KEBIJAKSANAAN MATTHIAS

1356 Kata
Leonite Montpensier, kakak pertama Luisa. Mempunyai rambut panjang dengan warna keperakan, iris matanya berwarna violet terang. Tampan, baik hati, penyayang, dan sangat bijaksana. Yah ... itu wajar. Leonite adalah penerus Duke Montpensier, dia jelas sudah dididik dengan ketat sejak lahir, semua hal yang berhubungan dengannya juga pasti mendapatkan perhatian super besar. Matthias Montpensier, kakak kedua Luisa. Pria dengan rambut kemerahan, dan mata violet yang terang. Wajahnya memang tampan, sikap juga baik, kurang bijaksana dalam mengambil keputusan, tidak memiliki stok kesabaran yang banyak. Putra kedua dari Duke Montpensier setelah menikah akan mewarisi gelar kebangsawanannya sendiri, diberikan wilayah kekuasaan yang tidak kalah besar dari putra pertama. Dia belajar dengan baik, dididik dengan ketat juga sejak lahir ke dunia. Aku yang baru saja bangun dari tidurku jadi mengingat sedikit karakter tidak penting itu. Walau mereka keluarga Luisa, sepanjang penulisannya Luisa selalu memanggil mereka ‘Kakak Pertama’ atau ‘Kakak Kedua’. Itu juga salahku, karena tidak banyak percakapan antar Luisa dengan kedua kakaknya pada saat aku menulis. Mereka berdua bahkan nyaris tidak pernah muncul pada bab demi bab di novelku itu. “Lady, apa Anda sudah bangun?” Suara Clarie terdengar dengan jelas, memecah kesunyian pagi ini di ruangan kamarku. “Lady?” “Masuklah, Clarie.” Pintu kamarku terbuka, memunculkan sosok pelayan pribadi yang masuk dan tersenyum ramah. Tipikal pelayan baik hati, penuh perhatian, lalu tidak menyusahkan. “Selamat pagi, Lady. Sarapan seperti apa yang Anda inginkan?” Jika bisa, bawakan saja sakramen dan cairan anggur asam padaku. Aku ingin melaksanakan perjamuan kudus, berdoa pada Tuhan, memohon ampunan, mati dengan tenang tanpa beban yang berat. “Maaf, Lady. Apa Anda baik-baik saja?” Pertanyaan Clarie sejak kemarin terulang lagi, menanyakan apa aku baik-baik saja atau pun tidak. Seperti dia sudah dirancang secara khusus sebagai seseorang yang penuh perhatian dan keprihatinan. “Bawakan teh dan anggur yang manis, Clarie.” “Baik, Lady.” Setelah Clarie keluar, aku lekas beranjak dari ranjang. Menuju ke arah pintu balkon kamar, dan membukanya. Angin musim gugur berembus kencang, terasa dingin. Pada saat aku sedang melamun, suara ketukan pintu terdengar lagi. Entah siapa yang ada di luar sana, harapanku jelas bukan orang merepotkan. “Masuk.” Suara pintu kamar terbuka, lalu kulirik siapa yang datang. “Selamat pagi, Luisa. Bagaimana keadaanmu? Apa sudah jauh lebih baik?” “Tentu aku baik-baik saja, Matthias.” Dia datang dengan wajahnya begitu cerah pagi ini. Setelah menghancurkan ketenanganku semalam, dia terlihat baik-baik saja. “Mendengar kau menyebut namaku, berarti kau memang sudah jauh lebih baik.” Aku menghela napas. “Bisakah hari ini kita menyusul Ayah dan Leonite ke Linion?” “Kau masih mabuk?” “Tidak.” Aku memilih keluar, duduk pada kursi yang ada di balkon kamar. “Aku serius, Matthias. Aku benar-benar ingin membatalkan pernikahan, dan bicara dengan Ayah secara langsung.” Matthias terlihat menyusulku, dia duduk di hadapanku dengan tenang. Matanya menatap lekat padaku, memenjarakan aku pada tatapan penuh selidik. Yah, cukup aneh untuknya. Seorang Luisa dengan suka rela melepaskan apa yang disukai, dan dalam waktu singkat ingin mengakhiri perjanjian pernikahan dengan keluarga kekaisaran. “Bagaimana kau bisa melepaskan Putra Mahkota begitu saja?” Baru saja aku ingin menjawab, suara ketukan pintu terdengar lagi. Aku sudah memerintahkan orang di luar sana untuk masuk, lalu Clarie muncul dengan nampan di tangannya. Pelayan pribadi itu menyajikan teh untukku dan Matthias, dia perlahan mundur meninggalkan kamar guna memberi ruang pada kakak beradik keluarga Duke untuk bicara. “Aku tidak mencintainya lagi, jadi lebih baik tidak perlu menikah. Dia juga tidak mencintaiku, yang diperlukannya hanya sosok Permaisuri yang kompeten di masa depan.” Matthias menatapku. “Yang aku inginkan tidak menikah, aku ingin seorang pria baik dan mencintaiku dengan tulus. Putra Mahkota tidak termasuk di dalamnya.” “Dengar, Luisa. Perjanjian pernikahan dengan keluarga kekaisaran bukan hal yang mudah untuk dibatalkan. Ini sudah direncanakan dari enam bulan lalu, sudah begitu sempurna, dan sudah menjadi perintah dari Yang Mulia Kaisar. Pernahkah kau berpikir jauh? Jangan hanya mengandalkan keegoisanmu saja. Pikirkan bagaimana dampaknya, tidak hanya pada keluarga, tapi pada semua orang yang terlibat di dalamnya.” Aku diam. Apa yang dikatakan Matthias memang benar. Aku tidak bisa langsung membatalkan pernikahan seenaknya saja, pernikahan ini sudah direncanakan sejak lama. Walau aku sangat tidak ingin melanjutkan pernikahan ini, tapi hal ini juga menjadi keinginan Luisa. Dia menginginkan pernikahan, sampai melakukan banyak hal. Apa benar-benar tidak bisa menghindari pernikahan? “Aku harap kau bisa menjadi lebih tenang, Luisa. Menikahlah, jangan membuat keluarga berada dalam masalah karena keputusan gegabahmu itu.” “Tapi-” “Cukup sekali membuat keributan dengan memaksa Ayah melamar Putra Mahkota, jangan buat keributan lain yang menjatuhkan martabat keluarga.” Dia benar ... walau aku bukan Luisa yang asli, aku juga harus memikirkan hal seperti ini. Sebenarnya ini juga bukan salah Luisa, karena semua yang terjadi adalah kendaliku sebagai ‘Tuhan’ dari n****+ ini. Andai aku tahu begitu merepotkannya hidup sebagai seorang Luisa Montpensier, tentunya aku akan menciptakan latar belakangnya sebagai rakyat jelata saja. Sejak kemarin aku hanya memikirkan banyak cara agar pernikahan ini batal. Tapi tidak ada satu pun cara yang bisa digunakan, tidak pula ada celah guna membujuk Putra Mahkota. Pada saat aku tengah termenung, Matthias mengisi cangkir tehku. Dia tersenyum padaku dengan hangat, membuat penilaianku padanya sedikit berubah. Matthias cukup bijaksana dalam memberikan pendapat, dia memberikan banyak pandangan yang baik kepada adik perempuannya. Tapi tetap saja. Aku belum menerima peran sebagai Luisa, dan rasanya tidak akan pernah mau menerima hal itu. Di dunia ini, kedudukan laki-laki memang di atas segalanya. Anak laki-laki harus ada pada setiap keluarga bangsawan, sedangkan sisanya anak perempuan pun tidak masalah. Wajar saja jika para laki-laki bodoh di dunia ini menganggap dicintai seorang perempuan adalah hal biasa, bahkan saking biasanya perasaan perempuan bukanlah hal penting. “Nikmati teh dengan nyaman, lalu berpikir jernih.” Oh ... Matthias. Bagaimana jika aku mengatakan aku bukan Luisa padamu? Apa kau akan mengajakku bertemu dokter ahli jiwa, atau mungkin memukul kepalaku yang dianggap gegar otak. Cukup sudah! Membicarakan pembatalan pernikahan tentu tidak akan ada gunanya sama sekali. Aku harus memikirkan tindakan yang tepat, dan membuat Putra Mahkota membatalkan sesuai niatnya. Coba pikirkan. Hal apa yang tidak mencerminkan seorang permaisuri? Tindakan tercela seperti apa yang bisa membuat Putra Mahkota langsung bertindak tanpa pikir panjang. Hanya saja ... bagaimana jika tindakan yang aku lakukan malah mengantar kepalaku lebih cepat ke tempat pemancungan. “Hei, Matthias. Kenapa kau terlihat sangat mendukung pernikahan ini? Apa kau mulai haus kekuasaan?” Pertanyaan itu tiba-tiba saja terlontar, pikiran buruk yang menguasai otakku di pagi hari. “Hah ....” Aku mendengar dia menghela napasnya dengan kasar, lalu merasakan tangannya membelai rambutku begitu lembut. “Dengar, Adikku sayang.” Dia berhenti mengucap, lalu aku yang tak sabar menunggu jawaban darinya langsung menatap. “Aku hanya tak ingin kau melakukan hal egois. Ayah sudah cukup tua untuk berdebat denganmu, Ayah juga memerlukan ketenangan sebagai kepala keluarga. Setelah kematian Ibu, Ayah menjadi orang tua ganda untuk kita bertiga. Apa kau sangat tertarik membuat Ayah pusing dan sakit karena ulahmu?” “....” “Lalu ... Ayah melakukan semua ini untukmu. Mungkin dia bisa saja membantumu membatalkan pernikahan dengan Putra Mahkota, tapi kau juga harus berpikir bagaimana dampak yang ada. Ayah sangat menyayangimu, bahkan kasih sayangnya melebihi apa pun. Baik aku atau pun Leonite hanya mendapatkan sepuluh persen rasa cinta dan sayangnya. Apa kau ingin membuat orang yang memberikan ketulusan penuh padamu berada dalam masalah?” Entah kenapa aku terenyuh dengan penuturan Matthias, lalu kenapa rasanya ingin menangis? Sungguh ... aku begitu egois dengan kemauanku ini, tapi pada sisi lain aku juga tidak ingin mati di tangan suamiku sendiri. “Pikirkan dengan baik. Aku permisi, ada banyak hal yang harus diperhatikan sekarang.” Matthias yang sudah selesai dengan ceramahnya langsung pergi, bahkan dia tidak meminum teh yang dituangnya. Dia sepertinya sangat kecewa, tapi aku lebih merasa terbebani. Kenyataannya aku memang sudah menjadi Luisa, sebanyak apa pun aku menyangkal faktanya tidak bisa diubah. Apa aku harus melarikan diri? Hah ... pikiran konyol macam apa yang baru melintas dalam benakku. Bisa-bisanya aku malah berpikir demikian, membuat keputusan cepat tanpa solusi yang jelas. “Aku mulai gila!” Hanya ucapan seperti itu yang mampu terdengar dari suaraku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN