Chapter nine

1812 Kata
"Bangun, Dit! Bantuin Ibu cuci piring," omel Tamara berkacak pinggang di samping ranjang Adit. Anak semata wayangnya seperti tak mau tahu, meski saja telinganya mendengar dengan jelas, namun matanya tak sudi untuk segera terbuka. Tamara menatap anaknya dengan sengit. "Bangun!" "Cari orang buat kerja setengah hari aja, Bu." Suara Adit yang masih serak menyeruak menusuk telinga Tamara. "Apa?" Wajah ibunya kecut. "Berapa duit yang mesti kita keluarin buat bayar orang? Lagian cuci piring kerjaan gampang kok." Kali ini Adit bangun, menatap sang ibu dengan mata merah. "Kalau gampang kenapa mesti minta tolong sama yang lain?" "Jadi kamu nggak mau bantuin Ibu?" Adit menggeleng, orang tua semakin berumur memang semakin susah diajak kompromi. Padahal Tamara termasuk seorang ibu yang tak pernah memarahinya, setelah kepergian Clarissa barulah Tamara berani menyuruh Adit mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Adit berjalan gontai keluar kamar, yang diikuti Tamara mengawasi. Beberapa tumpukan piring, gelas, dan peralatan makan lain berceceran di dapur. Adit menghela nafas berat, pekerjaan di depannya seolah-olah berkali lipat lebih susah dari berkas-berkas yang menumpuk di kantor. "Kayanya Clarissa cari kesempatan pergi biar nggak beresin rumah," celetuk Tamara di sela-sela membasuh piring. Adit menjawab, "Kalaupun dia di rumah aku nggak bakal biarin dia cuci piring." "Terus Ibu beberes sendiri gitu?" tanya Tamara sewot. Adit menggeleng, tak ada suara lagi yang keluar untuk menanggapi Tamara. Mereka terfokus mencuci piring sampai tandas. Tamara meregangkan pinggangnya yang mulai nyeri. "Aduh, panggilin tukang pijit dong, Dit." Adit yang baru saja menyeruput kopi mengangguk meng-iyakan. Sudah menjadi kebiasaan ketika Tamara mengeluh pegal-pegal. Perempuan paruh baya itu menaruh pantatnya di samping Adit. Memijit-mijit lengannya sendiri yang sejak tadi tak berhenti berdenyut pegal. "Sudah waktunya istirahat, Ibu nggak perlu maksain diri buat beberes rumah. Setiap bulan 'kan aku kasih duit, sebagian buat bayar orang kerja beberes aja," ujar Adit hati-hati. Tamara bukannya mengangguk justru menatap anaknya penuh arti. "Kalau Ibu tinggal di sini aja gimana?" Adit terdiam, bingung harus memutuskan. Kalaupun dia izinkan, kemungkinan Clarissa tak mau pulang selamanya. "Gimana?" "Kita bahas nanti aja, Bu. Tuh tukang pijitnya udah datang." Dagunya menunjuk pintu yang langsung diketuk seseorang. "Silakan, Bu Niti." Tamara menyambut antusias. "Pinggangnya kenapa lagi, Bu?" tanya tukang pijit itu sembari duduk di ruang tamu. Tamara membawa jamuan teh hangat, dan juga beberapa kue kering. "Dari kemarin sibuk banget, habis syukuran kehamilan menantu. Ya otomatis semua pekerjaan aku yang selesaikan sendiri." Tukang pijit itu sepertinya kaget, matanya melotot singkat lantas berkata, "Pakai repot-repot beberes sendiri. 'Kan ada banyak tenaga kerja yang nganggur." "Ah sayang duitnya," canda Tamara mencubit lengan Tini pelan. Mereka tertawa renyah, yang terdengar samar oleh telinga Abraham di atas balkon kamar. Matanya meneliti jendela kamar Sabrina yang tak tertutup tirai. Saat netranya fokus ke sana, sang pemilik rumah nongol membuka pintu. "Eh, Dit. Clarissa udah balik?" tanya Sabrin begitu menangkap sosok Adit. Gelengan kepala sang pria cukup membuat Sabrina mengerti. "Kalau aku bisa bantu temuin dia, apa yang bakal kamu kasih ke aku? Adit mengernyit, pertanyaan dari seorang Sabrina yang serba mampu membeli banyak hal sangat tak masuk akal. "Bukannya kamu senang kalau Clarissa ketemu? Harus ya pakai imbalan?" Sabrina di seberang terkekeh. "Aku bercanda kali, Dit. Yuk ikut aku!" "Kemana?" "Ke tempat di mana Clarissa sedang menenangkan diri," jawab Sabrina serius. Adit lebih dulu meninggalkan balkon rumah, yang ditanggapi senyum tipis dari bibir Sabrina. Mereka bertemu di depan pagar, di mana Sabrina sudah menenteng sebuah tas. "Pakai mobil aku aja," kata Sabrina mulai memasuki mobil. Adit memutar untuk duduk di kursi penumpang. Selama hampir lima belas menit perjalanan, tak ada yang bersuara. Sampai dering telfon di ponsel Adit menggantikan suasana hening itu. "Siapa?" Sabrina ikut penasaran sebab Adit tak kunjung mengangkat. "Ibu." "Jawab aja," kata Sabrina. Adit menggeser tombol hijau pada ponsel itu, dan seketika langsur disambar suara cempreng Tamara. "Kamu kemana? Keluar kok nggak bilang-bilang?" "Aku di jalan, mau cari Clarissa." Terdengar Tamara berdecak. "Halah, buang-buang waktu aja." Adit tahu kalau terus meladeni ibunya tak akan pernah ada habisnya. "Udah dulu, Bu. Nanti ku telfon lagi." Tak sempat Adit dengar protesan Tamara karena sudah lebih dulu mematikan sambungan. "Benar ya kata Clarissa." Sabrina berujar. Adit menoleh penasaran. "Dia bilang apa?" "Bu Tamara belum bisa lepasin kamu ke Clarissa. Kelihatan banget ibu kamu posesif begitu." Adit mendengus, sedikit malu secara tak sengaja Sabrina mengatakan kalau dirinya anak mama. "Aku juga udah berusaha dewasa." "Nggak heran, kamu anak satu-satunya," jawab Sabrina memaklumi. Hening, Adit terlalu malas membahas perselisihan mereka. Sedangkan Sabrina fokus menyetir, juga terpikir kalau-kalau Clarissa akan membencinya karena telah membawa Adit. Mereka sampai di pelataran hotel. Adit dibuat bingung karena perempuan yang membawanya tak mau ikut serta turun. "Kamu aja, aku tunggu di sini." Adit mengangguk ragu, namun sedetik berikutnya dia keluar mobil juga. Menanyakan keberadaan kamar yang Clarissa tempati semalam. Bersyukur Adit mendapat akses nomor kamar Clarissa dengan mudah. Mengetuk pintu dengan perasaan was-was. Terlebih istrinya tak kunjung membuka pintu. Dia ulangi kembali sampai empat kali berturut-turut. Tetapi masih saja mengemukakan hasil yang sama. Dia berbalik, meminta tolong ke pada pegawai hotel untuk memberi kunci cadangan. "Maaf, kalau untuk itu kami tidak bisa memberikan kunci cadangan ke pada sembarang orang." Memangnya wajah Adit begitu mencurigakan sampai-sampai tak bisa ditebak kalau tengah merindukan istrinya sendiri? "Saya suaminya, apa kurang jelas?" "Sudah banyak yang mengaku begitu, tetapi pada akhirnya kita mendapat banyak komplain karena tak jarang dari mereka hanya mengaku-aku." "Tapi saya beneran suaminya." Petugas hotel itu menatap Adit tak yakin. "Kalau begitu saya telfon pemakai kamar