Bab 21. Pelayan oh Pelayan

1139 Kata
Hidup Caroline saat ini berada di titik terendah, dimana statusnya berubah menjadi pelayan dalam waktu singkat. Dan sekarang, ia sedang membersihkan kandang kuda. Pertama kali dalam hidupnya, harus bersusah bayah seperti babu. Sungguh rasanya Caroline ingin lari, tak mau menjadi bagian dari pelayan Keith. Lantas dua orang gadis pelayan yang sedang ikut bekerja memandangnya kagum. Bayangkan, pria cantik dengan wajah begitu sempurna itu terlihat baik dari segi manapun. Hidung kecil, wajah mungil. Jika mereka lihat, pria yang bernama Carol itu benar-benar mirip perempuan. “Aku merasa iri,” kata pelayan berbadan besar. “Tubuhnya ramping, wajah cantik dan juga tampan.” “Bagaimana kalau aku menikah dengannya? Status kita sama pelayan.” Pelayan berambut keriting sedikit tinggi dari pelayan berbadan besar. “Kau jelek. Aku yakin dia tak akan mau,” sahut pelayan berbadan besar dnegan sewot. Caroline yang mendengar percakapan mereka tertawa di dalam hati. Sepertinya penyamaran yang dilakukan sangat sukses, sampai-sampai dua pelayan itu merebutkan dirinya. “Ah... aku jadi malu.” Caroline menaruh sapu, beralih memberi makan kuda hitam sedikit jauh darinya. “Kau tahu, tuan mu sangat keterlaluan.” Carlos yang di ajak bicara hanya mengeluarkan suara kuda miliknya. “Aku lelah jika harus menjadi pelayan seperti ini.” Gadis itu memberi makan, sambil menatap kuda itu. Tangan Caroline pun beralih pada wajah Carlos. “Kau sangat tampan, tak seperti pemilik mu.” Terlihat jelas bahwa hewan itu bangga karena dipuji oleh gadis tersebut. Setelah selesai memberi makan, Caroline keluar dari kandang. Sinar matahari pun langsung menerpa wajahnya. Matahari itu tampak menantang, sangat terik dan membuat orang yang berada dibawahnya kepanasan. Beberapa pelayan yang sudah menyelesaikan pekerjaan mereka segera bergegas pergi ke arah yang sama. Sedangkan Caroline memilih duduk dibawah pohon besar untuk berteduh. Pikiran gadis itu mengarah pada Audrey yang ditugaskan di dapur. “Bagaimana keadaan Audrey sekarang?” Caroline menghela nafas panjang dengan pandangan satu arah. Hamparan Bunga Mawar Merah tak jauh darinya. Tak lama kemudian, angin bertiup menerpa pelan membuat rambut Caroline bergerak. Karena merasa sejuk, mata gadis itu mulai tertutup, hingga tanpa sadar sudah masuk ke dalam alam mimpi. Beralih ke para pelayan yang sedang berada diruang makan khusus untuk bawahan, termasuk pelayan dan penjaga. Tempat itu layaknya kantin, karena banyak orang yang berkumpul dalam satu ruangan. Koki khusus untuk para pelayan sudah menghidangkan beberapa jenis makanan sederhana. Tanpa pikir panjang lagi, mereka segera mengambil hidangan sesuai selera. Sehingga dalam waktu singkat jatah sudah habis. Bagi yang belum mendapatkan jatah, mereka hanya bisa menggigit jarinya. Termasuk Audrey yang sedang berada di pojok ruangan. Gadis itu hanya fokus mencari keberadaan Caroline, tapi di ruangan tersebut dia tak nampak. “Aku akan keluar mencarinya.” Audrey tak peduli jika tidak mendapatkan jatah makan siang, sebab yang ada dipikirannya hanya Caroline saja. Sistem kerja pelayan di keluarga Griffin tidaklah sulit karena para pelayan dihargai. Bukan hanya secara fisik, tapi secara materi. “Kemana nona pergi?” Audrey terus berjalan melewati lorong, mencari keberadaan Caroline tapi tak kunjung ketemu. Karena kelelahan, ia pun akhirnya beristirahat sebentar sambil menatap matahari sekilas. “Udara sangat panas. Aku yakin dia pasti kehausan.” Sayangnya Audrey lupa mengambil minuman. Akhirnya ia kembali lagi ke tempat semula untuk mengambil minuman tersebut. Sampai di ruangan itu, ternyata para pelayan sudah bubar. Yang ada hanya beberapa koki saja dengan raut wajah kecapekan. “Apakah ada air? Aku minta sebotol air.” Audrey mencari keberadaan air, tapi tak ada sisa sama sekali. “Lebih baik kau kembali sore nanti, karena air sudah habis,” jawab salah satu koki. Audrey diam, menundukkan kepala dengan wajah kecewa. Hanya air saja, mereka tak punya sama sekali. “Pasti dia kehausan.” Akhirnya, gadis itu keluar dengan tangan kosong, sambil menunduk hingga tak menyadari telah menabrak seseorang. “Maafkan aku,” kata Audrey tanpa mendongak. Gadis itu pun melewati orang yang ditabrak begitu saja. “Angkat kepalamu!” titah suara yang dikenal Audrey. Sontak ia langsung mengangkat kepala, terkejut melihat ternyata Keith yang telah ditabraknya. “Tuan, maafkan saya.” Gadis itu pun menunduk lagi, dengan tubuh gemetar hebat. “Dimana Carol?” “Saya sedang mencarinya, tuan tak berada di ruang makan.” Keith melipat tangannya sebatas d**a, “Kembalilah kerja, biar aku yang mencarinya.” Mau tak mau, Audrey menyetujui usul pria itu. Setelah gadis tersebut benar-benar pergi, Keith segera bergegas menuju ke kandang kuda. Tidak ada seorang pun di sana, kecuali dua pelayan wanita. Pria itu pun keluar, dari jauh ia melihat seseorang yang bersandar di pohon sambil memejamkan mata. “Ternyata, kau ada di sana.” Keith bergegas menghampiri Caroline, berjalan pelan agar tak menimbulkan suara. Ketika sudah sampai, ia jongkok untuk mengamati wajah gadis tersebut. “Tidurmu sangat damai sekali.” Tangan Keith membenahi anak rambut milik Caroline sambil tersenyum. “Haruskan aku melepas topeng mu itu? Aku rindu wajah aslimu.” [Ah gila] Keith sudah gila karena Caroline. Pada waktu pertama kali mereka bertemu, jelas dadanya bergemuruh, tapi ia tetap acuh saja. “Dengar... aku tak akan melepaskan mu.” Keith mengecup lembut kening Caroline, lalu menoel-noel pipinya gara dia bangun. “Dasar tukang tidur,” kekeh nya mengejek dengan bahagia. Karena merasa terusik, Caroline akhirnya membuka kedua matanya perlahan. Sontak ia melotot sebab melihat Keith berada tepat didepannya. “Tuan, apa yang kau lakukan disini?” tanyanya dengan wajah panik. Aku tak mungkin ketahuan bukan? “Cih, aku hendak menyiram mu dengan air ini,” kata Keith sambil mengangkat botol air, lalu dilempar kepada Caroline. “Ikut aku. Pekerjaanmu masih banyak.” Caroline hanya mendesah ringan mendengar perintah Keith. “Tuan, bisakah aku berisitirahat sebentar lagi.” Sungguh, ia sangat lelah kerena menjadi pengurus kuda. Bahu dan kakinya terasa sangat pegal. “Maka hukuman menantimu,” jawab Keith dnegan dingin. Caroline merasa kesal, tapi ditahan. Gadis itu pun bangkit, tapi sayang sekali kepalanya berkunang-kunang. Dengan sekuat tenaga, ia mencoba menguatkan dirinya sendiri. Inilah hidup dibawah bangsawan, harus kerja rodi untuk membayar hutang. Makan juga belum, sudah diminta kerja lagi. Jika aku kelelahan, apakah dia akan menyuruhku tetap bekerja Caroline yakin, Keith tak mau rugi sama sekali. Jika dilihat dari perangainya, pasti pria itu adalah orang yang suka memaksa. “Kenapa lambat sekali?” teriak Keith sambil terus berjalan menjauh. Sementara Caroline berusaha mengejarnya meski tubuhnya dalam kondisi kurang baik. Aku bukan gadis lemah. Keith yang tak sabaran pun balik badan, seketika langsung syok melihat wajah pucat milik Caroline. “Kenapa kau menatapku, Tuan?” “Sial!” geram Keith bergegas menghampiri gadis itu, langsung menggendongnya ala bridal styl. Tentu Caroline terkejut bukan main, karena gerakan impulsif seorang jenderal berwajah dingin. “Tuan..., apa yang kau lakukan?” Keith diam, hanya terus berjalan dengan buru-buru ke suatu tempat. Caroline yang sedang lemas, dan pertahanannya sudah di ambang batas, lebih memilih pasrah dengan tindakan Keith. Aku lelah dan mataku tak bisa di ajak berdiskusi. Pelayan oh pelayan, itulah statusku sekarang. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN