Chapter eight

1812 Kata
"Dit?" seru Sabrina setelah menggedor-gedor pintu. Adit, dan Tamara yang masih asyik menonton televisi terganggu. "Siapa si yang malam-malam gini bertamu?" tanya Tamara sewot. Meski begitu dia tetap melangkah membuka pintu. Sabrina hendak melayangkan ketukan lagi, namun pintu itu sudah lebih dulu dibuka Tamara. "Eh, Bu." Sabrina cengengesan. "Ngapain malam-malam ke sini? Clarissa udah tidur." "Bukan!" sangkal Sabrina. "Aku mau ketemu Adit." Alis Tamara terangkat sebelah. "Untuk?" "Dit?" seru Sabrina tak menggubris keheranan perempuan paruh baya yang kini tengah mendelik ke arahnya. Yang dicari-cari datang. "Ada apa?" "Clarissa," ucap Sabrina terpotong melirik Tamara. "Oh, Clarissa 'kan udah tidur?" Sabrina mengangguk. "Coba cek di kamar!" "Kamu nggedor-gedor pintu tengah malam gini cuma buat nyuruh anak aku lihat Clarissa yang udah tidur?" Tamara berucap sengit. Lagi-lagi Sabrina tak menghiraukan mertua sahabatnya itu. Dia mengikuti Adit menuju kamar. "Sayang?" seru Adit sembari membuka pintu, yang benar sudah kosong tak berpenghuni. "Loh, Clarissa?" Dia mendatangi kamar mandi, namun kosong. Menatap Sabrina yang sekilas dapat Adit tangkap sudut bibirnya tertarik singkat. "Kamu tahu darimana kalau dia nggak ada di rumah?" "Telfon," ucapnya mengangkat ponsel. "Dia barusan nelfon aku." Tamara menyusul dengan wajah yang masih sinis. "Hn, ceritanya lagi sekongkol gitu?" "Bu, jangan buat suasana makin panas." Adit melerai. Berganti menatap Sabrina lagi. "Coba kamu telfon dia lagi! Tanyakan dimana dia sekarang?" "Kenapa bukan kamu aja?" Sabrina menyuruh balik. Adit menepuk jidatnya sebelum merogoh ponsel di dalam saku celana. Tamara duduk di tepian ranjang, menatap sinis pada Sabrina yang juga tengah menatapnya. "Nggak diangkat," ujar Adit putus asa, menyimpan kembali ponsel ke dalam saku celana. "Dia bilang apa aja tadi?" Sabrina berdehem sebelum menjawab, "Dia mau pergi, karena udah nggak tahan sama Bu Tamara." Tamara yang disebut berdiri dengan wajah kaget. "Kok aku?" "Bu Tamara pasti nggak pernah sadar kalau selama ini Clarissa tertekan sama Ibu," kata Sabrina dengan berani. Tamara melotot. "Emang aku kenapa? Clarissa sendiri yang selalu nggak becus." Adit melambaikan tangan di antara kedua perempuan itu. "Udah cukup! Kalian nggak perlu meributkan hal itu lagi! Sabrina, aku butuh bantuan kamu buat cari dia." Sabrina mengangguk. "Boleh." Mereka keluar beriringan meninggalkan Tamara yang mengumpat di tempat. "Hih, bikin susah aja si!" Adit berusaha menelfon istrinya lagi selama dalam perjalanan, fokusnya terbagi menjadi dua saat ini. Sabrina yang melihat hal itu ikut ngeri. "Biar aku yang telfon." Adit menoleh lantas memberikan ponselnya pada Sabrina. Berulang kali panggilan terus dilayangkan, namun rupanya Clarissa sudah cerdas mematika ponselnya. "Bagus, Clar. Kayanya Adit udah mulai cemas nih," batinnya berucap. Tak terasa sudah dua jam mereka berputar-putar di jalan. Sabrina melirik pada Adit yang tambah bergelung dalam keresahan. "Udah mau subuh, kita balik aja gimana?" tawar Sabrina pelan. Adit menggeleng. "Aku antar kamu pulang dulu." "No, Dit. Kamu juga perlu pikirin kesehatan kamu. Belum istirahat sama sekali, kan?" Adit menepikan mobilnya, berpangku kepala pada stir mobil. Sabrina menatap tengkuk putih pria yang sepertinya tengah menangis. "Dit?" Tangannya berusaha menggapai bahu Adit, tetapi urung karena pria itu mengangkat kepalanya. "Ayo pulang!" Sabrina dibuat terpaku pada keputusan pria itu yang tiba-tiba. Mobil melaju kembali, kali ini Adit terlihat sudah lebih tenang. Perjalanan hampir tiga puluh menit, Sabrina turun dari mobil tanpa mengucap sepatah katapun. Keningnya mengernyit kala mobil Adit mundur lagi ke jalanan. Pria itu rupanya masih mempertahankan perkataan awalnya untuk tetap mencari Clarissa. Sembari terus menatap kepergian Adit. Sabrina berucap, "Beruntung banget kamu, Clar. Suami yang baik kaya Adit udah jarang ditemukan era sekarang." Ada kilat tatapan sulit dijabarkan pada kedua mata Sabrina. Dia memasuki pagar rumah dengan lesu. Semalam suntuk tak tidur, diajak bermain kucing-kucingan oleh Clarissa yang mungkin sekarang tengah asyik terlelap di kasur hotel yang empuk. Sembari rebahan di kasur, tangannya menggeser ikon kunci ponselnya. Ternyata Clarissa beberapa kali melayangkan telfon. Buru-buru Sabrina telfon balik sahabat semasa kecil itu. "Kamu seriusan di hotel itu sekarang?" tanya Sabrina begitu Clarissa mengangkat telfon. "Iya," jawab Clarissa di seberang sana dengan suara serak. Dapat Sabrina tebak sahabatnya itu baru saja tidur. "Aku barusan nyari kamu sama Adit." "Hah, jadi dia udah tahu kalau aku kabur?" Sabrina memutar mata ke atas. "Ya aku samperin rumah kamu tadi." "Gimana reaksi mertua aku?" tanya Clarissa terdengar penasaran. "Biasa aja tuh," jawab Sabrina jujur. "Tapi sekarang Adit lagi nyariin kamu." Hening, mungkin Clarissa tengah mempertimbangkan banyak hal di sana. Sabrina menaruh ponsel di atas laci sembari menghapus skincare malam yang sempat dia pakai beberapa jam lalu. "Sab, pokoknya aku minta tolong buat terus rahasiain keberadaan aku." "Hn." Sabrina menanggapi dengan gumaman tak jelas. "Terimakasih banyak, Sab. Aku serahin semuanya ke kamu sekarang." Sabrina mengangguk tanpa berucap sepatah katapun. Clarissa menutup telfon. Sabrina harus ikut campur dalam rencananya sendiri kala itu. "Karena udah terlanjur kabur. Yaudah, aku mulai aja rencananya." Bibirnya tertarik samar. Membanting tubuhnya sendiri ke atas kasur sembari menyekrol layar ponsel. Mengamati tubuhnya sendiri yang begitu anggun dibalut dress gold selutut. Sesekali alisnya mengernyit kala tak begitu suka pada make up bold yang menutupi kepolosan wajah putih langsat itu. Jemarinya menggeser laman galeri yang menampilkan foto masa kecilnya dulu bersama Clarissa. Tubuhnya yang kala itu gemuk merangkul pundak mungil milik Clarissa. Mereka berdua tersenyum, namun tidak untuk lubuk hati Sabrina. "Heh, tubuh gemukmu kurang bagus di kamera. Coba rangkul Clarissa biar sedikit merubah gaya." Ucapan fotografer yang diminta oleh kedua orang tuanya untuk memotret masa kecil itu masih tak bisa Sabrina lupa. Saat dirinya kerap kali dibandingkan dengan kesempurnaan seorang Clarissa. Sudut bibirnya terangkat sebelah. Menertawai kondisinya sekarang yang sudah berbanding terbalik dengan Clarissa. "Aku juga bisa cantik kok." Sementara Adit masih berputar-putar dalam mobil. Menghiraukan mata yang sudah pedas menahan kantuk. Tak sedikitpun ingin menepi barang sejenakpun. Juga melupakan kalau hari ini ada meeting penting bersama boss besar. Pagi sudah menunjuk pukul setengah tujuh, dimana biasanya dia sedang menunggu sarapan. Hari ini perempuan yang menghidangkan sarapan entah sedang dimana. "Aaaaaakh," teriaknya frustasi sembari membanting stir mobil. Dalam perjalanan cintanya bersama Clarissa, baru kali ini perempuan itu bertingkah tak wajar. Kelewat batas sampai membuatnya kalang kabut. Clarissa selalu menurut ketika dia suruh hanya berdiam diri di rumah. "Apa yang dibilang Sabrina itu benar?" Matanya melihat arloji yang melingkar di tangan kanannya, Adit melotot. Menyadari jam berangkat kerjanya hampir lewat. Sebagai karyawan terbaik, yang selalu dipuji-puji oleh atasan, Adit tentu tak mau terlihat buruk. Tanpa pulang lebih dulu, dia membawa mobil menuju kantor. Tempat yang sudah banyak memberinya uang sejak enam tahun yang lalu. Meski matanya pedas, sedikit berkunang-kunang, Adit tetap memaksakan diri berjalan menuju ruangannya. Saat di pertengahan jalan, salah satu karyawan menegur, "Eh, Dit. Ngelantur ya?" Adit menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa emang?" "Mandi dulu dong kalau mau kerja," lanjut karyawan itu seraya melenggang pergi. Adit menoleh pada dirinya sendiri yang masih mengenakan hoodie hijau army, dan celana training panjang. "Ah, mampus!" Melirik pada karyawan lain yang menatapnya dengan tawa tak terkendali. Banyak dari mereka yang juga meledek seperti teman kerjanya barusan. Ogah menahan malu terlalu lama, buru-buru dia masuk ke ruangan. Mondar-mandir memikirkan cara agar bisa mendapat pakaian kerja tanpa meninggalkan kantor. Tak mungkin 'kan dia menyuruh istrinya untuk menyusulkan baju sedangkan perempuan itu saja entah dimana? Tok tok tok "Adit?" seru seorang pria bergelar CEO masuk ke dalam ruangan. Adit membalikkan badan dengan kaku, sekilas dapat dia tangkap pria yang jauh lebih tua tiga tahun darinya mengernyit. "Apa-apaan ini? Kamu mau kerja atau mau santai-santai?" tegur atasannya. Adit menunduk. "Maaf, Pak." "Ada apa sama kamu, Dit? Bisa-bisanya nggak teladan kaya gitu? Padahal setengah jam lagi kita ada meeting." Adit melotot menatap lantai. "Sekali lagi saya meminta maaf, Pak.". "Alah, maaf terus. Saya nggak mau tahu pokoknya setengah jam lagi kamu sudah harus siap," ucap CEO itu dengan tegas. Adit menegakkan tubuhnya seolah menyanggupi. "Baik, Pak." Atasannya keluar, meninggalkan Adit yang bertambah mumet. Dia buka gawai yang hampir mati sebab tak sempat dia charger, berusaha menelfon sang ibu padahal kemungkinan permintaannya disanggupi sangatlah kecil. "Hallo, Bu?" "Kamu kemana aja nggak pulang?" Tamara langsung menyemprot dengan pertanyaan sinis. Adit mendesah pelan sebelum berkata, "Aku udah di kantor sekarang. Bu, boleh minta tolong?" "Minta tolong apa? Ibu lagi repot beberes rumah. Lagian Clarissa ngapain si pakai kabur segala? Cari perhatian sama kamu gitu?" cerocos Tamara. "Bu, boleh ojekin baju kantor aku sekarang? Setengah jam lagi ada meeting, aku nggak bisa pulang dulu." Adit to the point. Hening, hanya deru nafas Tamara yang tertangkap pada ponsel sebagai jawaban. "Bu?" "Nggak bisa! Salah sendiri pakai pergi cari Clarissa. Kamu jadi keteteran sendiri, kan?" Telfon dimatikan sepihak oleh Tamara. Adit mengelus dadanya berusaha sabar, mulut ibunya memang mudah menggores perasaan orang lain. Jangankan Clarissa, Adit baru menyadari kalau istrinya pasti tak nyaman. Jalan satu-satunya hanya mundur, membiarkan karyawan lain sebagai pendamping atasannya dalam meeting kali ini. Entah seperti apa tanggapan atasannya nanti, mungkin saja dia akan didepak sebagai karyawan terbaik, Adit pasrah. Berjalan gontai menuju ruangan bossnya. "Boss nggak ada, udah pergi ke ruang meeting sama Andi." Salah satu karyawan yang memegang kunci gudang memberitahu. Adit mengernyit. "Kok nggak bilang dulu?" "Lah, emang situ siapa? Boss mah bebas mau ngajak siapa aja. Lagian ke kantor kok nggak teladan banget. Katanya dua tahun dapat gelar karyawan terbaik terus. Emang udah bosen?" Maklum, sebagai orang yang selalu berada di belakang boss. Adit sudah terbiasa mendapat kata-kata tak enak. Mendapat tatapan iri, dan dengki. Ketimbang datang ke kantor tak dapat apa-apa, dia memilih libur. Tatapannya sudah kabur tak jelas. Alarm di kepalanya seolah berdering memberitahu kalau dia butuh tidur. Menatap mobil yang terbagi menjadi dua, Adit menyerah jika harus menyetir sendiri. Terpaksa dia tinggal mobilnya di parkiran kantor, memesan ojek online adalah pilihan terbaiknya. Tak sampai satu jam, dia sampai di rumah. Mengetuk pintu pelan, lantas dibuka oleh Tamara dengan tampang cemberut. "Loh kok pulang?" Tamara mengikuti langkah cepat Adit. "Aku libur hari ini," jawab Adit lesu. Tamara memangku tangan di pinggang. "Kalau aja semalam kamu tidur, pasti nggak kejadian kaya gini." Adit yang baru saja melangkah beberapa kali di dalam kamar terhenti. Meski tak membuka pintu kamar kembali, namun bibirnya berani berkata, "Ibu kalau capek istirahat aja, pekerjaan rumah tinggal dulu. Aku juga capek, mau istirahat." Tamara tercenung, padahal memang niatnya barusan ingin meminta bantuan Adit untuk mencuci piring sisa syukuran semalam. Tak bisa dia beristirahat dengan tenang kalau pekerjaan rumah masih belum beres. Dengan nekad tak punya malu, dia menyambangi rumah Sabrina. Janda itu sudah rapi dengan stelan ootd hits zaman sekarang. "Eh, pagi-pagi kok udah rapi. Mau kemana?" Sabrina menatap Tamara heran. "Hm, ada kerjaan pagi. Tumben Bu Tamara ke sini, mau nanyain soal Clarissa?" "Nggak kok, kirain kamu senggang. Aku mau minta tolong beberes rumah." Sabrina melebarkan kedua mata tak percaya, seorang model sepertinya dimintai tolong untuk beres-beres rumah? Kepalanya bergidik-gidik yang ditatap tak enak oleh Tamara. "Eh, kenapa?" tanya Tamara. Sabrina menggeleng. "Maaf, Bu Tamara. Aku udah harus berangkat. Mending Ibu minta tolong sama tetangga yang lain aja. Siapa tahu ada yang mau beberes rumah tetangga?" Tamara mematung di tempat saat Sabrina menutup pintu lumayan keras. Juga penolakan yang tak dia sangka-sangka akan membuatnya kehilangan harga diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN