Gelap, tubuhku terasa begitu ringan. Ada banyak suara yang gaduh. Tawa banyak pria dan hangat. Kepalaku berdenyut nyeri, seperti telah terbentur sesuatu. Tubuhku kehilangan kebebasan untuk dapat bergerak. Kaki, dan tangan. Apa yang terjadi?
“Sudah sadar Nona?” suaranya terdengar nyalang. Tegas dan menyeramkan. Aku tidak bisa mengatakan apapun tatkala pria itu dengan kasar membuka ikatan kain yang menutupi kedua mataku. Mungkinkah aku diculik?
Pria itu berdiri menjulang tinggi dihadapanku, mengulurkan tangannya menyentuh pipiku. Rasa jijik menyambangi seluruh tubuhku. Apalagi melihat dia yang menatapku dengan cara m***m yang tidak bisa kubayangkan. Pria k*****t ini, memiliki Hasrat padaku yang bahkan masih terlalu dini untuk disentuh. Dengan gerakan cepat dia membuka kain yang menutupi mulutku.
“Seperti dugaanku kau memang gadis cilik yang cantik.” Napasnya memburu menerpa wajahku. Jika saja kondisiku saat ini bebas, kupastikan dia kehilangan masa depannya dengan tendanganku pada s**********n pria menjijikan ini. Namun sayang aku tidak bisa melakukannya. Hanya bisa diam. Berpaku dan bersabar. Sebisa mungkin aku mengatur napasku sendiri untuk tetap tenang dan tidak terpancing emosi. Aku tidak boleh terlihat tegang, terancam apalagi ketakutan. Hal itu bisa membuat dia berprilaku lebih amoral lagi.
“Ada apa dengan ekspresi itu? apa kau sedang menantangku?” aku tidak menjawab apapun. Bagiku suara ini terlalu berharga untuk diperdengarkan pada orang sialan yang bisa-bisanya menculikku tanpa sepengetahuan Hayden. Dimana Hayden? Ketika aku tersadar akan keabsenan dirinya dariku. Saat itupula aku merasakan sesuatu yang buruk terhadap dirinya.
“Oh, apa kau marah karena kau berada disini? Apa kau mempertanyakan dimana pria yang bersamamu malam itu? haha.. Pengawal setiamu sudah mati. Kami sudah membuang mayatnya ke jurang. Kau tidak akan bertemu dia lagi.” Penjelasannya yang seakan dapat menerka isi hatiku membuatku sedikit takut. Mengapa dia tahu betul apa yang aku pikirkan? Tapi tidak. Aku adalah seorang Putri Mahkota Abaskus. Aku tidak boleh merasa tertekan hanya karena situasi ini. Dimasa lalu aku sudah mengalami kemalangan yang bertubi-tubi. Tidak ada alasan bagiku untuk takut pada hal yang tidak seberapa ini.
“Makan!” perintah pria botak tersebut seolah dirinya memegang otoritas tertinggi. Bau khas arak keluar dari mulutnya. Aku memandang pria itu dengan tak gentar. Dia bodoh atau memang dungu sejak lahir? Posisiku saat ini sedang diikat, apa dia ingin aku makan seperti seekor anjing ?
“Apa yang kau lakukan disana Fred?” seseorang yang lain mendekati kami, dia terlihat menekukan alisnya sendiri seperti menyadari sesuatu yang salah. “Kau sedang memberinya makan?”
“Ya, ketua memintaku untuk ini.”
“Kalau begitu biar aku yang menggantikanmu. Ketua memintamu untuk pergi.”
“Ck, mengganggu sekali.”
Pria botak itu lantas pergi dari jeruji besi yang menahanku. Dan kini berganti dengan seorang pria yang sama lusuhnya dengan yang pertama. Dia mengambil posisi jongkok lalu mengambil sebuah belati kecil dari ikat pinggangnya. Aku tidak heran, tidak ada yang bisa kupercaya. Apalagi berharap aka nada orang baik yang mau bersimpati pada anak kecil sepertiku. Kerasnya dunia hanya membuat semua individu berdiri atas keegoisan masing-masing. Sikap peduli tidak diperlukan sebab itu hanya akan membuat siapapun menjadi lemah. Konsep yang aku pelajari selama pelarian kami. Meski tak sedikit aku juga diberi pencerahan tidak semua orang memiliki kecendrungan seperti itu. Aku menatap pria itu dengan tegas. Mengatakan padanya tanpa perlu lisan untuk bicara bila aku adalah sang penguasa meski tubuhku kecil dan tak berdaya. Dia tertawa, seperti mendapatkan sebuah hiburan atas kehidupan yang melelahkan.
“Kau anak yang lucu, siapa namamu?” tangannya mengacungkan pisau yang dia cabut kearah daguku, mengangkatnya agar aku mendongak untuk lebih jelas lagi melihat wajah pria itu. Seperti apa yang sudah kuputuskan, aku tidak akan memperdengarkan suaraku pada siapapun. Oleh sebab itu aku berlaku seolah diriku tuli dengan tidak menjawab apapun yang dikatakan orang itu.
“Siapa namamu?” pria itu sekali lagi bertanya, setengah berteriak bahkan setelah kuacuhkan dirinya. “Kau bisu?!” teriak pria itu lagi kali ini bahkan didepan wajahku. Tapi aku tetap teguh akan pendirianku. Mataku nyalang menatapnya balik.
“Sial!” umpat pria itu kasar. Dia menendang piring yang berisi makan malamku. Dan menendang semua barang-barang yang ada di jeruji besi ini tanpa pandang bulu. Melampiaskan rasa marahnya seperti orang gila. “Kupikir kami menemukan benda berharga, nyatanya tidak. Dia cacat. Ck..” pria itu mendecakan lidah, lalu keluar dari tempat ini setelah memastikan jeruji besinya terkunci dengan rapat.
“Ketua bocah itu bisu!” lapornya dengan keras, membuat seseorang yang dia panggil sebagai ketua menoleh kearah kami. Dia bergerak mendekat, tubuhnya yang gempal bergoyang seiring langkah yang dia buat.
“Apa yang kau katakan?”
“Dia bisu.”
Ketika mendapat laporan tersebut, si pria bertubuh gempal tersebut mengambil posisi untuk berjongkok dan mengamati wajahku dengan seksama. “Kalau begitu kau tidak berguna untuk kami.” Dengusnya keras. Aku mengernyit, kembali terganggu dengan bau arak murah dari tubuh dan mulut pria ini. Sebab miliknya lebih menyengat ketimbang dua pria yang kutemui sebelumnya.
“Apa kita bunuh saja dia bila dia tidak laku dijual, ketua?” saran pria yang melaporkan statusku sebagai gadis bisu. Aku sendiri tidak terkejut dengan itu. Karena sejak awal aku sudah bisa memastikan bila umurku tak akan panjang bila aku tidak cerdik menilai situasi. Itu berarti aku harus lebih berhati-hati lagi. Ada banyak hal yang perlu kubereskan sebelum mati. Aku harus dewasa, dan meluruskan kesalahan yang ditimpakan padaku. Juga membersihkan nama Ibunda dari tuduhan yang dilakukan orang-orang di istana.
“Dia masih cukup layak dijual sebagai b***k. Dia punya wajah yang cantik. Tidak akan ada masalah.” Pria gendut tersebut mengelus janggutnya, seperti sedang menilaiku sebagai sebuah barang.
“Tapi ketua membawa bocah bisu ini hanya akan merepotkan kita. Dia hanya akan memperlambat perjalanan.” Protesnya lagi. Sepertinya pria itu sudah menaruh dendam dan ketidaksukaannya saat aku melawan dia dengan hanya tatapan mataku saja.
“Akan kuputuskan, bila dia tidak laku dijual maka kita akan melakukannya.”
“Aku mengerti.” Pria kedua tersebut tersenyum puas tatkala permintaannya dipertimbangkan sang ketua. Dan menatapku dengan tatapan mengejek yang kentara.
***
Suara lolongan srigala, dengan hujan rintik yang basah. Gelap gulita sebab malam telah tiba. Cahaya rembulan menelusup meski tidak memberikan sinarnya yang penuh sebab tertutup oleh wan mendung yang sedang memuntahkan air mata. Katakanlah demikian adanya. Suara petir bersahutan, segalanya kian mencekam. Tapi anehnya ini dapat membuatku tenang. Hujan yang mendominasi malam adalah hal yang sempurna yang Tuhan berikan untuk dapat menyelamatkan hidupku sekali lagi. Hujan dapat membantuku menghapus jejak, meski hal tersebut juga tidak menutup kemungkinan akan memperlambat langkahnya sendiri. Hutan yang akan semakin gelap dengan pijakan yang licin adalah salah satu resiko yang harus aku tanggung. Menghela napas cukup panjang, otakku kembali menyusun rencana. Kesempatan tidak akan datang dua kali. Bila aku tidak segera pergi dari tempat kumuh sialan ini, belum ada jaminan aku dapat melarikan diri dari tempat baruku. Bisa jadi aku hanya akan dibunuh tanpa sempat melakukan upaya apapun. Dan kurasa itu lebih buruk. Aku tidak suka berpasrah akan keadaan bila sejatinya kau masih bisa mengupayakan agar hidupku dapat terus berjalan. Urusan yang belum terselesaikan juga adalah bagian daripada mengapa aku harus bertahan hidup lebih lama lagi hingga usiaku mencapai kedewasaan.
Aku melirik kearah benda kaca yang sempat dihancurkan oleh si orang kedua tadi. Berkat amukannya, aku bisa menggunakan benda itu untuk melepaskan diri meski mungkin kulitku akan sedikit tergores karenanya. Tapi aku tidak peduli. Perlahan aku beringsut dengan seluruh tubuhku. Meliuk untuk dapat bergerak seperti seekor ulat mengingat kaki dan juga tanganku yang terikat. Sadar telah mendekati objek, aku memposisikan diriku membelakangi pecahan kaca tersebut dan mulai menggosokan tali yang mengikat tangaku kearah pecahan tersebut. Mengulangnya beberapa kali, meski dibeberapa kesempatan pecahan tersebut menyakiti kulitku sendiri. Telaten dan sabar, aku berhasil melakukannya, hingga tali sialan itu lepas sempurna. Hasilnya adalah luka di beberapa bagian tanganku, dan keduanya tak selamat dari goresan. Darah segar merembes dari sana. Tidak kupikirkan hal itu dan berfokus pada ikatan yang ada di kakiku. Setelah memastikan kebebasanku, kini yang menjadi kendala adalah jeruji besi ini. Aku ditempatakan diposisi yang sedikit berbeda daripada tawanan lain yang dibiarkan begitu saja diluar sana. Sama sepertiku mereka semua diikat kaki dan tangannya. Dengan tali yang menyambung satu sama lain. Persetan!
Aku melirik kearah sebuah balok kayu yang tersusun dimana dengan bodohnya orang-orang tersebut membiarkan kunci jeruji ini ada disana. Tanpa buang waktu kuarahkan tanganku untuk dapat menggapainya meski sedikit susah payah mengingat tinggi badanku yang tidak mumpuni untuk dapat mengambilnya secara langsung. Ini memuakan. Dengan sedikit bantuan dari galah yang kutemukan di sisi jeruji, kunci tersebut berhasil kudapatkan dengan mudah. Aku berhasil bebas dari jeruji tersebut dengan cukup baik. Aku bebas. Semudah inikah? Segala hal yang mudah biasanya memiliki resiko yang tinggi. Setidaknya aku perlu membawa sesuatu untuk melindungi diriku sendiri. Melirik ada belati yang tergeletak lantas aku mengambilnya untuk berjaga-jaga. Semoga saja aku tidak perlu menggunakannya. Aku tidak pernah mengharapkannya.