itu lebih dulu." Adit membuang nafas kasar, setidaknya mungkin Clarissa akan merespon. Tahu kalau dirinya sejak tadi menunggu di luar kamar. Adit mengamati raut si petugas hotel yang terlihat cemas. "Mari ikut saya!" Mereka berlari dengan wajah Adit yang kaget. Menuju kamar Clarissa, yang dibuka oleh si petugas. Begitu terbuka, kamar itu kosong. Tak ada suara dari derap langkah atau apapun barangkali si pemakai kamar sedang berada di bilik lain. "Clar? Kamu di dalam?" Petugas itu tentu heran mengingat tak melihat Clarissa keluar hotel sejak tadi. Pintu kamar mandi dia buka, matanya sempat tak menangkap sosok Clarissa hingga sebuah kaki di balik pintu membuat netranya melotot. "Dia di sini," teriak petugas itu keras. Betapa terkejutnya Adit mendapati istrinya duduk di atas lantai kamar mandi. Wajahnya pucat pasi dengan suhu badan yang begitu dingin. "Bangun, Clar." Tangannya menepuk-nepuk pipi putih Clarissa sembari memeluknya. "Sebaiknya bawa ke rumah sakit saja," kata si petugas mengingatkan. Adit tak tahu apa yang akan terjadi pada Clarissa nanti kalau dirinya tak datang. Dengan tergesa-gesa di gendong bride style tubuh yang lumayan berat itu keluar hotel. Menuju mobil, Sabrina keluar dengan raut bingung. "Clarissa kenapa?" "Dia pingsan di kamar mandi." Adit menaruh Clarissa di kursi belakang. Sabrina turut membantu menyiapkan diri sebagai sandaran kepala Clarissa. "Kamu aja yang nyetir." Adit mengangguk lantas masuk ke kursi pengemudi. Karena terlalu panik, dia membawa laju mobil tak karuan. Beberapa kali Sabrina mengingatkan agar tak terlalu cepat mengendalikan laju. Namun, sepertinya telinga Adit sudah tuli. Hanya dalam dua puluh menit dia berhasil masuk ke pekarangan rumah sakit. Segera meminta pada security agar membawa Clarissa ke ruang UGD. "Untung kita datang, Sab. Kalau nggak--" ucapnya terhenti merasa tak sanggup melanjutkan. Sabrina menatap Adit dari samping, mendengar suara pria itu yang bergetar, juga wajahnya yang cemas membuat perasaan iri di hatinya membuncah. "Dulu suamiku juga begitu," ucapnya membatin. Kalau saja kecelakaan truk yang disebabkan supir mengantuk, mungkin suaminya masih ada sekarang, juga Sabrina yang tak pindah hingga bertemu lagi dengan Clarissa. Seseorang yang sudah dengan susah payah dia lupakan. "Oh iya, kamu kalau mau pulang dulu nggak papa." Sabrina menggeleng pelan. "Nggak kok, aku mau tunggu sampai Clarissa sadar." Adit mengangguk dengan menggumam kata terimakasih berkali-kali. "Ngomong-ngomong darimana kamu tahu kalau Clarissa di sini?" Sabrina mendelik, akhirnya Adit tanyakan juga keanehan itu. "Ya semalam dia telfon." Adit sepertinya tak percaya, terlihat dari alisnya yang bertaut. "Kenapa? Mau nuduh kalau kita sekongkol gitu?" Sabrina menebak lebih dulu. Kepala Adit menggeleng. "Nggak juga." Di tengah perbincangan itu, seorang dokter keluar dari ruang UGD. "Gimana dengan keadaan istri saya, Dok?" Adit berdiri menghampiri dokter itu. "Apa sebelumnya pasien terpeleset?" Adit terdiam, dan Sabrina lah yang menjawab, "Tahu-tahu dia udah pingsan di kamar mandi." "Kemungkinan dia terpeleset, tapi untungnya tak sampai mengalami pendarahan. Dia pingsan karena kaget," terang dokter itu ramah. Adit menghela nafas lega, setidaknya istrinya tak mengalami hal yang terlalu buruk. "Apa harus dirawat, Dok?" tanya Sabrina sedikit keberatan. Mengingat rumah sakit itu yang begitu jauh dari rumah. Dokter itu menggeleng. "Karena tidak terlalu parah, cukup rawat inap saja. Dan tolong ya, di masa-masa terakhir kehamilannya jangan terlalu kelelahan." Saat memasuki ruang UGD itu Clarissa sudah tersadar. Sempat dia membelalak kaget saat bingung mengapa sudah berpindah ke ranjang rumah sakit, dan juga Adit, Sabrina di depan mata. "Kok kalian?" Sabrina menggaruk tengkuk yang tak gatal. "Maaf, Clar. Habis aku nggak tega lihat Adit kebingungan." Clarissa membuang nafas kasar. Melotot singkat ke arah Sabrina yang berdiri di belakang Adit. Sedangkan suaminya berjongkok, menatap sang istri lega. "Aku nggak suka kamu main pergi-pergi kaya gitu lagi." Clarissa berusaha memberikan tatapan datar pada sang suami, meski sebenarnya dia tengah menahan diri agar tak menyerbu tubuh Adit dengan pelukan. Betapa rindu menyeruak kala melihat tampang suaminya yang rapuh melihatnya terkapar di rumah sakit. "Apa lagi kamu udah membahayakan diri kamu sendiri, dan bayi kita." "Maaf, untuk itu aku benar-benar minta maaf." Adit kembali berdiri, dan kini kepalanya berganti menunduk demi melihat wajah pucat Clarissa. "Lain kali jangan begitu lagi!" "Tapi kamu juga harus tegas sama ibu!" sergah Clarissa tak terima. Adit mengernyit. "Soal?" "Lebih baik kamu suruh ibu buat cepat-cepat pulang. Aku bisa kok kerjain pekerjaan rumah sendiri. Lagipula ibu jarang bantuin aku, kan?" Matanya menatap sang suami meminta pembelaan. "Yang ada cuma bikin susah aku," imbuhnya di dalam hati. "Nanti kita bicarain itu setelah kamu udah sehat," kata Adit lembut. "Nggak bisa! Yang ada kamu kalah sama keputusan ibu. Aku mau kamu bahas sekarang sama aku." Adit menunduk, memberatkan kedua perempuan yang sama-sama berarti dalam hidupnya. "Iya, nanti aku ngomong sama ibu." Senyum terbit di wajah Clarissa. "Ayo pulang!" Diam-diam melirik ke arah Sabrina yang juga tengah menatapnya penuh kemenangan. Saat Adit mampir lebih dulu ke ruang administrasi, mereka bercengkrama di dalam mobil. Sesekali Sabrina meledek dirinya sendiri yang sudah memberikan ide tentang kejadian itu. "Iya deh, makasih banyak kamu udah bantuin aku, Sab. Nanti kalau Adit gajian, aku traktir deh." Sabrina terkekeh. "Asal jangan traktir soto ayam di pinggiran aja." Clarissa menggeleng, makanan yang barusan disebut adalah kesukaannya. Tapi berbeda dengan Sabrina yang teramat menjaga pola makan. Suasana mobil kembali hening karena Adit yang sudah kembali. Mereka berpura-pura seolah tak pernah terjadi rencana apapun di antara mereka. "Mau langsung pulang atau kemana?" tanya Adit menatap kedua perempuan itu bergantian. Sabrina menjawab, "Langsung pulang aja. Kasihan Clarissa, dia butuh istirahat." "Gimana kalau makan dulu, kamu pasti lapar 'kan, Sab?" Clarissa mengusulkan. "Lain kali aja." Adit yang bingung memutuskan akhirnya menurut apa kata Sabrina. Mengingat kondisi Clarissa yang masih belum pulih sepenuhnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN