Layaknya hilang arah maupun tujuan, api yang menjilat-jilat beserta panas membaranya hanya dapat kutatap dengan kosong. Disisiku berbaring Chiyo dan juga Hayden yang sudah memastikan pelayan setiaku itu aman. Namun kondisinya tak juga membaik. Hayden bilang padaku bila panah yang menembus bahu Chiyo adalah jenis panah beracun yang biasa digunakan oleh orang-orang untuk berburu. Kadar racunnya juga tidak main-main. Oleh sebab itu, tidak ada yang bisa kami lakukan dalam keadaan kami yang sekarang. Sekali lagi aku sadar akan kelemahan diriku, betapa keputusasaan ini telah mencapai titik yang tak bisa kutahan. Sampai ketika aku mendengar suara erangan dari sisiku, Chiyo menunjukan tanda bila dirinya mulai sadar. Dan sekejap itu pula lah seluruh atensiku langsung beralih padanya. Melihatnya berupaya untuk terlihat baik-baik saja semakin membuatku semakin tidak merasa baik.
“Chiyo…” biarlah aku melemah saat ini, biar saja. Tidak ada gunanya aku berpura-pura untuk tegar saat hatiku hancur sedemikian rupa. Cara wanita itu berusaha memfokuskan pandangannya hanya kearahku dan hal lainnya. “Jangan bersikap seolah kau baik-baik saja.”
“Tu—an putri..” Chiyo mengulurkan tangannya padaku. Membuatku dapat merasakan betapa dinginnya kulit yang menyentuhku. Ini bukan pertanda bagus. Hayden sendiri hanya menundukan kepalanya seolah dia mengetahui sesuatu.
“Jangan banyak bergerak.” Gertakku sekali lagi, “Itu hanya akan menyakiti tubuhmu sendiri.”
“Ada hal yang harus saya sampaikan, ini merupakan pesan terakhir dari Yang Mulia Permaisuri, Ibunda tuan puteri.” Chiyo kembali berujar, napasnya kali ini terlihat putus putus. Efek dari racunnya mungkin sudah mulai mempengaruhi dirinya. Tersenggal dan terlihat menyakitinya.
“Bagaimanpun sulitnya kehidupan yang akan anda jalani nantinya. Tetaplah untuk bertahan hidup tuan putri.” Aku berusaha untuk tetap tegar menghadapi kondisi ini. Kuberi dia anggukan, dia mengerti itu.
“Jangan pernah anda membocorkan jati diri anda kepada siapapun. Anda harus menutup rapat mulut anda. Jadilah seorang wanita yang kuat, dan tidak mudah menitikan air mata. Anda adalah putri dari kerajaan abaskus, putri dari garis keturunan yang sah. Bertahanlah hidup demi Ibunda yang anda cintai, dan juga untuk diri anda sendiri.”
“Kau tidak perlu memberitahukan hal itu padaku. Tanpa kau katakan akan aku lakukan. Sebagai gantinya kumohon bertahanlah. Jangan tinggalkan aku..” sahutku berusaha untuk tidak menangis, tenggorokanku sakit, dan mataku terasa panas juga buram. Aku tahu ini adalah akhir, dan apa yang kini sedang kusaksikan adalah sekali lagi menyaksikan orang yang kucinta sedang sekarat dengan aku yang sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya genggaman tanganku lah yang makin mengerat seiring terlihatnya siksa yang tengah dia rasakan.
“Saya mencintai anda tuan putri.”
Maka hancurlah sudah topeng yang aku kenakan, ini sudah diluar batasku. Tangisku pecah. Aku larut dalam sebuah melodrama. Ya, denyut nadi yang kurasakan dipergelangan tangannya telah sirna. Tubuhnya kaku dan mendingin. Aku tahu bila orang yang beberapa detik lalu bicara padaku ini sudah tidak ada dalam raganya. Sekali lagi aku kehilangan. Sekali lagi, haruskah aku dipaksa untuk menyaksikan ini dengan mata kepalaku sendiri ? Satu persatu orang yang kusayangi sekarat. Merengang nyawa. Mengapa?
Isakanku, rasa pedihku, semuanya larut dalam hari yang panjang. Aku gila. Aku ingin mati juga. Mengapa hanya aku yang tersisa? Aku merebahkan kepalaku pada perut Chiyo yang sudah terbujur kaku. Biarkanlah seperti ini dulu, biarkan aku bersedih atas kemalangan yang menimpaku. Hayden tidak bisa apa-apa selain menyaksikan keruntuhan diriku. Demi Tuhan akan aku balas segala rasa sakit yang aku alami saat ini. Demi Tuhan mereka yang telah menanamkan kepedihan ini akan menerima rasa sakit yang sama. Aku tidak main-main. Cukup dengan propaganda, cukup dengan segala konspirasi untuk menggulingkan Ibunda, mengusir Kakak keluar dari istana dengan alasan ekspedisi, dan mengasingkanku pula karena aku dianggap melindungi kesalahan ibunda. Mereka yang memulainya, dan aku akan membalas semua perlakuan mereka.
***
“Tuan Putri apa anda akan melanjutkan perjalanan kembali?” Hayden bertanya padaku dengan suara yang rendah. Dia berlutut dengan satu kaki yang bertumpu. Sikap seorang ksatria memang. Aku tak langsung menjawab dan hanya memandang kosong kearah gundukan tanah yang telah diberi tunggul kayu sebagai pengenalnya. Pemakaman sederhana yang dilakukan secara darurat.
“Apa kau tidak pikir jika kau orang yang tidak tahu diri? Kita selamat sedangkan Chiyo kita tinggalkan ditempat ini sendirian.” Terkadang aku benci untuk realistis diusiaku yang semestinya masih sibuk dengan segala hal yang sederhana namun menyenangkan. Kisah masa kecil yang selalu kulihat dari kehidupan Elvina yang lebih tua dariku membuatku iri. Tapi disisi lain, aku juga mensyukuri apa yang menghadangku saat ini. Bila mentalku tidak dilatih untuk kuat, kurasa aku sudah memilih mengakhiri hidup pula agar rasa sakitnya tidak terlalu banyak. “Aku bahkan tidak bisa memberikan orang yang kusayangi pemakaman yang layak. Padahal dia sudah begitu setia dan berkontribusi banyak untuk hidupku.”
“Terkadang saya merasa seperti saya yang masih terlalu muda untuk mengawal anda. Saya sering melupakan fakta bahwa hanya tubuh dan usia anda saja yang kecil namun pemikiran anda sungguh dewasa. Maafkan saya karena lancang berkomentar mengenai hal itu.”
Apa itu penting sekarang? Apa penting berkomentar soal sikap dan pembawaanku dalam kondisi seperti ini? Sayangnya aku kehabisan energi, aku tidak ingin berdebat, aku tidak mau lagi harus membuang banyak waktu berhargaku untuk beberapa hal yang tidak terlalu penting.
“Kita harus melanjutkan perjalanan kita.” Sekali lagi Hayden mengingatkanku.
“Ya, tapi untuk sementara aku ingin berdiam diri disini dulu. Beri aku waktu.” setidaknya biarkan aku bersedih atas kematian dayang setiaku. Menyalurkan betapa kesedihan ini entah mengapa teramat mendalam. Chiyo..
“Yang Mulia!” Hayden tiba-tiba berteriak. Aku membelalakan mataku ketika beberapa orang asing datang menyeruak secara berkelompok. Apa ini? Ketakutan menyeruak dalam diriku, apalagi ketika melihat ketidakberdayaan Hayden yang tak bisa berkutik melawan terlalu banyak bandit. Segera dia ikat pada pohon besar setelah dia dilukai dan dibuat tidak sadarkan diri. Sementara seorang pria bertubuh gempal menodongkan belatinya ke leherku. Seringai menyebalkan dengan mudahnya dia pamerkan dihadapanku.
“Nah.. cantik, ikutlah bersama kami.” Ketika aku hendak membawa diriku untuk kabur, sama seperti Hayden beberapa orang secara kilat menyergapku dari belakang. Dan kemudian menutup mulutku dengan kain yang berbau. Seketika pandanganku kabur. Gelap sudah.
***
Berita mengenai kematian Tuan Putri Grizelle telah menyebar cepat melalui kabar burung, isu yang disebarkan melalui mulut kemulut memang sangatlah efektif. Rakyat yang mengenal Grizelle sebagai putri kandung dari sang permaisuri Birdella tidak terlihat berduka sama sekali. Kebanyakan malah terlihat berbahagia dengan merayakan kematian sang putri dengan mengenakan pakaian warna warni seolah sedang diadakan festival. Karena memang bertepatan pula dengan hari ulang tahun putri Elvina yang merupakan putri dari Selir Humeera yang rakyat ketahui sebagai sang korban di istana. Desas desus mengenai perlakuan buruk sang permaisuri terhadap Selir kesayangan Kaisar ikut menyebar pula, sehingga sebagian besar masyarakat menaruh simpati kepada selir Humeera. Karena bagi mereka, Selir Humeera tetaplah sosok selir yang murah hati, bijak dan ramah. Berbeda dengan Birdella yang tidak akan segan membunuh siapa saja yang dianggap mengancam dirinya.
Sedangkan kondisi diistana pun tidak begitu terlihat adanya duka, atau kemuraman sama sekali. Perhelatan ulang tahun sang putri Elvina masih dirayakan sebagai mana mestinya tanpa terganggu sama sekali mengenai beberapa kejadian bertubi-tubi yang sebelumnya terjadi. Kaisar sendiri pun tidak terlihat begitu memusingkan apa yang sudah terjadi. Dia masih bisa duduk disinggasananya meski di sisinya kini telah kosong. Sementara itu sang Selir Humeera masih berada ditempatnya sedia kala. Belum ada pengangkatan sang selir untuk menjadi permaisuri sah istana.
Beberapa rakyat menyerukan nama Elvina. Hiburan dan beberapa festival digelar senantiasa untuk memperingati hari kedewasaan sang putri.
“Saya merasa tidak pantas menerima kebahagiaan sebanyak ini Yang Mulia.” Akunya pada sang Kaisar. Kemuraman terlihat jelas diwajah sang putri. Seperti tengah mengkhawatirkan sesuatu.
“Apa yang membuatmu berpikir demikian Putriku?”
“Anda memberikan saya sebuah perayaan atas kedewasaan saya, disaat saya tahu bahkan hati terdalam anda belum sembuh.”
“Karena kau putriku satu-satunya, maka akan aku berikan apapun padamu. Justru akan jadi sangat tidak adil bagimu bila aku tidak merayakan hari ulang tahun mu.” Humeera tersenyum mendengar apa yang dikatakan suaminya. Wanita itu tidak berkomentar apapun. Terlebih dia merasa telah mendidik putrinya dengan benar. Elvina terlihat sangat anggun dan bijaksana. Figur yang memang diharapkan dari seorang putri, darah keturunan kaisar.
“Hanya saja aku menyesal karena kakakmu sepertinya belum bisa hadir dalam acara ini, padahal aku tahu kau sangat mendambakan kedatangannya.” Imbuh Kaisar Achazia pula. Elvina menggelengkan kepalanya.
“Saya tidak ingin keegoisan saya membebani orang lain Yang Mulia. Apa yang saya dapatkan dari anda sudah lebih dari cukup untuk saya. Lagipula saya tahu, Yang Mulia Putra Mahkota sedang melakukan ekspedisi. Itu hal yang lebih bermanfaat daripada menghadiri pesta ulangtahun saya.”
“kau sangat pengertian putriku. Kalau begitu terimalah hadiah dariku.” Kaisar memberikan sebuah tanda yang kemudian tak lama beberapa pelayan datang dengan beberapa kotak hadiah besar. Mata Elvina membulat, dia tak percaya mendapatkan hadiah luar biasa dari sang ayah. Meski dia tahu sejak dulu ayahnya memang mencurahinya dengan kasih sayang. Tapi hari ini seperti kasih sayang itu tidak terbagi pada siapapun. Apa karena kabar mengenai kematian Grizelle yang membuat Kaisar hanya menyayanginya seutuhnya begini?
“Yang Mulia, seluruh hadiah ini sangatlah indah.”
“Terimalah semuanya, ini adalah hal yang memang pantas kau dapatkan.”
“Terimakasih Yang Mulia.”
***
Hati Alvaro semakin dilanda kebimbangan besar, kedatangannya disambut oleh satu kompi pasukan berkuda yang dipimpin seorang kepala keamanan kerajaan ketika dirinya tiba di pintu perbatasan menuju ke ibu kota. Mereka menyambut Alvaro dengan begitu hormat dan hangat.
“Kami datang untuk mengawal anda Yang Mulia Putra Mahkota. Mengenai pengawalan ini kami diperintahkan oleh Yang Mulia Kaisar, mengingat hari ini adalah hari ulang tahun putri Elvina. Untuk penjelasannya kami tidak diberitahu soal apapun” pungkas sang kepala rombongan. Alvaro tidak memusingkan tindakan yang berbeda ini, pemuda itu hanya mengangguk patuh tanpa berkata sepatah katapun. Melihat seluruh kondisinya sepertinya dugaannya mengenai sesuatu tidak benar-benar terjadi. Kekhawatirannya semestinya punah saat ini. Tapi anehnya tidak begitu. Rasanya seperti akan sesuatu yang menyambutnya lebih dari sekadar sambutan hangat.
Daripada kepalanya dipusingkan oleh sesuatu yang belum pasti. Pria itu memacu kudanya lagi dibelakang pasukan yang menjemputnya. Beberapa bendera dan juga panji-panji khusus berkibar disekitarnya. Sebuah tanda apabila ada anggota kerajaan yang melintas dan sebagai sebuah isyarat pula bagi seluruh rakyat jelata untuk memberikan jalan pada mereka. Suara derap langkah kuda bergemuruh meninggalkan jejak pada setiap jalan yang mereka lewati. Hingar binger lampu kerlap kerlip dan suara musik dapat Alvaro dengar dari setiap penjuru. Benar-benar perayaan yang ramai hanya karena ulang tahun seorang putri saja.
Perjalanan tidak terlalu membutuhkan waktu yang lama sampai Alvaro tiba didepan gerbang istana. Disana sang mentri pertahanan sekali lagi menyambut dirinya dengan segala hormat. Dia mengikuti kemana langkah kaki Alvaro menuju, tak terkecuali ketika dirinya mulai memasuki ruang aula yang dipenuhi oleh banyak orang.
“Ramai sekali di istana ini..” bukan sebuah tanya, hanya sebuah ucapan yang merupakan komentar dari segala situasi dan mata kepalanya sendiri membuat sang mentri berdehem sesaat.
“Kaisar menerima banyak tamu, dan beliau juga memesan beberapa tukang penghibur untuk mengisi acara ulang tahun putri.”
“Kalau begitu aku akan langsung menuju Paviliun Daisy, adikku pasti tidak ikut serta dalam pesta ini kan?” sang mentri pertahanan seakan kehilangan kekuatannya. Seperti dilanda sesuatu yang tak kasat mata sehingga dirinya seolah melupakan bagaimana cara untuk dapat berbicara. Gerak gerik yang mencurigakan. Tidak. sebenarnya Alvaro memang sudah mencium gelagat tak biasa dari semua orang di istana.
“Apa yang sudah terjadi? Aku harap aku bisa mendengarnya sekarang.”
“Itu…”
Alvaro mempercepat langkah kakinya, tempat yang menjadi tujuan pertamanya kosong melompong. Ruangan yang biasa ditempati sang ibunda, dan ruangan tempat adiknya biasa menunggu kepulangannya. Sosok mereka berdua tidak ada dimanapun. Membuat Alvaro merasa dia sedang dikhianati. Jantungnya berdetak kencang seiring dengan langkah kakinya yang malah menuju aula tempat perhelatan digelar. Memastikan ibunda dan adiknya ada disana.
“Putera Mahkota tiba!” seru seorang penjaga dengan keras. Membuat seluruh perhatian beralih pada Alvaro yang melirik kesana kemari dengan liar. Mencari keberadaan seseorang.
“Dimana Ibunda dan Grizelle?” sebuah tanya yang tak terduga dari sang putra mahkota seketika menghentikan laju alunan music yang sedang dimainkan para musisi jalanan. Kaisar mengangkat tangannya meminta segala hingar binger pesta terhenti seketika. Dia menatap putranya yang telah dia kirim ke beberapa tempat untuk melakukan ekspedisi tanpa ekspresi yang berarti sementara Selir Humeera dan Elvina menatap kedatangan putra mahkota dengan gelisah.
“Ada yang ingin aku sampaikan padamu Putera Mahkota.” Kaisar berkata dengan ketegasan yang terlihat dari pembawaannya. “Mengenai kabar ini aku ingin kau bertindak dan berpikir jernih layaknya seorang putra mahkota yang aku harapkan.”
“Apa ini berkaitan dengan rumor yang saya dengar dijalanan sebelum saya tiba ?” Alvaro berkata dengan suaranya yang berat. Iya, itu benar. Alvaro bukanlah seorang yang tuna rungu. Dia sempat berkali-kali mendengar desas desus aneh mengenai kematian yang disampaikan beberapa orang dengan pangkat rendah. Yang tentu saja Alvaro harap hanyalah sebuah isu kecil belaka. Namun segala harapnya mesti pupus saat Yang Mulia Kaisar malah menganggukan kepalanya.
“Ya.” Jawaban yang sungguh pendek namun mampu menjawab seluruh hal dengan cepat tanpa perlu banyak berspekulasi. Mata Alvaro berpendar, dia melirik kesemua arah. Tepat disaat itulah dia menangkap basah pandangan Humeera pada dirinya, mata wanita itu basah. Seperti menangisi sesuatu.
“Bukannya berkabung Anda malah memilih untuk membuat perhelatan besar ini? Anda sungguh pria yang sangat berbesar hati ayahanda.” Alvaro menahan amarahnya sekuat mungkin hingga buku jarinya memutih. Dia sama sekali tidak habis pikir mengenai jalan pikiran ayahnya. “Setidaknya meski Anda membenci ibu dan adik saya, anda tidak harus berlaku seperti ini. Paling tidak berkabunglah meski hanya sehari. Apa anda membutuhkan saya untuk menunjukan pada anda bagaimana caranya berkabung dan menghargai orang yang telah pergi dari hidup kita?”
“Putra Mahkota Lancang sekali kau !!”
“Saya pamit Yang Mulia.” Tukas Alvaro tanpa perlu banyak berbasa-basi.
“Pergilah! Memangnya kau pikir bisa kemana?” suara lantang Kaisar Achazia tidak dihiraukan oleh Alvaro. Pemuda itu memilih untuk menuju paviliun mendiang ibunda beserta adik kesayangannya. Batu giok yang hendak dia hadiahkan pada adiknya dia genggam kuat-kuat. Ruangan yang dia tapaki masih memiliki aroma yang sama. Aroma yang diingatnya dari sang ibunda tercintanya.
“Kenapa?” teriaknya dengan d**a yang sesak. Sakit hati tidak dapat terelakan. “Kenapa akhir hidup kalian berdua harus semenyedihkan ini.” Panas dikedua kelopak matanya mulai mengaburkan pandangan. Air mata ikut jatuh dan turun membasahi pipinya. “Mestinya aku tidak pergi! Seharusnya aku tetap disini dan menjaga kalian berdua! Aarrrgggghhh…!!!”