Layaknya gadis kecil pada umumnya Elvina menebar senyum kemana-mana. Sebab ketika ulang tahun yang setidaknya akan diselenggarakan kurang lebih satupekan lagi itu, sang ayahanda yang merupakan raja dari kekaisaran Abaskus berjanji akan mengadakan sebuah pesta yang besar untuknya. Kendati dirinya hanyalah seorang putri yang lahir dari selir. Meski begitu semua orang paling tahu bila selir Humeera yang merupakan ibu dari putri Elvina adalah perempuan yang mendapat limpahan kasih sayang tak terhingga dari kaisar. Itulah sebabnya sang kaisar Achazia menjanjikan hal yang dianggap tabu dalam istana. Seorang anak dari selir sejatinya tak layak menerima perhatian berlebihan dari kaisar. Semua stigma tersebut telah melekat cukup dalam, dan hanya kaisar Achazia yang melanggar hal tersebut.
Paviliun barat adalah sebuah destinasi favorit dari seluruh istana. Disana terhampar bunga mawar yang beraneka ragam warna. Itu sebabnya paviliun tersebut diberi nama paviliun mawar. Putri Elvina bahkan sering menghabiskan waktu disana hingga berjam-jam dan anehnya tak ada seorangpun yang mengganggu dia. Hanya aku yang sering membuat perhitungan padanya. Aku membenci dia. Dia lahir dari perempuan rendah namun diberi perhatian sedemikian banyak. Sedangkan aku putri yang lahir dari permaisuri kekaisaran tidak pernah sekalipun mendapat perhatian dari kaisar. Kecemburuan itu semakin menjadi dalam diriku. Terlebih ketika permaisuri jatuh sakit, tak pernah sekalipun kulihat kaisar menaruh hati sekadar melihat kondisi beliau. Bagiku Elvina tidak pantas mendapat seluruh perhatian ini.
"Dayang, apa nanti akan ada pertunjukan musik?" Tanyaku pada Chiyo yang merupakan satu-satunya dayang yang mau bertahan disisiku. Semua orang istana telah melabeliku sebagai putri kejam yang tak kenal ampun. Itulah sebabnya semua dayangku habis kuberantas sebab kebanyakan dari mereka hanya cari muka saja. Sejauh ini pun hanya Chiyo yang tulus padaku, meski terkadang dia juga sering kali terkena pukul dari tanganku.
"Benar, Tuan Puteri." Chiyo mengangguk, suaranya terdengar halus, menenangkan. "Saya dengar, Yang Mulia bahkan memanggil pemusik dari Kerajaan Ragael untuk tampil di pesta putri Elvina."
"Ayahanda terlalu memanjakan bocah itu." Meski usiaku dan Elvina terpaut tiga tahun dan aku lebih muda darinya. Tapi perlakuan yang kami dapatkan sangatlah berbeda. Elvina dimanjakan seakan dia adalah putri bungsu kerajaan Abaskus. Melihat tingkahnya yang hobby menebar senyum pula sudah membuatku muak padanya. Ketika dadaku terasa sesak dan gigiku bergemetak. Chiyo tiba-tiba saja merentangkan kedua tangannya lebar, mengundangku untuk masuk ke dalam pelukannya.
"Kau pikir aku akan menghambur dan memelukmu begitu ?"
"Tidak. Sayalah yang akan memaksa anda untuk jatuh kepelukan saya." Dan benar saja tanpa persetujuan dariku, tubuhku sudah didekap oleh dayangku.
"Anda adalah sosok putri yang akan menjadi panutan kekaisaran Abaskus. Oleh sebab itu anda harus lebih kuat melebihi siapapun." suaranya terdengar lirih saat mengatakan perkataan ini. Tangannya bahkan ikut berpartisipasi menepuk punggungku dengan nyaman. Sesaat, Chiyo terdiam. Tangan keriputnya membelai rambut hitamku yang lembut. "Anda memiliki Putera Mahkota yang sangat menyayangi anda. Jadi anda tidak perlu memikirkan hal remeh seperti ini."
Kini aku terdiam, cukup lama hingga Chiyo memutuskan untuk bicara, menghiburku lagi. "Seandainya beliau tidak datang, bukankah masih ada Yang Mulia Permaisuri ?"
"Kau paling tau jika ibunda sedang sekarat. Meski dia tak membagi rasa sakitnya pada siapapun"
***
Elvina menggigit bibir bawahnya dengan keras, sebelum akhirnya memalingkan muka, bisakah dia memberitahu rahasia besarnya pada dayang yang selalu mengikutinya ? Tapi, bukankah sang dayang sangat baik, batinnya mulai bergulat.
"Bisakah Anda merahasiakan rahasia besar yang akan kukatakan ini, Dayang Pio ?" Elvina menatap sang dayang, penuh harap.
"Tentu," Pio juga mengangguk sebagai penambah. Elvina tersenyum, melihat sorot teduh pengasuhnya yang entah kenapa membuatnya merasa nyaman dan tenang. Mata yang menyorotkan kesetiaan hingga akhir. Dayang kepercayaannya.
"Aku harap Permaisuri Birdella dan Grizelle tidak hadir di pestaku nanti." Kepala Elvina tertunduk saat mengatakannya. Tangannya meremas pakaian bersulam bunga yang dia kenakan. Sangat resah rupanya.
"Hmm.. apa itu berarti Anda tidak menyukai Yang Mulia Permaisuri ?" Pio balik bertanya namun dengan cepat Elvina menggelengkan kepala. Berkilah.
"Bukan. Aku bukan tidak menyukainya. Hanya saja..."
"Hanya saja ?"
"Iya, Hanya saja.. Permaisuri membuatku takut." Akunya polos. "Aku.. aku tidak suka caranya menatapku jika kami bertemu. Beliau membuat tubuhku gemetar ketakutan. Dan beliau tersenyum jika melihatku seperti itu. Begitu juga dengan Grizelle dia sama menakutkannya dengana Permaisuri"
Pio terdiam cukup lama, mencerna ucapan polos sang majikan yang telah dia besarkan sejak bayi. Elvina jelas bukan anak yang suka berbohong, dan itu adalah sebuah petuah yang Pio ajarkan pada gadis muda itu. "Mungkin hal itu hanya pikiran Anda saja, Tuan Puteri." Hiburnya lagi.
Lagi-lagi Elvina menggeleng keras. "Tidak, Anda tidak mengerti Dayang Pio. Permaisuri hanya bersikap lembut dan ramah saat Ayahanda berada disisiku. Tapi, dia selalu menatapku dengan cara yang menakutkan apabila Ayahanda tidak bersamaku."
"Ssttt, pelankan suara Anda, Tuan Puteri." Tegur Pio, jari telunjuknya menempel di depan bibir. Matanya melihat ke sekeliling, takut jika ada orang lain yang menguping pembicaraan mereka. "Apa Selir Humeera mengetahui tentang hal ini?"
"Tidak. Sebab aku yakin Ibunda akan khawatir jika mengetahuinya. Bukan begitu?" Elvina balik bertanya. "Beban berat di pundak Ibunda sudah sangat banyak. Aku takut untuk membebaninya lagi."
“Bersikap layaknya malaikat lagi ya ? kakak..” Aku yang sedari tadi berada dibalik dinding paviliun mengagetkan mereka berdua. Terutama Pio yang kutahu sebagai pengasuh yang mendidik Elvina. Begitu aku datang, mereka semua menundukan wajahnya. Terang sekali aku begitu muak pada mereka berdua. Sebencinya aku pada dia, aku tak pernah membicarakan orang yang kubenci dengan cara sepengecut ini. Dia hanya berani menjelek-jelekan ibunda saat dibelakangnya. tentu saja perbuatannya ini sudah ku blacklist, dan tak termaafkan dimataku.
“Ah.. Yang Mulia Grizelle..” Elvina berujar sembari menundukan kepalanya padaku. begitu kan ? selalu bersikap super manis jika didepanku seolah seorang korban. Aku masih ingat dia tidak memanggilku dengan embel embel yang mulia dibelakangku, lalu ketika didepanku tiba-tiba dia menambahkan gelar itu. Betapa munafiknya Elvina.
“Tidak usah berpura-pura ketakutan seperti itu, usia saya jauh lebih muda dari Anda. Saya tidak pantas mendapat penghormatan dari kakak yang disayangi ayahanda seperti ini.” kataku sambil tersenyum, tanganku perlahan mendekap Elvina ke dalam pelukanku. Aku melirik mata dayang yang sudah cukup berumur itu mengabur karena air mata. Oh, bagaimana penilaianmu ? jika Elvina bisa bersikap bagai malaikat didepan semua orang. Tidak berarti aku begitu naif dan polos untuk tidak mengikuti aturan mainnya bukan.
“Kau pikir hanya kau yang jago berakting kakak sayang ? yang punya otak diistana ini bukan Cuma kau saja. Jadi, mari menunggu akhir yang pahit untuk semua kebusukanmu. Elvina~” aku berbisik padanya sambil membelai dengan halus surai merah maroon yang diwariskan si jalang yang merebut ayahku dari ibunda. Wanita yang tak memiliki apa-apa itu hanya beruntung, dan sialnya dia mengotori hirarki istana dengan melahirkan seorang putri yang menduplikasi dirinya. Hina. Ketika aku melepaskan pelukku darinya, wajah Elvina berubah. Dia bergetar hebat dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca. Bisa ditebak, selanjutnya bocah itu akan menangis dan mengadu jika aku sudah melukainya. Seperti biasa. Aku terlanjur sering menerima tuduhan tak masuk akal yang dilebih-lebih dari Elvina untuk menyakitiku.
“Oh, ya kakak selamat ulang tahun ya. Aku mungkin tidak akan datang karena aku tidak diinginkan.” Aku berlalu dari hadapan mereka semua. Dan memberi senyum ramah serta langkah anggun yang membuat si dayang yang selalu berada disisinya terkesima. Tentu saja, aku lahir dari darah murni yang tak memiliki kecacatan. Setidaknya meski seluruh istana membenciku, aku masih memiliki ibunda juga Dayang Chiyo yang ada disisiku.
***
Seandainya saja aku diperbolehkan berharap, aku ingin lahir dari keluarga biasa. Hanya gadis rakyat jelata, yang bebas bermain diluar tingginya tembok istana. Tak perlu belajar tatakrama, dan bukan dipersiapkan tumbuh dewasa hanya untuk menjadi seorang istri dari pejabat yang akan meningkatkan mobilitas kekaisaran. Seandainya jika aku bisa, aku ingin tertawa bebas dan menikmati masa kecilku dengan penuh kebahagiaan bersama teman sebaya. Bukan terjebak di dalam kurung emas dengan segala intrik di dalamnya. Dengan segala buku, dan tuntutan mencapai kesempurnaan sebab terlahir dari rahim seorang wanita yang disegani seantero kekaisaran Abaskus.
"Saya akan melindungi Anda semampu saya. Selama saya bernapas, saya akan menjaga Anda, Yang Mulia." Aku melirik kebelakang, dimana seorang kesatria bersurai merah telah berdiri disisiku dengan sikap tegap. Dia adalah Ezra, seorang anak laki-laki yang bersumpah setia menjadi kesatria yang akan menolongku dalam kondisi apapun.
"Jangan bersikap arogan Ezra, kau tidak tahu kapan ajal akan menjemputmu."
"Saya berjanji, tidak akan mengecewakan anda" sahut Ezra lirih. Pria kecil itu lantas membungkus bahuku dengan sebuah kain tebal menjagaku dari udara dinginnya malam.
"Sebaiknya kita kembali, Yang Mulia udara sudah semakin dingin, Yang Mulia permaisuri akan sangat murka jika Anda terlalu lama ada diluar."
“Darimana kau belajar menjadi bocah yang perhatian Ezra ? aku tidak mengajarimu menjadi pria yang manis. Yang aku harapkan kau tumbuh menjadi pria yang bengis.”
"Tentu saya tidak akan melupakan harapan Anda pada saya. Namun biarkan saya melindungi Anda dengan cara saya.”
“Cih.. omongkosong. Kalau begitu, antar aku ke ruangan ibunda.”
***
"Kau sudah terlalu keterlaluan selama ini aku bersabar menghadapi segala keegoisanmu! Tapi dengan menyakiti Humeera kau pikir aku tidak akan bertindak ?" teriakan Achazia yang menggelegar membuatku menghentikan langkahku sesaat. Ibunda sedang sakit, lalu apa-apaan Ayahanda yang menuduhnya dengan tuduhan tak masuk akal seperti itu. Dari celah pintu, seperti seorang pengecut lantas aku mengintip dan melihat betapa mengenaskannya kondisi ibunda yang terpuruk dilantai dengan bibir yang terluka dan berdarah.
"Kau memang seorang Permaisuri, tapi jangan harap aku akan mengampuni dosamu ini!" Kini Kaisar Achazia mengacungkan telunjuknya kearah ibuku, Matanya menatap nyalang pada ibuku yang dia nikahi lima belas tahun yang lalu. Permaisuri yang dulu katanya sangat dicintainya, Permaisuri yang melahirkan seorang putra mahkota. Namun dicampakan dalam sekejap mata karena Achazia jatuh hati pada seorang selir t***l yang dia temui di rumah bordil saat penyamaran.
Ibunda lantas tak gentar, dan balik menatap Kaisar Achazia dengan tatapan yang sama tajammnya.
"Saya tidak melakukan apa yang Anda tuduhkan, Yang Mulia.”
"Jahat! Kau benar-benar wanita yang jahat, Birdella." Raung kaisar tak terima dengan argumen dari ibuku. "Sejauh apa kau ingin menyakiti Humeera padahal dia tidak pernah berbuat jahat padamu ?”
“Anda sudah gila Yang Mulia.”
“Lancang sekali mulutmu berkata sedemikian kasar pada Kaisar negara Abaskus.”
“Anda telah dibutakan oleh sebuah cinta. Hingga Anda keliru terhadap banyak hal. Termasuk tidak bisa tahu mana yang benar dan yang salah.”
"Pengawal seret wanita ini kepenjara bawah tanah, introgasi dia sampai mengaku !" Saat itulah untuk pertama kalinya aku melihat raut wajah ibu yang putus asa dia berusaha mengelak dan mendorong para penjaga dengan keras, meski tidak menangis, tapi aku tahu jika hatinya jauh terasa lebih sakit. Bagaimana bisa ayahandanya mempercayai dusta yang dibisikkan dengan cara licik padanya? Konspirasi? Aku yakin ini konspirasi jahat untuk menghancurkannya. Menghancurkan reputasi ibunya.
"Yang Mulia !" Pada akhirnya aku menghambur, bersujud di depan kaki Kaisar. Padahal semenjak didepan pintu tadi Ezra terus menahanku, namun aku lepas dari jeratnya dan dengan segera melakukan pembelaan.
"Semua pasti hanya salah paham. Ibunda tidak mungkin melakukan kekejian semacam itu, Ibunda sedang sakit tidak mungkin—"
“Apa yang kau lakukan Grizelle menyingkir darisana dan berhenti bicara omong kosong !”
“Tapi Ibunda saya yakin kondisi Ibunda sedang tidak stabil jadi tidak mungkin bagi anda—“
“CUKUP ! Bawa aku pergi !”
“Tidak ! Ibunda !!!”
Sia-sia. Upayaku untuk membela ibunda tidak berhasil. Aku terlalu lemah dan kecil untuk melawan orang dewasa yang picik. Kaisar lantas hanya memicingkan mata, menatap marah padaku yang bersujud, meratap memohon pengampunan untuk ibunda yang aku cintai.
"Kau mengatakan jika aku salah paham? Setelah aku memiliki bukti atas perbuatan ibumu ?" Kaisar makin murka karena pembelaan dan dalih yang aku ujarkan tidak dapat aku buktikan. Bahkan fakta jika ibunda sedang sakitpun, dilarang keras untuk diumbar. Lantas bagaimana caraku menyelamatkan ibunda ?
"Kau mau mati ?" Lolongnya lagi, membuat seluruh badanku bergetar hebat. Sisi gelap ayahandaku yang tak pernah kutahu.
"Tidak, tidak, bukan begitu, Yang Mulia." Aku kembali bersujud, suaraku bergetar dengan air mata yang meluncur deras tanganku berusaha menggapai kakinya. "Saya memohon agar Ayahanda bersedia melakukan penyelidikan lebih dalam, untuk hal ini. Saya sangat yakin jika Ibunda sama sekali tidak bersalah."
"Pengawal?!" teriak Kaisar dengan keras. Dua orang pengawal merangsek masuk, membungkuk, memberi hormat. "Seret dan masukkan bocah ini keruang isolasi. Jangan biarkan dia bertemu dengan siapapun. Dan jaga dia jangan sampai kabur.”
"Tidak! Ayahanda !" Aku berteriak histeris. Kenapa harus seperti ini ?
"Ampuni Putri Grizelle Yang Mulia sebagai gantinya. Anda boleh penggal kepala saya."
Namun, sayangnya rasa simpatik yang dimiliki sang kaisar telah menghilang. Hanya ada amarah membludak yang membutakan nuraninya sebagai manusia. Hatinya tertutup rapat, tidak bisa, dia tidak bisa membuka pintu maaf untuk permaisuri yang telah mendampinginya hingga dititik ini.
"Seret kedua orang ini dalam penjara, dan besok pagi, berikan lima puluh pukulan untuk mereka, lalu usir dan asingkan dia juga putriku!" perintahnya mutlak. Kaisar bahkan enggan untuk menatap wajahku yang meratap padanya. Hatiku sangat hancur.