Three

3586 Kata
Jennie masih setia berdiri di depan kamar Anna sambil mengetuk pintu kamar itu pelan. Sejak kejadian di kelab tadi di mana seorang pria dari antah berantah tiba-tiba mengakui Anna sebagai kekasih lalu menciumnya di depan orang banyak, Anna menjadi pendiam. Ia tidak mengatakan sepatah katapun pada Jennie. Belum lagi, gadis itu juga menangis dalam diam sejak di dalam mobil tadi. Sepertinya, perbuatan lelaki random itu begitu menyakiti hati Anna. “Anna, please open the door! Kumohon, bicaralah padaku, jangan diam terus seperti ini!” Jennie masih setia membujuk. Menyadari bahwa perkataan tidak berefek apa pun pada Anna, Jennie pun hanya bisa menghela napas lesu. Kini, rasa bersalah menyerangnya. Jennie mengacak rambutnya frustrasi sambil berjalan mondar-mandir ke arah sofa di dekat pintu kamar Anna. “Stupid Jennie! You are very stupid, Jennie Kim! Teman baikmu menangis karena dirimu! Bagus sekali!” Tiba-tiba pintu kamar Anna terbuka dan menampakkan sosok cantik yang kini tampak ‘berantakan’ itu. Jennie langsung beringsut mendekati Anna dan merangkul bahu gadis itu lembut. Ia menggiring Anna yang masih sedikit terisak untuk duduk di sofa. “Are you feelling well, now?” Jennie bertanya dengan nada khawatir. Anna terdiam kemudian menggeleng pelan. Jennie mendesah prihatin kemudian menarik Anna ke dalam dekapannya. Anna kembali terisak pelan di dalam pelukan Jennie. Jennie mengusap bahu Anna, menenangkan. “Katakan, apa saja yang telah dilakukan pria itu padamu, hm? Apa dia melecehkanmu lebih daripada sekedar menciummu?” Jennie mendorong Anna pelan untuk menatap wajah sendu temannya itu. Anna menunduk lalu menggeleng. “Di-Dia hanya menciumku, Jennie. Tapi ....” “Tapi apa, Anna? Katakan yang jelas pada—“ “Dia membuat traumaku kembali, Jennie! Traumaku atas sentuhan laki-laki kembali lagi. Dia menyentuh dan menciumku seperti apa yang pernah Sehun lakukan dulu. Itu membuatku takut!” Anna kini setengah histeris. “Aku pernah diperkosa, Jennie. Dan yang melakukannya adalah sahabatku sendiri yang juga merupakan cinta pertamaku. Itu sebabnya aku tidak pernah memakai pakaian terbuka, minum, dan pergi ke kelab. Aku takut mengalami pelecehan seksual lagi.” Jennie membungkam mulutnya dengan sebelah tangannya. Informasi yang keluar dari bibir Anna adalah berita baru untuknya. Ia begitu syok. Ia tidak menyangka bahwa gadis yang selalu bersikap tenang seperti Anna pernah mengalami hal seburuk dan semenakutkan itu. Lantas, Jennie kembali menarik Anna ke dalam pelukannya. “Oh, Anna, I’m so sorry! Kalau aku tidak mengajakmu ke kelab, pasti kau tidak akan menghadapi semua ini. I’m really sorry, Love! Sungguh, aku sangat menyesal, Anna. Oh Tuhan!” Jennie terus menenangkan Anna yang kini kembali terseret ke dalam memori masa lalunya. ***** Seoul, 2008 Setelah menempuh perjalanan yang lumayan singkat, Anna pun sampai di depan flat apartemen Sehun. Anna memasukkan kode apartemen yang sudah ia hafal di luar kepala; 2206. Kode itu adalah tanggal lahirnya, jadi wajar saja Anna mengetahuinya dengan sangat jelas. Saat Anna masuk ke apartemen itu, ia sama sekali tidak dapat melihat keberadaan Sehun. Anna memanggil, “Sehun?” Namun, tak ada jawaban dari pemuda itu. Anna pun berinisiatif untuk mencari di kamar. “Astaga!” Anna memekik kaget saat mendapati kamar Sehun yang begitu berantakan. Tidak hanya itu, beberapa kaleng bir berserakan di lantai kamar bernuansa abu-abu itu. Sementara itu, Sehun duduk di lantai sambil bersandar di pinggiran ranjang. Tanpa peduli dengan keberadaan Anna, ia kembali menandaskan bir yang masih berada di dalam kaleng dalam genggamannya. Anna setengah berlari ke arah Sehun dan merampas kaleng bir itu. Lalu, ia menatap wajah mabuk Sehun dengan tatapan kecewa. “Apa-apaan ini, Sehun? Kenapa kau melakukan semua ini? Untuk apa kau menyu—hhmph!” Tanpa aba-aba, Sehun langsung menarik Anna ke dalam dekapannya lalu menciumnya tepat di bibir. Ciuman itu bukan sekedar ciuman lembut seperti yang pertama kali Sehun lakukan padanya, melainkan sebuah ciuman kasar yang terkesan menuntut. Anna yang terkejut hanya mampu diam saat Sehun melakukan hal itu padanya. Namun, begitu ia tersadar bahwa ada yang salah pada sikap Sehun, ia pun langsung berusaha mendorong d**a Sehun. Ia berontak. Akan tetapi, Sehun seolah tak peduli dengan penolakan Anna. Ia semakin gencar berusaha memperdalam ciumanya sambil mendorong Anna berbaring di ranjang. Sehun melumat kasar bibir Anna kemudian berusaha menerobosnya untuk memasukkan lidahnya. Anna yang tahu apa tujuan Sehun semakin merapatkan bibirnya. Sehun kalap kemudian menggigit bibir Anna agar gadis itu membuka mulutnya. Anna melotot terkejut saat Sehun berhasil melesatkan lidahnya memasuki mulutnya. Anna semakin berontak, kali ini tidak hanya mendorong d**a Sehun, tapi ia juga berusaha memukulinya dan kakinya pun ikut menendang-nendang. Namun, Sehun justru semakin kalap dan akhirnya mengunci kedua tangan Anna ke samping kepalanya. Semakin lama ciuman panas Sehun membuat Anna kehabisan napas. Air mata mengaliri pipinya. Ia begitu terluka oleh perlakuan Sehun pada dirinya. Dadanya sakit dan sesak. Tubuhnya melemas. Ia takut. Sehun menyadarinya lantas menghentikan ciuman sepihaknya. Ia terengah dan menatap Anna dengan tatapan berkabut. Anna berujar lirih dan penuh luka, “Apa arti semua ini, Sehun? Kenapa kau—“. Sehun menggeram kemudian kembali menyerang bibir Anna dengan ciuman ganas. Anna kembali berusaha berontak, tapi tenaganya seolah tak cukup untuk melawan tenaga Sehun yang jauh lebih besar darinya. Sehun kini beralih mencium rahang lalu leher Anna. Anna semakin panik dan berteriak, “Se-Sehun! Hen-Hentikan!” “Aku mencintaimu dan ingin memilikimu ...,” Sehun berujar di sela-sela kegiatannya. Anna terpaku. Teriakan dan pemberontakannya tanpa sadar ia hentikan. “... Hwang Nana.” Namun, nama yang diucapkan Sehun langsung Anna didera sakit yang luar biasa di hatinya. Hwang Nana? Jadi sejak tadi Sehun membayangkan dirinya adalah Nana? Lalu, untuk apa Sehun memanggilnya untuk datang ke apartemennya? Apakah karena Sehun tidak ingin menyakiti Nana maka dari itu dia melampiaskan kepada dirinya? Isakan Anna makin jadi seiring dengan usahanya untuk menolak perlakuan Sehun juga semakin kuat. Ia kembali memukuli d**a dan bahu Sehun dengan tanganya yang sudah tidak lagi ditahan oleh Sehun. “Kau berengsek, Oh Sehun! Kau jahat! Kau—akh!” Akan tetapi, lagi-lagi Sehun semakin berusaha memaksakan kehendaknya pada Anna. Bahkan sekarang tangannya sudah menelusup ke dalam kemeja Anna dan meremas kasar sesuatu di baliknya. Anna menjerit setelah beberapa saat kemudian Sehun merobek kemejanya lalu membuka paksa bra yang dipakainya. “Sehun, jangan!” Anna mengatupkan bibirnya rapat saat mulut dan tangan Sehun bekerja di dadanya. Anna menggigit bibirnya hingga berdarah, menahan suara nista yang siap keluar dari bibirnya kapan saja. Tidak, ini salah! jeritnya dalam hati. Anna juga mengepalkan tangannya di samping tubuh lalu mencengkeram sprei. Tubuhnya seolah tak lagi berdaya untuk membuat sahabat sekaligus cinta pertamanya itu berhenti melakukan hal tak senonoh pada dirinya. “Ku-Kumohon, Sehun, hen-hentikan!” Anna kembali memohon agar Sehun berhenti melecehkannya saat tangan pemuda itu beralih ke daerah intimnya. Anna kembali memberanikan diri untuk mendorong Sehun yang semakin bernafsu itu. Sehun mendorong kasar tubuh Anna ke ranjang. Sambil menyeringai ia lantas menurunkan rok dan celana dalam Anna sekaligus lalu memulai penyatuan tubuh mereka. “Tid—argh!” Anna berteriak kesakitan saat Sehun menanamkan miliknya ke milik Anna. Sehun langsung membungkam bibir Anna yang mulai berteriak dengan bibirnya kemudian menggerakkan tubuhnya dengan liar. Tangis Anna pun semakin jadi saat ia harus menerima rasa sakit dan nikmat pada saat bersamaan yang ironisnya tak pernah ia inginkan itu. Harga diri serta hatinya seolah tercabik oleh fakta bahwa Sehun melakukan semua itu pada dirinya sambil membayangkan Nana, saudara kembarnya. Pelepasan tiada akhir pun dilalui keduanya. Itulah awal mula kehidupan sepasang anak manusia itu berubah untuk selamanya. ***** Sehun terbangun di pagi hari dengan kepala yang begitu terasa pusing. Pelan-pelan, ia menegakan tubuhnya yang lelah luar biasa dan bersandar di headboard ranjang king size-nya. Matanya membelalak terkejut saat melihat keadaan ranjangnya yang begitu berantakan. Tidak hanya itu, ia juga telanjang bulat di balik selimut yang menutupi tubuhnya. Perasaannya semakin kalut saat melihat bercak darah di spreinya disusul isak tangis di pojokan kamar. Sehun menoleh ke sumber suara. Ia terpekur saat melihat siapa yang ada di sana. Itu Hwang Anna, sahabatnya yang menangis tersedu dengan selimut yang membungkus tubuhnya. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menyadari apa yang baru saja terjadi. Ia dan Anna telah melakukannya. Dan sepertinya tanpa Sehun sadari, ia melakukannya dengan cara yang tidak semestinya melihat bagaimana terpukulnya Anna saat ini. “A-Anna, a-apa yang ... terjadi?” Sehun bertanya terbata. Ia ingin memastikan apakah sesuatu yang ia pikirkan sejak tadi memang telah terjadi di antara mereka berdua. Anna enggan menatap Sehun dan hanya terus menangis. Bahkan, tangisnya pun semakin kencang dan ia juga semakin mengeratkan selimut yang membungkus tubuhnya. Tak butuh banyak kata, Sehun akhirnya benar-benar yakin dengan pikirannya bahwa ia telah memperkosa Anna. Sehun mengumpat kencang lalu menutup wajahnya gusar. Ia menarik rambutnya sambil memperhatikan Anna yang masih setia menangis. Sehun sungguh tidak mengerti mengapa ia bisa melakukan semua itu pada Anna. Ia tidak bisa ingat apa-apa. Kini, ia begitu frustrasi dan merasa bersalah pada gadis yang baru saja ia perawani yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri Sehun turun dari ranjang lalu memakai celananya. Perlahan, ia melangkahkan tungkainya mendekati Anna. “A-Anna ....” “Jangan mendekat! Pergi kau, berengsek! Jangan dekati aku! Aku benci padamu! Pergi!” Anna menjerit dengan begitu histeris. Sehun terpaku mendengar makian Anna pada dirinya. Satu sudut dalam dirinya merasa sakit mendengar makian itu. Sehun benar-benar merasa sakit melihat Anna, sahabatnya terlihat begitu terpuruk seperti saat ini. Ingin ia berkata kasar pada dirinya sendiri. Bahkan kalau bisa ia juga ingin memukuli dirinya sendiri yang telah melukai harga diri sahabatnya itu. Sejak dulu, Sehun bersumpah akan menghajar siapa saja yang berani menyakiti hati Anna. Ironisnya, justru dia sendirilah yang melakukan hal b***t pada Anna. Sehun memejamkan matanya lalu jatuh bersimpuh di hadapan Anna. Anna menghentikan tangisannya. “Maafkan aku, Anna ....” ujar Sehun lirih. Suara Sehun bergetar. “Maafkan aku. Aku memang lelaki berengsek. Aku b******n, Anna. Aku pantas mati.” Anna mengerjap pelan mendengar perkataan Sehun. Sehun mendongak. Matanya yang berair bertemu dengan mata Anna yang menyiratkan banyak luka. Sehun perlahan mendekati Anna yang masih menatapnya tanpa kata. “Ja-Jangan mendekat, Sehun!” Anna berteriak ketika sadar bahwa kini jaraknya dengan Sehun hanya tersisa beberapa jengkal. Anna meringkuk semakin dalam ke pojok dinding. Ia begitu ketakutan. Sehun berhenti sesuai perintah Anna. Ia kembali menunduk dalam. Ia tidak menyangka bahwa Anna akan begitu takut padanya. Pasti semalam Sehun bertingkah bak monster maka dari itu sekarang Anna begitu takut padanya. Ya Tuhan, sebenarnya apa yang telah kulakukan padanya? sesal Sehun. Lusinan detik mereka lalui tanpa sepatah kata yang keluar dari bibir mereka masing-masing. Anna masih sibuk dengan luka hati serta tangisannya, sedangkan Sehun masih berdiam diri akibat rasa bersalah yang menderanya. “Jadi untuk inikah kau meneleponku semalam, Sehun? Untuk menghancurkanku? Kenapa, Sehun? Kenapa kau lakukan semua ini padaku? Apa salahku?” Pertanyaan Anna yang terdengar getir membuat Sehun mengerutkan dahi bingung. Menelepon? Kapan dan untuk apa ia menelepon Anna semalam? Sungguh, ia bingung. Ia tidak ingat apa pun soal itu. Apakah mungkin ketika mabuk, ia secara tidak sadar menelepon Anna? Tapi, untuk apa? “Apa maksudmu, Anna? Be-Benarkah aku meneleponmu?” “Kau pikir aku berbohong soal itu?! Kau meneleponku, Berengsek! Lalu setelah aku datang kau memperlakukanku bak seorang jalang. Kau merampas semuanya dariku. Semuanya! Kau menghancurkanku. Kau meniduriku dengan membayangkanku sebagai Nana. Kau jahat, Sehun! Kau berengsek!” Anna kini mendekat lalu memukuli Sehun tanpa ampun. Ia bahkan melupakan selimut yang membungkus tubuh polosnya hingga melorot ke lantai. Sehun diam saja dipukuli seperti itu. Rasa sakit yang ia rasakan tidak setara dengan penderitaan Anna yang tercipta oleh dirinya. “Aku mencintaimu, Sehun. Tapi kenapa kau lakukan ini padaku?” Anna berkata seiring pukulannya yang semakin melemah. Sehun membulatkan mata tak percaya mendengar pengakuan Anna padanya. Anna yang tadinya enggan menatap ke arahnya, kini memberanikan dirinya. “Apa yang kukatakan pada Nana dan Kak Chanyeol beberapa hari yang lalu adalah sebuah kebenaran. Aku mencintaimu, tapi kau mencintai Nana. Apakah kau melakukan semua ini padaku karena Nana, Sehun? Apakah kau mabuk karena dia? Tapi, kenapa kau melampiaskan semuanya padaku? Kenapa, Sehun? Aku tidak hanya terluka karena kau telah merampas keperawananku, Sehun, tapi karena kau juga melakukannya sambil terus-menerus menyebut nama Nana. Dadaku ini terasa sakit sekali, Sehun. Sakitnya terus berlipat saat kau—“ Tiba-tiba, Sehun memeluk Anna hingga gadis itu terbungkam seketika. Anna semakin tak bisa berkata-kata saat ia merasakan bulir-bulir air mata berjatuhan di bahunya yang polos. “Maafkan aku, Anna. Sekali lagi, maafkan aku,” Sehun berujar lirih. Anna semakin terisak. Dadanya semakin sesak. Permintaan maaf Sehun semakin membuatnya terluka. ***** New York, 2017 Sehun terbangun dengan bulir-bulir keringat membasahi kening mulusnya. Mimpi tentang kebejatannya sembilan tahun yang lalu kembali menghantuinya. Napasnya memburu. Perlahan, Sehun mengambil segelas air putih yang sudah tersedia di atas nakas lalu menandaskannya. Langit New York masih gelap. Seharusnya, ia kembali tidur saja. Namun, tidak mudah baginya untuk kembali terlelap. Perasaan bersalah yang tiba-tiba kembali menyambangi mimpinya membuatnya enggan. Sehun menatap gedung-gedung pencakar langit yang terlihat jelas dari jendela kamarnya. Segelas wine favoritnya berada dalam genggaman. Beginilah rutinitasnya jika belum bisa terlelap di malam hari. Sudah lama sekali, batinnya merujuk pada kota Seoul yang dulu begitu dicintai olehnya. Kini, sudah hampir sembilan tahun ia meninggalkan kota kelahirannya itu. Sesungguhnya, ia merindukan kota itu, termasuk orang yang ia sayangi yang berada di sana. Namun, rasa bersalah yang terus mengekori bak bayangannya sendiri membuatnya enggan untuk pulang. Ia takut akan bertemu dengan Anna, alasan terbesarnya merasakan rasa bersalah di dadanya. Kesalahan yang ia perbuat pada Anna juga bertubi. Banyak sekali, hingga ia masih saja takut bertemu dengannya, takut menyakiti hatinya lagi untuk ke sekian kali. “Sedang memikirkan apa?” tanya Kiara yang baru saja masuk ke ruang kerja Sehun. Kini, Sehun sudah berada di kantornya, bekerja. Padahal, sejak semalam ia masih belum tidur juga. Rasa kantuk sebenarnya sudah menyerang sejak menjelang pagi tadi. Akan tetapi, berhubung Sehun adalah orang yang menjunjung tinggi profesionalisme, jadilah ia berangkat ke kantor untuk bekerja. Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, Sehun kan seorang CEO di perusahaannya. Ia bisa datang seenaknya atau bahkan tidak datang sama sekali ke kantor, bukan? Tapi Sehun tidak suka bersikap begitu. Ia hanya ingin memberi contoh yang baik pada semua karyawannya. Sehun menghembuskan napas pelan lalu menjawab, “Tidak ada. Aku tidak sedang memikirkan apa-apa. Ada apa?” Kiara tersenyum dan mengangguk singkat lalu menyerahkan sebuah undangan pada Sehun. Sambil mengernyit, Sehun menerima undangan itu. “Undangan apa ini?” “Undangan pernikahan putra sulung Tuan Kim Shin dari Grup SK, Kim Suho.” Kiara menjelaskan. Sehun membuka dan membaca isi undangan itu dengan serius. “Pernikahannya diadakan satu bulan lagi di London?” Kiara mengangguk singkat. “Benar. Basis mereka memang berada di London. Jadi wajar saja kalau mereka mengadakan pernikahannya di London, bukan?” Sehun mengangguk paham lalu meletakkan undangan itu di meja kerjanya. Kemudian, ia mengarahkan netranya pada Kiara yang menundukkan kepalanya dalam. Wajahnya tampak muram. Sehun mengernyitkan dahinya. “Are you okay?” Sehun bertanya. Kiara mendongak lalu tersenyum. Namun, senyumnya tampak dipaksakan. “Yeah, I’m okay. Kenapa kau bertanya seperti itu?” Kiara membuat nada bicaranya seolah ia sedang ceria. Tapi, Sehun tahu pasti kalau wanita itu sedang tidak baik-baik saja. “Benarkah? Saat bicara soal London tadi wajahmu langsung muram. Apakah kau teringat ‘dia’?” Ekspresi wajah Kiara langsung berubah. Namun, sedetik kemudian wanita itu langsung tersenyum sendu. “Sama seperti dirimu yang mempunyai kenangan buruk di Seoul, aku juga memiliki kenangan yang sama buruknya di London. Kau tahu benar akan hal itu bukan? Pasti kau akan bereaksi yang sama jika ada orang yang menyebut atau membahas tentang Seoul. Bukan begitu?” Sehun ikut tersenyum. Senyumnya sesendu senyuman Kiara. “Aku baru sadar kalau ternyata kita itu memang mempunyai banyak sekali persamaan.” Kiara mengangguk. “Ya sudah, aku keluar dulu kalau begitu.” Usai Kiara undur diri, Sehun memutar kursinya untuk menghadap ke jendela yang membingkai keindahan kota New York. Sehun menghela napas gundah lalu memejamkan matanya. ***** London, 2017 ”Kau sungguh tidak apa-apa, Anna? Kalau masih merasa terpukul, lebih baik tidak usah pergi ke butik dulu. Aku yakin, pasti Kak Irene akan memahami situasimu.” Jennie yang semalam menginap di apartemen Anna, mencoba membujuk gadis itu untuk di rumah saja. Semalam suntuk ia mendengarkan cerita Anna mengenai kejadian pahit yang pernah dialami sang sahabat di masa mudanya. Jennie tahu Anna pasti lelah, apalagi ia tidak berhenti menangis semalam. Sebab, ia sendiri pun lelah karena baru tidur selama dua jam. Anna menyungingkan senyum tipis. “Tidak apa, Jen. I’m fine. Aku bisa bekerja kok.” Jennie menghela napas jengah. “Wajahmu pucat, Demi Tuhan! Lebih baik kau istirahat dulu, Anna. Kau itu masih terguncang. Apalagi semalam kau baru saja menceritakan masa lalumu yang kelam. Kau pasti berpikir bahwa tubuhmu itu baik-baik saja, tapi kuyakin jiwamu tidak.” Anna terdiam mendengar ucapan Jennie. Sedikit banyak, gadis itu memang benar. Fisik Anna memang tidak merasa lelah walaupun semalaman tidak tidur. Namun, lebih dari itu, jiwanya masih terguncang akibat memori masa lalu yang tiba-tiba harus ia ingat kembali. “Diam dan istirahatlah di rumah, mengerti? Nanti akan kuhubungi Kak Irene untuk minta izin. Menurutlah padaku, ya? Hitung-hitung ini semua untuk menebus kesalahanku padamu semalam—“ “Jennie, sudahlah! Kejadian yang menimpaku semalam bukan kesalahanmu. Memang lelaki itu yang kurang ajar menggunakanku sebagai alat untuk memutuskan kekasihnya. Sudahlah, aku tidak ingin lagi mengingatnya.” “Aku penasaran, sebenarnya siapa laki-laki itu? Kalau aku tahu dia itu siapa, akan kucekik dia karena telah melecehkan temanku. Awas saja kalau aku benar-benar bertemu dengannya!” Anna tertawa melihat Jennie bersungut-sungut. Jennie ikut tersenyum melihat Anna tertawa. “Akhirnya kau bisa tertawa lagi,” desahnya lega. Anna tersenyum lalu menundukkan kepalanya. “Sudah, sana istirahat! Akan kubuatkan sesuatu yang hangat untukmu.” “Memangnya Tuan Putri sepertimu bisa masak?” Jennie mengerucutkan bibir kesal mendengar perkataan Anna yang seolah menyindirnya. Sebelum Jennie benar-benar kesal padanya, Anna sudah kabur duluan masuk ke kamarnya. “Baiklah, aku akan istirahat, Chef Jennie!” Anna berujar sambil terkekeh pelan dan menutup pintu kamarnya. “Hwang Anna, awas kau, ya!” teriak Jennie lalu tersenyum geli melihat kelakuan temannya yang sudah jauh lebih baik daripada semalam. ***** Kim Kai memarkirkan Maserati miliknya di depan kafe yang menjadi tempat janji temu antara ia dan sang kakak tiri, Kim Suho. Dengan wajah tak suka, ia memasuki kafe yang cukup mewah itu lalu mencari-cari keberadaan sang kakak yang lahir dari rahim yang berbeda dengan dirinya. “Ada apa kau menyuruhku menemuimu?” tanya Kai sambil meletakkan p****t di kursi seberang kakaknya itu duduk. Suho yang sedang membaca sesuatu di tabletnya lantas mendongak lalu tersenyum hangat pada Kai yang bersungut-sungut. “I miss you, my lil’ brother,” ungkapnya dengan wajah sok imut. Kai langsung menatapnya ngeri lalu melayangkan tangannya di udara hendak memukul Suho yang kini terkekeh itu. “Kau ini! Jangan memasang tampang seperti itu! Kau membuatku merinding. Cepat katakan apa keinginanmu supaya aku bisa lekas pergi. Aku sudah ada janji di Milan.” “Janji apa? Paling-paling kau hanya akan party di sana, kan? Hei, berhentilah main-main! Kau sudah dewasa, Kai.” “Terserah apa katamu. Ini duniaku, biar aku yang menentukan mana kehidupan yang akan kujalani dan mana yang tidak.” Suho menghela napas pasrah menghadapi kelakuan adiknya itu. Sejak dulu Kai memang suka berbuat seenaknya dan ia juga keras kepala. Percuma saja menasihati adiknya itu. “Datanglah ke pernikahanku!” Suho menggeser undangan pernikahannya yang sejak tadi sudah ia siapkan di atas meja. Mata Kai menyipit menatap undangan dengan desain elegan itu. Beberapa saat kemudian, matanya melebar. Ia menatap Suho tak percaya lalu menimang-nimang undangan itu di depan wajahnya. “Kau serius akan menikah?! Cool!” Kai tertawa kecil. Suho menggelengkan kepalanya tak percaya melihat tingkah laku Kai. “Ini atas perintah Ayah atau kau sendiri yang memang akan menikah, hm?” Kai bertanya sesaat kemudian disertai sindiran. Suho tertawa kecil sambil menggeleng tak setuju. “Tentu saja aku menikah atas keinginanku. Asal kau tahu saja, Irene itu kekasihku, bukan salah satu anak dari rekan bisnis Ayah. Kau terlalu lama meninggalkan rumah, jadi kau tidak tahu apa saja yang terjadi di sana termasuk soal pernikahanku.” “Salahkan Ayah kalau begitu. Dia yang membuatku tidak nyaman berada di rumah.” Wajah Kai mengeras. Membicarakan ayahnya terasa memuakkan baginya. Tidak seperti Suho yang kadang menuruti segala perintah ayahnya, ia justru bersikap sebaliknya. Ia tidak suka diatur oleh siapapun, apalagi ayahnya. Ayahnya bak seorang diktator dan ia tidak menyukainya. “Pokoknya kau harus datang, ya! Aku ingin adikku tercinta menghadiri momen terpenting dalam hidupku ini.” Suho tampak berharap. Kai merilekskan wajahnya. Sembari berpikir ia mengangguk mengiyakan. “Selama ini bukan pernikahan bisnis yang direncanakan oleh Ayah, aku akan datang. Yah, walaupun nanti aku harus siap bertemu dengannya dan menerima omelannya. Tidak apa, karena aku menyayangimu sebagai kakakku.” Suho tersenyum lega mendengar perkataan Kai. “Tapi, wanita seperti apa Irene? Aku penasaran dengan tipe kakakku ini.” Suho tersenyum malu-malu. “Dia wanita yang cantik, lembut, dan mandiri. Dia adalah seorang desainer dan punya butik sendiri.” Kai mengusap dagu penasaran. “Desainer, ya? Hm, boleh aku minta alamat butiknya? Aku ingin berkenalan dengannya. Siapa tahu pegawai butiknya ada yang cantik lalu bisa kukencani?” Kai mengerling. Suho langsung mendelik tajam padanya. “Berkencan saja yang ada di otakmu! Tidak mau! Lebih baik kau segera ke Milan saja sana. Aku muak melihat playboy kampung sepertimu. Aku juga mau berangkat ke kantor.” Suho langsung beranjak dari kursinya. Kai terkekeh lalu ikut mengekori sang kakak sambil merangkul bahunya akrab. “Kita keluar bersama,” ujar Kai saat Suho menatap tajam padanya. Suho menggeleng tak habis pikir lalu tersenyum lebar sambil menatap Kai penuh kasih sayang. Adikku yang malang, batin Suho sendu.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN