Seperti biasa, setiap malam aku hanya bisa mengais rejeki melalui ponsel bututku. Ponsel yang ku beli sendiri dari uang hasil pemberian saudara- saudaraku saat aku berulang tahun.
Aku selalu mencari pekerjaan setelah anak -anakku mulai besar. Jarak kelahiran putra putriku tidak berbeda jahu. Inilah yang mmebuat aku saat itu kesulitanjika harus mencari pekerjaan dan bekerja di luar rumah.
"Ma ... " panggil Anna yang masuk ke dalam kamarku dan mulai mendekatiku. Ia membawa jilbab segi emapt berwarna putih yang mulai usang dan kotor.
Aku mengangkat wajahku dan tersenyum pada putri sulungku. Terpaksa aku menghentikan pekerjaan onlinek sejenak dan mendengarkan apa yang ingin disampaikan putriku.
"Kenapa?" tanyaku lembut.
"Emm ... Anna sering banget kena hukuman," ucapnya begitu pilu sambil menyodorkan jilbabnya padaku.
"Memang kenapa? Karena ini sudah terlihat lama? Atau mulai kotor tak seputih dulu?" tanyaku lembut sambil memegang jilbab putih yang biasa Annapakai ke sekolah.
"Gak Ma. Kalau hanya usdah lama dan kotor saja, tidak masalah. tapi itu tipis sekali. Tidak sesuai standar sekolah," jawabnya lirih sambil ingin menitikkan air mata.
Aku menatapnya dengan pilu. Wajahnya yang terlihat menahan tangis namun berusaha tak di tampakkan. Aku sendiri tak tega melihat hal seperti ini. Dulu, aku terlahir dari keluarga yang tidak kaya tapi berkecukupan. Setidaknya untuk urusna sekolah, Bapak selalu menomorsatukan. Walaupun aku juga harus mengemis untuk segera di berikan agar menyamai dengan teman -teman di sekolah. Maklum aku sejka dulu sekolah di sekolahan swasta yang cukup mahal dengan kualitas pendidikan yang sangat bagus sekali.
Tapi, Saat ini aku hanya bisa menyekolahkan putra putriku di sekolah negeri yang gratis dari pmerintah. Jangankan bermimpi menyekolahkan anakku di sekolah swasta terbaik. Untuk membelikan buku dan keperluan sekolah saja aku masih belum bisa memenuhinya dengan baik.
"Mama ada uang? Besok Anna upacara dan harus membeli jilbab yang baru. Kalau tidak, Anna pasti di setrap lagi seperti minggu kemarin," ucapnya lirih dan semakin terdengar sendu.
Untung saja, aku memiliki putra putri yang sangat mengerti kondisi keuangan orang tuanya. Terlebih kedu aputriku yang perempuan. Mereka berdua sama seklai tak pernah menuntut apapun. Mereka akan memakai apa saja yang ada.
"Harus besok banget?" tanyaku mengulang.
"Kalau Mama ada uangnya. Kalau gak ada ya, gak apa -apa Ma," jawabnya pasrah. Sepertinya Anna sudah siap dengan hukuman esok hari. Berdiri di depan peserta upacara karena melanggar aturan.
"Nanti Mama tanya Ayah kamu ya," ucapku lembut seolah memberikan angin segar pada Anna.
"Jangan Ma. Nanti Ayah malah marah," jawabnya melarangku untuk bicara pada Ayahnya.
"Marah kenapa?" tanyaku lirih.
"Nanti, Anna dikira tak mensyukuri apa yang sudah ada. Ayah kan begitu jawabnya kalau dimintai ini dan itu," jawabnya sedikit kecewa.
"Kamu yang sabar ya. Nanti biar Mama yang bilang," jawabku sambil mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang.
"Iya Ma," jawabnya lembut juga dengan senyum sumringah.
Anna kembali ke kamarnya dan menyiapkan buku pelajaran yang akan dibawanya besok pagi. Begitu juga dengan Lia dan Andrew yang ikut menyiapkan kebutuhan mereka esok.
Sedangkan aku? Aku kembali mencari peruntunganku dengan kerja sampingan melalui ponsel bututku ini.
Hari semakin larut malam, AK masih saja sibuk dengan ponsel dan peralatan tempur bekerjaku untuk mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhan hidup.
Dulu, Aku pernah bekerja di sebuah percetakkan setelah kelahiran putri keduaku. Pekerjaannya hanya membuat tugas anak sekolah dan proposal atau sejenisnya. Tugasku hanya dibagian jasa pengetikan. Sesekali mmebuat desain untuk undangan. Upanya lumayan untuk makan sehari -hari dan memebeli s**u serta pampers. Aku harus keluar karena aku hamil besar dan sudah ingin melahirkan.
Suamiku masuk ke dalam kamar. Seperti biasa ia pasti menyapa dan memberikan senyum manisnya yang selalu membuatku luluh.
"Mas ... Anna minta uang buat beli jilbab," pintaku pada Mas Angga.
"Hmm ..." jawabnya langsung merebahkan tubuhnya di sampingku.
"Kok cuma hmm ... Harganya dua puluh ribu aja," ucapku pelan.
Mas Angga menatapku sambil membetulkan posisi tidurnya menghadap kau yang sedang duduk dan mengerjakan pekerjaanku di atas kasur.
"Sayang ... Aku uang dari mana? Aku itu nganggur, sudah pasti gak punya penghasilan dong. Jangan nuntut macam -macam pada suami. Kamu pikir aku diam dan tak mencari solusi? Pikiranku juga kacau. Mungkin memnag saat ini rejekiku ada di istriku. Jalani saja, dan syukuri. Kalau gak ada ridho suami, kamu juga gak bakal bis adapetin uang setiap bulan dari ponselmu ini," jelas Mas Angga malah terus beralibi.
Aku hanya bisa menghela napas dalam dan menggelengkan kepala pelan lalu kembali tenggelam dengan pekerjaanku. Sudah cukup aku bisa menormalisasi keadaan ini dan tetap berjuang untuk keluarga ini.
Dulu, Sewaktu aku kecil. Mimpiku tak muluk -muluk. Aku hanya ingin menjadi wanita karier allu menikah dengan lelaki yang baik dan sangat mencintaiku lalu memiliki anak -anaka yang lucu dan pintar setelahnya hidup bahagia dan berkeukupan. Cukup beli rumah mewah, cukup beli mobil keren, dan sebagainya.
Tapi ... Pada kenyataannya semua mimpi itu tak bisa diwujudkan hanya dengan memutar balikan telapak tangan. Ada proses dan ujian kehidupan yang berat demi membeli sebuah kebahagiaan yang abadi.