Mendung tak pernah usai dalam hidup Ajeng. Ia menatap dua gundukan suami dan anaknya yang berdampingan. Ajeng merasa sesak di dalam dadanya amat sangat hingga mencengkram ulu hatinya. Satu persatu Tuhan ambil darinya. Emak, bapak, adik, suami, dan anak satu-satunya. Ia tabur kan bunga di atas makam mereka.
"Mas, Ajeng titip Bayu ya. Jaga dia ya mas. Nanti Ajeng kembali lagi" Ajeng mencium nisan suami dan anaknya secara bergantian sebelum pulang. Ajeng kembali ke gubuk reotnya yang hampir roboh. Jika hujan maka akan bocor dimana-mana. Ajeng tidak bisa memperbaiki atap rumahnya. Dia tidak bekerja hari ini dan hanya tidur seharian di dalam gubuknya. Untuk apa lagi dia bekerja? tujuan hidupnya sudah hilang. Tidak ada lagi yang membuatnya semangat untuk hidup. Ajeng mengambil gendongan yang biasa ia pakai untuk menggendong Bayu. Tangisnya sudah tak terbendung lagi. Hancur sudah harapan dan impiannya. Dia tidak memiliki siapa-siapa lagi dalam hidupnya. Ia cium gendongan itu. Bau harum anaknya masih tertinggal disana.
"Bayu anak baik, Allah lebih sayang Bayu. Tunggu ibu ya nak." gumam Ajeng sambil menyeka air matanya.
***
Sudah satu minggu Ajeng tidak bekerja di kebun teh. Meneer Cornelis sengaja berjalan-jalan di kebun untuk mencari keberadaannya. Dimana wanita itu? kenapa tidak kelihatan selama ini. Padahal dia sudah menyuruh Ajeng untuk kerumahnya.
"Sugeng!! " panggil Cornelis.
"Iya Meneer!! " Sugeng berlari tergopoh-gopoh menghadap Cornelis.
"Dimana Ajeng? " tanya Cornelis sambil melihat sekitarnya.
"Ajeng sudah satu minggu ini tidak bekerja Meneer. Anaknya meninggal satu minggu yang lalu" jawab Sugeng heran. Dia bingung kenapa Meneer bertanya soal Ajeng.
"Panggil dia sekarang dan bawa kerumahku!! kalau tidak jangan harap kau bisa bekerja lagi disini!! " perintah Cornelis lalu pergi begitu saja. Sugeng langsung bergerak kerumah Ajeng. Dia mengetuk-ngetuk pintu rumah Ajeng berkali-kali seperti orang yang ingin menagih hutang.
"Ajeng!! ajeng!! buka pintunya!! " seru Sugeng. Tak lama kemudian Ajeng membuka pintunya. Dia bingung kenapa Sugeng datang kerumahnya.
"Ada apa mandor? kenapa mandor datang kemari? " tanya Ajeng.
"Cepat ikut aku ke rumah Meneer!! kamu buat salah apa sampai dia mencari kamu?! " tanya Sugeng. Ajeng teringat soal hutang yang pernah ia pinjam pada Meneer. Pasti Meneer ingin menagih hutangnya.
"Tunggu sebentar" Ajeng kembali masuk kedalam rumahnya dan mengambil uang yang pernah diberikan oleh Meneer padanya. Dia hanya memakainya setengah dan akan mengembalikan uang ini pada Meneer dan tinggal membayar sisanya.
"Ajeng ayo cepetan!! " ucap Sugeng tak sabar.
"Iya tunggu" Ajeng memasukkan kantung uang itu ke dalam tas miliknya dan menutup rapat pintu rumahnya. Ia dan Sugeng pergi kerumah Meneer yang berada di atas bukit kebun teh ini. Perjalanannya cukup jauh dari perkampungan jika berjalan kaki. Hingga sampailah mereka di rumah besar Meneer Cornelis. Di depan rumahnya ada kebun buah-buahan yang ditanam langsung oleh Cornelis untuk membunuh rasa jenuhnya. Tampak disana Meneer sedang menaruh pupuk di tanaman bunga anyelir miliknya.
"Permisi Meneer" ucap Sugeng membuat Cornelis memperhatikan Sugeng dan Ajeng dibelakangnya. Ajeng tampak kurus dan letih. Dilihat dari wajahnya saja seperti orang yang kurang tidur.
"Kamu silahkan pergi tinggalkan Ajeng disini" perintah Cornelis. Sugeng undur diri dan langsung pergi dari sana. Cornelis menatap tubuh Ajeng dari atas kebawah.
"Ayo ikut saya masuk" perintah Cornelis. Ajeng hanga mengikuti Cornelis sampai masuk ke dalam rumahnya. Cornelis duduk di sofa. Dia menyuruh Ajeng juga ikut duduk di hadapannya.
"Kamu tau kan kenapa saya memanggil kamu? " tanya Cornelis.
"Iya Meneer, soal hutang itu saya akan membayarnya mulai besok saya akan mencicilnya dari gaji saya. Ini ada sisanya Meneer" Ajeng menyerahkan kantung uang pada Cornelis.
"Saya tidak mau kamu mencicilnya. Saat ini juga kamu harus membayarnya" tekan Cornelis.
"Tapi saya tidak mempunyai uang sekarang Meneer. Tolong kasih saya waktu dan keringanan. Saya akan bayar semua hutang saya" pinta Ajeng memohon.
"Tidak bisa. Saya mau sekarang uang itu kembali jika tidak kamu harus jadi Nyai untuk saya" ujar Cornelis. Mata Ajeng terbelalak saat mendengarnya. Dia tidak menyangka akan terperangkap dalam jebakan Cornelis. Dia pernah dengar banyak pria Belanda yang menjadikan wanita pribumi hanya untuk melampiaskan nafsu biologisnya. Menjadi seorang Nyai lebih hina dari seorang p*****r. Bukan hanya dijadikan b***k pelampiasan tapi para Nyai dijadikan pembantu dan diperlakukan dengan buruk. Lebih jahatnya lagi kebanyakan para Nyai akan ditinggalkan dan dipisahkan dari anak-anak kandung mereka. Ajeng menggelengkan kepalanya berkali-kali. Lebih baik dia mati daripada harus menjadi Nyai.
"Tidak!! sampai mati pun saya tidak akan pernah menjadi seorang Nyai!!" Ajeng bangkit dan akan pergi dari rumah Meneer Cornelis.
"Coba saja kamu pergi. Tapi lihat saja nasib temanmu dan ibunya yang tua bangka itu. Saya akan membuat mereka menderita dan menangis darah" ancam Meneer Cornelis tak main-main. Dengan uang dan kekuasaannya dia bisa melakukan apa saja yang ia inginkan. Ajeng takut Cornelis akan berbuat lebih jauh dari ini. Dia tidak bisa memikirkan dirinya sendiri dan mengorbankan orang lain yang selama ini menolongnya.
"Baiklah tapi jangan ganggu mereka" Ajeng memejamkan matanya. Ia pasrah jika akan dijadikan Nyai. Cornelis tersenyum penuh kemenangan. Semudah ini dia mendapatkan Ajeng. Malam-malamnya tak akan pernah sepi lagi. Dia tak akan mendekap guling lagi. Perlahan Cornelis mendekat dan mencium rambut panjang Ajeng yang selama ini ia impikan. Tak pernah selama hidupnya dia menginginkan seorang wanita hingga sampai memimpikannya. Bahkan bayang istrinya pun tak ia rindukan lagi.
Tangan Cornelis menyibak rambut Ajeng perlahan hingga nampaklah leher Ajeng yang putih dan bersih. Cornelis mencium leher itu hingga membuat seluruh tubuh Ajeng meremang seperti disengat oleh listrik.
"Jangan tahan suaramu" bisik Cornelis mulai mencumbunya disana. Ajeng tetap mengigit bibirnya tak ingin desahannya lolos begitu saja. Cornelis sudah tak bisa menahan gairahnya lagi. Ia gendong tubuh Ajeng ala bridal menuju kamarnya. Ajeng yang takut terjatuh tak sengaja mengalungkan tangannya di leher Cornelis. Ia membuka pintu lalu menutupnya dengan sebelah kakinya. Dengan pelan Cornelis merebahkan tubuh Ajeng dia atas ranjang. Ajeng memejamkan matanya. Dia tidak ingin melihat Cornelis menyentuh tubuhnya.
"Buka matamu" titah Cornelis. Ajeng perlahan membuka matanya. Tangan Cornelis membuka satu persatu kancing baju Ajeng yang lusuh hingga terbuka semuanya. Cornelis ingin membuka penutup dadanya tapi Ajeng menahan tangannya dan menggeleng takut.
" Aku akan melakukannya dengan lembut " ucap Cornelis lalu dia menyingkap penutup dadanya hingga nampaklah dua gundukan yang tidak terlalu besar tapi tidak terlalu kecil. Pas di tangan Cornelis saat ia menyentuhnya. Ajeng memejamkan matanya saat Cornelis mulai meremas dan menghisap puncaknya. Tubuh Ajeng begitu wangi dan memabukkan. Cornelis ingin menyentuhnya lagi dan lagi. Hingga mereka akhirnya bercinta untuk pertama kalinya. Cornelis tak pernah merasakan nikmat duniawi seperti ini. Rasa istrinya sangat berbeda dibandingkan Ajeng. Ajeng terlihat polos dan murni. Kelebihan itulah yang membuat Cornelis tergila-gila. Padahal Ajeng adalah janda dan sudah pernah melahirkan. Ia pacu lagi dan lagi sampai mereka terbang ke awang-awang nirwana. Ajeng merapatkan selimutnya sambil menangis. Ada pria lain yang sudah menyentuh tubuhnya selain suaminya.
"Jangan menangis. Kamu juga menikmatinya tadi kan. Ini uang untukmu. Belilah baju yang baru nanti. Jangan pakai baju usang itu lagi" Cornelis memakai kembali pakaiannya dan keluar dari kamar itu. Ajeng menangis sesenggukan setelah Cornelis pergi.
"Mas maafkan aku hiks hiks hiks aku tidak bisa menjaga maruahku sebagai seorang istri. Aku manusia yang hina hiks hiks hiks " tangis Ajeng.