Setelah semua hal telah kupastikan dengan aman, karena para perampok sialan itu sudah tertidur pulas karena pengaruh alcohol murahan yang telah mereka konsumsi. Sejujurnya aku tidak pernah merasa harus iba pada oranglain. Mengingat nasibku juga tidak terlalu bagus, tidak lebih baik dari mereka. Ketika aku hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba saja mataku melirik kearah anak kecil yang nampak meringkuk, dia menggigil kedinginan sebab posisinya yang berada di ujung. Melihat tubuhnya sepertinya dia adalah tawanan dengan usia paling muda diantara yang lain. Hatiku mencelos. Sesungguhnya aku tahu ini tidaklah benar mengingat tidak ada waktu bagiku untuk bersimpati terhadap oranglain. Memikirkan keselamatanku yang belum bisa dipastikan saja, mestinya aku menyibukan diri dengan kepentinganku. Bukan malah berempati pada anak kecil yang tidak kukenal sama sekali.
“Bangun!” memang terkadang tubuhku selalu berada diluar kontrol seperti ini. Di istana aku adalah seorang putri menyebalkan yang bahkan tidak mendapatkan perlakuan layakanya gelar yang aku miliki. Semua orang mencela dan menjauhiku, lalu kini apa yang sedang aku lakukan? Mencoba berlagak menjadi pahlawan hanya karena didasari oleh rasa iba? Jangan bercanda Grizelle! Sadarlah bahwa hidupmu jauh lebih penting dibandingkan gadis cilik ini.
Si gadis cilik mengerjapkan mata, seperti mengingat keberadaan dirinya sendiri. Dia membelalakan mata tatkala melihatku sudah berjongkok didepannya dengan sebuah belati ditangan. Dia menganggukan kepala tatkala aku memberinya isyarat berupa jari telunjuk didepan bibir. Menyuruhnya untuk tidak bersuara selama aku mencoba melepaskan ikatan darinya. “Kita harus melarikan diri.” Kataku yang tiba-tiba saja membuat dirinya tersentak. “Kau mau ikut bersamaku?” gadis cilik itu mengangguk cepat membuatku menerbitkan sebuah senyuman tipis dan memberinya sebuah sapuan lembut pada pucuk kepalanya. Seperti yang biasa Dayang Chiyo lakukan padaku.
“Apa yang sedang kau lakukan?” desis salah seorang tawanan yang nyatanya terjaga dari tidurnya saat aku hendak membawa gadis cilik ini untuk melarikan diri bersamaku.
“Kabur.” Jawabku tenang sementara mataku masih cukup waspada untuk dapat mengawasi sekeliling, berjaga apabila salah satu dari perampok memergoki upayaku untuk melarikan diri.
“Kau bisa bicara?” dia membelalakan matanya sementara aku tidak begitu menanggapi respon atas itu. Sejak awal aku memang tidak bisu. Aku hanya tidak mau membuka suaraku didepan para pria sialan itu. Aku berjalan mendekatinya hendak membuka ikatan gadis itu pula, namun dia tiba-tiba menggerakan tangannya sendiri menjauh dari pisau belatiku.
“Jangan libatkan kami!” dia sekali lagi mendesis, tajam namun lirih. “Jika kau hendak melakukannya maka lakukan tindakan bodoh itu sendirian. Kami tidak mau terlibat!” tambahnya dengan mata yang berkilat. Marah dan juga ketakutan. Tubuhnya gemetar dan merinding hebat. Dari gesture tubuhnya aku tahu bila dia sudah berputus asa dan terlalu pengecut untuk melakukan pelarian bersamaku. Membawanya hanya akan menjadi sebuah beban. Dia mungkin berpikir lebih baik dijual daripada mati. Pikiran seorang pecundang. Nyalinya bahkan ciut tak seperti gadis cilik yang hendak kubawa.
“Aku tidak akan memaksamu. Lakukan sesukamu.” Aku tak ambil pusing. Aku memperhatikan beberapa tawanan lain yang sepertinya memang tidak memiliki niatan untuk lari. Aku lantas menggenggam tangan si gadis cilik bersamaku, tanpa perlu lagi harus bertukar suara dengan orang seperti itu. Aku setengah menyeretnya untuk berlari bersamaku. Kami berdua menembus hujan lebat menuju ke hutan.
“Tuan dua orang tawanan anda kabur!!” aku mendengar lengkingan dari belakang sana. Dasar perempuan sialan. Dia melaporkan kami berdua untuk keselamatannya sendiri?
“k*****t!” aku mempercepat langkahku bersama si gadis cilik yang bahkan tidak kuketahui namanya ini. Sedangkan dibelakang kami para perampok tersebut telah mulai melakukan pengejaran sebab aku melihat suara tapak kuda dan juga lentera. Teriakan dari sang pemimpin membuatku tahu bila mereka sudah semakin mendekat dan bisa menangkap kami kapan saja. Umpatan kasar dari mereka samar-samar terdengar. Kepanikan melanda, apalagi si gadis cilik yang mencengkram tanganku lebih erat dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Apa kami akan mati disini? Sesekali gadis itu tergelincir langkahnya sendiri, bahkan sampai terjatuh, terjembab dalam genangan lumpur. Aku tak menyianyiakan waktu untuk membiarkan situasi kami makin terdesak sehingga pada akhirnya aku memilih untuk menggendongnya di punggungku.
“Kita berdua tidak akan mati! Karena aku putri mahkota Abaskus berani menjamin hal tersebut!” teriakku berusaha mencoba mengeluarkan segala emosi yang tak perlu dari dalam diriku sendiri. Suaraku teredam oleh air hujan namun aku yakin gadis cilik ini bisa mendengar apa yang aku katakan. Aku menoleh pada bahuku dimana anak itu sepertinya sudah berpasrah akan keadaan. Dia menangis. “Siapa namamu ?”
“Itu mereka!” salah satu perampok berhasil menemukan kami, lentara yang dia bawa berhasil menangkap siluet kami berdua. Dia berteriak keras sehingga dapat dengan mudah menarik teman-temannya untuk mendekat.
“Aku Nina..” jawabnya, namun ini bukan situasi yang tepat untuk berkenalan. Aku menghiraukan jawaban itu dan mulai berlari dengan kecepatan yang liar. Kutulikan pendengaranku dari langkah kaki mereka semua. Jantungnya berdegup sangat kencang. Ini gila. Hal tergila yang aku lakukan seumur hidupku demi mempertahankan hidupku.
“Arrghh…” sial, kaki ku tiba-tiba terpeleset oleh dahan kayu yang tidak kuketahui. Tubuhku berguling dengan cepat menuruni lereng terjal yang cukup dalam. Aku berusaha melindungi kepalaku sendiri dengan kedua tanganku. Sampai aku merasa kakiku tidak menapak tanah. Aku terjebak.
“Nina?!” kupanggil si gadis kecil yang sepertinya terpisah dariku. Sementara kupaksakan tubuhku sendiri untuk bisa bangun dan mencari keberadaan gadis cilik itu dari punggungku.
“Mereka terjatuh ke lereng!” teriak salah satu dari perampok yang mengejar kami.
“Turunlah! Kita harus mendapatkan mereka. Kalau tidak nanti ketua akan membunuh kita!”
“Kau gila!” raungnya. “Tidak ada bedanya sialan! Aku tidak mau membuang nyawaku hanya demi bocah-bocah itu. Lagipula menurut Fred dia itu bocah bisu dan anak kecil. Harga mereka tidak terlalu tinggi.”
Teriakan dan adu argument itu masih berlangsung diatas sana. Kukendalikan napasku untuk bisa stabil kembali. Setidaknya aku bisa menggunakan tempat ini sebagai tempat peristirahatan. Ada sesuatu yang keluar dari mataku. Cair, hangat. Tidak. tidak. aku tidak sedang menangis. Ini hanya efek dari air hujan yang membasahi wajahku. Mana mungkin aku menangis.
“Kakak..”
“Nina?” aku melempar tatapanku kesekeliling. Aku mendengar suaranya dari dekat, tapi aku tidak bisa melihat dia.
“Genggam tanganku!” Ketika sinar bulan memberiku pencahayaan kini aku sadar diman aku berada. Gadis cilik itu merebahkan tubuhnya diatas tanah dan berusaha menggapai diriku dengan tangannya yang kecil. Sedangkan posisiku saat ini tidak mungkin untuk mendapatkan bantuan. Dia terlalu kecil untuk menarik tubuhku dari jerat dahan pohon ini. “Ulurkan tangan kakak!” ujar Nina lagi, gadis cilik itu terlalu bersikeras meski logikanya ini tidak akan berhasil.
Entah mengapa aku merasa terharu. Aku sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan perhatian dari gadis cilik asing yang baru pertama kali aku temui. Dia bersedia menolongku meski dia tahu upayanya untuk tidak tidak akan cukup untuk dapat membantuku. Kupikir dunia ini tidak terlalu buruk. Tidak ada salahnya untuk berempati pada orang lain. “Larilah. Cari tempat sembunyi dan keluarlah dari tempat ini hidup-hidup.”
“Tidak! Kakak yang sudah membebaskanku, itu artinya aku juga harus membalasnya. Ibu bilang padaku untuk berbuat baik pada orang yang baik.” Ah.. benar, dia masihlah gadis cilik yang polos. Ini mungkin baru dihadapinya, sehingga dia terlalu naif untuk menggolongkan manusia dalam dua jenis saja. hitam dan putih.
“Pulanglah. Jangan pedulikan aku.”
“Tapi—”
“Kubilang lari! Keberadaanmu hanya akan menyusahkanku.”
“Hiks.. kenapa kakak mengatakan hal yang jahat?”
“Kau lebih suka mati disini?”
Kreeekkk.. Kreeekkk..
“Pergi sekarang sialan! Perlukah aku membentakmu sekali lagi?”
Tangis, tubuhnya menggigil. Sedangkan aku sendiri tahu bila dahan yang menahanku tidak akan bertahan lebih lama lagi. Tepat.
Lepas sudah. Tubuhku melayang diudara. Apa sekarang aku akan mati disini? Jika ya, kurasa aku tidak menyesal sebab telah melakukan perbuatan baik sebelum riwayatku tamat. Mati jatuh kejurang mungkin itu kematian yang layak bagi seorang putri mahkota tak berperasaan sepertiku.
“Kakak!!”
Jangan pedulikan aku. Aku tidak ingin membebani siapapun. Setelah kematian orang-orang yang baik padaku. Sudah sepantasnya aku mendapatkan ganjaran setimpal bukan? Ibunda, Dayang Chiyo, orang kepercayaan keluargaku. Mereka semua mati demi menggantikanku. Tidakkah ini skenario paling menyeramkan untuk dijalani oleh seorang anak kecil sepertiku? Mengapa tidak ada hal yang normal yang datang padaku?
Mendarat. Tubuhku terhempas dan menggelinding ke dasar jurang yang terjal. Goresan dari dahan yang tajam membuatku mengernyit, rasa sakit ini. Apa mereka semua juga merasakannya sebelum mati?