Seorang dokter keluar dari kamar Eugene dengan wajah penuh keringat yang tampak di dahi. Terlihat jelas oleh pengawal yang berjaga di depan pintu, pria itu tampak kelelahan dan memiliki wajah pucat.
Begitu dia pergi, Veto pun tiba dengan wajah ditekuk. Dua pengawal itu langsung hormat-membuka pintu dengan segera.
Veto melihat Eugene duduk dengan santai, sambil menghisap rokok. Di atas meja ada sebuah tali dan juga lilin aroma terapi.
“Apakah rencanamu berhasil, Vet?” tanya Eugene menatap Veto dengan pandangan dinginnya.
“Saya gagal, Yang Mulia. Saya tak menyangka kalau dia memilih terjun ke jurang,” jawab Veto sembari menundukkan kepala.
Sebuah gelas langsung melayang tepat di dahi Veto hingga berdarah, tapi pria yang dilempari tak bergeming sama sekali.
“Cari sampai ketemu. Jangan membuatku kecewa lagi!” Eugene bangkit dari sofa, menatap ke arah bulan. “Keluar!” teriaknya cukup keras. Akhirnya Veto keluar ruangan tanpa curoga sedikitpun.
“Sungguh kau semakin berani, Eugene. Memanggil seorang dokter untuk menyingkirkanku. Kita lihat..., siapa yang akan bertahan lebih lama, kau atau aku.”
Jelas bahwa dia adalah Varlos, yang mengambil alih tubuh Eugene. “Aku yang telah menyelamatkan hidupmu dan kau dengan tak tahu terimakasihnya ingin melenyapkanku.”
Dia berjalan menuju ke cermin, terdapat pantulan tubuhnya di sana. Sosok Varlos yang tersenyum, diganti dengan sosok Eugene yang terbelenggu oleh rantai.
“Kembalikan tubuhku!” teriak Eugene tak terima jika Varlos bertindak semaunya.
“Tidurlah dengan damai, jangan membuat kegaduhan yang tak masuk akal.” Dia pergi meninggalkan Eugene asli yang terus berteriak dibalik cermin itu.
“Saatnya mengejar K dan membawa gadis itu pulang ke kerajaan.” Eugene memakai pakaian sederhana untuk penyamarannya, pergi mencari K yang telah merusak segala rencananya.
Sementara itu, Jeff sudah berada di atas tebing, melempar tali ke bawah, lalu ujungnya dikaitkan ke pohon yang lebih besar dan kaut.
Melihat tali yang menggelantung, Keith meminta Megan untuk naik lebih dulu, kemudian di susul olehnya. Begitu mereka berdua sampai di permukaan, Jeff mengerutkan kening tak suka dengan gadis loli itu.
“Tuan, kenapa ada dia?” tunjukknya dengan sinis.
“Dia pemimpin para bandit. Jangan meremehkannya.” Mata Keith tertuju pada mayat para bandit yang bersimbah darah. Sementara Megan hanya diam membisu, menatapnya dengan pandnagan kosong.
“Kubur semua orang ini dengan layak. Aku akan segera menyusul Caroline.” Keith berjalan mendekati Megan. “Kau ikut denganku, atau kembali ke markasmu.”
Mengingat perjuangan para bandit di bawah kepemimpinannya, Megan pun tersenyum penuh pilu. “Aku akan pergi ke markasku untuk pindah tempat.” Hidupnya sudah tak aman, pasti Veto akan mengejarnya. “... dan katakan pada Audrey, kalau aku menunngunya.”
Megan pergi, tanpa menoleh kembali karena tak ingin bersedih. Beban dipunggung gadis loli itu cukup besar, sampai seorang pria pun belum tentu bisa melakukannya.
“Tuan, haruskah kita meminta orang untuk mengawasi gadis itu?” Jeff merasa kasihan dengannya karena dia merupakan gadis lemah.
“Dia bisa mengatasinya dengan baik. Tak perlu khawatir.” Keith menepuk bahu Jeff pelan. “Aku pergi, kau urus Rumah Madu dengan baik.” Pria itu melambaikan tangan, meninggalkan Jeff yang terus menatap punggungnya.
Diwaktu yang sama, Caroline bangun dari tidurnya, merasakan haus luar biasa. Sayang sekali air mereka habis. Jadi gadis itu memutuskan untuk mencari sumber air. Begitu keluar gua, ia mendnegar air sungai yang mengalir cukup deras.
Tidak lama setelah berjalan, tampak air yang begitu jernih. Pikirannya pun melayang pada mandi di air itu. Tanpa perasaan waspada, dengan cepat ia menanggalkan pakaiannya, melepas topeng yang dikenakan.
“Hanya sebentar..., jika berlama-lama Audrey akan kebingungan mencariku.”
Air sungai itu sangat segar dan nyaman, hingga tak sadar ketika bersandar dibebatuan, gadis itu memejamkan mata.
Caroline tersentak saat mendengar suara krasak-krusuk tak jauh darinya. Gadis itu menoleh ke seluruh penjuru arah, tak nampak seorang pun atau hewan hutan. Hatinya sangat lega, lalu memutuskan untuk menyudahi mandi setelah mengisi air ke dalam botol hingga penuh.
Setelah Caroline pergi, Derich yang bersembunyi dibalik pohon langsung terduduk lemas. Kakinya gemetar tak bisa bergerak sama sekali. Akhirnya, Caroline muncul dengan wajah itu, wajah yang dirindukannya.
“Aku tak percaya bisa melihat wajahmu ditengah bulan yang bersinar,” gumamnya sambil menutup sebagian wajah yang merah miliknya.
Ternyata tanpa sengaja dalam pencariannya, Derich menemukan sesuatu yang mengejutkan, tak menyangka kalau akan bertemu dengan Caroline yang sedang menikmati acara mandinya di sungai.
Derich bahkan melihat seluruh tubuh gadis itu, tanpa helai benang sekalipun. Bahkan ia sampai tak kuasa menahan sesuatu yang memuncak di balik celananya. “Sialan! Hanya dia yang bisa membuatku seperti ini,” geramnya tertahan.
Pria itu pun memutuskan persolo karya sambil membayangkan keindahanntubuh Caroline yang tercetak jelas di pikirannya. Benar-benar otak kotor yang harus di cuci dengan sabun pemutih agar bersih.
Derich tertawa, menertawai kegilaannya sendiri karena tak pernah merasa konyol seperti itu. Begitu banyak wanita dan gadis yang di takhlukan di ranjang, tapi tak bisa membuat libidonya naik tanpa oral.
Meskipun mereka terlanjang di depannya, Derich tak akan tertarik sama sekali. “Ah... aku memnag gila karena gadis itu.”
Setelah menyelesaikan segala urusan pribadinya, Derich berjalan mengikuti arah Caroline pergi. Dari jauh, ia melihat sebuah gua yang tak terjamah sama sekali. “Pasti dia ada disana.”
Saat berada di bibir gua, banyak sekali tanaman rambat. Tapi Dercih tetap masuk ke dalam gua dan tersenyum ketika melihat dua gadis sedang tidur pulas.
“Akhirnya aku menemukanmu,” gumam Dercih di dengar oleh Audrey. Gadis itu langsung bangun begitu mendengar suara asing.
“Kau!” tunjuk Audrey penuh kewaspadaan.
“Aku tak tertarik denganmu. Aku tertarik dengan Carol.” Ketika Derich hendak mendekat, Audrey menghalangi jarak pandang mereka.
“Hey... kau tak perlu memasang wajah waspada kepadaku. Kau akan menolong kalian.” Derich berusaha membuat kesepatakan dengan Audrey. “Kebetulan rumahku ada di dekat Gunung Suci. Di sana adalah tempat aman.”
Caroline yang mendengar suara orang bicara perlahan mulai bangkit, terkejut melihat Derich yang sudha menemukannya. “Apa maumu?” tanya gadis itu dengan wajah dingin. Ia bangkit-berjalan ke arah pria tersebut.
“Hanya membuat kesepakatan.”
“Aku tak percaya denganmu.”
“Pikirkan..., kalian aman bersamaku,” bujuk Derich sekali lagi.
Audrey pun berbisik, “Nona, haruskan kita mengikutinya? Rumahnya di dekat Gunung Suci.” Gadis belia itu tahu kalau Derich tak berbohong padanya.
“Jika demikian, lebih baik seperti itu. Tapi, dia tak berbohong bukan?” jawab Caroline dengan nada lirih.
“Tidak,” setelah sampai di tempatnya, aku akan memanggil naga untuk membawa kami pergi ke Gunung Suci, rencana Audrey di dalam hati.
“Kami setuju,” jawab Caroline cepat. “Tapi, bukan berarti kita berdamai.”
Mendengar Caroline setuju, Derich sangat senang. Ia bahkan tak peduli jika nanti Fredich akan memarahinya karena membawa mereka ke tempat rahasia.
Bahkan Derich sendiri sudah terkesima oleh Caroline. Kenapa demikian? Karena gadis itu adalah keturunan penyihir. Seorang penyihir, baik pria atau pun wanita akan memiliki daya tarik bagi manusia biasa.
Itulah mengapa, mereka bertiga tergila-gila oleh Caroline. Namun, kembali ke hati gadis itu. Dia berhak memilih siapa saja untuk mendampingi hidupnya hingga tua nanti.
Bersambung