Bab 18. Kembali ke Ibu Kota

1186 Kata
Rumor adalah hal yang paling mengerikan dalam hidup manusia. Selalu saja bisa melejit dan tak bisa ada yang mengontrolnya. Ibarat angin berhembus sangat kuat, dapat mengacaukan siapa saja. Untungnya, orang yang bersangkutan memilih diam. Caroline yang mendengar desas-desus mengenai Jason berpikir memang ada seseorang yang sedang merencanakan sesuatu terhadapnya. Siapa orang itu? karena selama datang ke dunia baru, ia tak pernah menyinggung seseorang. “Jika kita menempelkan gambar itu nanti, pasti semua orang akan memusuhi mu.” Apa sebenarnya isi rumor itu? Rumor tersebut bersisi bahwa orang asing adalah salah stau penyihir yang harus dibasmi. Siapa yang melihatnya, maka segera melapor. Secara tidak langsung rumor itu juga mengarah pada Caroline. "Drey,” panggil Caroline dengan lembut, menatap sungai yang sedang mengalir. Mereka berdua berada di atas perahu, hendak menuju ke desa seberang untuk mencari informasi lebih lanjut lagi. “Apakah kau percaya padaku? Dia ayahku, dan dia bukan penyihir.” Audrey mengangguk pelan, “Jika nona penyihir, maka nona bisa merubahku menjadi katak.” Caroline tersenyum seketika mendengar lelucon dari Audrey, tapi senyumnya pudar seketika. “Aku tahu siapa yang menyebar rumor tak jelas itu. Kita kembali ke ibu kota.” Satu orang yang bisa melakukan ini semua, yaitu Keith. Kenapa bisa dia? Karena kekuasaan Keith lebih besar dari Eugene yang merupakan raja. Bisa dilihat dari aura dan sinar matanya yang begitu dalam. Jika Keith jadi raja, pasti negara ini akan lebih makmur. Sayang statusnya hanyalah Jenderal bangsawan biasa. “Apakah nona yakin mau pergi ke ibu kota?” Audrey menatap ke pulau yang tak jauh drai mereka. “Desa seberang sudah dekat.” “Aku yakin,” kata Caroline mantap. Masuk ke ibu kota dengan tampilan seperti ini, Keith tidak akan menyadarinya. Lagi pula, semua bentuk tubuh dan suaranya juga berubah. Gadis itu pun meminta sang pendayung untuk balik arah dengan imbalan koin emas dua kali lipat. Akhirnya mere pun kembali ke desa sebelumnya. “Kita harus bergegas, Drey.” Caroline tak ingin membuang waktu lebih lama lagi untuk segera mencari informasi mengenai Jason. Disisi lain, Derich pergi mencari informasi tentang Caroline, tapi tak mendapatkan hasil. Ia bahkan bertanya pada beberapa b***k, mereka hanya geleng kepala. Salah stau b***k memberi tahu bahwa malam itu Keith membawa seorang b***k. Seorang prajurit pun menambahkan kalau b***k itu sangat cantik. Namun sayang, sang jenderal emas tak memperbolehkan b***k itu di cap, dan malah langsung di kurung ke sel tahanan khusus b***k elit. Sampai akhirnya, sang b***k berhasil kabur. “Apa kau yakin dia Caroline?” tanya Derich memastikan. “Saya yakin, Jenderal. Jika Anda menginnginkan b***k lain, saya akan memberikannya,” jawab prajurit itu. “Aku tak butuh b***k lain, aku hanya ingin dia.” Derich balik badan, tersenyum menyungging karena Caroline masih bersih. Artinya dia belum dicap sama sekali oleh Keith. “Caroline masih bisa aku miliki. Setelah aku mendapatkannya, aku akan mencap dia sebagai b***k keluargaku. Seorang b***k yang sudah dicap, tidak akan bisa pergi kemanapun karena cap itu adalah sebuah tanda bahwa dia dimiliki. “Tunggu saja. Aku akan menangkap mu.” Meskipun b***k bisa berstatus tinggi, tapi b***k tetaplah b***k yang kalah dengan bangsawan. Jangan sampai Caroline jatuh ke tangan Derich, karena bisa jadi dia hanya akan dijadikan rumah pelampiasan nafsunya. Setelah keluar dari sel tahanan, Derich memacu kudanya menuju mansion Keith. Kedatangannya bertujuan untuk memanasi pria itu agar goyah dengan segala pemikirannya. Jika goyah, maka ia bisa naik pangkat dengan mudah. “Ada apa gerangan Anda datang kemari, Tuan Derich?” tanya Reta dengan wajah dingin. “Aku ingin bertemu dengan Keith.” Gaya sombong terlihat jelas dimata wanita tua itu. “Tuan sedang sibuk. Anda bisa kembali.” Derich langsung menerobos masuk ke dalam ruangan, berjalan menuju lorong menghiraukan ocehan Reta yang tiada henti. Pria itu berhenti di taman belakang mansion, terlihat Keith sedang berlatih pedang. “Kau cukup hebat!” Derich melipat kedua tangannya sebatas d**a, menghampiri Keith yang tak bergeming sama sekali. “Aku akan membuat Caroline menjadi budakku.” Ia sengaja memprovokasi pria itu. Kegiatan Keith berhenti seketika, melempar pedang latihan miliknya ke tanah. Sikapnya yang tenang seolah menjadi sebuah ancaman bagi Derich. Lihat aura Keith ketika berjalan, sangat luar biasa bisa membuat orang merinding ketakutan. “Naga kecil sepertimu ingin mendapatkannya?” ejek Keith dengan lantang. “Jangan bermimpi.” Pria itu melewati Derich begitu saja tanpa menoleh sedikitpun. “Dia belum di cap tanda b***k. Jadi, kalau aku mendapatkannya lebih dulu, aku akan segera mengecapnya.” Keith malah tersenyum meremehkan, “Itu jika kau bisa menangkapnya.” Mengingat Caroline sudah dua kali lolos, membuat pria itu sudah mengakui kecerdikannya. “Lihat saja nanti.” Derich pergi dengan wajah marahnya, sementara Keith menatap punggung pria itu dengan tajam. “Ingin mengambil Caroline dariku, jangan harap. Karena kau tak bisa mendapatkannya.” Keith berjalan melewati beberapa lorong. “Aku yakin dia sudah sampai di ibu kota.” Prediksi Keith tak pernah salah, bahwa Caroline memang sudah sampai di ibu kota. Mereka menggunakan jalur cepat untuk menuju ke sana dengan bantuan orang yang lihai. Entah kebetulan atau rencana, semua berjalan dengan sangat lancar. “Akhirnya aku kembali lagi kemari,” kata Caroline sambil menghela nafas panjang. Inginnya tak lagi terlibat dengan pria berbahaya macam Keith. Namun siapa sangka malah tertarik kembali ke tempat semula. “Wah... ibu kota memang berbeda dengan yang lain.’Maat Audrey berbinar cerah, seolah anak ayam yang baru saja menetas. Caroline yang melihat gadis kecil itu tersenyum karena mengingat masa kecilnya. “Jika kau ingin bermain, aku akan menunggumu di sana,” tunjuk Caroline di kedai yang sepi. Gadis kecil itu mengangguk, yang artinya setuju. Langsung saja mereka berpisah, pergi berlawanan arah. Tujuan Caroline memilih tempat yang sepi adalah untuk mengawasi situasi dan kondisi masyarakat ibu kota. Belum sempat ia duduk, para orang saling bicara satu sama lain mengenai b***k yang kabur dan juga pria asing yang berhubungan dengan penyihir. Caroline tahu, hebatnya sebuah rumor bisa merebak sangat luas, diluar jangkauan manusia. Sesuatu yang tidak ada kaitannya malah menjadi terkait karena tidak pasti. Begitu jahatnya rumor hingga membuat orang yang terlibat putus asa. Jika hal itu terjadi, maka mental orang itu akan jatuh sampai titik terendah, dan bahkan ada yang tak bisa bangkit kembali. “Semua manusia sama saja.” Caroline meremas selembaran kertas yang ada ditangannya. Rumor beredar mungkin palsu dan juga asli. Sumber yang dapat dipercaya dialah orang yang melihatnya sendiri. Namun, saksi yang dimaksud belum tentu akan berkata jujur. “Dasar munafik,” geram Caroline tertahan. “Apa yang membuatmu marah, Tuan?” celetuk sang pelayan tiba-tiba. Caroline yang tak menyadari kedatangan pelayan itu cukup kaget ketika ditanyai. “Siapkan aku segelas air dingin,” kata Caroline mengalihkan perhatian sang pelayan itu. Untung saja tempatnya sangat sepi, sehingga ia bisa selamat dari gunjingan orang. Pelayan yang masuk ke dalam dapur itu pun berbisik kepada pelayan lainnya. Mereka pun saling mengangguk satu sama lain, lalu si pelayan pergi ke suatu tempat mengambil botol bening berukuran sepuluh mili. “Dia target yang bagus. Pasti harganya mahal,” kata pelayan yang memakai celemek. “Benar... kau benar sekali,” jawa pelayan sedikit kurus sambil menyeringai. Dua pelayan itu saling cekikikan, tertawa bersama karena senang. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN