Maggie buru-buru keluar rumah Bryan karena mendapatkan kabar dari Caroline. Ketika melihat gadis itu, Maggie langsung memeluknya dengan erat, takut kalau dia hilang lagi. Caroline mengusap punggungnya berulang kali, setelah puas, dia melepas pelukan itu.
“Apa yang direncanakan si m***m itu?” Caroline merangkul Maggie untuk mengajaknya masuk ke dalam mobil. “Pasti dia sudah menyadari kalau aku kembali.”
Maggie mengangguk, “Jangan menyembunyikan apapun dariku. Kau selalu saja gegabah dalam bertindak, Caro.”
“Aku tak bisa tinggal dima! Aku saja terlalu bodoh, tak mengira semuanya adalah jebakan.” Caroline masuk mobil milik Maggie. “Malam ini aku harus mengambil batu itu.”
“Ruangan rahasia itu dijaga ketat. Kau tak bisa bergerak sendirian.” Maggie menunjukkan denah dari ruang bawah tanah milik Bryan. “Banyak jebakan yang terpasang, jika kau salah langkah maka semuanya akan sia-sia.”
“Aku tahu. Ada informasi apa lagi yang kau dapat.” Caroline melihat dengan seksama denah yang ditunjukkan oleh Maggie.
“Vano bilang kalau Bryan sedang mempersiapkan diri untuk pergi ke dunia pararel yang kau maksud.” Maggie cukup menggali informasi saat ia dan Vano bertemu di lorong laboratorium.
“Aku akan pergi ke ruang rahasia milik Bryan malam ini. Jika bisa, buat kacau sistem keamanan agar mudah untukku masuk. Dan kunci Bryan ditempat lain.” Caroline harus mendapatkan batu itu agar dirinya bisa bertemu dengan Jason.
“Aku sudah meminta orang handal untuk menyelesaikan semuanya. Kau tak perlu khawatir tentang hal itu.” Maggie menyentuh tangan Caroline. “Jika kau berhasil ke sana, kau harus pulang dengan selamat.”
Caroline tersenyum dengan sikap hangat Maggie yang jelas menyayanginya. Gadis itu bukan hanya menjadi sahabat, tapi juga menjadi saudara baginya.
“Kita tunggu mereka selesai.” Maggie menghubungi seseorang untuk segera meruntuhkan pertahan yang dibuat oleh Bryan. Cukup lama menunggu hasil yang baik, karena Bryan tidak sembarangan memasang sistem keamanan untuk melindungi wilayah pribadinya.
Selama menunggu, Maggie memesan makanan dan juga minuman. Kalau Caroline terus mempelajari denah dengan teliti. Hingga akhirnya, orang yang melaksanakan tugas berhasil mengerjakannya.
“Aku akan masuk sendirian,” kata Caroline sambil memakai tasnya.
“Apakah kau yakin? Bagaimana kalau aku ikut?” Maggie enggan jika Caroline bertindak sendirian.
“Jika dalam waktu dua jam aku tak keluar, jangan mencari ku.” Caroline keluar mobil, menatap matahari yang mulai tenggelam karena lelah. Diiringi langkah kaki gadis itu, berita mengenai Super Blood Moon mulai.
Caroline masuk ke dalam rumah Bryan dengan santai, karena semuanya sudah di urus oleh bawahan Maggie. Gadis itu seakan menjadi pemilik rumah, terbiasa oleh sekitar. Langkah kakinya berhenti saat mendengar suara Bryan.
“Super Blood Moon sebentar lagi, kenapa sistem keamanan rusak di saat yang tak tepat?” Dia terdengar uring-uringan. Caroline pun langsung sembunyi dibalik tembok, berjalan masuk ke dalam ruangan.
“Aku tak tahu sama sekali. Mungkin eror. Lagi pula hanya kau yang bisa mengakses keamanan itu.” Nada bicara Vano terdengar sangat kesal.
“Aku tak ingin melewati kesempatan untuk segera membuktikan penelitian ku.”
“Kenapa kau tak menjelaskan semuanya padaku?” tanya Vano sambil berkacak pinggang.
“Aku malas menjelaskannya. Lagi pula kita belum tahu reaksi dari Super Blood Moon ke batu itu. Berhasil atau tidaknya, kita akan melihatnya.”
Bryan pun menekan tombol pintu berulang kali, tapi tak bisa terbuka. “Sialan... sebentar lagi akan terjadi, kenapa harus seperti ini?”erangnya frustasi.
“Kita lewat jalur lain saja.” Vano mengajak Bryan menuju ke jalur lain. Setelah mereka benar-benar pergi, Caroline keluar dari persembunyiannya, lalu mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Maggie.
“Halo, Mag. Kunci dua orang itu sekarang. Tutuplah akses menuju ke ruang penelitian.”
Oke, laksanakan. Waktumu lima menit menuju ke ruang penelitian.
Caroline tersenyum, berlari tanpa henti menelusuri lorong demi lorong. Gadis itu tak menyangka kalau Bryan memiliki banyak lorong layaknya labirin. “Sangat menjebak orang.”
Gadis itu belok kanan, tampak pintu menuju ke ruang penelitian terbuka lebar. Ketika Caroline masuk, alarm pun sontak berbunyi.
Super Blood Moon yang di tunggu pun muncul sangat indah. Sinar bulan itu perlahan masuk ke ke ruangan lewat jendela, lanjut memantul di cermin. Cermin yang mengelilingi batu itu mulai bersinar membentuk pola bintang.
Batu meteor berwarna hitam pun berubah menjadi kemerahan ketika mendapatkan energi bulan itu. Caroline pun mendekat perlahan, tiba-tiba batu meteor itu bersinar terang menjulang ke atas. Ada cermin besar di atasnya, seukuran tubuh manusia.
“Aku harus cepat!” teriak Caroline segera berlari menuju tepat dibawah cermin besar yang ada di atap. Sontak seketika, cahaya mereh itu memantul, melahab tubuh gadis itu.
Bryan dan Vano yang kecolongan berusaha membuka pintu akses menuju ke ruang penelitian. Sayang sekali, karena cahaya yang cukup menyilaukan itu membuat keamanan yang baru saja dibenahi rusak kembali.
Diwaktu yang sama, sebuah perang yang sudah mengorbankan banyak nyawa terus saja terjadi. Darah segar dan mayat menjadi lautan segar di mata jenderal muda yang terkenal kejam itu. Banyak dari musuh terlihat kewalahan menerima serangan demi serangan dari prajurit pilihan Keith.
“Bantai mereka sampai tak tersisa!” teriak Keith sambil mengayunkan pedangnya, tepat menebas leher seorang prajurit.
Bunyi adu pedang di malam hari, dan juga suara teriakan kesakitan terus saja menggema. Tiba-tiba, hujan dan petir pun menyambar berulang kali. Tampak kilatan cahaya merah berbetuk lingkaran muncul di udara tanpa sepengetahuan mereka.
Caroline muncul dari cahaya itu, terjun bebas turun ke udara. “Sialan....! Kenapa aku harus terjun seperti layang-layang putus.” Gadis itu terombang-ambing di udara, seketika langsung balik badan menatap ke bawah.
Matanya terbelalak saat melihat banyak mayat yang memenuhi area tanah di tengah hutan. Caroline pun menarik ikat pinggangnya, lalu memilih terjun ke pohon cukup besar, menerjang beberapa ranting. Tangannya pun bergerak, langsung mengayunkan ikat pinggang miliknya ke dahan yang cukup kuat.
Akhirnya, gadis itu pun menggelantung. Kakinya bergerak, mencari dahan lain untuk dijadikan pijakan. “Aku beruntung selamat dari ketinggian itu.” Dahinya yang berkeringat pun di seka nya perlahan.
Mata Caroline mengarah pada peperangan yang sedang terjadi. Ia memilih duduk di atas dahan dengan santai, mengeluarkan air minumnya di dalam tas. “Aku berhasil...! Selamat datang di Dunia Pararel” tawanya pecah seketika.
Berhasil karena bisa masuk ke Dunia Pararel yang di maksud. “Ternyata Bryan begitu jenius. Tidak heran kalau mereka menyebutnya profesor gila. Sayang sekali mesumnya minta ampun.”
Caroline terus mengamati peperangan yang terjadi tak jauh darinya. Seperti melihat film layar lebar yang ada di bioskop, dengan santai ia terus menonton, sampai tak menyadari ada panah yang melayang bebas ke arahnya. Untung saja gadis itu menghindar dnegan cepat.
Naas, karena menghindar keseimbangan dipertaruhkan. Botol minuman yang dipegang langsung jatuh. Dan ia pun ikut jatuh ke tanah cukup keras. “Auuuu...”ringisnya kesakitan.
Panah itu pun kembali melesat ke arahnya, kali ini ia cukup beruntung karena ada seseorang yang melempar batu ke arah anak panah itu. Caroline bisa bernafas lega sambil memejamkan mata, tapi kelegaan itu hanya sementara waktu.
“Sangat aneh ada seorang gadis ditengah medan pertempuran,” kata seorang pria yang memegang pedang berlumuran darah di tangan kanannya.
Mata Caroline yang tadinya menutup, kini terbuka semuanya. Gadis itu melotot, terkejut karena sosok yang berjalan menuju ke arahnya seperti singa buas yang kelaparan. “Aku sungguh sangat... sangat... sangat...sial,” gumamnya sambil memasang wajah tersenyum.
Bersambung