One
London, 2017
Seorang gadis cantik berwajah campuran Korea-Jepang itu sedang duduk sendiri di sebuah kafe yang terletak tidak jauh dari butik tempatnya bekerja. Secangkir coklat panas sudah tersaji di atas meja di hadapannya, tapi harumnya masih tak mampu mengalihkan atensi si cantik dari kegiatan favoritnya.
Melihat hujan.
Entah kenapa, gadis itu begitu suka melihat hujan. Suara dan bau hujan membuatnya rileks dan tenang. Mungkin karena itulah ia betah hanya berdiam diri saat hujan turun. Ia suka saat bulir-bulir hujan menuruni bumi.
"Percuma saja kau memesan coklat panas kalau pada akhirnya hanya kau diamkan seperti itu, Hwang Anna," sebuah suara feminin menyapa gendang telinga gadis bernama Hwang Anna itu.
Anna lantas menoleh ke sumber suara. Ia tersenyum saat mengetahui siapa sosok cantik yang sedang bicara padanya itu.
"Kakak sudah datang?" sapanya pada Irene Bae, pemilik butik tempatnya bekerja. Irene dan Anna sudah dekat sedari kuliah. Wanita yang tiga tahun lebih tua dari Anna itu adalah senior di kampusnya dulu.
Irene mengangguk sambil tersenyum cukup lebar. Wanita itu melirik pada coklat panas Anna yang sama sekali belum tersentuh. Ia mendengus. "Kau itu suka sekali pada hujan, ya? Sampai-sampai coklat panasmu kau diamkan hingga hampir dingin begitu."
Anna meringis kemudian menyentuh cangkir coklat panasnya. "Benar, sudah dingin." Anna pun meneguknya sedikit.
Irene menggeleng tak percaya sambil berdecak. Wanita itu segera memesan latte untuk dirinya sendiri.
"Kau membawa desain yang kuminta, kan?" Irene bertanya. Anna mengangguk sambil tersenyum lebar.
Anna mengambil sebuah buku yang memuat desain-desain baju yang dibuatnya. "Ini, Kak. Kuharap, Kakak menyukainya."
Irene menerimanya dengan senang hati. Senyum semringah terpancar dari wajah cantiknya saat membolak-balik hasil karya asistennya itu. "As expected, Anna. Desainmu menakjubkan." Irene tersenyum bangga pada Anna.
Seulas senyum tipis Anna berikan sebagai respon.
"Oh ya, bagaimana keadaan nenek Kakak?" Anna bertanya. Irene baru saja kembali dari Seoul, Korea Selatan untuk menjenguk neneknya yang sedang sakit. Sebelum Irene pulang ke Korea, ia mendengar bahwa keadaan nenek dari bosnya itu kritis. Maka dari itu, Anna ingin tahu bagaimana keadaan terkini beliau.
Irene menghela nafas pelan lalu tersenyum tipis. "Nenek sudah sedikit membaik. Operasinya berjalan lancar. Terima kasih karena telah mendo'akannya, ya?"
Senyum lega terpatri di wajah jelita Anna. "Syukurlah kalau begitu."
Irene mengangguk. Kemudian, wanita itu menatap Anna serius.
"Kau tidak ingin pulang?" tanya Irene.
Wajah Anna langsung berubah saat mendengar kata 'pulang' terlontar dari bibir Irene. Anna tampak pucat. Ia paham betul apa yang Irene maksud dengan kata 'pulang' itu. Namun, ia tidak bisa-bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menundukkan kepalanya
"Kau masih tidak ingin pulang juga, ya?" Irene mendesah lesu. Wajahnya tampak begitu prihatin menatap Anna.
"Move on-lah dari masa lalumu, Anna. Yang bersalah padamu adalah 'lelaki itu', bukannya keluargamu. Jangan hukum mereka juga."
"Aku bukannya menghukum mereka, Kak," sergah Anna dengan nada frustrasi. "Aku hanya tidak bisa saja kembali ke sana. Aku takut—"
"Takut bertemu dengan 'dia'? Astaga, Anna! Bahkan, saat pemakaman kakakmu, dia tidak menampakkan batang hidungnya, bukan? Jadi kenapa kau harus takut bertemu dengannya?"
Anna terpekur. Perkataan Irene ada benarnya, sosok yang menjadi sumber kebencian dan traumanya itu tidak hadir dalam pemakaman Nana tiga tahun yang lalu. Tiga tahun yang lalu, Anna sempat pulang ke Korea hanya untuk menghadiri pemakaman saudara kembarnya itu, tapi ia tidak melihat kehadiran 'dia'. Tidak menutup kemungkinan bahwa Anna juga tidak akan bertemu lagi dengan 'dia' kali ini, bukan?
Melihat Anna yang terdiam, Irene berinisiatif untuk menyentuh tangan Anna yang berada di atas meja. Anna sedikit tersentak, tapi Gadis Hwang itu tidak menarik tangannya.
"Anna, bukannya aku ingin mencampuri kehidupan pribadimu. Tapi menurutku, kau harus mencoba untuk berdamai dengan masa lalumu. Hidup dalam bayang-bayang masa lalu sangat melelahkan. Kau harus mencoba untuk hanya melihat ke depan, Anna. Aku bicara seperti ini karena aku peduli padamu. Kau mengerti, kan?"
Anna mengangguk lalu tersenyum, tapi senyumnya masih sendu. Perlahan, ia menarik tangannya lalu kembali melihat keluar kaca. Pikirannya berkelana ke masa lalu, kepada kenangan yang pernah terukir di antara ia dan sosok 'dia'.
*****
Seoul, 2008
Siang itu tampak begitu cerah. Waktu sudah menunjukkan jam makan siang. Semua murid Seoul International High School berbondong-bondong keluar dari kelas begitu bel berbunyi. Mereka hendak makan siang di kafetaria, tentu saja.
Anna, Nana, dan beberapa teman sekelas mereka sedang makan bersama di sebuah meja dekat jendela kafetaria. Mereka sedang asyik mengobrol satu sama lain saat tiba-tiba ....
Plakk!
... sebuah tamparan keras menyapa pipi seorang siswa tampan yang baru saja memutuskan hubungan dengan kekasihnya di kafetaria sekolah dan disaksikan oleh murid-murid lainnya.
Siswa yang baru saja ditampar itu sama sekali tidak marah ataupun mengaduh akibat tamparan yang saat ini membekas di pipinya itu. Sebaliknya, ia hanya memasang wajah datar andalannya.
Anna dan Nana langsung berdiri dari kursi mereka dan terkejut begitu tahu siapa siswa yang ditampar itu. Dia tidak lain dan tidak bukan adalah sahabat mereka sendiri.
"Kau berengsek, Oh Sehun! Kita baru berkencan selama seminggu dan sekarang kau memutuskanku? Kurang ajar!"
Siswa bernama Oh Sehun itu hanya menyeringai, "Kau tahu? Kau adalah gadis terlama yang kukencani, Krystal Jung. Biasanya aku hanya akan mengencani seseorang dalam waktu dua sampai lima hari. Kau harusnya bangga akan hal itu."
"Bangga katamu?" Krystal tergelak miris. "Aku adalah salah satu gadis yang paling diincar di sekolah ini, tapi bisa-bisanya kau mencampakkanku setelah seminggu kita berkencan? Dan lagi, kau memutuskanku di depan orang banyak, Oh Sehun! Kau benar-benar telah menghancurkan reputasiku!"
Sehun tertawa. Tawanya seolah mengejek Krystal yang hampir menangis karena malu. "Salah siapa kau mengejar diriku, hm? Kau sudah tahu kalau aku ini tidak betah berkencan dengan seorang gadis saja, bukan? Aku sudah terkenal playboy di sekolah ini. Yang mengajakku berkencan, kan kau sendiri? Jadi kalau aku sudah bosan denganmu lalu membuangmu, kau harusnya sudah siap. Kau harusnya sudah tahu risikonya bila berkencan denganku."
"Bukan begitu aturannya, Oh Sehun! Seharusnya akulah yang berhak membuangmu, bukan sebaliknya!" Krystal meraung. Sehun masih saja memasang raut datar.
"Sudah bicaranya? Kalau begitu, aku pergi," Sehun beranjak dari hadapan Krystal.
Krystal berusaha menahan Sehun agar tidak meninggalkannya dengan memanggil nama, tapi Sehun masih saja tak acuh. Bahkan, Krystal juga mengekorinya. Sehun tetap berjalan dengan santainya berjalan ke arah meja yang ditempati Anna dan Nana.
Namun, seketika Sehun menghentikan langkahnya tepat di samping meja tempat Anna dan Nana duduk ketika Krystal berteriak, "Kau menyukai Nana, kan?"
Sehun membeku lalu melirik ke arah kedua sahabatnya yang terkejut menatapnya, terutama pada Nana.
Krystal tersenyum sinis lalu melanjutkan, "Tapi kau tidak bisa memilikinya karena Nana sekarang berkencan dengan Kak Chanyeol. Kau pikir aku tidak tahu? Itu sebabnya kau bersikap berengsek pada semua gadis yang pernah kau kencani sebagai pelampiasan atas patah hati yang kau rasakan."
Sehun yang awalnya membisu, kini berbalik menghadap Krystal. Seringai khas menghiasi wajah blasterannya. "Wah, kau pintar sekali menebak, ya?! Kau tahu? Selama ini aku memang patah hati karena gadis yang kusukai, maka dari itu aku melampiaskannya dengan mengencani banyak gadis lalu kubuang begitu aku sudah bosan."
Senyum penuh kemenangan kini mulai terbit di kedua ujung bibir Krystal. Sebaliknya, raut terkejut semakin terlihat dari wajah Nana. Anna beda lagi, ia hanya mampu menundukkan kepalanya. Pernyataan Sehun sepertinya bukan berita baru baginya.
"Tapi, Krys, gadis yang kusukai itu bukan Nana."
Kini giliran Anna yang mendongak karena terkejut. Bukankah selama ini Sehun memang menyukai Nana? Sehun memang tidak pernah bercerita padanya, tapi Anna mengetahuinya. Terlihat jelas sekali dari sikap Sehun yang menunjukkan kalau pemuda itu memang menyukai kembarannya. Tapi, kenapa sekarang ... ?
Krystal membelalak. "A-apa? Kalau bukan Nana lalu ... siapa?"
Seringai Sehun makin lebar. Ia kembali membalikkan badannya menuju meja sahabat-sahabatnya itu lalu ....
Anna dan murid lainnya terkejut ketika Sehun menarik tengkuk Anna lalu menyatukan bibir mereka. Ya, Sehun mencium Anna tepat di bibir. Awalnya bibir mereka hanya saling menempel satu sama lain, nyaris tidak bisa disebut sebagai sebuah ciuman, bukan? Namun, sedetik kemudian Sehun benar-benar membuatnya menjadi sebuah ciuman yang semestinya. Anna semakin terpaku karenanya.
Anna tidak dapat mengontrol jantungnya yang kini berdetak beberapa kali lebih cepat dari biasanya. Seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di perutnya. Ada sensasi geli yang menyenangkan baginya. Itu adalah ciuman pertamanya, apalagi dengan orang yang disukainya. Anna merasa bahagia saat itu.
Namun, kebahagiaannya tidak berlangsung sama karena pada detik selanjutnya, ia sadar akan satu hal; Sehun menciumnya semata-mata untuk mengelak dari tuduhan Krystal. Sehun menciumnya untuk membohongi semua orang yang berada di kafetaria saat itu, khususnya Nana. Ia hanya ingin membuat mereka semua percaya bahwa Sehun tidak menyukai Nana.
Padahal, kenyataannya justru sebaliknya, Sehun sangat menyukai Nana. Anna tahu betul akan hal itu dan kenyataan itu begitu menohoknya.
*****
"Anna, maafkan aku. Tadi aku menciummu karena ...."
"Aku mengerti, Sehun. Tidak perlu kau jelaskan. Kau hanya ingin membuat Krystal kesal, kan? Aku paham." Anna tersenyum maklum pada Sehun yang rautnya tampak merasa bersalah itu.
Setelah pulang sekolah, Anna dan Sehun pergi ke taman bermain di dekat sekolah mereka. Sehun mengajak Anna ke tempat itu untuk menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka usai insiden ciuman di kafetaria itu.
"Kau tidak marah? Maksudku, aku kan sudah merebut ciuman pertamamu? Sebagai seorang gadis, kau pasti selalu bermimpi akan mendapatkan ciuman pertamamu dari seseorang yang kau sukai, bukan? Tapi aku telah menghancurkannya dalam sekejap mata."
Anna menatap Sehun lama kemudian terkekeh pelan. "Astaga, Sehun! Kau tahu sendiri bagaimana aku, bukan? Aku bukan Nana yang akan peduli tentang hal-hal seperti itu," sergahnya. Lantas, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Seketika ia menggigit bibir, menahan rasa sakit di dadanya.
Aku sudah mendapatkan ciuman pertamaku dengan orang yang kusukai, Sehun. Orang itu adalah kau. Tapi kau tidak menyadarinya karena kau menyukai Nana! Ingin sekali Anna berteriak seperti itu pada Sehun, namun, ia menahannya di dalam hati. Anna tidak sanggup mengatakan perasaannya yang sebenarnya pada pemuda yang tengah duduk di samping ayunan yang ia duduki itu.
"Tapi pasti harga dirimu terluka, kan? Bagaimanapun, aku sudah menciummu seenaknya di depan orang banyak. Kau pasti terluka akan sikap kurang ajarku. Aku ini memang bodoh sekali."
Anna berdecak. "Sehun, sudahlah tidak usah membahasnya lagi! Aku tidak apa-apa," semprotnya pada Sehun. Ia menghunuskan tatapan jengkelnya. "Kalau kau terus-terusan bicara tentang hal itu, maka aku akan benar-benar marah padamu."
Sehun menjadi gelagapan. "Oke, oke, aku akan diam. Aku tidak akan bicara soal itu lagi. Aku janji." Sehun membentuk huruf 'V' dengan jarinya.
Anna hanya menghela nafas pelan. Namun, dalam hati sejujurnya ia ingin sekali menangis saat ini. Perasaan bersalah yang Sehun rasakan justru terasa lebih menyakitkan baginya dibandingkan ciuman palsunya bersama pemuda itu tadi.
"Sebenarnya, aku memang menyukai Nana," aku Sehun dengan nada masam. Anna menoleh padanya. "Tapi kau tahu sendiri kalau Nana adalah kekasih Kak Chanyeol, kan? Maka dari itu, aku tak mau Nana mengetahui perasaanku. Aku tidak mau merusak persahabatanku dengan dua orang sekaligus, yaitu Nana dan Kak Chanyeol. Maaf karena aku seolah-olah memanfaatkanmu. Sekarang, semuanya menjadi semakin rumit setelah semua murid tahu bahwa aku menyukaimu dan telah menyatakan perasaanku pada dirimu."
Sehun menghela nafas getir. Anna bisa melihat dengan jelas raut frustrasi pemuda itu.
"Aku tahu, Sehun. Aku tahu kalau kau menyukai Nana sejak lama," Anna berujar. Sehun menatapnya terkejut.
"Bagaimana kau tahu soal itu?"
Anna tersenyum getir. "Sejak dulu bukannya aku memang sangat peka terhadap perasaan seseorang? Aku mengetahuinya lewat instingku sebagai seorang perempuan dan sebagai seorang sahabat, Sehun. Beberapa tahun terakhir ini, kau banyak berubah. Orang yang sedang jatuh cinta itu mudah sekali terdeteksi. Kau salah satunya. Apalagi, perilakumu semakin berubah sejak Nana dan Kak Chanyeol resmi menjadi sepasang kekasih. Kau menjadi seorang playboy yang sejujurnya begitu berengsek."
Anna menghembuskan nafas pelan. "Intinya, aku sudah tahu sejak awal, Sehun. Aku sudah tahu kalau kau menyukai Nana bahkan sebelum kau sempat menyadarinya."
Sehun terperangah mendengar perkataan Anna. Ia kira hanya ia dan Tuhan yang mengetahui soal rasa sukanya pada Nana. Rupanya, Anna justru menjadi orang pertama yang menyadarinya.
"Soal pernyaataan cinta palsumu tadi, bagaimana kalau kita jalani saja?"
Perkataan Anna membuat Sehun terkejut. "Maksudmu, kita ...."
"Ya, kita berkencan saja seperti ajakanmu tadi. Kita pura-pura berkencan untuk semakin meyakinkan orang-orang, khususnya Nana kalau kau memang menyukaiku."
Sehun mengerjapkan matanya bingung. "K-Kau tidak keberatan membantuku?"
Anna melejitkan bahu. Senyum manis yang sedikit ia paksakan menyapa netra Sehun. "Tidak ada salahnya membantu sahabatku sendiri, bukan?"
Sambil tersenyum lebar Sehun bangkit dari ayunan yang didudukinya untuk menghampiri Anna. Sehun menarik lembut lengan Anna untuk membuat Gadis Hwang itu berdiri kemudian memeluknya dengan erat.
"Terima kasih, Anna. Kau memang sahabat terbaikku."
Anna lagi-lagi terpaku akibat tindakan Sehun yang tiba-tiba itu. Dengan berusaha menahan tangis akibat rasa sakit di rongga dadanya, Anna pun membalas pelukan Sehun dengan sama eratnya.
Ya, aku hanyalah sahabat bagimu, bukan? Dan sampai kapanpun aku akan tetap menjadi sahabat bagimu, batin Anna getir.
*****
Present day
Anna tersenyum sendu sambil menatap fotonya dan Nana yang tersenyum ke arah kamera. Foto itu adalah foto yang diambil beberapa tahun silam jauh sebelum Anna mengalami kejadian pahit 'itu'.
"Kak, aku merindukanmu," Anna berbisik sendu. Lantas, ia mendekap foto itu di dadanya.
Perkataan Irene tadi sore benar-benar membuatnya kepikiran. Sejujurnya, ia juga sangat merindukan keluarganya. Ia rindu omelan serta kelembutan ibunya; ketegasan sang ayah yang merupakan salah satu Guru Besar di Universitas Sungkyunkwan; keponakannya yang cantik dan lucu, Luna; serta kakak iparnya, Park Chanyeol.
Pertama dan terakhir kali Anna pulang ke Korea adalah saat hari pemakaman Nana. Sebelum-sebelumnya, ia sama sekali tidak pernah pulang ke sana sekalipun saat liburan semester. Bahkan, di hari pernikahan Nana dengan Chanyeol pun, Anna tidak dapat menghadirinya karena tepat pada hari itu ia harus mengikuti ujian.
Akan tetapi, penyebab utama keengganannya untuk pulang karena luka masa lalu yang melibatkan Oh Sehun di dalamnya. Ya, Oh Sehun, sahabatnya yang juga merupakan cinta pertamanya. Anna begitu takut bertemu Sehun jika ia kembali ke Korea. Padahal, saat ini saja ia tidak tahu di mana keberadaan lelaki itu.
Anna terkesiap ketika ponselnya tiba-tiba berbunyi. Ada satu pesan masuk dari Jennie Kim, teman dekatnya sewaktu kuliah di Paris.
Setelah membaca pesan dari Jennie, Anna menghembuskan nafas perlahan kemudian beranjak dari kamarnya. Sebelumnya, ia sudah meletakkan bingkai foto yang memuat fotonya bersama Nana di atas nakas. Di sana juga terdapat foto ia dan keluarganya yang lain.
Anna keluar dari apartemennya. Ia sudah mengenakan sweater dan celana jeans kesayangannya. Sepertinya, gadis itu hendak pergi jika dilihat dari tas yang dibawanya. Setelah ia keluar dari gedung apartemen, seorang gadis cantik menyambutnya. Gadis itu mengendarai mobil Mercedes Benz.
"Anna, aku sudah lama menunggumu! Ayo, kita pergi sekarang!" Gadis itu menarik tangan Anna tak sabaran masuk ke mobilnya.
Anna mengernyit heran lalu berusaha menghentikan pergerakan gadis itu. Ia pun berhasil menarik kembali tangannya. Jennie berdecak.
"Jennie, tunggu sebentar! Kau mau membawaku kemana sih? Kenapa pakaianmu ... ?" Anna memperhatikan penampilan Jennie dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seketika iaa bergidik ngeri. Pakaian teman semasa kuliahnya itu sangat seksi.
"Jennie Kim, jangan bilang bahwa kau akan mengajakku ke ...."
Jennie tersenyum lebar seraya mengangguk antusias. "You're right, Anna. Aku akan mengajakmu ke kelab. Ayo, cepat kita tidak—"
"Tidak, Jennie! Aku tidak mau ikut denganmu kalau begitu," tolak Anna tegas. "Kau tahu sendiri kan kalau aku tidak suka ke kelab? Aku tidak suka minum dan aku—"
"Tidak, Anna. Aku tidak akan menyuruhmu untuk minum, tenang saja. Aku hanya ingin kau menemaniku bersenang-senang. Itu saja."
"Sama saja, Jennie. Aku tidak suka pergi ke kelab, Demi Tuhan! Lagi pula, apa bersenang-senang itu harus di kelab? Lihatlah pakaianmu, Jen! Kau tidak takut kalau kau akan—"
"Anna!" Jennie meletakkan tangannya di bahu Anna. Ia tersenyum menenangkan. Anna langsung terdiam.
"Tenanglah, Anna! Ini hanya kelab. Mungkin di sana memang merupakan tempat yang laknat, tapi tidak semua orang yang datang ke sana akan berbuat buruk padaku. Tenang saja, oke? Lagi pula, aku hanya akan mengajakmu menari kok."
"Menari? Oh, God!" Anna mengerang frustrasi. Jennie masih menatap dengan tatapan memohon.
"Come on, Anna! Sekali ini saja ikutlah denganku ke kelab. Kau khawatir padaku, bukan? Kalau begitu, ikutlah denganku agar kau bisa memastikan keselamatanku, ya?"
Anna menatap Jennie yang mengedip-ngedipkan matanya lucu. Bebarapa saat kemudian, ia kembali mengerang lalu mengangguk dengan enggan.
Jennie menjentikkan jari girang. "That's my friend! Okey, let's go!" Lalu, Jennie pun menarik Anna agar masuk mobilnya. Anna pasrah menghadapi kelakuan temannya itu.
*****
Anna menghembuskan nafas kesal berungkali. Tatapannya begitu sengit ia tujukan pada Jennie yang saat ini sedang asyik menari dengan teman-teman hangout-nya. Lantas, Anna merunduk. Ia mengerang frustrasi kemudian mengganti posisi kakinya yang menyilang.
"Gaun sialan!" rutuk Gadis Hwang itu. Ia begitu kesal saat ini karena sebelum pergi ke kelab tadi, Jennie menyuruhnya ganti baju dan, tada! Jennie memberi sebuah gaun yang cukup terbuka untuknya.
Gaun itu berupa gaun ketat berwarna hitam dengan tali spageti di bagian bahu yang hanya menutupi setengah pahanya. Anna sendiri saja tidak tahu bagaimana awalnya ia mau menerima gaun pemberian Jennie. Sekarang, ia begitu kesal pada Jennie, tapi ia lebih kesal pada dirinya sendiri yang dengan mudah menerimanya.
Anna mendengus kesal. Lantas, ia bangkit dari sofa di pojok kelab yang didudukinya kemudian menapaki lantai dansa dan menghampiri Jennie.
"Aku mau ke toilet dulu," ujarnya sambil setengah berteriak pada Jennie.
Jennie hanya mengangguk singkat dan melanjutkan tariannya dengan heboh seperti sebelumnya. Anna menggeleng tak habis pikir melihatnya.
Anna baru akan menuju toilet saat tiba-tiba sebuah tangan besar melingkari bahunya. Anna menoleh dan terkejut saat melihat wajah seseorang yang merangkulnya itu.
"Kau....?!"
Anna tidak dapat menahan rasa terkejutnya saat mendapati seorang pria berwajah Asia dengan kulit tan merangkul bahunya mesra. Tidak hanya itu, pria itu tersenyum manis padanya seolah-olah mereka memang saling kenal.
“Hai, Sayang! Kau sudah datang rupanya?” Pria itu bertanya.
Anna semakin heran. Siapa sih pria random yang merangkulnya ini? Kenapa pria itu memanggilnya dengan sebutan ‘Sayang’?
“Maaf, tapi kau—“
Anna tidak dapat menyelesaikan pertanyaannya karena pria itu sudah lebih dulu membungkam mulutnya. Bukan membungkam dengan tangan, melainkan dengan bibir!
Anna begitu syok sampai tidak dapat berbuat apa-apa. Rasanya seperti deja vu. Bedanya, kali ini seorang pria random yang melakukannya padanya. Tidak seperti dulu saat Sehun yang melakukannya.
Belum habis rasa syoknya, pria itu menarik diri. Oh, atau lebih tepatnya dia ditarik paksa oleh seorang wanita pirang yang kemudian menampar pipi pria itu dengan sangat keras.
“You jerk, Kai! I hope you’ll die!” Si Pirang itu memaki pria bernama Kai yang justru menyeringai. Wanita tersebut menggeram marah.
“Terserah apa katamu, Taylor. Sekarang kau sudah percaya kalau aku benar-benar memiliki kekasih baru, kan? Nah, lebih baik kau pergi sekarang. Hush!”
Taylor semakin geram dengan perlakuan Kai padanya. Dengan menghentakkan kakinya kesal, Taylor menerobos kerumunan orang-orang yang menonton pertengkaran mereka.
Setelah Taylor pergi, Kai beralih pada Anna yang masih terdiam karena syok.
Kai tersenyum miring, “Hai, Nona Cantik! Maafkan sikapku tadi, ya, aku han—“
Plakkk!
Tamparan keras kembali menyapa pipi Kai. Kali ini Anna yang melakukannya. Kai menatap Anna tak percaya. Ia hampir marah, tapi seketika urung karena melihat wanita itu berkaca-kaca. Tatapan yang ditunjukkan olehnya adalah jenis tatapan yang menyiratkan luka. Kai tertegun.
“Kau b******n! Kau pikir kau itu siapa seenaknya mencium orang lain? Apa kau pikir semua wanita akan bertekuk lutut padamu? Apakah semua wanita serendah itu di matamu hingga kau bisa dengan mudahnya mencium wanita lain untuk memutuskan hubungan dengan kekasihmu? You bastard!”
Anna berjalan pergi meninggalkan pria bernama Kai yang masih tertegun itu. Tak lama kemudian, Jennie yang sudah berhenti menari berteriak memanggil namanya lalu berlari mengekori.
Sementara itu, Kai justru masih memperhatikan ke mana arah perginya Anna. Sudut bibirnya terangkat.
“Siapa dia sebenarnya? Kenapa aku merasa begini?” gumamnya pada diri sendiri. Dia merasa penasaran.