Five

3436 Kata
Seoul, 2009 “Sa-Saya bersedia,” ujar Anna gugup pada pendeta yang menikahkan ia dan Sehun di sebuah gereja kecil di dekat kawasan rumahnya. Air mata tampak menggenangi hazel cantiknya. Ia sedih alih-alih terharu karena detik ini ia sudah resmi menjadi istri Sehun di hadapan Tuhan. Anna sungguh tidak menyangka bahwa Sehun akan mendatangi rumahnya bersama Tuan Robert dua hari yang lalu untuk melamarnya. Hari itu, Anna dibuat terkejut saat Sehun berkata bahwa ia berniat menikahinya demi janin yang dikandungnya. Dari mana Sehun tahu? batinnya saat itu. Namun, seketika ia sadar bahwa pasti Nana-lah yang telah memberitahu pemuda itu. “Anak kurang ajar!” Anna masih ingat amukan ayahnya saat Sehun berkata bahwa ia telah memperkosa dirinya. Sang ayah begitu murka sampai-sampai Beliau menampar Sehun di depan Tuan Robert, ayahnya Sehun. Robert sepertinya juga kecewa dengan Sehun karena Beliau sama sekali tidak bereaksi saat anak lelakinya diamuk oleh ayahnya. Anna hanya bisa menangis, sama seperti ibu dan sang kembaran yang kasihan pada nasibnya. Sebagai sesama wanita, mereka tentunya juga merasakan rasa sakit yang Anna rasakan. “Kalian harus menikah secepatnya!” vonis ayah Anna kemudian. Dan, disinilah mereka sekarang. Anna dan Sehun baru saja mengucap sumpah pernikahan mereka di sebuah gereja kecil dan hanya disaksikan oleh keluarga kecil masing-masing beserta Chanyeol di dalamnya. Tak ada resepsi atau perayaan meriah lainnya. Hanya sebuah acara formal sederhana. Setelah saling mengucap janji sehidup semati di depan altar, Sehun langsung memboyong Anna untuk tinggal di apartemennya. Walaupun sudah resmi menikah, Anna dan Sehun masih saling diam satu sama lain. Tak ada senyum bahagia yang terpancar dari sepasang suami-istri yang menikah atas dasar tanggung jawab itu. Sepatah katapun tidak terucap dari bibir keduanya saat mereka sudah berada di apartemen. “Aku tidak akan tidur di kamarmu, kan?” Anna bertanya panik saat Sehun hendak memasukkan kopernya ke kamar pemuda itu. Sehun awalnya tampak kebingungan. Namun, beberapa saat kemudian ia sadar akan satu hal; Anna trauma berada di kamarnya, kamar yang menjadi saksi bisu perkosaan yang telah dia lakukan terhadap gadis itu. Sehun menghela napas pelan lalu menyunggingkan tipis yang dipaksakan. “Tidak, Anna. Kalau kau tidak mau kita tidur di kamarku, kita bisa—“ “Aku tidak mau sekamar denganmu! Lebih baik aku tidur di sofa saja kalau itu harus terjadi.” Anna mulai berkaca-kaca. Aura ketakutan dengan jelas terpancar di raut cantik itu. Jujur saja, tatapan Anna yang seolah memancarkan rasa takut pada dirinya begitu menyakiti hati Sehun. “Baiklah, kalau begitu kau bisa menempati kamar tamu.” Sehun langsung mengangkat koper Anna ke kamar tamu yang tadinya ditempati oleh Robert selama berada di Seoul. Karena ayahnya baru saja kembali ke Quebec, maka tidak ada yang menempati kamar itu. Sambil menunduk diam, Anna memasuki kamar tamu itu. Tepat setelah Sehun meletakkan kopernya di lantai kamar, ia menyuruh pemuda itu segera keluar meninggalkannya sendiri. “Sekarang bisakah kau keluar? Aku ingin sendiri.” Sehun terperangah sejenak saat Anna mengatakan hal itu pada dirinya. Ia merasa telah diusir oleh Anna. Hatinya kini begitu sakit melihat Anna bersikap dingin dan bahkan seperti tidak ingin berlama-lama berada di ruangan yang sama dengannya. Ia ingat, tadi di altar pun Anna menolak disentuh dan dicium oleh dirinya. Sejijik itukah Anna pada dirinya? “Oke, aku keluar sekarang. Tapi jika kau butuh sesuatu, panggil saja aku.” Anna hanya bergumam pelan. Sehun menghela napas pelan kemudian dari kamar itu. Setelah Sehun keluar dari sana, Anna segera menutup pintu kamar itu disertai debuman yang cukup keras. Sehun menghela napas pasrah. Sepertinya, Anna sekarang memang telah berubah. Anna berubah karena dirinya, karena keberengsekannya. ***** Usia kandungan Anna kini sudah masuk minggu ke-20 atau bulan kelima. Itu artinya sudah tiga bulan lamanya Anna menyandang status sebagai istri Sehun. Namun, tak ada yang berubah dari sikap Anna ke Sehun. Gadis itu masih saja bersikap dingin pada sang suami. Ia tidak pernah memulai percakapan lebih dulu. Ia hanya akan bicara jika Sehun yang mulai bertanya padanya, itupun hanya sekedar jawaban singkat dan seadanya yang Anna berikan. Sehun pun sepertinya tidak masalah jika Anna bersikap begitu padanya. Ia paham betul apa penyebab sang istri bersikap seperti itu. Anna terluka karena dirinya. Ia juga mengerti bahwa apa yang telah ia lakukan terhadap Anna sangat sulit untuk dapat dimaafkan. Walaupun begitu, Sehun tak lantas bersikap tak acuh pada Anna. Selama tiga bulan ini ia berusaha untuk tetap menjalankan kewajibannya sebagai suami siaga dengan baik. Sekuat tenaga ia akan memenuhi segala kebutuhan Anna serta menolong istrinya itu jika ada keluhan tentang kehamilannya. Sama seperti saat ini, Sehun sedang menenangkan Anna yang sejak beberapa malam lalu mengalami mimpi buruk. Entah apa yang terjadi dalam mimpi Anna, yang jelas gadis itu begitu histeris. Sehun hanya bisa berharap bahwa apa yang diimpikan gadis itu bukanlah kejadian pada malam ‘itu’. Sehun memeluk dan membisikkan kata-kata yang sekiranya dapat menenangkan Anna. Jika dalam keadaan normal Anna pasti akan menendang Sehun agar menjauh darinya. Namun, saat ini Sehun bersyukur karena Anna hanya diam dan menurut ketika ia di sisinya. “Tidak apa-apa, Anna. Kau aman. Sudah, kembalilah tidur yang nyenyak, ya?” Sehun hendak pergi dari kamar Anna. Akan tetapi, suara Anna seketika menghentikan langkahnya. “Ja-Jangan pergi, Sehun. Temani aku,” Anna berbisik pelan serupa hembusan angin. Pada awalnya, Sehun hanya mampu terperangah tak percaya mendengar Anna bicara begitu padanya. Namun, saat Anna tiba-tiba menarik tangannya pelan agar kembali duduk di ranjangnya, Sehun baru tersadar. Senyum tipis pun Sehun berikan pada Anna. Namun, dalam hati ia ingin bersorak kegirangan karena Anna akhirnya mau bicara dan menerima sentuhan yang selama tiga bulan ini begitu dihindarinya. “Baiklah, aku akan ada di sini menemanimu. Kau tidak perlu merasa takut lagi, ya?” Anna mengangguk lalu beringsut memeluk Sehun dan memejamkan matanya untuk tidur. Tubuh Sehun menegang, tapi beberapa saat kemudian langsung kembali rileks. Sehun membalas pelukan Anna lalu ikut memejamkan netranya. Senyum lega menghiasi wajah Sehun lalu pemuda mengecup rambut istrinya singkat. “Tidurlah yang nyenyak, Anna,” bisiknya. Akhirnya, untuk pertama kalinya Sehun dan Anna tidur di ranjang yang sama sambil berpelukan erat malam itu. Mereka terlelap hingga pagi menyapa. ***** “Sehun, bangun! Ayo bangunlah, Sehun! Oh Sehun!” Anna berteriak panik begitu pagi menjelang. Dengan cukup keras ia menggoyang-goyangkan tubuh Sehun yang masih terlelap. Sehun mengerjapkan matanya, menyesuaikan pupilnya yang bertemu sapa dengan cahaya matahari pagi. Ia mengernyit kebingungan melihat wajah panik Anna. Namun, lama-kelamaan matanya membulat menyadari ada yang tidak beres dengan istrinya itu. “Ada apa, Anna? Apa yang terjadi? Kau kesakitan? Kenapa?” Sehun bertanya dengan nada tak kalah panik. Ia memeriksa tubuh Anna, terutama bagian perut yang kini sudah semakin buncit dengan pandangan mata. Namun, Anna menggeleng keras. Senyum gembira semakin lama semakin tersungging di bibirnya. Senyum gembira sekaligus haru. Perlahan, Anna meraih tangan Sehun lalu meletakkannya di atas perutnya. Awalnya, Sehun hanya mengernyit tak mengerti. Perlahan, setelah ia tahu apa maksud Anna, matanya membulat tak percaya. Senyum haru juga menghiasi wajah rupawannya. “Itu tadi ....” Anna mengangguk antusias. “Dia menendang perutku, Sehun. Aku bisa merasakannya dengan jelas. Itu artinya dia sehat, bukan? Ya Tuhan!” Anna kini menangis. Ia terisak sambil menutup mulutnya karena bahagia. Sehun tersenyum lebar sambil mengusap kepala Anna penuh kasih sayang. “Iya, Anna. Dia sehat dan dia ingin kita berinteraksi dengannya,” Sehun ikut berbisik. Tatapan teduhnya pada Anna kini ia turunkan pada perut gadis itu. “Bolehkah aku mengelusnya, Anna?” Sehun bertanya sedikit ragu. Ia terlebih dahulu meminta izin karena takut Anna menolaknya. Anna mengangguk memberikan izinnya pada Sehun. Sehun tersenyum makin lebar lalu menggerakkan tangannya kembali ke perut Anna. Ia mengusap perut Anna dengan penuh kasih sayang. Perlahan, ia mendekatkan wajahnya ke perut Anna lalu menciumnya cukup lama. Anna membeku mendapatkan perlakuan seperti itu dari Sehun. “Sehatlah selalu di dalam sana, ya, Sayang! Jangan menyusahkan ibumu. Beberapa bulan lagi, kita akan bertemu. Ayah dan Ibu akan selalu menunggu kehadiranmu di dunia ini. Jadi, baik-baiklah disana ya?! Ayah dan Ibu menyayangimu.” Sehun kembali menegakkan tubuhnya. Ia tersentak saat mendapati Anna menatapnya dengan sendu. “Ada apa?” Sehun bertanya. Anna menggeleng. “Aku hanya ... tidak tahu saja kalau ternyata kau menyayangi’nya’.” Sehun mengangguk maklum. “Aku paham, kau pasti berpikir kalau aku hanya menganggapnya sebagai sebuah kesalahan, bukan? Kau pasti mengira bahwa selama ini perlakuanku padamu dan pada’nya’ hanya sebagai bentuk tanggung jawabku pada kalian, bukan? Tidak, Anna. Lebih dari itu, aku menyayangi kalian berdua. Kalian bukanlah sebuah kesalahan dalam hidupku.” Sehun menangkup kedua pipi Anna. Ia mengusap pipi pualam itu dengan ibu jarinya. “Apa yang telah kuperbuat padamu hingga menghadirkan ‘dia’ dalam rahimmu memanglah sebuah kesalahan, Anna. Kesalahan yang kuperbuat begitu fatal dan sulit dimaafkan. Namun, percayalah, apa yang telah kulakukan untuk kalian selama ini adalah sebuah ketulusan.” Anna menundukkan wajahnya, tak mampu menatap Sehun secara langsung. “Anna, aku tahu kalau kau sekarang begitu membenciku atas kesalahanku. Aku memahaminya dan aku tidak akan memaksamu untuk memaafkanku. Tapi, kumohon, berilah aku waktu untuk bisa memperbaiki segala yang telah terjadi akhir-akhir ini. Juga ....” Anna mendongak, menunggu Sehun melanjutkan kalimatnya yang ia gantungkan. “... tolong beri aku waktu untuk belajar mencintaimu dan menghapus perasaanku pada Nana.” Dan pada saat itu, Anna hanya mampu diam, tak dapat menimpali perkataan Sehun yang seolah membuat persendiannya lumpuh dalam hitungan detik. Sehun hanya mampu tersenyum maklum melihat reaksi Anna. “Tidak perlu kau jawab, Anna. Aku paham dengan situasi dan perasaanmu saat ini. Yang penting sekarang kau sudah tidak mendiamkanku lagi seperti yang terjadi beberapa bulan ini.” Anna menunduk. Tanpa Sehun tahu, Anna merasa dilema saat ini. ***** Saat ini Sehun sedang dalam perjalanan ke sebuah kafe di mana teman setim basketnya di SMA dulu berulang tahun, Lee Taeyong. Tadinya, Sehun hendak mengajak Anna pergi bersamanya, tapi Anna berkata bahwa ia kelelahan dan harus istirahat. Awalnya, Sehun ragu untuk meninggalkan Anna sendirian. Namun, Anna terus meyakinkannya untuk tetap hadir dalam perayaan ulang tahun Taeyong. Sehun sampai di tempat acara. Kafe tempat Taeyong merayakan ulang tahunnya itu adalah kafe yang tim basket mereka biasa datangi untuk merayakan kemenangan dalam sebuah pertandingan. Jika dilihat-lihat dari luar kafe, teman-temannya yang lain sepertinya sudah datang. Sehun pun segera masuk ke sana untuk menyapa Taeyong dan teman-temannya yang lain. “Hey, Brother! Lama tak berjumpa, ya?” Taeyong menyapa Sehun lebih dulu. Mereka saling berpelukan akrab. “Yep. Selamat ulang tahun, anyway.” ujar Sehun kemudian. Taeyong tersenyum lalu mengangguk sebagai balasan. Tak lama kemudian, teman-teman Sehun yang lain satu-persatu menyapa dan memeluknya. “Ke mana saja kau tidak kelihatan beberapa bulan ini? Sibuk dengan kekasih barumu, huh?” tanya Johnny Seo, murid asal Chicago. Johnny baru mengenal Sehun saat duduk di bangku kelas sebelas. Berbeda dengan Taeyong yang sudah kenal Sehun sejak SMP. Sehun mengulum senyum, tak berniat menjawab pertanyaan Johnny. Bukan kekasih, tapi istri, Sehun ingin menimpali. “Ah, bukan kekasih baru! Bukankah dia memang berkencan dengan Hwang Anna jauh sebelum upacara kelulusan?” Ji Hansol berseru. Teman-teman Sehun yang lain mengamini. “Ah, benar sekali! Jadi, apa kau masih bersama Anna, Hun? Kalian sebelumnya bersahabat, tapi kemudian menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih. Kurasa itu bukan sesuatu yang mudah, bukan?” Taeyong bertanya. Wajahnya menunjukkan kalau ia ingin sekali tahu. Teman-teman Sehun yang lain ikut menatap Sehun penasaran. Sehun tersenyum simpul kemudian mengangguk. “Ya, aku masih bersamanya,” Sebagai suami-istri, bukannya sepasang kekasih lagi, timpal Sehun dalam hati. Teman-teman Sehun ber’woo-hoo’ ria. Sehun hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Kenapa kau tidak ajak Anna ke sini? Sebagai pasangan kalian harus sering-sering pergi berdua.” Taeyong berkata yang langsung diangguki oleh teman-temannya. “Anna sedang sakit, jadi dia tidak bisa ikut.” Sehun menjelaskan. Teman-temannya mengangguk mengerti. “Bicara soal Anna, aku jadi teringat Nana,” ujar Nakamoto Yuta tiba-tiba. Mendengar nama Nana disebut, tubuh Sehun langsung kaku. Tak ada lagi senyum malu-malu yang ia tunjukkan. Rahang Sehun mengeras. Entah kenapa ia tidak suka jika seseorang menyebut nama Nana di hadapannya. “Ada apa memangnya?” Johnny tampak penasaran. Pun dengan Taeyong, Hansol dan yang lainnya. “Dia bukannya baru putus dari Kak Chanyeol?” Yuta menjawab. Sehun terkejut bukan main. Putus? Kapan? Kenapa ia tidak tahu sama sekali soal itu? Biasanya Nana akan bercerita pada Anna mengenai apa yang terjadi pada dirinya, tapi kali ini tidak. Biasanya, Nana juga akan bercerita pada dirinya, tapi akhir-akhir ini Sehun menjauhi Nana. Mungkin Nana sadar akan hal itu, jadi ia ikut menjauhi Sehun. “Benarkah? Sejak kapan?” Sehun bertanya. Sungguh, ia begitu penasaran dengan apa yang terjadi. Yuta melejitkan bahu. “Entahlah. Aku juga baru mendengarnya dari Seulgi tadi. Seulgi dan anggota cheerleader lainnya akan ke sini juga kok. Bukankah kau juga mengundang mereka, Taeyong?” Taeyong mengangguk. “Ya, aku mengundang mereka. Eh, tapi, Hun, kau sungguh baru tahu? Nana, kan juga sahabatmu, apakah dia tidak cerita apapun padamu? Atau pada Anna, mungkin? Anna, kan kembarannya? Apakah kekasihmu itu tidak tahu? Kak Chanyeol juga tidak bicara apa pun padamu?” Sehun menggeleng. Ia semakin bingung sekarang. “Itu mereka datang!” Hansol berseru. Beberapa orang gadis memasuki kafe. Taeyong dan teman-temannya yang lain, kecuali Sehun tersenyum senang saat gadis-gadis yang merupakan mantan anggota cheerleader Seoul International High School itu berjalan menuju tempat mereka. Namun, ada satu momen di mana Sehun kembali merasakan getaran aneh sekaligus menjengkelkan di hatinya saat ia bertatapan dengan pemilik hazel yang kini berdiri terpaku lima meter darinya. Benar, itu Nana yang sedang balik menatap Sehun dengan tubuh yang tak kalah kaku dari pemuda itu. ***** Jika beberapa jam lalu Sehun tampak begitu gembira, beda halnya dengan saat ini. Ia begitu kesal. Berkali-kali ia mengumpat dalam hati. Kenapa juga harus ia yang mengantar Nana pulang? Pesta kecil-kecilan yang Taeyong adakan sudah selesai. Malam telah larut, jadi para lelaki bertugas mengantarkan para gadis untuk pulang. Karena rumah mereka searah, Taeyong menyuruh Sehun untuk mengantar Nana pulang. Sambil mulai naik ke motor kesayangannya, Sehun merutuk dalam hati. Kalau saat ini ia masih menyukai Nana, maka ia akan dengan senang hati mengantar gadis itu pulang. Masalahnya sekarang ia tidak yakin dengan rasa sukanya itu, apakah masih ada atau tidak. Lagi pula, sejak kejadian ‘itu’ ia jadi menjauhi Nana demi Anna. Ya, demi menjaga perasaan Anna. “Kalau kau tidak mau mengantarku pulang, aku bisa pulang sendiri.” Nana berujar dengan nada sedikit ketus. Sehun mendengus dan mengangsurkan helm cadangan pada Nana. “Tidak perlu merajuk, aku akan mengantarmu pulang. Bagaimanapun, kau kakak iparku, bukan? Aku harus menjagamu selayaknya aku menjaga Anna.” Nana terkejut mendengar untaian kata yang Sehun ucapkan padanya. Namun, ia hanya diam dan menerima helm yang Sehun sodorkan padanya. Setelah memakai helm, Nana naik ke motor Sehun. Tak lama setelah Nana duduk, Sehun melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Selama di perjalanan, tak ada percakapan sama sekali di antara mereka. Baru seperempat jalan, tiba-tiba hujan mengguyur kota Seoul dengan derasnya. Sehun menepikan motornya di dekat halte bus. Ia tidak membawa mantel hujan, jadi mau tak mau ia dan Nana harus berteduh. “Kita berteduh dulu. Nanti jika sudah reda baru kita lanjutkan perjalanan,” Sehun berkata acuh tak acuh. Nana yang berdiri di sampingnya hanya bergumam pelan sebagai respon. Belasan menit telah berlalu. Hujan yang turun masih sama derasnya, bahkan kelihatannya semakin deras. Sehun dan Nana masih saling diam, tak saling bicara sepatah katapun. Mereka sibuk menyelami pikiran masing-masing sambil menggosok tangan dan lengan mereka guna menghangatkan tubuh. Akan tetapi, tiba-tiba saja Sehun melepas jaket kulit yang dipakai olehnya lalu menyodorkannya pada Nana. “Apa?” Nana bertanya tak mengerti. Ia masih belum mengambil jaket itu dari tangan Sehun. “Pakai ini supaya kau tidak kedinginan,” Sehun menjelaskan. Nana mendorong jaket itu ke arah Sehun. “Tidak usah, kau saja yang—eh, hei!“ Nana memekik pelan saat Sehun langsung menyampirkan jaketnya ke atas bahu Nana. Nana hendak protes, tapi langsung ia urungkan. “Terima kasih,” cicit Nana. Sehun tidak merespon. Keheningan kembali menemani mereka. Sehun dan Nana tidak saling bicara sampai pada akhirnya .... “Kenapa kau ...?” “Kenapa kau ....?” Nana dan Sehun bertatapan kaget saat mereka hendak bertanya pada waktu yang sama. Kecanggungan meliputi mereka. Nana dan Sehun kompak mengalihkan pandangan. “Apa yang ingin kau tanyakan padaku?” Sehun bertanya dengan nada yang masih terdengar dingin. Nana menggeleng. “Kau saja yang tanya duluan. Kenapa? Apa yang ingin kau tanyakan?” Mendengar jawaban Nana, Sehun pun menghela napas pelan lalu melirik sebentar pada Nana yang menatapnya penasaran. “Tidak terlalu penting, aku hanya ingin tahu saja kenapa kau putus dengan Kak Chanyeol?” Nana tampaknya terkejut dengan pertanyaan itu. “U-Untuk apa kau tahu soal itu? Apa pedulimu?” “Aku peduli karena Kak Chanyeol adalah temanku. Dia tidak bilang padaku kalau kalian putus, jadi aku—“ “Dia akan dijodohkan dengan anak rekan bisnis ayahnya,” tukas Nana dengan nada sendu. Sehun terkejut. Ia menatap Nana tak percaya. “Kau serius? Tapi, kenapa kalian harus putus? Apa Kak Chanyeol menerima perjodohan itu?” Nada marah terselip jelas dalam pertanyaan itu. Nana menggeleng. “Dia sama sekali tidak menginginkan perjodohan itu, tapi aku sendiri yang meminta putus darinya karena aku tidak ingin—“ “Sialan, Hwang Nana!” Nana terkejut saat tiba-tiba saja Sehun mengumpat keras dan menatap nyalang padanya. Nana merasa kebingungan melihat reaksi Sehun itu. “K-Kau kenapa?” Nana bertanya bingung. Sehun mencengkeram bahu Nana kuat. Nana meringis karenanya. “Bisa-bisanya kau putus dengan Kak Chanyeol setelah kau membuatku menjadi orang paling berengsek di dunia seperti ini, Hwang Nana? Hebat! Hebat sekali!” Sehun melepaskan cengkeramannya. Kini ia mendorong rambutnya ke belakang lalu tertawa sumbang. Nana masih menatap Sehun tak mengerti. “Sehun sebenarnya ada apa denganmu? Apa maksud dari perkataanmu? Jawab aku, Oh Sehun! Jangan buat aku bingung!” “Kau ingin tahu yang sebenarnya, Hwang Nana?” Sehun balik bertanya. Wajahnya telah kembali mengeras seperti beberapa saat sebelumnya. Ia kembali mencengkeram bahu Nana seraya berujar, “Aku mencintaimu, Hwang Nana! Selama ini aku mencintaimu, bukan Anna. Sahabatku yang kucintai adalah dirimu.” Nana syok seketika itu juga. Matanya membulat sempurna. “Kau ... bohong, kan? Kau tidak ....” Sehun menyeringai. Ia melepaskan bahu Nana. “Untuk apa aku membohongimu? Apa yang kukatakan adalah sebuah kejujuran. Anna juga tahu soal perasaanku padamu dan dia membantuku untuk berpura-pura menjadi kekasihku.” Nana menghela napas berat lalu menyugar rambutnya. Nana tampak begitu kebingungan dengan situasi yang terjadi antara ia dan Sehun saat ini. “Kalau kau memang menyukai dan mencintaiku sejak awal, kenapa kau justru menjauhiku akhir-akhir ini? Sifatmu berubah, kau menjadi pemuda yang begitu berengsek di mataku. Apalagi setelah apa yang kau perbuat pada Anna—“ “Itu semua karena dirimu! Kau yang membuatku jadi seperti sekarang ini.” “Apa?” “Selama ini hubunganmu dengan Kak Chanyeol membuatku cemburu dan mempermainkan gadis lain sebagai pelampiasan. Kecemburuan juga yang membuatku melakukan hal b***t itu pada Anna. Aku memperkosa Anna yang saat aku mabuk kukira dirimu. Maka dari itu, aku menjauhimu karena setiap melihatmu aku akan mengingatmu sebagai penyebab utama semua kebodohan dan kekhilafanku pada Anna.” Nana tampak semakin syok dengan penuturan Sehun. Mata Nana kini berkaca-kaca. Bahkan, ia sampai menutup mulutnya dengan tangan karena tak menyangka. Nana roboh di tempatnya berdiri. “Ja-Jadi, inikah maksudmu yang mengatakan bahwa aku akan menyesal jika tahu apa penyebab kau memperkosa Anna?” bisik Nana dengan suara bergetar. “Ya, inilah alasanku tidak memberitahumu saat itu.” Nana terisak keras. Ia merasa terpukul saat mengetahui fakta di balik perkosaan yang Anna alami. Rasa bersalah kini menyerangnya hingga bagian terdalam dari dirinya. Sakit sekali mengetahui bahwa selama ini ia telah menyakiti perasaan saudara kembarnya tanpa sadar. Hujan yang tadinya deras kini mulai tergantikan dengan gerimis. Namun, semakin reda hujan semakin keras isakan yang lolos dari bibir Nana. Apalagi Sehun juga tak lagi mengatakan apa-apa. Mereka saling diam. Namun, keheningan itu pecah dalam sekejap saat ponsel Nana berdering. Dengan masih terisak, Nana menjawab panggilan itu tanpa melihat siapa yang menghubunginya. “Ya, ini Hwang Nana. A-Ada apa?” Nana mendengar perkataan dari penelepon dengan serius. Namun, seketika wajah seriusnya berubah tegang. Ia kembali membungkam mulutnya sambil menatap Sehun dan menggeleng tak percaya. Sehun mengernyit tak mengerti melihat ekspresi Nana, tapi dalam hati ia merasa ada yang tidak beres. Sehun merasa was-was, entah karena apa. “Baik, a-aku segera kesana,” Nana berujar panik. Lantas, Nana segera bangkit dan meraih tangan Sehun. “Kita harus segera ke rumah sakit, Sehun!” “Ada apa memangnya?” “Anna, dia ....” Sehun menahan napasnya sejenak saat nama Anna disebut. Jantungnya kemudian seolah jatuh ke perutnya saat mendengar kelanjutan kalimat Nana, “.....pendarahan.”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN