2

864 Kata
Makanan sederhana yang aku masaksudah siap di meja makan. Masakan standar yang hampir semua ibu rumah tangga bisa lakukan. Sop yang isinya hanya wortel dan kol, serta goreng tempe yang semanya masih sangat hangat. Uap masakan juga masih mengebul. Aku menyiapkan piring untuk suami an ketiga anakku yang langsung menyerbu meja makan. Tentu sjaa, aku sebagai ibu sangat sennag melihat pemandangan ini. Terkadang anak -anak saling mneyikut karena ingin mengambil nasi lebih dulu dan lebih banyak. "Pelan -pelan Andrew ... Pasti semuanya kebagian," kataku menasehati. Aku mengambil piring lalu mengisi piring itu dengan nasi putih yang begitu pulen lalu kutambhakna dengan syur sop dan dua kotak goreng tempe hangat. "Ini Mas, sarapannya," ucapku lembut dan meletakkan piring itu di depan Mas Angga. "Makasih sayang ..." jawabnya selalu dengan senyum manis tanpa dosa yang lagi -lagi membuatku luluh dan tak bisa marah padanya. Selalu seperti itu selama ini dan berulang hingga lima belas tahun perkawinanku. Aku ikut makan bersama dengan suami dan anak -anakku. Pikiranku melayang entah kemana. Tepatnya pikiranku kembali ke masa lalu saat aku masih bekrja dan menggapai mimpi indah untuk menjadi wanita karir. Ya, Aku lulusan kumlaud di sebuah Perguruan Tinggi Swasta ternama di Kota Gudeg yang terkenal sebagai Kota Pelajar. Disana aku menimba ilmu denagn baik dan sanagt serius Pepatah bilang, tidak ada usaha yang mengkhianati hasil. Itu semua benar. Aku menimba ilmu sekitar empat tahun dan mendapatkan nilai yang sangat memuaskan. Tentu saja hal itu mmebuat Bapak dan Ibuku bangga padaku. Kebangaan itu sirna begitu saja, saat aku memutuskan menikah dengan lleaki pilihanku. Lelaki yang aru kau kenal tak sampai enam bulan dan bahkan mengalahkan hubunganku dengan kekasihku yang selama tujuh tahun tanpa pernah ada restu juga karena banyak dinding tinggi yang mmebuat kita ak bisa lolos melewatinya. "Ma ... Sopnya enak," cicit Lia yang memang paling suka dengan sayuran berkuah. "Enak? Nambah dong," ucapku pada putri keduaku. "Gak ah ... Buat nanti sore lagi. Kalau dihabiskan smeua, nanti sore kita makan apa?" jawabnya begitu santai tanpa beban. Deg! Anak sekecil itu masih memikirkan bagaimana nanti. Apa karena kami sekeluarga sering kekurangan? Hingga mereka dewasa karena keadaan ini. "Ma ... Ini tempenya berapa biji satu orang?" tanya Anna menatap gorenagn tempe yang tidak bnayak masih tersisa di piring. "Bagi rata ya. Dua tempe satu orang," jawabku smabil membagi rata di piring mereka. Memang sud aku pas tadi. Satu kotak tempe untuk seklai makan dan di bagi rata agar masing -masing mendapatkan jatah dua kotak. "Mau Anna simpan untuk nanti sore yang satu," cicit Anna sambil memindahkan goreng tempe itu ke tempat lain. "Kenapa untuk nanti. Makan saja, nambah kalau perlu," ucapku pada Anna. "Buat lauk nanti sore saja," jawbanya tanpa alasan lain. "Masih ada tempe kok, satu kotak lagi. ukup untuk kita makan sore nanti," ucapku dengan wajah sumringah. "Jangan Ma. Tempenya buat besok pagi saja sarapan sebelum sekolah. Buat orek tempe saja. Kita suka lapar di sekolah kalau gak sarapan dulu," jawab Lia begitu polos dan jujur. Rasanya sungguh nano -nano sekali. Paket lengkap super komplit. Hatiku seperti tersiran air es yang baru saja mencair. Dingin dan terasa sakit menusuk d**a. "Gak apa -apa. Tempenya buat nanti sore. Mama buat orek buat kalian. Besok pagi kan masih punya telor. Kita bisa bikin telor untuk sarapan," jelasku pada kedua putriku yang masih kecil, namun memiliki peikiran yang sangat dewasa. "Tuh ... Kalian itu seharusnya banyak bersyukur. Kita masih bisa makan enak kan?" Mas Angga ikut menimpali dan mengambil nasi lagi untuk kedua kalinya. "Iya Ayah," jawab Anna dan Lia bersamaan. Suasana sarapan pagi yang biasa saja. Tidak ada hal yang luar biasa kecuali hanya kesederhanaan dan keikhlasan yang ditunjukkan. Hari minggu memnag tidak banyak yang kita lakukan kecuali berkumpul di ruang tamu sambil mengobrol dan menikmati hari dari pagi hingga sore. Mas Angga juga ikut duduk di salah satu sofa sambil bersandar dan memutari tasbih entah sudah berapa kali sejak pagi. Lima belas tahun lalu, saat usiaku masih sangat muda. Mungkin saat itu aku masih berusia dua puluh lima tahun. Aku bekerja di Ibukota yang sangat aku impikan dan aku berhasil bekerja di salah satu perusahan yang bonafit saat itu sebagai Branh Finance Offie sesuai dengan bidang yang aku geluti. Orang tuaku sengaja menyuruhku bekerja di ibukota agar aku bisa menjauhi mantan kekasihku yang sudah bertahun -tahun aku pacari. Bapak dan Ibu sama sekali tak memberikan restu untuk kami karena ada beberapa hal, diantaranya, kami berbeda keyakinan, kami juga terhalang oleh bibit, bebet dan bobot. Aku lulusan sarjana dan dia hanya lulusan SMA. Belum lagi, aku hanya dijadikan bahan cemoohan keluarga besar karena mendapatkan pacar yang tidak sepadan dan tidak selevel denganku. "Apakah itu penting?" tanyaku di dalam hati saat itu. Mungkin yang aku pikir saat itu hanya cinta. Tapi, cinta juga bisa luntur karena perlakuan. Seperti yang aku alami saat ini. "Jangan buat Bapak dan Ibu malu karena kelakuan kamu, Tia." Nasihat Ibu dan Bapak yang selalu aku ingat sampai saat ini. Nyatanya, beberapa tahun setelah itu aku benar -benar menyakiti perasaan kedua orang tuaku dan aku menghancurkan mimpi mereka. Aku merasa berdosa dan aku meyesal telah membuat mereka menangis. Apakah yang aku alami ini merupakan sebuah karma? Atau memang suatu proses perjalanan agar aku menjadi ebih baik lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN