Setelah kembali dari istana kekaisaran, aku hanya duduk di balkon kamar sambil mabuk-mabukan. Entah sudah berapa banyak botol wine berserakan, yang jelas aku mabuk, lalu aku tak peduli lagi.
Bisa-bisanya Putra Mahkota sialan itu menolak tawaranku. Wahai Putra Mahkota Diones Von D’Glazia! Apa kau mengibarkan bendera perang padaku?
Pada saat aku ingin meneguk wine dari botol di tanganku, wine itu sudah habis. Membuatku kesal, lalu berbaring sambil menatap langit.
Sekarang, apa yang harus ku lakukan?
Pria sialan itu tidak mau membatalkan pernikahan. Dengan segala macam penjelasan yang tidak masuk akal, dan semuanya sangat menjengkelkan. Yang dia katakan aku memenuhi syarat menjadi seorang permaisuri.
Oke ... aku memang menggambarkan Luisa sebagai seorang Putri dari Duke. Jelas saja dia mendapatkan pendidikan bangsawan kelas atas, serta semua pendidikan juga diajarkan tanpa pandang bulu.
Selain itu, aku juga menggambarkan jika Luisa adalah wanita yang begitu menawan. Aura Luisa ku buat menjadi begitu sempurna guna menyokong sikap jahatnya dalam bertutur kata dan menindas karakter utama.
“Luisa, ada apa denganmu?”
Mendengar pertanyaan itu, aku mengalihkan tatap. Apa sekarang waktunya menggangguku? Sungguh ... menghadapi seekor Putra Mahkota saja sudah melelahkan untuk hari ini.
“Kakak, seorang bangsawan terpelajar tidak akan masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk pintu.”
Yah, yang datang adalah kakak kedua Luisa. Wajahnya tampan, rambutnya sama seperti Luisa, hanya iris mata berwarna violet terang.
“Lalu apa seorang Lady akan melakukan pesta alkohol sepertimu? Sebentar lagi kau akan menjadi Putri Mahkota, dan kau malah seperti ini. Apa ada masalah?”
Aku mengembuskan napas. “Aku ingin membatalkan pernikahan, tapi Putra Mahkota sama sekali tidak ingin mengabulkan permintaan kecilku.”
“Apa katamu? Membatalkan pernikahan? Bukankah kau yang menyarankan pernikahan ini?”
Wajah kaget orang ini sangat ingin ku pukul dengan tinjuku. Bisakah dia tidak melakukan hal gila? Aku baru saja mengatakan keinginanku, seharusnya dia mendukung penuh, bukan menanyakan banyak hal seperti seekor wartawan. Sungguh menjengkelkan, dan sangat menyebalkan.
“Jawab aku, Luisa. Bagaimana bisa kau langsung ingin membatalkan semuanya? Ayah sudah mengambil tindakan dengan memihak Putra Mahkota, keluarga kita sudah terjun ke ranah politik untuk mendukung penguatan takhta.”
Sungguh ... aku tidak pernah menulis jika manusia menyebalkan ini akan muncul di hadapanku seperti sekarang. Kenapa semua tulisan yang aku buat jadi berantakan? Yang aku tulis dia seorang kakak yang baik, sangat sempurna tanpa banyak bicara.
Demi Neptunus. Aku benar-benar lebih baik masuk neraka, daripada terjebak di sini.
Sejenak aku menarik napas yang panjang, lalu ku embuskan napas itu perlahan. Aku tak ingin membicarakan masalah pernikahan itu lagi, tapi aku juga tidak mungkin terus memikirkan tentang hidup damai dan bebas dari kematian setelah menjabat sebagai permaisuri.
“Dia tidak mencintaiku, jadi untuk apa menikahinya? Pria di dunia ini bukan dia saja, masih ada Kakak Pertama, Kakak Kedua, dan Ayah.”
Jawaban itu memang tidak pernah memuaskan, tapi aku bicara dengan seenak jidatku saja. Luisa yang egois tiba-tiba saja mementingkan perasaan orang lain. Sungguh di luar prediksi galaksi Bima Sakti di duniaku.
“Kau mencintainya, itu saja sudah cukup.”
“Apa semua laki-laki begitu? Jika hanya wanita yang mencintai seorang laki-laki, maka wanita itu bodoh.”
“Kau sendiri yang mengatakan seperti itu.”
“Aku tak mau menikah Putra Mahkota biadab itu.”
“Ke mana bangsawan sempurna yang kau junjung tinggi, Luisa?”
“Mungkin sudah mati, Kakak.”
Astaga ... bisakah kau jangan banyak bertanya padaku? Sungguh mengganggu.
“Baiklah. Tunggu Ayah dan Kakak Pertama kembali, kau bisa mengatakan semua keinginanmu.”
“Kapan mereka kembali?”
“Sehari sebelum pernikahanmu.”
Seketika langit rasanya runtuh. “Bagaimana bisa seperti itu? Apa Kakak mempermainkan aku?”
“Mereka melakukan tugas ke daerah Linion, dan itu sudah wajib sebagai Tuan Tanah.”
Hah ... aku tidak pernah menulis adegan seperti ini di novelku, tapi sialnya malah terjadi. Kenapa bisa seperti ini juga aku tak tahu, ini seperti dunia nyata, tetapi masalahnya ini dunia n****+ yang aku ciptakan sendiri.
Pada saat aku ingin mengucapkan kata, tiba-tiba saja tubuhku diangkat. Aku kaget, langsung menatap pada orang yang melakukan itu.
“Kakak, turunkan aku!”
“Kau mabuk, Luisa. Sebaiknya kau tidur. Kakak mengerti jika kau gugup pada detik-detik pernikahanmu, tetap tenang sampai Ayah dan Kakak Pertama kembali.”
“Aku tidak mabuk! Turunkan aku. Cepat! Turunkan!”
“Jika kau berisik dan tidak menurut, Kakak akan memanggil Putra Mahkota dan pernikahan kalian benar-benar dibatalkan.”
“Turunkan! Panggil saja Putra Mahkota menyebalkan itu jika Kakak berani.”
“Kau menantangku?”
“Tidak!”
“Lalu kau harus menurut. Kakak tahu kau bersikap seperti ini karena perasaanmu semakin dalam pada Putra Mahkota.”
“Tidak! Aku tidak mau menikahinya.”
“Oh ... Luisa. Kakak akan segera memanggil tunanganmu. Dia harus melihat jika calon istrinya sedang mabuk.”
“KAKAK!”
Suara tawa tak bisa dibendung lagi oleh pria ini, dia mengira bahwa aku sedang bimbang dengan keputusanku.
Arrrkkk ... Luisa yang malang. Seberapa banyak kau mengatakan jika dirimu sangat mencintai Putra Mahkota b******n itu?
Aku minta maaf Luisa, bisakah kau kembali ke tubuhmu dan aku pergi dari sini? Sungguh berat penderitaan ini, aku menyesal sudah menyiksamu. Namun, sebanyak apa pun aku memohon tidak akan dikabulkan.
“Tidurlah, Luisa. Kau sangat mabuk, itu buruk untuk kesehatan. Walau kau depresi menjelang pernikahan, jangan lakukan hal bodoh seperti mabuk-mabukan.”
Pria ini meletakkan tubuhku di atas kasur, ia menarik selimut dan menutupi ragaku dengan sempurna.
“Kakak menyayangimu. Tidur nyenyak, jangan berpikir negatif. Walau Putra Mahkota tidak mencintaimu, kau harus tetap berjuang mendapatkan cintamu. Banyak pasangan pernikahan politik yang jatuh cinta setelah menikah, kau pasti bisa.”
“Membaca n****+ romansa di mana? Tidak ada jaminan seperti itu di dunia nyata, Kakak.”
“Bukannya kau yang mengoleksi buku seperti itu, hah? Kakak hanya membaca beberapa buku yang kau beli.”
Apa?
Luisa membaca buku ajaib seperti itu?
Sungguh di luar prediksiku, aku tidak pernah menulisnya pada karyaku.
“Selamat tidur.”
Kakak Kedua Luisa mengecup keningku, dia terlihat begitu hangat saat melakukan itu. Begitu beruntungnya nasib Luisa dalam keluarga, tapi dengan bodohnya dia melangkah ke pintu neraka.
Setelah dia mencium keningku, lampu kamar pun dimatikan. Hanya ada lampu tidur yang menyala dengan cahaya remang, lalu pria itu meninggalkan kamar dengan tenang.
Benar. Kepalaku jauh lebih baik berada di tempat tidur, suasana yang tenang dan cahaya remang membuat tubuhku terasa ringan.
Apa jangan-jangan jika aku tidur aku akan kembali ke duniaku?
Ukh ...
Dasar bodoh! Aku sudah mati di dunia itu, dan jika memang aku keluar dari tubuh Luisa, jelas akan berhadapan langsung dengan malaikat maut.
Dosa-dosaku akan dihitung dengan sempurna, tak terkecuali dosa dalam menyiksa banyak karakter pada n****+ yang aku tulis.
Sudahlah. Sepertinya aku memang memerlukan waktu untuk tidur, dan sangat berharap setelah bangun mendapatkan ide cemerlang guna melarikan diri dari pernikahan politik.
Semoga saja ... ya ... semoga sesuai keinginan.
Tapi, kenapa malah tak bisa tidur? Pada saat aku menutup mata, berharap bisa terlelap, malah bayangan Putra Mahkota yang mencium bibirku terlintas.
“Diones Von D’Glazia! Aku akan membunuhmu!” Aku menarik napas sedalam mungkin. “DASAR PUTRA MAHKOTA SIALAN, BIADAB, AKU SANGAT MEMBENCIMU!”
Hah ... akhirnya aku berteriak, dan rasanya begitu lega. Walau napasku terengah-engah, tapi ada kepuasan lain saat memaki pria biadab itu.