Sampai di kerajaan, Keith menghadap Eugene yang berada di singgasana. Masih banyak pertanyaan yang muncul dibenaknya, mengenai hubungan Jason dan Keith. Hanya saja, dia tak bisa bertindak gegabah.
Terlebih lagi, dirinya harus membiarkan Caroline untuk sementara waktu. “Kenapa kau kembali? Sejak kapan kau berada di sekitar Gunung Suci?”
“Saya melihat api peringatan.”
Di depan semua mentri, Eugene tak berani bertanya lebih dari itu. Kepergiannya mendadak membawa semua fraksi keheranan.
“Tunggu aku di ruang pribadiku.”
Keith undur diri, berjalan tegap meninggalkan aula kerajaan. Nafasnya terasa lega, dan ingatannya berputar kembali mengenai Caroline.
“Kemana dia pergi?” ucapnya dengan lembut.
Saat itu, Caroline dan Audrey sedang berada di Ibu Kota. Tujuan mereka adalah pergi ke mansion milik keluarga Griffin untuk mengambil semua barang-barangnya.
“Apakah nona akan pergi?” tanya Audrey dengan hati-hati.
“Aku tak ingin lagi terlibat dengan dunia ini lebih jauh, Audrey. Bagiku sudah cukup merasakan rasa sakit ini.”
Jika dia berlama-lama, takutnya akan berdampak buruk bagi spikolognya. Untuk itu, kembali ke rumah adalah pilihan yang tepat. Lantas yang jadi persoalan, bagaimana caranya kembali ke dunia manusia?
“Apapun keputusan nona, aku akan mengikutinya.”
Mendengar perkataan Audrey, hati Caroline menghangat. Tidak seharusnya dia berkata demikian.
“Terkadang aku merasa kau lebih dewasa dariku, Audrey.”
Audrey tersenyum lembut. “Justru nonalah yang beriskap dewasa.”
Caroline tersenyum pahit karepa perkataan itu sepenuhnya merupakan kebohongan. Ia tak dewasa sama sekali. Sampai akhir pun, gadis itu tak menoleh meskipun sang ayah bersimbah darah. Terlalu sakit hati memang, tapi itulah yang terbaik.
Buat apa mempertahankan seorang ayah yang tak menyayangi anaknya? Lebih baik segera pergi meninggalkan tempat tersebut, sembari mencari tahu bagaimana caranya kembali ke dunia manusia.
“Jangan menunda waktu lagi. Lebih baik kita segera masuk.”
Mereka yang berdiri di depan pintu gerbang disambut oleh penjaga pintu. Beberapa pelayan segera berdatangan karena tak menyangka bahwa ada seorang gadis yang datang berkunjung ke Mansion Griffin.
“Apakah nona ingin mencari tuan. Jika anda bisa menunggu, saya akan menyiapkan ruangan,” kata pelayan itu sedikit melirik ke arah Caroline. Gadis cantik yang dilihatnya itu tampak seperti bonekah. Seorang jendral yang terus berada di medan perang, bisa mendapatkan dia yang merupakan maha karya Tuhan. Sungguh keajaiban yang luar biasa.
“Jangan memperlakukan aku dengan istimewa. Aku hanya ingin pergi ke kamar Carol.”
Sang pelayan melirik ke arah Audrey karena paham betul bahwa gadis belia itu pernah bekerja di bagian dapur.
“Jadi, anda saudara Carol?” tanya pelayan memastikan.
“Iya,” dusta Caroline dengan enteng.
Ada raut wajah kecewa dari kepala pelayan itu. Karena semua bayangannya tidak sesuai dengan relita dihadapannya.
“Saya akan mengantar kalian.” Pelayan itu berjalan terlebih dahulu menelusuri lorong. Tak ada yang berubah selama Caroline pergi, hanya saja tempat tersebut sedikit gersang, kurang cahaya hidup.
Langkah kaki gadis itu berhenti sejenak kala melihat pohon besar. Matanya beralih menatap kandang kuda yang membuat memori lama muncul kembali.
“Nona,” panggil Audrey karena melihat Caroline terbengong.
“Maafkan aku. Aku terlalu menikmati semua kenangan yang ada.”
Entah kenapa rasanya seperti kehilangan. Jika nanti ia kembali ke dunia asal, apakah rasa rindu akan muncul? Hatinya seperti nyeri tak tertahan, lebih sakit dari pada kebohongan Jason.
“Ini ruangannya. Jika sudah selesai, sebaiknya anda segera keluar dari tempat ini sebelum jenderal kembali.”
Kabar Keith keluar dari perbatasan sudah menyebar ke seluruh Ibu Kota. Jelas sebentar lagi, dia akan kembali ke mansionnya.
“Kita harus bergegas, Audrey,” kata Caroline sambil memasukan seluruh barang-barangnya ke dalam tas. Namun siapa sangka, orang yang tak ingin ditemui malah datang.
“Kau kembali,” kata seseorang di ujung pintu.
Mereka berdua pun menghentikan kegiatannya, dan pandangan mata lurus ke depan. Audrey langsung menjadi penghalang penglihatan orang itu.
“Sudah lama tidak bertemu, Madam Reta.”
Madam Reta bukan pelayan biasa, melainkan orang kepercayaan Keith untuk mengatur mansionnya dari generasi ke generasi. Tidak ada yang tahu bahwa dia sebenarnya adalah ibu asuh dari sang Jenderal Emas.
“Pergilah sebelum Devon menyadari kedatanganmu,” kata Reta dengan raut wajah tak bisa di artikan.
“Aku kira Madam Reta membenciku.” Caroline tersenyum cantik.
“Tidak..., aku hanya ingin Tuan Keith tak terluka karenamu.” Reta tahu kalau Keith mulai menyimpan perasaan pada Caroline. “Aku sudah membungkam mulut pelayan tadi. Jadi, kau bisa tenang.”
“Terimakasih atas bantuannya.” Audrey dan Caroline berjalan emlewari Reta. Wanita itu memandang gadis itu sampai punggungnya menjauh.
Sebenarnya wajah Reta dipenuhi kekawatiran yang besar. Untung saja pelayan bergegas menemuinya, sehingga ia bisa bertindak cepat.
“Jangan terikat dengan Tuan Keith, Caroline. Kau tak akan bisa bahagia.”
Reta balik badan, tersentak karena melihat Devon berdiri dengan tatapan bengisnya. “Kau akan menyesal, Reta. Keith tak akan memaafkanmu.”
Devon balik badan, segera meminta salah satu prajuritnya untuk pergi ke kerajaan. Tentu saja memberitahu kebenaran kalau Caroline ada di mansion. Dan sekarang yang dilakukan adalah mencegah gadis itu keluar dari kediaman tersebut.
Yang menjadi pokok permasalahan adalah Audrey, gadis belia yang merupakan seorang penyihir.
“Apapun yang terjadi, aku harus mencegah mereka keluar dari sini sampai Keith kembali.”
Devon segera membunyikan tanda peringatan agar para pengawal waspada. Semua kstaria langsung bergegas menuju ke halaman utama.
Sementara kedua gadis itu segera berlari ke pintu gerbang. “Kita tak punya waktu lagi, Nona.” Audrey berusaha membuka pintu gerbang. Sayangnya ada panah peringatan melintas dari samping kiri, tepat menggores pipinya hingga berdarah.
“Aku tak punya pilihan lain.”
Untuk pertama kalinya di depan semua orang, Audrey membuka pintu ke tempat lain di dengan menggunakan formasi sihir. Semua orang tampak terkejut karena keahlian gadis belia itu. Begitu proses formasi sempurna, ia langsung mendorong Caroline untuk segera menyelematkan diri.
“Jangan cemas, Nona. Aku baik-baik saja!” teriak Audrey mulai menutup formasi sihir itu.
“Audrey! Kenapa kau lakukan ini?” Suara Caroline sudah hampir menghilang bersamaan dengan tubuhnya. Dan sekarang Audrey berada di depan semua ksatria kepercayaan Griffin.
“Aku tak menyangka kau berusaha keras melindunginya, Audrey,” kata Devon dengan lantang. Para ksatria memberi celah untuknya berjalan menuju ke gadis itu.
“Sangat menarik. Kau terlalu bangga dengan statusmu,” jawab Audrey dengan wajah sinis. Walau bagaimanapun, ia lebih unggul dari umur. Devon sekalipun tak akan bisa menandinginya.
“Kekuatanmu terbatas. Kau tak bisa teleportasi dan hanya menggunakan formasi sihir.”
Audrey berdecih, membuang muka ke arah lain. Itu karena umurnya maish muda, dan kekuatan yang dimiliki terbatas. Lagi pula, jiwa miliknya hampir rusak ketika merasuki tubuh gadis yang sudah sekarat tersebut.
“Jika raja tahu, pasti kau akan mengalami nasib sama seperti Penyihir Sarah.” Devon terus memandang wajah Audrey yang tampak tenang. “Apakah kau tak takut?”
“Tidak..., karena aku bukan dia.” Audrey menjawabnya dengan dingin. Sumpah, berurusan dengan Devon lebih menyebalkan dari pada Jason.
Ah, Jason, bagaimana pria itu? Apakah dia benar-benar sudah mati? Audrey berharap kalau pria itu binasa dan Caroline akan hidup bahagia.
“Aku yakin Caroline akan kembali kemari untuk menjemputmu. Jadi, kau tak akan bisa pergi kemanapun.”
“Jangan harap bisa menghalangiku.”
Devon bersemirik saat dahi Audrey tampak mengerut, dan wajahnya berubah jadi lemas. “Sepertinya sudah bereaksi.”
“Kau!” tunjuk Audrey berusaha berdiri tegak. Tenryata panah yang dilayangkan tadi bukan anak panah peringatan, melainkan anak panah yang mengandung serbuk bius dan pelumpuh.
“Selamat tidur Audrey,” kata Devon tersenyum puas. Tak lama setelahnya, Audrey menutup kedua matanya dengan sempurna, dan jatuh di pelukan pria itu.
“Kau hanya gadis belia, bukan orang dewasa sepertiku. Akan tetapi entah kenapa kau membuatku tertarik, ” gumam Devon sambil menggendong Audrey pergi menuju ke kamar yang sudah di siapkan.