Tidak berapa lama, kabar kedatangan Luisa sampai ke ruangan Duke. Pria paruh baya yang masih terlihat tampan dan memesona tersebut merasa janggal, ia menghela napas lalu memutuskan untuk diam sejenak.
Dalam hatinya jelas banyak sekali pertanyaan. Bukankah sebentar lagi hari pernikahan? Lantas, kenapa putrinya sampai menyusul ke Linion?
Ada rasa khawatir dalam benaknya, membuat jantung Duke Montpensier berdegup lebih kencang. Dia hanya mengira Putra Mahkota membatalkan pernikahan, dan alasan utama jelas karena putrinya, Luisa Montpensier, bukanlah orang yang dicintai.
Marah menghampiri. Jika sampai itu terjadi, dia akan melakukan banyak hal guna membela gadisnya yang serupa peri musim semi.
"Hah ...." Helaan napas berat dari sang Duke, memberikan tanda rasa lelah yang terus dan terus menggerogoti tubuhnya. Tangan kanan memijat bagian kepala, lalu memejamkan mata sejenak.
Banyak sekali spekulasi dalam diri. Perkiraan demi perkiraan yang tidak ada habisnya.
Tak berapa lama, suara ketukan menghampiri telinga. Mungkin itu putrinya, atau juga mungkin pelayan.
"Ayah, ini aku."
Suara bass seseorang menggema, membuat hati Duke perlahan lebih tenang. Ia pun berharap bisa menghadapi situasi dengan kepala dingin, dan kehadiran putranya bisa menjadi efek mujarab.
Segera saja Duke Montpensier beranjak dari tempat duduk, membuka pintu, lalu menatap anaknya.
"Masuklah, Leonite."
Leonite pun langsung masuk, duduk di sofa, lalu menghela napas berat.
"Jadi? Apa Luisa benar-benar di sini?" Duke menatap, ia masih berdiri tegap di depan pintu.
"Ya, tapi aku menyarankan untuk bicara besok pagi padanya."
Pria paruh baya tersebut tidak puas dengan hal itu, wajahnya menegang, serat akan hal-hal keras dan pikiran semakin buruk.
"Ayah," tegur Leonite.
"Sebaiknya kita bicarakan malam ini. Panggil adikmu, aku akan menunggu di ruang kerja." Duke Montpensier langsung keluar kamar, ia menuju ke ruang kerja yang tidak begitu jauh.
Pikirannya masih saja kalut, bahkan suasana sepi di dalam vila tak mampu meredam sulur-sulur amarah dalam hati.
Praduga negatif merajalela, menjadi pengekang akan akal sehat. Semuanya terasa aneh, tapi dia juga tak bisa mengambil kesimpulan tanpa tahu duduk perkara.
Leonite memang benar. Seharusnya mereka bicara besok pagi. Secara terbuka, dalam suasana yang damai, dengan tubuh yang tidak lagi lelah.
Hanya saja, jika Luisa sampai nekat berlari dari Ibu Kota ke Linion, masalah itu bukan hal yang bisa ditunda-tunda.
Di akhir langkahnya, Duke Montpensier berhenti. Pintu ruang kerja saat ini terasa seperti pintu ruang interogasi, ada banyak hal yang mungkin saja tidak akan menarik dibahas di dalam sana.
Apa dia siap? Entahlah. Itu hanya bisa diketahui jika pembicara malam dimulai.
Karena tak ingin larut dalam pikirannya, lekas saja sang Duke masuk. Kaki panjang melangkah dengan ritme yang cepat, dan tidak berapa lama ia bisa sampai pada kursi di belakang meja.
Duduk dengan wajah muram, tatapan fokus pada pintu. Menunggu dan menunggu, penuh harap akan hal-hal baik.
Dia terus saja menggema di relung hati, berharap walau pada kenyataannya dia tahu harapan bisa saja hancur dengan mudah.
'Ah ... apa sebaiknya dibatalkan saja pembicaraan malam ini?'
Itu adalah hal yang langsung ditepis tanpa belas kasihan dari hatinya.
'Bagaimana jika itu benar-benar hal buruk, dan Luisa tidak siap melakukan pembicaraan?'
Tidak ... jika ditunda akan semakin busuk. Jadi dia juga harus tegas meski merasa sangat tidak tega pada tubuh lelah anaknya.
Ketika rasa khawatir terus menari, ketukan pintu menghancurkan semua. Lekas saja Duke Montpensier memberi perintah agar orang di luar sana untuk masuk. Mata Duke menatap Leonite dan Luisa, ia mempersilakan keduanya duduk.
"Jadi, Luisa, apa yang membuatmu menyusul ke Linion?" Pertanyaan itu adalah hal pertama yang akan mengawali obrolan malam ini. Serat akan tuntutan untuk jujur, tidak dibolehkan bertele-tele dalam penjelasan.
Suara berat sang Duke menggema, bagaikan petir di siang bolong, terdengar akrab dengan emosi yang ditahan.
"Ayah, ayo batalkan pernikahan politik dengan pihak Kaisar."
Baik Leonite atau pun Duke merasa pendengaran mereka bermasalah, ucapan yang baru saja terlontar dari bibir manis dengan warna merah jambu itu sukses membuat kaget.
"Aku bersungguh-sungguh. Aku ingin membatalkan pernikahan, dan aku ingin Ayah tidak menarik dukungan pada Putra Mahkota."
"APA?"
Ucapan serentak disuarakan dari dua orang. Milik Leonite, tentunya juga milik sang Duke. Mereka berdua tak habis pikir, merasa buntu dalam beberapa spekulasi liar yang tertahan sejak belasan menit lalu.
"Apa Putra Mahkota yang memaksamu untuk bicara? Membatalkan pernikahan? Yang benar saja!"
Duke menatap Leonite, terlihat jelas wajah khawatir putra sulung itu. Pertanyaan yang baru saja diucapkan juga mewakili pikiran sang Duke.
"Tidak, Leonite. Aku menginginkannya."
"Mustahil! Kau yang paling berkeras tentang pernikahan ini, Luisa. Bagaimana kau bisa membatalkan pernikahan yang akan terjadi beberapa hari lagi? Jika malam ini berakhir, sisa hari menjelang pernikahan adalah tiga hari."
"Aku benar-benar ingin membatalkan pernikahan ini. Setelah aku berpikir, sangat tidak layak memaksa seseorang untuk menikahiku. Putra Mahkota tidak mencintaiku, dan aku sangat sadar akan hal itu."
"Hah ... seharusnya kau berpikir sebelum meminta Ayah melamar Putra Mahkota."
Perdebatan kedua anaknya hanya bisa disaksikan dalam diam oleh Duke, ia menghela napas, mencoba mencari cara menyampaikan isi hati.
Yang ingin membatalkan pernikahan adalah Luisa, dan yang menginginkan pernikahan dulu juga putri semata wayangnya itu.
"Kau yakin tidak akan menyesal, Putriku, Luisa Montpensier?" Suara tenang sang Duke menghentikan gerakan kedua anaknya, ia menghela napas panjang, lalu mengembuskan secara perlahan.
Leonite dan Luisa mengalihkan tatapan pada Duke, dan Duke dengan wajah tenang membalas tatapan mereka berdua.
"Jika kau yakin dengan pilihanmu saat ini, Ayah dengan senang hati akan membantu. Tapi, ini adalah hal terakhir yang bisa Ayah lakukan. Pembatalan pernikahan dengan pihak istana tidak mudah, bahkan lebih sulit dari prosesi lamaran yang kita lakukan enam bulan lalu."
Mata Duke melirik Leonite, terlihat jelas ada penolakan dalam ekspresi wajah sang anak sulung.
"Aku sangat yakin, Ayah. Mohon bantu untuk membatalkan pernikahan ini."
"Lalu, apa yang akan kau lakukan setelah ini?"
"Aku akan pergi berlibur ke beberapa tempat menarik, mengasingkan diri dari kehidupan Ibu Kota Kekaisaran sementara waktu."
Duke menghela napas lagi, keputusan putrinya sudah bulat. Dia juga tidak mungkin memaksakan kehendak, dan hanya bisa melakukan apa yang diminta oleh Luisa.
Dalam hal pernikahan, ia jelas menyerahkan sepenuhnya pada Luisa sejak awal. Walau banyak pelamar yang ingin mempersunting Luisa, tapi Duke menolak dengan sangat sopan.
Enam bulan lalu, saat Luisa sudah tak tahan lagi dengan pesona Putra Mahkota, dia dengan tangan terbuka membantu sang anak mengirim surat lamaran.
Itu dilakukan bukan karena haus kekuasaan, tapi karena Luisa yang menginginkannya. Walau dia sempat tidak setuju dengan putrinya itu, pada akhirnya ia juga harus setuju demi kebahagiaan Luisa.
"Kau ingin pergi sendiri?" Duke akhirnya buka mulut lagi.
"Ya, Ayah. Aku akan pergi sendiri, dan melakukan banyak hal. Mohon berikan izin, hanya itu yang aku mau sekarang ini."
"Ayah, sebaiknya jangan izinkan dia pergi sendiri. Bagaimana pun dia seorang Lady, dia seorang Putri Duke, dan dia harus dijaga dengan baik lebih dari permata di mahkota Yang Mulia Kaisar."
Mendengar pendapat Leonite, sang Duke jelas setuju. Rasanya dia juga tak tenang jika sang putri pergi seorang diri, dia jelas tak akan bisa memaafkan dirinya sendiri jika sampai terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
"Ayah aku ingin pergi sendiri, tolong izinkan. Jika masih ada pengawasan, bagaimana aku bisa menikmati hidupku yang bebas seperti burung? Akan sangat mencolok jika kepergianku diiring dengan pengawalan ketat."
"Leonite benar, Luisa. Kau akan pergi dengan beberapa orang, mereka akan mengawasimu, menjaga, dan memberikan laporan tetap padaku. Tolong terima ini, dan jangan melakukan perlawanan lagi."
"Tapi Ay-"
"Terima, atau Ayah tidak akan memberikan izin padamu?" Duke Montpensier mempertajam kekuasaannya, ia tidak suka mendengar keputusan sebelah pihak yang diinginkan sang putri.
Mau bagaimana pun, Luisa adalah wanita. Ada banyak sekali bahaya di luar sana yang bisa saja menjadi ancaman. Tidak mungkin dia membiarkan peninggalan terakhir istri tercintanya melakukan hal berat. Permata yang dilahirkan dengan pengorbanan nyawa sangat berharga, itulah Luisa.
"Baiklah."
Jawaban memuaskan dari Luisa membuat Duke senang, sementara Leonite memasang wajah yang serat akan kepuasan mutlak.
"Pergilah lusa, persiapkan semua dengan matang. Leonite, kau tetap di sini untuk mengawasi beberapa pekerjaan yang belum selesai, Ayah juga akan segera berangkat ke Ibu Kota malam ini."
Tidak ada yang bisa membantah keinginan kepala keluarga itu. Pembicaraan malam itu berakhir, lalu sang Duke segera melakukan perjalanan ke Ibu Kota Kekaisaran dengan seekor kuda dan seorang ksatria.