Evan juga tidak tahu, dan jelas, Evan ogah nikah dengan keluarga mamanya yang dari kampung semua, coba keluarga dari papanya Evan mau, mereka dari kota yaitu dari Surabaya. Tapi, karena Evan sudah punya kekasih, dengan keluarga dari pihak papanya pun, Evan juga ogah. Rania adalah pacar idaman dan terbaik. Yang sangat Evan cintai. "Van... Hallo, Va...."Ucap suara itu lembut. Suara yang berasal dari ponsel Evan. Evan yang tersenyum-senyum sedikit tersentak kaget. Dan dengan cepat menatap pada layar ponselnya. "Ya, Sayang. Kamu sudah bangun tidur?"Tanya Evan lembut. Dengan senyum hangat dan manis yang menyertai. Padahal Rania tidak bisa melihat senyumnya. Karena mereka tidak video call. "Ya, aku sudah bangun, yank. Mau mandi. Panggilannya di putus dulu..." "Enggak usah lah di putus, aku masih kangen sama kamu. Bawa saja ponselmu ke kamar mandi..."Ucap Evan dengan nada tegas dan raut tidak sukanya. Evan masih tidak puas. Evan kangen sama Rania walau sudah 1 jam 30 menit Evan mengobrol sampai Rania tidur dan Evan melarang kekasihnya untuk memutus panggilan mereka. Dan terdengar helaan nafas lelah Rania di seberang sana, membuat Evan pada akhirnya mengalah... "Hanya 20 menittan kan, kamu mandi? Setelah itu, kamu harus telpon aku lagi, yank..." "Aku mau cukuran juga, Van. Sekitar 40 menit baru selesai. Janji, akan langsung telfon kamu setelah selesai. Kita juga kan ketemuan nanti malam...."Ucap Rania terdengar kesal di seberang sana. Dan Evan yang super bucin mengangguk cepat mengiyaakan ucapan Rania yang tidak bisa melihat wajahnya sedikitpun. "Ya sudah.... Kita ngobrol lagi nanti..." Klik Sambungan lebih dulu sudah di putuskan tanpa pamit oleh Rania. Membuat Evan kesal dan hanya bisa mengepalkan kedua tangannya erat... menahan kesal. "s**t, untung aku cinta mati sama kamu, Sayang. Kamu enggak sopan banget sama calon suamimu!"Ucap Evan dengan senyum-senyum di saat Evan mengatakan kalau dirinya adalah calon suami dari Rania. Rania kekasihnya yang cantik, tinggi, langsing, punya kulit putih, mancung. Berpendidikan tinggi, calon dokter spesialis organ dalam, setia, manisss adalah wanita idaman yang selalu Evan khayalkan sejak kecil, tipe wanita seperti itu akan jadi istri dan ibu untuk anak-anaknya nanti. "Ichaa?? Ihhhh, menjijikkan. Telapak kaki Rania bahkan lebih cantik dari wajah Icha..."Ucap Evan dengan tubuh bergidik jijik. Dan Evan menepuk kuat keningnya di saat bayangan wajah Icha dengan beraninya menari tiba-tiba dalam otak Evan. "Pergi dari pikiranku wanita jelek!"Ucap Evan kasar. Dan andai Icha bukan keponakan mamanya, enggak sudi Evan dekat dengan Icha dalam jarak semeter. ** Evan tersenyum puas melihat seprei dan selimut yang Evan bakar 50 menit yang lalu sudah menjadi abu. Selimut yang membungkus tubuh telanjangnya dengan Icha. Seprei yang di kotori oleh noda darah perawan Icha. Kedua benda itu Evan sembunyikan dalam lemarinya. Walau tidak ada orang di rumah saat-sat ini, Evan tidak mau ceroboh. Apalagi Rania, sesekali akan masuk ke dalam kamarnya. Tidak! Sangat menyeramkan apabila Rani mengetahui semuanya. Rania kecewa, sakit hati lalu memutuskan hubungan mereka. Seram... "Ah, Rania. Pasti sayangku mandinya sudah selesai...."Ucap Evan semangat. Evan dengan cepat masuk ke dalam rumah, melempar tubuhnya di atas ranjang, dan mulai memencet nomor Rania untuk ia hubungi via video call. Evan ingin melihat wajah cantik kekasihnya sehabis mandi. Tapi, sekali, dua kali, dan ke tiga kali, panggilannya tidak di angkat. Padahal Rania sedang on wa atau media sosialnya. Tapi, Evan tak menyerah. Evan coba panggil Rania via mesengger. Tapi, hasil yang di dapat Evan sama. Panggilannya masih tidak di angkat Rania. "Sialan! Angkat panggilanku, Sayang. Aku rindu...."Ucap Evan geram dengan ekspresi bagai orang gila. Sedang di rumah Rania... "Minggir b******k, Dimas b******k segera cabut milikmu dalam milikku.... ahhhwwwwg,"Ucap Rania kasar, tapi di akhir, Rania malah mendesah kuat dan keenakan di saat Dimas memompa sedalam mungkin miliknya ke dalam milik Rania. Rania yang saat ini terlihat merem melek. Membelit pinggang telanjang Dimas dengan kedua kakinya. Rasa enak yang di berikan Dimas yang sedang gerak aktif di atas tubuhnya membuat Rania lupa akan panggilan Evan dalam sekejap, bahkan ponsel Rania sudah jatuh begitu saja di atas lantai. "Sialan, kamu enak, Dimas. Lebih dalam dan cepat, Sayang...."Ucap Rania gemas, sambil meremas kuat rambut dan kepala Dimas. Dimas yang sedang tersenyum puas dan penuh kemenangan. "Kasian kamu, Evan. Perawan Rania aku yang ambil, dan Rania bahkan sudah ku obok-obok sejak 5 tahun yang lalu...."Ucap Dimas licik dan penuh kemenangan. tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN